Angin sejuk berembus pelan, menggerai rambut para siswi yang sedang berjalan di sana.
Keluar dari pintu utama taman. Celine kembali dibuat kagum oleh keberadaan jalur pejalan kaki memanjang menuju jalan beraspal. Lantainya terbuat dari batu marmer mengkilap.
Mereka semua mendaki tangga panjang menuju puncak bukit.
Gedung sekolah berada di atas sana. Tak ada lift atau eskalator, jalan beraspal yang bisa dilalui kendaraan hanya diperuntukkan khusus untuk keperluan logistik saja. Jadi siswa siswinya harus berjalan kaki mendaki bukit untuk menuju kelas. Arby menjelaskan; Hal itu dibuat sedemikian rupa agar mereka terjaga kebugaran tubuhnya, dilatih secara tak langsung, dengan naik turun tangga sepanjang 50 meter setiap hari.
Lengan Orchid tiada henti menyentuh bunga-bunga memekar di balik pagar pembatas. Suasana memang terasa menyejukkan. Terlebih lagi dengan keberadaan danau biru di pinggir taman.
Beberapa murid asyik bersenda gurau di sebuah kafetaria. Ada yang bermesraan di bangku taman. Ada pula yang merebahkan diri atau sekedar menikmati bekal makan siang. Mereka tampak asyik dengan kegiatan masing-masing. Tempat ini terasa seperti tempat rekreasi dibanding taman sekolah.
Namun aktivitas para murid itu langsung terhenti. Tersadar akan keberadaan Maria. Dengan kompak mereka berdiri membentuk barisan, lalu kompak mengucap salam, “Selamat pagi kak Maria!”
Orchid berbisik pelan di samping Maria, “Kak Maria populer juga yah.”
“Uhm,” ucapnya sedikit malu. Gadis itu tanpa sadar mengusap tengkuk, menyibak lehernya yang seksi. Gadis itu menoleh lalu menjawab agak canggung, “Pagi semua..”
Maria menjawab singkat tak lebih dari tiga kata. Akan tetapi murid-murid itu bersorak kegirangan seperti habis dicium seorang idola. Dia diperlakukan layaknya selebritas.
Nida dan kawan-kawan bergerak menapaki jalan yang membelah taman. Sementara para murid berjajar di kanan kiri menyapa tiada henti. Mereka hendak menuju gedung sekolah di atas bukit, terlihat megah menjulang tinggi di antara sela daun pepohonan yang menghalangi.
Setelah melewati taman, mereka lalu menaiki tangga lebar— terdiri dari ratusan anak tangga berwarna jingga.
Celine sempat mengeluh, akan tetapi tak ada cara lain untuk tiba di sana.
“Eh, nama sekolah ini apa?” Celine bertanya, seraya melihat-lihat para murid di sekitar.
“St. Mary,” Jawab Maria singkat.
Mereka akhirnya tiba di gedung utama. Terbuat dari logam mengilat memantulkan cahaya matahari, sekilas tampak seperti sebuah cermin raksasa.
Semua orang memasuki bangunan itu, hanya untuk kembali dibuat takjub. Bagian dalam gedung terasa sangat sejuk. Tumbuhan rambat membentang di kanan kiri jalan. Berbagai tumbuhan hias tumbuh di dinding— lengkap dengan aliran air. Lalu atapnya terbuat dari kaca bening tembus pandang, jadi sinar matahari bisa masuk dan menyinari semua tetumbuhan itu dari luar.
“Serasa memasuki hutan dalam ceruk Canyon.” Itu yang ada di benak semua orang.
Jalan itu membentang membelah gedung. Sebelah kiri adalah gedung administrasi, sementara di kanan adalah gedung yang diperuntukkan khusus kegiatan ekstra kurikuler.
Berjalan lurus mengikuti Arby dan Maria, semuanya keluar melewati pintu berukiran kayu. Di sebelah kanan terdapat taman berisi air mancur, lalu di kiri terdapat taman labirin dari tumbuhan merambat. Di hadapan mereka, terbentang tangga lain menuju puncak bukit beratapkan tumbuhan merambat.
Udara terasa sangat sejuk, tiap langkah dalam pendakian tak terasa melelahkan sama sekali.
Selesai menaiki tangga, mereka akhirnya tiba di puncak paling tinggi. Di sana terdapat rumah sederhana dengan kincir angin di bagian atasnya. Hal itu mirip dengan rumah-rumah Eropa di abad pertengahan. Bangunan kecil itu adalah rumah tempat tinggal Maria.
Matahari bersinar terik membakar kulit. Namun tak panas yang ada tak terasa mengganggu. Maria sengaja menghijaukan segala sesuatu di tempat ini. Konsep Go Green seakan mendarah daging di setiap sudut tempat. Rumahnya bahkan dikelilingi tumbuhan merambat, fondasi di teras rumah tak luput dari susunan pot kecil berisi bunga. Lalu dari balik lantai terdapat kolam dengan ikan hias di dalamnya.
“Silakan masuk.” Maria melepas sepatunya, menaiki teras rumah untuk masuk terlebih dahulu.
Semua orang berkumpul di ruang tamu. Mereka duduk di kursi masing-masing. Kecuali Orchid, dia malah asyik melihat-lihat ikan di kolam bawah teras.
....
Beberapa menit kemudian..
“Kulihat kalian tidak memiliki niat buruk. Pengunjung dari dunia lain bukanlah tamu biasa yang bisa kami abaikan begitu saja.” Tyan mengucap prolog, mengawali dialog resmi pertama antar dua kelompok.
“Tapi aku tidak tahu asal usul kalian. Aku sudah mendengar beberapa kali kalau kalian berasal dari dunia lain. Bisa ceritakan lebih detail?” sambung Arby menambahkan.
Yuki hendak menjawab. Namun Celine memotongnya,
“Dulu, di negeri kami muncul sekumpulan Annunaki..” Gadis itu memulai penjelasan. Entah kenapa Nida merasa penjelasan itu mengakar terlalu jauh sampai kepada sejarah benua Lionearth.
”...Orang-orang legendaris itu mengajari para manusia untuk membangun dan menggunakan sihir..”
”..lalu lahirlah Negara Lionearth, beserta tiga kerajaan raksasa lainnya,” Yuki menambahkan.
”..namun semuanya berubah semenjak negara Api menyerang..” Orchid menyambung dengan tangan mengacung.
Plak..!
Celine menampar puncak kepala Orchid dengan majalah tebal yang digulung. Sepupu Nida itu kemudian menoleh kepada Maria dengan senyum dipaksakan.
Orchid tak menjerit, ia terdiam menunduk memegangi kepala. Gulungan majalah tadi sepertinya di isi dengan batu, terbukti dari gumpalan benjol yang muncul sebesar kepalan tangan.
........
Beberapa menit kemudian, Yuki selesai menjelaskan segala yang telah terjadi..
“Jadi begitu.. Di perjalanan, tiba-tiba pesawat kalian disedot oleh sebuah lorong misterius. Setelah itu, kalian tiba di dunia ini.” Tyan mengulang kembali penjelasan Yuki.
“Kami sendiri tak tahu bagaimana caranya untuk kembali ke Exiastgardsun,” tukas Celine menambahkan.
Semua orang kembali terdiam.
“Hey, mungkinkah kalau kalian itu tersedot semacam lorong antar dimensi?” cetus Maria.
“Kami kira juga begitu...” jawab Yuki pelan.
“Kalau begitu masih ada harapan.”
“Apanya?”
“Ada kemungkinan kalian bisa kembali ke dunia tempat kalian berasal.”
“Caranya?” Celine mengangkat wajahnya yang sempat tertunduk, semangatnya bangkit perlahan. Ada harapan bagi mereka untuk kembali ke dunia tempat mereka berasal.
“Kau tahu Segitiga Bermuda?”
Nida meletakkan secangkir teh yang baru diminum, lalu menaikkan salah satu alisnya, “Segitiga apa?” Benaknya malah membayangkan sebuah celana dalam.
“Segitiga Bermuda—, tempat misterius di Planet Bumi. Di sana banyak di laporkan pesawat laut dan pesawat yang hilang misterius. Rumor berkata kalau sebenarnya orang-orang itu masih hidup, tapi berada di tempat dan waktu yang berbeda.”
“Jadi maksudmu.. Di tempat Segitiga Bermuda itu ada lorong penghubung antar dimensi??” ucap Yuki dengan wajah serius, ia semakin tertarik dengan arah pembicaraan ini.
“Jadi kami bisa pulang lewat Segitiga Bermuda?” ucap Celine berusaha meyakinkan.
“Logikanya begitu..” jelas Maria.
“Cihuy! Oke! Kalo gitu tujuan kita selanjutnya adalah Segitiga Bermuda!” seru Orchid bersorak sok mengerti. Padahal sejak tadi ia hanya sibuk melahap camilan di atas meja.
“Tidak semudah itu,” sela Arby.