Brigita berdiri di depan lemari buku di ruang kerja, setelah pagi tadi tepat pukul sembilan, sebelum pergi Alif mengingatkannya agar tidak memikirkan terlalu dalam tentang surat itu. Brigita sedang menjemur kain cucian di halaman belakang rumah ketika Alif mendatanginya setelah sarapan pagi.
Rumah peninggalan yang tidak terlalu besar itu, tidak memiliki pelayan dan security sejak Khaled memutuskan hidup sederhana puluhan tahun silam dikarenakan keluarganya mengalami kebangkrutan.
Perempuan muda itu tidak mendengar Ayse memanggil namanya dari luar ruangan. Ia duduk di meja kerja dengan setumpuk buku di sisi kanan meja. Matanya bergerak liar menatap tampilan layar laptop yang menampilkan tabel berisi deretan angka. Namanya kembali dipanggil, tapi ia tidak mendengar suara yang sudah terulang itu.
"Ternyata kau di sini."
"Euh, Teyze? Teyze mencariku, ada apa?"
Ayse berdiri di pintu ruangan yang memang terbuka, ketika mata Brigita teralih dari laptop. Wanita itu tampak anggun memakai baju panjang dengan rambut disanggul asal tapi terlihat rapi. Aura keibuan terpancar jelas di wajahnya. Sinar kelembutan terlihat jelas ketika berbicara dan berjalan. Ia berjalan mendekat ke sofa.
"Kau mencemaskan surat itu?"
Ayse mendudukkan dirinya di sofa. Brigita tertegun sejenak –bertanya dalam hati bagaimana Ayse bisa mengetahuinya. Ia menoleh dan melihat bibinya itu duduk dengan begitu anggun.
"Kenapa Teyze berkata seperti itu?" Sorot mata Brigita penuh tanya.
"Apa yang tidak pernah kau cemaskan, Anakku?"
"Seharusnya adikmu yang gelisah, tapi di...."
"Tapi dia tidak menaruh peduli pada hal itu," potong Brigita cepat bernada kesal.
Brigita berdiri dari kursi, mendekat pada Ayse yang menyambut tangannya untuk duduk di sebelahnya.
"Kau bukan Alif yang pandai menyembunyikan emosi. Kenapa kau begitu khawatir, hmm?" Ayse mengelus kepala Brigita.
"Aku tidak tahu, Teyze. Tapi, perasaanku memang benar-benar tidak tenang. Ini di luar kendaliku." Mimik wajah Brigita memelas.
"Dayi akan mengurusnya, jadi kau bisa tenang sekarang. Pusatkan saja pikiranmu pada kesibukanmu."
"Dayi mengatakan itu?"
"Tentu saja, tidak mungkin dayimu akan tinggal diam!" seru Ayse tidak terima.
"Dayi mengatakannya semalam, dia akan mencari tahu siapa pengirim surat dan apa maksudnya mengirimkan surat itu," sambungnya.
Seperti halnya Alif yang tidak mau menunjukkan kegelisahannya, pun demikian dengan Ayse. Wanita tua itu berlakon cukup hebat menyembunyikan raut gelisahnya. Mata Ayse teralih pada jam dinding. Brigita memandang Ayse dalam-dalam.
"Aku tidak melihat siapa-siapa di dalam cctv. Tidak ada orang asing atau sesuatu yang mencurigakan yang terlihat di rekaman. Bahkan, aku juga sudah membuka file rekaman lama."
Penuturan Brigita membuat Ayse terdiam. Tepat seperti dugaannya. Keponakannya itu akan bergerak cepat. Ayse menghela napas.
"Kau bahkan sudah mulai mencarinya. Kapan itu kau lakukan?" Ayse memainkan rambut Brigita.
"Tadi malam. Aku penasaran surat itu bisa masuk. Oh, ya, Teyze, bukankah di pabrik ada seorang IT? Mungkin kita bisa memintanya untuk membantu membuka rekaman itu."
"Maksudmu?" Ayse menaruh perhatian penuh.
"Yah, maksudku kita meminta dia meretas kamera CCTV kita. Lagi pula dia orang yang bekerja untuk pabrik kita ...."
"Ada beberapa kemungkinan, Sayang."
Ayse semakin dalam menatap Brigita, sorot matanya menyiratkan keraguan. Brigita melihat hal itu.
"Tidak semua orang dekat bisa dipercaya. Tidak semua orang kepercayaan akan setia." Ayse bernasehat.
Wajahnya berpaling menatap ke arah pintu yang terbuka. Brigita diam tidak bereaksi, menunggu apa yang akan dilakukan Ayse. Ia kembali menoleh menatap Brigita.
"Kejujuran dan kesetiaan adalah dua hal yang berbeda. Tapi, dia hampir tidak ada bedanya. Serupa tapi tak sama. Keduanya memiliki maknanya masing-masing, meski sering disangkut pautkan," lanjutnya.
Brigita termenung. Menarik semua kalimat Ayse ke dalam otaknya untuk dicerna. Gerakan matanya menunjukkan ketidakpahaman. Ayse tersenyum melihat pemandangan itu.
"Pasti kau setengah mengerti apa yang Teyze katakan, hmm?"
Brigita diam selama empat detik sebelum menjawab dengan helaan napas yang menyertai. "Tidak, Teyze, aku mengerti. Tapi, ya... begitulah."
Brigita membuang punggung ke sandaran sofa. Ayse kembali melirik jarum jam di dinding, dan beralih ke meja kerja dengan laptop menyala standby serta buku.
"Tapi, kenapa kita tidak mencoba untuk percaya? Bukankah mempekerjakannya sama saja dengan kita percaya padanya?"
Kening Brigita mengerut. Ia bertanya tanpa melihat pada Ayse yang memandangnya penuh penilaian.
"Ini urusan rumah, Nak. Kau harus tahu bedanya."
"Artinya, dayi mencari orang luar. Lalu, apa bedanya dengan IT pabrik? Dia juga orang luar," bantah Brigita sambil menoleh.
Ayse terdiam. Logikanya mulai membenarkan ucapan Brigita.
"Artinya, mereka sama-sama orang luar. Apa di pabrik kita ada pengkhianat, Teyze?" lanjutnya.
"Karena itu kau harus masuk ke pabrik."
"Ha? Teyze...." badan Brigita seketika tegak.
"Alhamdullillah, sejauh ini tidak ada. Tapi, tidak tahu di masa depan."
"Aku semakin tidak mengerti," keluh Brigita membuang napas dan memalingkan muka.
"Apa semua pekerja IT adalah seorang hacker?" Ayse menyilang kaki.
"Baiklah, aku paham, Teyze. Artinya, pabrik harus mempekerjakan seorang hacker." Brigita menyandar ke sofa.
"Teyze tidak bilang seperti itu."
"Tapi, kita sudah kenal baik dengannya, kan, Teyze? Kenapa tidak mencoba? Dia juga tidak akan membocorkan perihal ini, aku yakin."
"Sebegitu yakinnya kau pada orang itu. Kau bahkan belum mengenalnya, Sayang." Ayse menoleh.
"Meyakini sesuatu tidak harus mengenali sesuatu itu kan, Teyze?"
Brigita membalas tatapan Ayse, yang mengikuti gerakannya kembali ke meja kerja, lantas duduk. "Aku akan mencobanya."
Ayse tidak lagi bisa berkata saat Brigita memutuskan hal tersebut. Berdebat dengannya hanya akan percuma –pikirnya. Ayse tahu benar bahwa anak Harika itu akan tetap pada ucapannya –seperti ibunya.
"Katakan itu pada dayimu, Sayang. Kau bisa berdiskusi dengannya."
Brigita menyetujui usulan tersebut. Ia berdiri menuju filling kabinet yang terletak di sisi kiri ruangan. Lemari besi itu terlihat masih bagus, meski tidak lagi mengkilap. Arsip yang disimpan begitu rapi dan tertata. Disusun berdasarkan tanggal dan jenis suratnya.
Ayse yang memperhatikan gerak-gerik Brigita yang sedang mencari file, kembali melirik jam dinding.
"Nesli belum datang juga. Dia bilang akan datang untuk memasak bersamaku." Ayse berdiri dengan sedikit sulit.
Brigita mendorong pintu kabinet setelah tidak menemukan dokumen yang ia cari. Ayse berdiri di depan lemari kayu tua berisi buku manajemen, bisnis, dan akuntansi. Jarinya menyentuh lemari tua yang besar itu. Brigita kembali duduk di kursi.
"Ah, teyze Nesli. Sudah lama tidak bertemu dengannya. Aku jadi rindu kue buatannya yang enak itu." Brigita tersenyum-senyum.
"Dia juga sudah lama tidak kemari sejak suaminya meninggal."
Ia ternganga sesaat dengan kening berkerut, sebelum mengambil pensil dari keranjang pensil di sudut kanan meja. "Selama itukah?"
"Benar. Entah alasan apa yang mendasarinya. Beberapa kali Teyze menghubunginya, tapi dia seperti menghindar. Semoga saja hari ini benar-benar memenuhi janji."