"Cerita ini hanya karangan fiktif belaka. Latar belakang pada jaman tersebut sengaja dibuat sebagai pelengkap dan sama sekali tidak berhubungan langsung dengan sejarah aslinya."
==
Tuan Hiro memintaku menyukur rambutnya. Model umum kebanyakan. Potong habis di bagian bawah dan sisakan rambut di bagian atas kepala tanpa poni. Ini lebih dikenal dengan ptongan cepak atau potongan tentara rakyat.
Selama kucukur, tuan Hiro tampak diam mengamatiku dari cermin kamar mandi. Terkadang aku jadi malu sendiri karena terus diperhatikan kemanapun aku menoleh, melirik ataupun bergerak.
Sekarang potonganku mulai mengarah pada jambang. Aku ingin merapikannya sedikit agar terlihat simestris. Saat hendak menyilet rambuy bagian atas telinga, aku tak sengaja mengiris sedikit kulit kepalanya.
Aku kalang kabut namun tuan Hiro tampak tenang saja. Dia bilang tak rasakan sakit apapu dan menyuruhku untuk selesaikan pekerjaanku.
"Lanjutkan saja," pintanya. Aku menurutinya dengan lebih hati-hati lagi.
"Ba..baik."
"Apa pria itu melukaimu?"
Tiba-tiba sekali tuan Hiro bertanya. Aku sampai tidak mengerti siapa yang dia maksud.
"Pria siapa tuan?"
"Aku dengar sesuatu tentang di ruang kerja itu."
Ooh...yang dia maksud tentang Badu?
"Dia menamparku sekali."
Sebenarnya aku enggan untuk mengingat kejadian itu lagi. Tapi karena ini pertanyaan yang Hiro tanyakan padaku, tentu saja aku tak bisa langsung mengabaikannya.
Aku pernah dinasehati oleh Sohien kala pertama kali aku bertemu dengannya setelah ibu meninggal. Aku ceritakam semua masalahku dan juga trauma yang kualami.
Waktu itu Sohien berkata, bahwa setiap ketakutan haruslah dihadapi. Jika kita terus berlari dan menghindarinya maka kita takkan pernah menjadi dewasa. Hati kita akan kosong dan takkan bahagia.
Seperti yang kualami kemarin. Jika aku menghindarinya, maka rasa takutku akan terus bertambah. Namun, ketika aku menghadapinya, aku yakin akan baik-baik saja. Lalu aku akan terbebas dari rasa traumaku.
Tuan Hiro pantas berdiri. Meletakkan sebelah tangannya di pipiku. Persis seperti apa yang tuan Hide lakukan padaku. Aku terkesiap lagi meski kali ini perasaannya berbeda.
Jika dengan tuan Hide aku akan berdebar namun ada rasa takut yang membayang, dengan tuan Hiro aku benar-benar rasakan kehangatan.
Entahlah..mungkin cuma aku yang beruntung di dunia dapat perhatian dari dua tuan muda. Dan aku harap, bisa rasakan ini lagi di lain waktu serta selamanya.
#
Selesai mandi, tuan Hiro lantas mengikutiku ke bawah. Beliau sarapan sendirian seperti biasa di ruang makan. Aku menemaninya sebentar sampai ia selesai. Baru setelah itu, aku akan ke dapur untuk mendapatkan nasiku.
Tapi hari ini berbeda. Tuan Hiro memintaku makan bersamanya. Duduk berhadapan dengannya di atas meja panjang yang mampu menampung dua belas orang sekali duduk.
Setelah mengambil lauk untukku sendiri, akupun makan bersamanya. Dengan tenang dan khidmat. Tak perbincangan yang berarti yang kami lakukan. Hingga tuan Hiro selesai makan dan meneguk s**u kambingnya, aku mencoba bertanya tentang keberadaannya kemarin.
"Ke mana tuan pergi semalam?"
Tuan Hiro meletakkan gelasnya lalu bersitatap denganku. Aku sempat malu karena dilihat terlalu intens olehnya.
Jika dilihat seperti ini, tuan Hiro terlihat begitu normal. Apa dia sudah meminum obatnya?
"Aku pergi dengan ayah untuk berburu."
"Berburu?"
"Humm. Kau pernah berburu?"
Aku menggeleng cepat. Aku bahkan tak suka melihat senapan walaupun hanya senapan angin. Bagiku..itu mengingatkanku dengan koloni yang menembak mati ibuku.
"Kau harus mulai belajar mengenal senapan. Karena itu akan berguna untuk jaman seperti sekarang."
Aku jadi teringat tentang bangsa Nippon/Jepang yang tengah merajai Indonesia. Bagaimana keadaan di luar sana? Apa semua baik-baik saja?
"Berguna? Aku tak yakin soal itu."
"Kau di sini rupanya!"
Itu Sunyang yang masuk dengan alis sebelah yang naik ke atas. Dia mendelik padaku namun tak berani menoleh ke tuan Hiro. Aku langsung berdiri sambil membereskan sisa makananku yang belum habis.
"Cepat bereskan lalu ikut denganku ke pasar."
Aku mengangkat kepala setelah daritadi sibuk menunduk karena takut dengan matanya yang melotot itu. Aku merasa seperti mendapat angin segar mendengar Sunyang akan mengajakku keluar mansion. Aku rindu sekali dunia luar. Hidup di istanan kecil ini, ternyata cukup membuatku sesak juga.
"Ba..baik!"
Aku pamit pada tuan Hiro yang masih terdiam di tempatnya. Setelah kami keluar dari ruangan tersebut, aku bisa mendengar suara benda dibanting di sana.
Aku ingin berbalik untuk memeriksanya, tapi Sunyang menghadang langkahku dengan tatapannya yang kembali tajam.
"Tidak perlu. Aku akan suruh yang lain bereskan. Kau..cepat ganti pakaianmu. Kutunggu sepuluh menit."
Aku langsung bergegas naik ke atas. Merutuki diri sendiri yang membiarkan tuan Hiro kesal sendiri.
"Maafkan aku, tuan."
#
Mobil porsche hitam ini melaju sedang menyeruak keluar dari dalam hutan lindung. Hujan gerimis ini tak mengurangi niat kami untuk pergi ke pasar.
Sunyang sendiri bahkan menikmati waktunya dengan memandangi hutan dan gunung yang menjadi latar dari mansion yang besar itu. Dengan jalanan yang berkelok dan licin, cukup menciutkan nyaliku karena keadaan mulai sedikit mengganggu rute kami.
Tapi semua terbayarkan dengan pelangi yang melintang di langit dengan indahnya. Sampai ke dataran rendah, gerimis tadi pun lenyap seolah tak tersentuh di tanah kering ini.
Orang-orang mulai terlihat di jalanan setelah sebelumnya aku harus puas melihat kanan kiri serba perpohonan. Banyak yang melintas adalah warga yang hendak ke pasar menjajakan barang bawaannya. Tak sedikit pula yang berjalan kaki sambil mendorong gerobak mereka ataupu ternaknya.
Suasana pasar dan toko yang amat ramai. Aku baru sadar bahwa sesampainya di Bogor ini, aku tak pernah berkeliling. Mungkin ini adalah kesempatan langka yang aku dapatkan sebelum nantinya dikurung lagi di mansion itu.
Kami berhenti tepat di sebuah toko. Dari pamfletnya toko ini bernama KEIKO. Begitu aku masuk ke dalam, di sana banyak terpajang arloji dan jam dinding yang sangat banyak. Aku bisa asumsikan bahwa ini adalah toko jam. ( Ya iyalah)
Begitu masuk ke dalam, kami disambut oleh pramusaji. Sunyang mulai bercakap-cakap dengan hati-hati seolah aku tak diperkenankan untuk mendengarkan. Namun tetap saja, aku bisa mendengar apa yang mereka bincangkan.
"Yōkoso! Nanika dekiru koto wa arimasu ka?" (Selamat datang! Apa ada yang bisa kulakukan untukmu? )
"Haik! Kujō ni aitai" ( Aku ingin bertemu dengan Kujo)
Setelah mengatakan itu, raut wajah pramusaji itu berubah. Yang tadinya begitu ramah kini begitu serius. Aku rasa karena Sunyang menyebut nama Kujo itu.
Siapa Kujo?
Pramusaji itu lantas berbisik pada Sunyang. Sampai di sini, aku tak bisa mendengar apa yang mereka katakan. Setelah itu, Sunyang menghampiriku lantas menyuruhku kembali masuk ke mobil dan menunggunya sebentar.
"Tunggu di dalam mobil dan jangan keluar," perintahnya.
Aku menurut saja tanpa berniat untuk membantahnya. Begitu keluar dari toko, Sunyang pun sudah menghilang masuk ke dalam lorong. Aku rasa..tempat ini adalah tempat pertemuan rahasia dirinya dengan seseorang yang bernama Kujo itu.
.
.
bersambung
Haiii terima kasih yang sudah mau baca dan tap love cerita ini..aku terharu banget kalian mau masukin cerita ini di library kalian. Terima kasih banyak dan saya tunggu banget komen dan krisarnya. Thanks youu