Perjalanan

1333 Kata
"Bapak! Ngapain di situ? Bikin kaget orang aja. Yang Bapak maksud udah selesai itu apa? Aku tidak paham," ujarku dengan masih mengelus-elus dadaku sendiri, karena masih berdebar kencang akibat teguran Pak Willy tadi. Anehnya Pak Willy seolah tidak merasa bersalah. Pria itu tertawa lepas seolah keterkejutanku baginya hanya sebuah lelucon. Dia berjalan mengitari depan mobil dan gegas membuka pintunya, setelahnya pria itu langsung mendaratkan bokongnya di kursi bagian kemudi. "Kita berangkat sekarang, Al. Maaf perjalanan kita terganggu. Tadi saya cuma mau tanya kamu udah selesai telponannya. Maaf juga kalau jadi ngagetin kamu." "Bapak tahu saya telponan? Berarti udah sejak lama Bapak ada di sekitaran saya. Bukannya tadi Bapak masih ngobrol bersama nenek juga cucunya?" tanya Alia penuh keheranan. Sekilas Pak Willy melirik ku, tapi tak lama fokusnya kembali ke jalanan yang terlihat semakin ramai. "Ya, saya sudah lama berada di dekat kamu. Bahkan apa yang kamu bicarakan dengan ibu dari pria itu saya tahu. Kamu dekat banget ya, Al, dengan dia?" tanya Pak Willy datar. Aku tercengang mendengar penuturan Pak Willy. Ternyata dia tahu aku bicara dengan mamanya Aldo. Namun kenapa sikapnya seperti aneh begitu? Apa ada yang salah dengan pembicaraan kami. Terdorong rasa penasaran dalam hati, aku pun memberanikan diri untuk bertanya kembali. "Maaf, Pak. Sepertinya Bapak bete banget hari ini. Apa pembicaraan saya dengan mamanya Aldo mengganggu, Bapak? Jika iya, saya minta maaf," ucapku tulus sambil menundukan wajah. Entah kenapa aku jadi merasa tidak enak hati. Terlebih tadi tidak sempat ngobrol lagi dengan nenek yang hampir tertabrik itu. "Saya tidak apa, Al. Hanya saja saya merasa kamu tinggalkan. Padahal tadi saya mau menjadikan pacar pura-pura." Ucapan Pak Willy menarik atensiku, wajah ku kini mendongak menatap tak percaya pria yang tengah duduk di sampingku ini. "Pak! Kenapa saya mau di jadikan pacar pura-pura? Oh, iya, saya boleh tanya tidak, Pak? Sebenarnya perempuan itu siapa? Dari yang saya lihat, sepertinya kalian sudah saling kenal. Atau dia perempuan dari masa lalu, Bapak?" tanyaku dengan berani. Aku tak memikirkan akibat yang akan terjadi setelah pertanyaan ku lontarkan. Yang ada di otakku hanya rasa penasaran saja. Kulihat Pak Willy menarik napas dalam. Dari air mukanya dapat kusimpulkan jika dia tidak menyukai pertanyaan yang kulontarkan itu. "Kamu cemburu, Al? Jika iya, saya sangat senang sekali. Katakanlah yang jujur," jawabnya lirih. Mulutku sampai menganga mendengar jawaban random si bos. Pertanyaan macam apa itu? Seenaknya nanya cemburu. Ngapain juga aku harus cemburu? Tidak ada kamus dalam hidup seorang Alia harus cemburu pada orang yang bukan siapa-siapa. "Cemburu—! Saya?" tanyaku menunjuk d**a sendiri. Pak Willy menoleh sekilas. Lalu fokusnya kembali lurus ke jalanan. Aneh sekali ekspresi yang di tunjukan pria itu. Entah kenapa aku pun jadi di buat bingung atas sikap tak biasa dia. "Kenapa seperti kaget begitu, Alia? Apa saya salah bertanya begitu setelah apa yang tadi kamu pertanyakan? Bukannya bagus jika saya menanyakan tentang hal itu? Berarti saya pria yang peka. Saya ingin tanya sekali lagi. Apa kamu merasa cemburu pada Kanina? Tolong jujur!" ujarnya penuh penekanan. Lagi-lagi aku di buat tercengang mendapatkan pertanyaan yang sama dari Pak Willy. Kenapa bos ku itu selalu menanyakan aku cemburu pada wanita tadi? Padahal sama sekali aku tidak merasa cemburu atau apapun yang bersifat jelek pada dia. Namun kenapa Pak Willy selalu bertanya demikian. Kuhembuskan napas gusar. Rasanya aku ingin membuang semua rasa yang membelenggu dalam jiwaku itu. Perlahan aku pun bisa menguasai rasa tak enak yang menjalar di hati. "Maaf, Pak. Saya harus berkata jujur. Sebenarnya saya tidak merasa cemburu, terlebih kita tidak memiliki hubungan apapun. Jadi tidak ada alasan untuk saya cemburu ataupun merasa kesal pada Bapak juga si Mbaknya." Wajah Pak Willy tampak kaget. Kembali dia menoleh ke arah ku. Matanya memicing dengan alis saling bertaut. "Jadi kamu tidak cemburu, Al? Saya kira kamu tadi cemburu tidak mau berlama-lama dengan saya juga si nenek. Makanya saya suruh mereka cepat pergi. Ternyata perkiraan saya salah, ya?" tanya terdengar lesu. "Iya, Pak. Maaf, Pak. Bapak belum jawab pertanyaan saya yang tadi." "Pertanyaan yang mana, Al? Saya lupa," ucapnya sambil nyengir. "Itu, Pak. Si Mbak yang cantik itu, apa Bapak mengenalnya? Rasanya saya penasaran banget sepertinya diantara kalian sudah saling mengenal." Pak Willy kembali menolehkan wajah. Pria itu menarik napas dalam. Sepertinya dia sangat keberatan untuk membahas wanita cantik yang tadi itu. "Alia, jujur saya harus katakan. Sebenarnya dia memang benar wanita yang pernah singgah di masa lalu saya. Itu sudah sangat lama sekali. Kami menjalin hubungan waktu masih kuliah dulu," jawab Pak Willy dengan suara berat. "Oh, pantesan sesuai yang salah duga. Wah, asik dong, Pak. Sekarang kalian di pertemukan kembali, bisa-bisa jadi mengulang masa lalu lagi. Hihihi," goda Alia sambil cekikikan. Bukannya senang aku menggoda dirinya. Pak Willy malah terlihat kesal, wajahnya memberenggut sambil sekilas melirikku tajam. Semakin ingin aku terus menggodanya. "Pak, kenapa kesal begitu? Bukannya harusnya tuh senang. Dan aku yakin Bapak sama si Mbaknya udah lama berpisah 'kan?" "Cukup, Al. Saya tidak suka kamu menggoda saya terus. Saya dengan Kanina sudah menjadi masa lalu. Jadi tidak usah bahas tentang itu lagi. Sekarang yang saya ingin fokus menyambut masa depan. Yang sudah berlalu biarlah menjadi cerita dan kenangan," ucap Pak Willy datar. Aku kaget mendengar perkataan dia hingga mulutku tak sengaja sampai melongo di buatnya. Namun buru-buru aku kembali ke mode biasa. Aku takut Pak Willy semakin merasa aku ledekin. "Baiklah Pak, saya minta maaf. Ngomong-ngomong si nenek yang tadi bagaimana keadaannya? Maaf tadi saya tidak sempat meminta maaf dulu pada dia." "Oma Salma tidak apa-apa. Beliau hanya kaget saja. Anin pun meminta maaf karena kelalaian dia tidak segera menjemput, Omanya akan kecelakaan. Dia juga titip salam buat kamu, Al. Dia bilang kita pasangan sangat cocok," lirih Pak Willy. "Hah? Apa? Tidak, tidak. Kenapa Mbak Kanina berpikiran kita itu pasangan? Padahal kita kan atasan sama bawahan. Kenapa Bapak tidak berkata jujur? Kasihan dia," jawabku dengan membuang muka. Aku merasa kesal juga Pak Willy malah memilih diam. Dan aku tidak suka jika Mbak Kanina beranggapan, aku itu penghalang bagi cinta dia yang mungkin ingin merebut kembali cintanya Pak Willy. "Maksud perkataan kamu apa, Al? Kenapa saya harus kasihan pada Anin? Aneh-aneh saja kamu itu." "Ya, mungkin Mbak Kaninanya ingin dekat kembali dengan Bapak, tapi ragu karena adanya saya. Dan Bapak juga masih menyebut nama kecilnya dia, Mbak Kanina juga tadi saya lihat matanya sangat berbinar ketika pertama kali melihat, Bapak. Dari sana sudah jelas bahwa diantara kalian berdua masih saling ada rasa." Aku berkata sambil mengulum senyum, terlebih melihat wajah Pak Willy yang tiba-tiba menjadi merona. "Saya sudah menjadi kebiasaan memanggil dia dengan nama kecil. Karena untuk merubahnya susah, sudah terlanjur melekat di lidah. Kamu tidak suka saya memanggil dia begitu, Al? Jika iya, pelan-pelan akan saya rubah." "Eh, siapa yang tidak suka? Saya sih terserah Bapak saja mau manggil orang apa saja. Apa urusannya dengan saya? Sudah saya tegaskan, saya tidak ada hak untuk melarang atau menganjurkan Bapak panggil orang dengan sebutan apa. Jadi Bapak tidak usah merasa tidak enak hati. Karena hati saya baik-baik saja," ungkapku seraya tersenyum lebar hingga menampilkan deretan gigi putihku. "Hmm, terserah kamu saja, Al. Saya tidak ingin berdebat lagi dengan kamu. Yang terpenting saat ini saya sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi dengan dia." Kali ini wajah Pak Willy terlihat benar-benar kesal. Dia menekuk wajahnya sedemikian rupa hingga membuat aku ingin ngakak. Apalagi bibirnya yang manyun bikin aku ingin mencomot saja. Namun aku tidak ingin menambah dia kesal. Aku tidak lagi mengajak dia bicara. Dan obrolan kami benar-benar terhenti sampai di sana. Butuh sekitaran kurang lebih tiga jaman, akhirnya kami sampai juga di lokasi acara. Pinggangku sudah terasa pegal, kurenggangkan sebentar sebelum aku memutuskan keluar mobil. Entah hati dia yang sedang tidak baik-baik saja, Pak Willy sama sekali tidak berhenti dulu walaupun sekedar istirahat. Pernah terlintas di benakku pertanyaan, kenapa ini orang tidak mau istirahat barang sebentar juga? Namun lagi-lagi aku tak berani, melihat dia yang menekuk wajah saja nyaliku menciut. Tidak ada Pak Willy yang selama ini ramah, auranya menggelap. Benar-benar ngeri aku di buatnya. "Kamu mau tetap di dalam mobil, Alia?" tanyanya mengagetkan ku yang tengah melamun.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN