Izin Pamit

1408 Kata
"Sudah siang, sebaiknya kita berangkat sekarang. Apa kamu sudah siap, Al?" terdengar suara Pak Willy kembali mengajukan tanya. "Huft," kuhembuskan kembali napas gusar. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku tidak ingin pergi ke Bandung terlebih kami hanya berdua saja dalam satu mobil. Namun untuk mengurungkan niat, itu tidaklah mungkin. Aku harus menghargai juga bosku itu, yang sudah datang menjemput. "Iya, Pak. Kita berangkat saja sekarang. Mungpung masih pagi juga. Sebentar aku pamit sama Ibu juga Bapak dulu," ucapku sembari melangkahkan kaki pergi menuju ruang tengah, dimana kedua orangtuaku tengah mengobrol di sana. "Saya juga ikut, Al. Sekalian mau pamit juga. Rasanya tidak sopan jika saya tidak ikut berpamitan dengan kamu," jawab Pak Willy ingin ikut juga berpamitan denganku. Aku tak mau berdebat. Kubiarkan saja dia ikut berpamitan denganku. Sudah banyak beban pikiran yang aku punya, untuk itu aku tak mau menambahnya lagi dengan berdebat bersama bosku itu. Sampai di ruang tengah dimana kedua orangtuaku tengah bersantai, aku segera menghampiri mereka. "Bu, Pak. Alia berangkat sekarang," pamitku lesu. Bapak bersama Ibu terlihat mengernyitkan kening. Mungkin di benak mereka bercokol beribu tanya tentang aku yang terlihat tidak bersemangat. Namun tampaknya mereka enggan untuk bertanya kepadaku langsung, sebab ada Pak Willy bersama kami. "Ya, Al. Hati-hati di jalan. Kamu udah sarapan belum? Kalau belum sebaiknya sarapan dulu, barengan gih sama Nak Willy juga. Kebetulan Ibu sudah siapkan tuh buat sarapannya," ucap ibu kembali sambil menyentuh lenganku lembut. "Alia, tidak mau makan nasi dulu, Bu. Mmh, tapi mau menggantinya sama makan roti aja buat ganjal perut." "Ya, sudah terserah kamu saja. Nak Willy, sarapan aja dulu bareng, Alia. Ibu sudah siapkan di meja makan," tawar ibuku itu. "Terima kasih, Bu. Saya sudah sarapan roti tadi di rumah. Biarlah Alia sendiri yang sarapannya. "Oh, ya sudah kalau Nak Willy tidak mau, Ibu tidak bisa memaksa. Kamu cepat sarapan sana, Al." "Iya, Bu." Tanpa banyak bicara aku pergi berlalu menuju meja makan. Meninggalkan Pak Willy yang tengah mengobrol bersama kedua orangtuaku. Tak berselang aku kembali lagi ke ruangan tengah dimana orangtua ku bersama Pak Willy masih betah ngobrol di sana. "Aku udah beres sarapannya," ucapku memberitahu dengan posisi berdiri dekat kursi yang di duduki ibu. Ketiga orang tersebut langsung menoleh kearah ku. Mereka serempak menatap aku dengan ekspresi heran. "Kamu udah sarapannya, Al? Ya, udah tinggal berangkat saja. Ngapain masih berdiri di sini?" tanya Ibu yang membuat aku sedikit kesal, karena seakan di usir dari rumah orangtuaku ini. "Aku nunggu Pak Willynya, Bu. Masa iya, aku berangkat sendirian," protesku pada wanita yang telah melahirkan ku itu. "Oh, Ibu lupa. Maaf," ucapnya sambil terkekeh kecil. Pak Willy seperti paham dengan situasi saat ini, meski dia masih betah ngobrol bersama Bapak, tapi pria itu langsung berdiri dan mengajakku untuk berangkat. "Kamu sudah siap, Al? Ayo, kita berangkat sekarang." "Iya, sudah, Pak." "Bu, Pak. Alia berangkat sekarang. Doain Alia selamat sampai pulang lagi ke sini," pamitku sambil mencium punggung tangan Ibu sama Bapak bergantian. Begitu juga dengan Pak Willy, dia sama mengikuti aku bersalaman juga menciumi punggung tangan kedua orangtua ku itu. "Willy sama Alia pamit pergi. Kami meminta doanya agar selamat sampai tujuan," ucap Pak Willy sambil tersenyum hingga menampilkan lesung pipitnya. Sungguh manis sekali bosku ini. Aku tidak ingin terlena dalam pesona bosku itu. Harus aku akui dia memang ganteng dan juga baik banget orangnya. Hingga aku pernah kepikiran untuk melamar menjadi kekasihnya, saat pikiranku buntu tidak bisa menemukan solusi yang tepat ketika di bully Ratu Julud bersama gengnya, untuk segera menikah kembali. Bagi Ratu julid and the gang statusku yang seorang janda, tentunya menjadi momok yang sangat menakutkan. Mereka takut suaminya di ambil aku, padahal amit-amit mana aku mau sama bapak-bapak yang seumuran bapakku. Masih banyak cowok ganteng di dunia ini, termasuk bosku itu. "Ayo, Al. Kenapa malah melamun? Kita berangkat sekarang," ajak Pak Willy kembali. Aku yang memang tengah melamun berjengit kaget mendengar ajakan dari Pak Willy. "Eh, iya, Pak. Maaf, ayo kita berangkat. Bu, Pak, Alia berangkat sekarang," ulangku berpamitan kembali. "Ya, hati-hati. Kabari kami jika sudah sampai. Nak Willy titip putri kami, ya." "Baik, Bu. Tenang saja saya akan menjaga Alia dengan baik. Dan saya pun akan memulangkan dia utuh seperti sebelum berangkat," jawab Pak Willy sambil tersenyum menggoda ku. Aku pura-pura merajuk dan gegas berjalan meninggalkan dia duluan. Pak Willy tampak berjalan cepat mengejar diriku. "Al, tunggu. Alia—!" Pak Willy berteriak. Aku menghentikan langkah kakiku, gegas menolehkan wajah ke belakang menatap bosku itu, yang berjalan tergesa. Napasnya tampak ngos-ngosan karena mengejar aku. "Ada apa sih, Pak? Pake teriak-teriak segala. Aku masih di sini, lho. Bapak itu ada-ada aja," protesku dengan muka di tekuk. "Duh, kamu itu, Al. Ngapain juga pake meninggalkan saya segala?" Kudelikan mataku pada Pak Willy. Aku heran kenapa dia seperti anak kecil yang takut di tinggak emaknya pergi. "Lagian kenapa sih, Pak? Kaya yang aku tinggal kemana aja. Aku kan cuma kedepan sini." "Hmm, ya udah, aku minta maaf. Kita masuk saja kemobil," ucap Pak Willy sambil mengusap wajahnya prustasi menghadapi tingkahku. Kuayunkan kembali langkah kaki ku, tapi tiba-tiba terdengar suara seseorang yang sangat ku hapal memanggil namaku. Kuhembuskan napas kasar, dalam otakku telah di penuhi berbagai pikiran buruk dengan orang tersebut. "Alia! Sombong amat, mentang-mentang kamu punya tamu yang bawa mobil pajero itu. Padahal pacarnya Mira bisa bawa mobil yang harganya lebih mahal lho," ucapnya tiba-tiba sambil mencemooh. Kuputar bola mataku malas. Pagi-pagi aku udah di suguhkan dengan berbagai masalah. Ini ibu-ibu satu lagi, pake keluar kandangnya. Mood ku tambah hancur jadinya. "Eh, Bu Leha. Habis darimana, Bu?" tanyaku seramah mungkin menutupi hatiku yang jengkel. Aku sengaja mengalihkan pembicaraan agar mulut yang selalu nyinyir itu tidak terus menanyaiku. "Mmh, anu tadi saya tidak sengaja lewat depan rumah kamu. Terus melihat mobil pajero itu terparkir di sini. Jadinya saya penasaran tamunya siapa itu? Ternyata tamu kamu, Alia? Hebat juga ya kamu bisa membuktikan ucapanmu itu, punya pacar yang bawa mobil pajero. Namun saya tidak yakin, apa itu beneran pacar kamu atau bukan?" Kupelototkan mata mendengar ocehan Bu Leha. Aku merasa di kuliti oleh Ratu julid. Betapa tidak Bu Leha ngomong demikian di depan bosku ini. "Maaf, Bu. Saya sedang buru-buru mau pergi, ada acara dari tempat kerja saya. Dan ini, Ibu jangan salah paham dia itu bos saya bukan pacar yang seperti Ibu katakan. Permisi Bu, saya duluan." Aku sedang tidak ingin berdebat, sengaja aku berpamitan pada Bu Leha agar mulut dia tidak mengatakan lagi sesuatu yang bikin aku malu. "Eh, tunggu dulu dong, Alia. Buru-buru amat. Beneran Mas ganteng ini bukan pacar kamu? Oalah, kalau begitu kamu itu belum beruntung. Dan kamu masih berhutang membawa pacar ksmu itu. Andaikan anak saya Mira belum punya pacar PNS akan saya jodohkan dengan Masnya ini," ujarnya sambil senyum-senyum ke arah Pak Willy. Pak Willy sampai melongo, menatap ke arahku dengan ekspresi lucu. Rupanya dia merasa heran dengan tingkah random tetanggaku ini. Namun dia lebih memilih diam, tak membalas ucapan Bu Leha. Percaya diri sekali Bu Leha itu. Dia ingin menjodohkan Pak Willy sama Mira anaknya. Sudah tahu Mira telah memiliki pacar masih saja mau main menjodohkan. Kemarin-kemarin sangat bangga Mira punya pacar PNS, eh sekarang semangat ingin menjodohkannya dengan bosku. "Mmh, maaf Bu. Kami sepertinya udah kesiangan. Sekali lagi kami pamit," gegas aku masuk ke dalam mobil yang sebelumnya pintunya sudah dibukakan Pak Willy. Pak Willy sendiri mengikuti langkahku masuk kedalam mobil, setelah sebelumnya merengkuhkan badan untuk memberi isyarat berpamitan. Bu Leha tampak ingin memprotes, tapi urung dia lakukan karena Ibuku memanggil namanya untuk di ajak ngobrol. Mobil yang di kemudikan Pak Willy melaju perlahan, sebelum pergi bosku itu membunyikan klakson mobilnya terlebih dulu sebagai tanda pamit kembali. Tampak Ibu melambaikan tangannya memberi salam perpisahan. Sedangkan Bu Leha, dia menatap laju mobil kami dengan ekspresi datar. "Al, itu tetangga kamu unik banget orangnya. Sepertinya dia sangat jujur deh. Terbukti tadi bilang katanya kamu mengaku punya pacar yang punya mobil pajero. Siapa, Al? Saya jadi penasaran," ungkap Pak Willy yang seketika membuat aku menjadi kikuk. "Mmh, udahlah Pak, jangan bahas tentang dia lagi. Bu Leha memang orangnya begitu, suka ingin tahu. Aku sih, suka menganggap omongan dia bagai angin lalu." "Oh, saya kira beneran kamu mengaku punya pacar yang bawa pajero." "Nggak, itu cuma omongan dia aja. Aku nggak punya pacar," bohongku. "Hmm, tapi kenapa pipi kamu memerah, Al?" Aku menolehkan wajah ke Pak Willy. Rupanya dia juga tengah melirik ku. Sepersekian detik pandangan kami bertemu tatap. Aku melengos, membuang pandang dan tak menanggapi omongan dia lagi. Begitu pun dengan Pak Willy dia juga ikut terdiam. Hening. "Awas, Pak?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN