Hampir Menabrak

1328 Kata
Ckit. Mobil yang di kendarai Pak Willy langsung mendadak mengerem. Wajah pria itu terlihat memucat, mungkin dia merasa terkejut juga karena akan menabrak seorang nenek-nenek yang akan menyebrang jalan. "Pak!" ucapku sambil menolehkan mata menatap ke arahnya. "Hampir saja, Al." Pak Willy berucap menyerupai gumaman. "Kita lihat Neneknya. Takutnya dia kenapa-napa," usulku sambil membuka pintu mobilnya. Bosku itu tidak menjawab, dia hanya menganggukan kepalanya saja. Namun tak urung dia ikuti langkah kakiku untuk melihat keadaan nenek-nenek yang hampir tertabrak tadi. "Nek, apakah Nenek tidak apa-apa?" tanyaku sambil mendekat kearahnya. Kupegang tangan kurus wanita sepuh itu yang tengah duduk di pinggir trotoar. Dia mengelus-elus dadanya sendiri, seakan masih syok akibat akan tertabrak mobil Pak Willy tadi. "Maafkan saya, Bu. Tadi hampir saja menabrak Anda. Saya tidak melihat Ibu akan menyebrang jalan," ucap Pak Willy sambil berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan nenek itu. "Tidak apa, Nak. Lagi pula salah saya juga. Tadi saya tidak melihat-lihat dulu, malah asal nyebrang." "Apakah ada yang luka, Bu? Mengingat tadi saya lihat Ibunya terjatuh." "Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Saya baik-baik saja. Silakan kalian lanjutkan perjalanan kalian. Maaf saya telah membuat perjalanan kalian terganggu. Kalian memang pasangan yang sangat cocok, semoga kalian secepatnya mendapatkan momongan." Aku bersama Pak Willy saling pandang. Menurutku omongan nenek-nenek ini aneh. Masa iya aku di doakan cepat punya momongan. Padahal kami bukanlah pasangan suami istri. "Maaf, Nenk. Kami bukan pasangan suami istri. Kami ini hanyalah atasan sama bawahan saja," jawab ku jujur. Si nenek seperti kaget. Gegas dia meminta maaf pada aku juga Pak Willy. "Oh, maaf. Ternyata saya salah mengira. Kalian itu pasangan serasi, jadinya saya doakan. Kalau begitu semoga saja kalian berjodoh." "Eh, Nek. Ti—" aku menggantung kalimatku karena Pak Willy telah memotong ucapanku itu. "Terima kasih doanya, Bu. Semoga saja kami berjodoh," ucap pria yang ada di sampingku sambil tersenyum tipis. "Pak!" protesku sedikit meninggikan suara. Pak Willy tersenyum manis padaku sambil memberikan isyarat untuk diam. Akupun tak membantahnya lagi. Kubiarkan saja dia mengajak ngobrol neneknya. "Ibu mau kemana? Biar saya antar," kudengar Pak Willy menawarkan bantuan. Nenek itu menggelengkan kepala. Dia menolak tawaran Pak Willy. "Tidak usah, Nak. Saya hanya mau nyebrang pulang ke rumah. Kebetulan rumah saya di sebrang jalan itu," tunjuk si nenek dengan ibu jarinya. Sopan sekali nenek itu. Aku hanya memperhatikan interaksi keduanya tanpa mau ikut menimbrung pembicaraan mereka lagi. "Oma!" teriak seseorang dari sebrang jalan. Seorang gadis cantik dengan tubuh tinggi semampai menyebrang dengan tergesa. Dari raut wajahnya tergambar kepanikan. Kedua tangannya merentang menyetop kendaraan yang tengah lalu lalang, agar memberikan jalan bagi dirinya untuk menyebrang. Sampai di hadapan kami, gadis itu langsung jongkok memeriksa tubuh si nenek. "Oma, tidak apa-apa? Kenapa nggak bilang kalau mau kesini? Andai tadi bilang aku akan menjemput Oma," ucapnya dengan nada penuh kekhawatiran. Pak Willy yang tengah berjongkok juga, langsung menolehkan wajah pada gadis yang tiba-tiba ada di hadapannya. Dahinya mengernyit dengan bola mata melotot. Dari air mukanya pria itu terlihat kaget. "Ka-kamu–" ucap Pak Willy terbata. Gadis itu pun sama kagetnya, keduanya malah saling tatap dengan mulut menganga. "Will," lirih gadis tersebut. Kedua orang tersebut saling diam. Mereka tak lagi bersuara. Namun jelas dari sorot mata sang gadis mengisyaratkan kerinduan pada Pak Willy. Sedangkan bosku itu melengos membuang pandangan. Entah kenapa aku pun tak tahu penyebabnya. "Kalian sudah saling kenal?" tanya sang nenek memecah lamunan kedua orang tersebut. Tampak keduanya terperanjat. Gadis itu yang menjawab, sedangkan Pak Willy hanya diam saja. "Mmh, iya, Oma. Kami memang saling kenal. Dia Willyam orang yang dulu sering aku bicarakan." "Oh, jadi ini orangnya. Oma selalu menjadi pendengar saat Kanina bercerita tentang kamu, Nak. Tidak menyangka sekarang kita bisa bertemu di sini. Bahkan setahu Oma, dia masih menyimpan rapi photo-photo kalian berdua. Rupanya cucu Oma ini masih menyimpan rasa pada kamu, tapi sayang sekarang kamu sudah ada yang memiliki." "Oma!" tegur Kanina. Gadis itu merasa malu juga tidak enak hati pada Pak Willy. Terbukti dia meliriknya dan langsung menundukan wajah setelah keduanya bertemu tatap. "Oh, ya? Apa kamu belum bisa move on, Anin? Ku kira setelah kejadian itu kamu sudah melupakan aku." Pak Willy berkata dengan begitu sinis. "Will, aku—" Kanina menggantung kalimatnya. Gadis itu kembali menunduk sembari mengusap kasar cairan bening yang menetes di kedua pipinya. Dan semua itu tak luput dari amatan ku. Setelah melihat interaksi keduanya aku bisa menyimpulkan jika mereka ada hubungan sebelumnya. Dengan sedikit ragu, aku minta izin pada mereka untuk kembali masuk ke dalam mobil. Karena aku ingin memberikan keleluasaan pada mereka. "Maaf, Pak, Nek. Aku izin masuk ke mobil duluan. Itu ponselku berdering terus dari tadi." Pak Willy bersama Nenek mengangguk tapi tidak dengan wanita itu, dia menatap tajam kearahku seakan ingin menguliti tubuh ku dengan tatapannya. Aku tak mau ambil pusing. Terserah dia mau bersikap bagaimana juga. Toh aku tidak mengenalnya dan juga tidak mau ikut campur urusan mereka. Aku berjalan menuju mobil yang memang pintunya masih terbuka. Suara panggilan dari ponselku terus berdering. Sayup-sayup aku mendengar wanita itu mengajak ngobrol kembali Pak Willy. "Siapa dia, Will? Apa dia kekasih baru kamu?" tanya wanita tersebut yang masih bisa aku dengar. Namun aku tidak lagi mendengar jawaban dari Pak Willy. Aku langsung mengambil ponselku yang terus berbunyi. Kuhembuskan napas kasar setelah aku melihat siapa orang yang tengah menghubungi ku itu. Rasanya malas aku untuk menerima panggilan itu, tapi aku juga tidak mau terus-terusan terusik karena mendengar suaranya yang terus berdering. Terpaksa aku pun menerima telpon masuk tersebut. "Halo!" sapa ku datar. "Assalammualaikum, Alia. Maaf Tante ganggu waktunya kamu." Terdengar suara lembut menyapa indra pendengaranku dari ujung telpon. Deg. Jantung ku terasa mau lompat dari tempatnya setelah mendengar salam dari wanita yang menyebutkan dia Tante. Aku kira Aldo yang menghubungiku ternyata mamanya. "Wa'alaikumsalam, maaf Tante. Saya kira tadi siapa. Saya asal terima aja telpon yang masuk tanpa melihat siapa yang menghubungi," bohongku membalas ucapannya dari telpon. Aku tidak mungkin berkata jujur kalau aku enggan menerima telpon dari Aldo. Makanya aku sapa dia dengan nada datar. "Oh, tidak apa, Al. Tante hanya ingin menanyakan kebenaran cerita dari Aldo. Apa betul kamu itu sedang menuju Bandung? Aldo bilang kamu tidak bisa datang ke rumah Tante, karena kamunya tengah ke Bandung." Sejenak aku terdiam mencerna ucapan dari mamanya Aldo. Sekarang aku mengerti mungkin Aldo datang sepagi itu ke rumah karena di suruh mamanya. "I-iya, Tante. Saya sedang ada acara dari tempat saya bekerja yang kebetulan diadakannya di Bandung. Maaf tadi Mas Aldo datang ke rumah tidak bilang apa-apa, jadi saya tidak tahu tujuan dia mau apa." "Hah," terdengar mamanya Aldo menghembuskan napas kasar. Sepertinya wanita itu tengah memendam rasa kecewa. "Tidak apa, Al. Aldo memang orangnya seperti itu. Mungkin dia mengurungkan niatnya untuk memberitahukan kamu untuk datang kerumah Tante." "Oh, tapi maaf banget ini ya, Tante. Sebenarnya saya di suruh kerumah Tante itu untuk apa, ya? Saya kok merasa aneh saja," ucapku karena merasa penasaran. Aku ingin menanyakan langsung pada orangnya. Siapa tahu jika bertanya secara langsung begitu, mamanya Aldo mau berterus terang. "Mmh, nggak Tante hanya ingin ngobrol aja sama kamu, Al. Ada banyak hal yang ingin Tante utarakan juga tanyakan. Kalau melalui telpon seperti ini rasanya ada yang kurang. Untuk itu setelah kamu pulang nanti dari Bandung, Tante mohon kamu mau ya datang ke rumah Tante." Mendengar mamanya Aldo yang memelas seperti itu, aku jadi merasa tak enak hati. Meski dalam hati enggan untuk datang ke sana, tapi bibirku berkata lain. Aku mengiyakan apa yang mamanya Aldo ucapkan. "Baik, Tante akan saya usahakan untuk datang ke sana." "Terimakasih, Alia. Kamu berapa hari acara di Bandungnya? Nanti kalau kamunya sudah pulang, biar Aldo yang jemput kamu ke rumah. Kamu jangan datang sendiri, ya." Terdengar suara kelegaan dari nada ucapan mamanya Aldo. Mungkin hati dia udah merasa plong karena telah bicara dengan aku. "Sama-sama, Tante. Palingan dua hari saja. Baik saya akan tunggu Mas Aldo untuk menjemput saya." "Ok, sekali lagi terimakasih. Tante tutup dulu telponnya. Selamat bersenang-senang, ya." "Iya, Tante. Terimakasih juga," jawabku mengakhiri percakapan telpon kami. "Sudah selesai?" Aku terlonjak saking kagetnya tiba-tiba ada suara mengejutkanku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN