Ayse pergi meninggalkan Brigita yang terdiam memandangnya keluar ruangan. Perempuan tua yang anggun itu sebetulnya bingung menentukan sikap. Yang dikatakan Brigita adalah benar, tapi Ayse tidak ingin Brigita gegabah mengambil tindakan. Ia masih menunggu tindakan apa yang akan diambil oleh suaminya. Ayse bimbang di antara pernyataan suami dan keponakannya itu.
"Ah, Teyze, mungkin kita bisa memintanya bekerja di sini. Dia juga pasti akan senang karena mempunyai teman untuk berbagi cerita."
Brigita muncul tiba-tiba di belakang dengan sebuah buku yang terbuka di tangan. Ia tampak serius mempelajari Akuntansi untuk bergabung ke pabrik. Meskipun dirinya sendiri belum membuat satu keputusan mengenai karir yang akan dijalani.
Ayse menoleh. Ia hanya melihat Brigita yang mengenakan gamis abstrak biru tua dan muda itu –tanpa menyahut. Di depan figura yang tergantung di dinding ruang tengah, Ayse menatap satu per satu foto-foto tersebut.
Perempuan muda itu berdiri di samping Ayse, mengikuti arah pandang mata bibinya yang tengah menatap foto seorang lelaki kecil berusia tiga tahun yang sedang tertawa. Perlahan-lahan kepala Brigita menoleh, saat merasa pandangan mata Ayse tak kunjung berpindah.
Buku di tangannya sudah tertutup. Ia memeluk buku itu di perut, dan tangan satunya mengusap bahu Ayse. Brigita lantas berpindah posisi memeluk Ayse dari samping. Sangat erat.
Dua bulir air mata perempuan tua itu jatuh ke sudut bibirnya. Buku tebal itu tercampak ke lantai saat Brigita semakin mengeratkan pelukan. Kepalanya ia jatuhkan di bahu bibinya itu.
"Andai dia masih ada, maka dia yang akan menjadi temanmu bermain dan bertengkar, menjagamu dan juga Alif."
Seketika kepala Brigita terangkat, menatap bingung pada Ayse yang mengusap air mata di pipinya. Perempuan itu tidak menyangka bahwa Ayse akan menjadi sosok melankolis hari ini di hadapannya.
"Teyze...."
Mata Brigita terus bergerak-gerak memperhatikan wajah tua Ayse yang terlihat keriput di beberapa bagian.
"Apa Teyze juga sepertiku?"
Ayse menoleh. Mata merahnya memandang raut wajah Brigita yang penuh tanya.
"Seperti apa maksudmu?" Suara Ayse serak dan pelan.
"Yang selalu merindukan anne."
Ayse diam sejenak sebelum menarik napas dalam-dalam. Kepalanya kembali lurus ke depan. Wanita tua itu tidak cukup kuat untuk bersuara bila topik pembicaraan sudah memasuki ranah kerinduan.
"Tidak ada orang tua yang tidak merindukan anak-anaknya. Mereka segalanya, pelipur lara. Apa pun akan dilakukan meski menyiksa diri sendiri. Karena, anak adalah belahan jiwa orang tua, sumber kekuatan bagi seorang ibu. Sampai kapan pun, mereka tetaplah bayi yang seperti baru saja dilahirkan ...."
Ayse berbalik badan menghadap Brigita. Menatapnya sendu.
"Kau akan tahu bagaimana rasanya setelah kau memiliki anak. Meskipun dia bukan anak kandungmu sendiri."
Ayse membelai pipi Brigita. Senyumnya getir, menguatkan diri agar tidak menangis. Setidaknya tidak lagi jatuh air mata walau setetes. Mengenang anak yang dikandung, dilahirkan, disusul, digendong. Sungguh adalah anugerah terindah dan terbesar bagi para orang tua yang menginginkan buah hati pelengkap hidup mereka.
Namun, kebahagiaan itu harus lenyap dan kenyataan pahit harus diterima, tatkala pelita hati itu harus pulang ke pangkuan Ilahi menemui Sang Pemilik.
Ayse pergi membiarkan Brigita seorang diri dengan kegemingannya. Mata perempuan muda itu teralih tanpa perintah memandang foto-foto lainnya di dinding bercat putih itu. Dari deretan foto yang dibingkai dengan indah, ada fotonya ibunya di sana. Brigita diam berdiri tegak dengan pandangan kosong.
Tidak hati, tidak kepala, sama sekali tidak membantah ucapan Ayse yang sudah ia rekam di memori otaknya. Namun, pergolakan batinnya mulai terjadi perlahan-lahan. Ada yang berbeda pada hatinya. Terasa pelan-pelan perih dan menusuk.
Bagai patung tak bernyawa, ia berdiri tegak di sana sudah tiga puluh menit lamanya. Seolah lupa akan tujuan awalnya keluar ruangan untuk belajar, Brigita tersadar dari kebisuan saat gendang telinganya mendengar suara klakson mobil.
"Kau sudah pulang, Alif?"
Brigita menyambutnya dengan senyuman saat melihat laki-laki muda itu masuk membawa gulungan kertas rancang bangunan. Memakai kemeja lengan panjang putih salur dengan rompi biru gelap dan celana hitam. Alif persis seperti ayahnya yang menawan dengan pesonanya sendiri. Tas besar hitam ditenteng di tangan kiri.
Ia tampak lelah siang itu. Berniat langsung ke kamar untuk istirahat sebentar sebelum makan siang, namun langkahnya terhenti saat suara Brigita menyambangi telinganya.
Alif menoleh, memandangi Brigita yang menyanggul rambutnya dengan rapi. Sedikit berserak di bagian anak rambut. Alif sesaat seperti berpikir melihat kakaknya mendekat.
"Abla, aku lelah. Bisa tolong pijat punggungku?"
Pertanyaan yang Alif sendiri sudah tahu jawabannya. Brigita tidak pernah menolak setiap kali Alif meminta untuk dipijat. Namun, kali ini permintaan adiknya itu membuat alisnya mengerut. Tidak biasanya Alif meminta di waktu siang seperti ini –pikirnya.
Tanpa menunggu jawaban Brigita, Alif menanjaki anak tangga ke kamar. Meninggalkan Brigita dengan pertanyaannya yang masih tersemat di dalam kepala tanpa jawaban.
"Abla, cepatlah. Badanku benar-benar sakit."
Suaranya lantang berdelan dari ujung tangga lantai dua. Alif menaruh kasar benda-benda itu di atas meja kerja. Melepas rompi dan kemeja yang berharum wood lembut dari parfum kesayangannya, Alif mencampaknya ke atas kursi, serta tali pinggangnya yang berwarna hitam.
Ia membuka lemari mengambil celana ganti saat pintu kamarnya terbuka. Brigita muncul membawa minyak gosok dalam botol kecil di tangan. Alif menarik satu celana dari lipatan celana-celananya yang tersusun rapi. Ia sosok yang membersihkan kamarnya sendiri dan menyusun barang-barangnya dengan rapi.
Pemuda itu menutup lemari dan segera ke kamar mandi. Brigita menyambar remote AC mengatur suhu udara secukupnya. Ia duduk di kursi dimana baju Alif tersampir–membenahi baju itu.
"Tidak biasanya kau pulang seperti ini, Alif."
Rasa penasaran Brigita akhirnya terlontar, saat Alif keluar dari kamar mandi tanpa menenteng celana hitamnya. Ia menghempas tubuh ke kasur, mencari posisi nyaman dengan tengkurap.
"Badanku sakit sekali, Abla," panggl Alif dengan suaranya mengalun manja.
Alif menepuk-nepuk punggung atasnya, sebelum menyesuaikan posisi kepala pada bantal yang dipeluknya. Bahunya sudah sejak tadi terasa kaku dan kini mulai menjalar ke kepala yang mulai terasa berat.
"Abla ...."
Brigita beranjak mendekat ke kasur ketika mendengar suara adiknya semakin manja. Naik ke ranjang mengoles minyak ke bagian bahu sebagai permulaan, lantas ke tengkuk leher. Brigita Mulai memijatnya dengan tekanan yang cukup kuat, setelah Alif menggeser kedua tangannya dari bantal ke posisi rileks.
Senyap keduanya membuat detik jarum jam di meja Alif terasa sangat keras terdengar di telinga. Dirasa cukup, ia lanjut ke punggung Alif yang keras dan mulus.
Brigita memiliki tangan 'pemijat' yang membuat Alif selalu berakhir dengan dengkuran halus. Menit berikutnya, pemuda itu tidak lagi sadarkan diri.