Catatan No. VI : “Presiden”

988 Kata
“Sepertinya Anda kenal dekat Maria.” Seseorang melempar sarkasme. “Tyan,” ucap Maria semringah. Gadis itu dengan segera memisahkan diri dari Nida, kemudian berlari kecil untuk menghampiri. Sekilas ia terlihat seperti anak perempuan yang berlindung di balik punggung ayahnya. Akan tetapi Nida bersumpah, sedetik tadi ia bisa memergoki ekspresi jijik dari pria bernama Tyan ini. Hubungan mereka kurang bagus atau bagaimana? Tapi melihat respons Maria, sepertinya bukan itu masalahnya. Untuk saat ini Nida tak mau ambil pusing. “Kalian pasti alien yang disebut-sebut berhasil menyelamatkan Maria. Pertama-tama saya ucapkan terima kasih. Berkat kalian, negeri ini terselamatkan dari kehancuran di masa depan.” “Alien?” Sebutan itu terasa kurang sedap di telinga Celine. “Ngomong apa dia?” Nida pun tak kalah dibuat bingung. Dia bicara soal kehancuran di masa depan, seolah Maria adalah sosok penting tak tergantikan. “Memang Maria itu siapa?” tukas Orchid. “Untuk seseorang yang bahkan tidak tahu bahwa Maria adalah seorang Presiden, mungkin itu semacam bukti bahwa kalian memang bukan penduduk planet bumi,” ucap Arby menambahkan. Seterkenal itu kah Maria di dunia ini? “Presiden?” Celine dan Yuki mengucap bersamaan, saling bertukar pandang. Presiden adalah sebutan lain untuk pemegang pucuk pimpinan dari sebuah negara. Sama seperti sistem kerajaan di negerinya, di mana Nida adalah satu-satunya pemegang otoritas tertinggi. Itu berarti, keberadaan Maria adalah satu level dengan Nida. Sontak saja keduanya berubah sikap. “Maafkan kelancangan kami yang mulia.” Celine sedikit menundukkan kepalanya. Kedua lengan gadis itu sedikit mengangkat rok dalam gestur seorang bangsawan hendak memperkenalkan diri, “Nama saya Celine Maximilie, putri dari Adam Maximilion.” Yuki hendak melakukan hal serupa, akan tetapi keburu dicegah oleh Arby. “Mohon maaf, kami tidak melakukan hal semacam itu di sini.” Orchid tertawa mendengar itu. Ia tak mau menjelaskan kenapa. Agak tersinggung Yuki mendengarnya. Ia kembali berdiri tegak. Lengannya ia tempatkan di d**a kiri, seperti seorang pelayan, “Nama saya Yuki.” Tyan sedikit menunjukkan keterkejutan, “Jadi kalian benar-benar bukan dari ‘sini’?” “Kami berasal dari Exiastgardsun!” seru Orchid dari kejauhan. Ia malah sibuk memberi makan burung merpati di dekat air pancuran. “Exiastgardsun?” Arby merasa asing akan nama itu. “Nama dari dunia kami, atau setidaknya bagaimana kami menyebut planet tempat tinggal kami.” Jelas Yuki, “Kami berasumsi ini adalah dunia lain, berbeda dengan semesta tempat kami berasal.” Lengan pria itu kemudian mengarah pada Nida, “Sosok yang ada di hadapan Anda saat ini adalah Raja dari seisi Exiastgardsun, Leonidas Evilian Lionearth.” “Raja?” tukas Arby tak percaya? Berulang kali ia mengerjapkan mata, menatap lekat Nida dari ujung kak sampai ke pucuk kepala. Nida tak banyak  merespons, ia masih saja larut dalam pikirannya. “Apakah...” Tyan sedikit ragu dalam mengucap, “Apakah sihir adalah hal biasa di sana?” Butuh beberapa saat bagi Celine untuk mengerti pertanyaan Tyan. Gadis itu kemudian mengangkat jari telunjuknya. Sebuah guratan simbol tercipta secara horizontal, membentuk lingkaran serta tulisan-tulisan kuno. Sedetik kemudian, bara api tercipta selayaknya kompor menjalankan fungsinya. “Seperti ini?” Yuki kemudian ikut mendemonstrasikan kemampuannya. Ia mengangkat satu jari seperti seorang konduktor musik. Lalu seperti Celine, udara mendadak berubah dingin, untuk kemudian sebuah tugu es setinggi dua meter tercipta dari ketiadaan. Bagi Yuki dan Celine, sihir tingkat rendah seperti itu tak membutuhkan pengucapan mantra. Arby bertopang dagu menyaksikan apa yang Celine perbuat. “Luar biasa. Sepertinya benar mereka bukan mata-mata dari WCS. Para amatir itu tidak akan pernah bisa melakukan ini.” “WCS?” Yuki berusaha memancing. “Word’s Conservative Society— atau apalah itu,” jawab Arby. “Tak banyak orang yang bisa menggunakan kemampuan supranatural di sini. Pun begitu, kemampuan mereka jauh lebih inferior dibanding dengan Maria. Presiden kami adalah satu-satunya yang bisa menggunakan energi ‘sihir’ untuk keperluan praktis— seperti militer, misalnya.” “Itu sebabnya beliau adalah aset tak ternilai bagi bangsa ini.” Mendengar itu, Nida sedikit mendengus tanda tak suka. “Dia bukan alat,” ucapnya memecah suasana. “Betul,” Tyan ternyata tidak berseberangan pendapat. Nida tiba-tiba merasa canggung. “Maria bukanlah alat. Dia adalah harta karun negeri ini. Pemimpin, sekaligus juru selamat bagi kami,” lanjut Tyan. Batin Nida berani bersumpah, keberadaan Maria di sini hanyalah sekadar dimanfaatkan. Pemimpin katanya? Sejauh yang Nida lihat, Maria sama sekali tak menyiratkan aura bijak seorang berwibawa. “Ngomong sama kamu bisa bikin sakit kepala,” ucap Nida seraya memalingkan wajah, menyiratkan rasa enggan untuk melanjutkan pembicaraan. Maria memang berlindung di balik punggung Tyan, akan tetapi sorot matanya senantiasa terkunci pada sang raja Exiastgardsun. “Anuu… mungkin ada baiknya kita berbicara di tempat yang lebih privat. Seperti di rumahku misalnya?” “… Maria benar,” sambung Arby. Dia baru tersadar akan banyaknya penonton di sekitar. Kehadiran mereka seperti berada di atas panggung di tengah pentas saja. “Rumah Maria di mana?” tukas Orchid. Telunjuk Maria kemudian mengarah pada puncak bukit di belakang sekolah. Gedung sekolah itu sendiri berbentuk kubus, memanjang menghadap danau. Orchid gagal menghitung ada berapa banyak jendela di sana. Yang jelas, ia sudah memantapkan diri untuk menghabiskan waktu sehari-hari di bagian atap berisikan kursi berderet rapi. Pemandangan di sana mungkin terlihat bagus, cocok untuk menikmati mentari senja. Perhatian Yuki kemudian teralihkan pada Nida, “Bagaimana?” ucapnya meminta izin. “Atur sesukamu,” jawab Nida memberi lampu hijau. Dipandu Maria, mereka semua kemudian memulai perjalanan mendaki menuju puncak salah satu perbukitan di kaki gunung. Orang-orang berlalu lalang menggunakan seragam berwarna biru, ada yang membawa laptop, tas maupun bekal makan siang. Tempat itu adalah kompleks sekolah di tengah kawasan hutan. “Waaah.. Lebih besar dan megah dari sekolah Villian,” ucap Celine terkesima. “Maria kan presiden, kenapa tinggal di asrama sekolah?” Orchid melempar pertanyaan acak. Maria menoleh, “Tempat ini memang tempat tinggalku.” “Lebih tepatnya.. Maria adalah pemilik dari sekolah ini. Kepala sekolah sekaligus murid karena dia juga masih belajar di sini,” jelas Arby Celine sontak keheranan, “Hah? Emang ada yang kayak gitu ya? Kepala sekolah yang juga murid sekolah itu sendiri?” “Lalu seorang presiden,” cibir Nida menambahkan. “Dunia itu luas, Celine. Siapa tau di luar sana ada sekolah dengan guru berusia 10 tahun. Lalu para muridnya terdiri dari; alien, hantu, pengelana waktu, vampir, maupun ahli kungfu.” Yuki meracau dengan wajah cool, walau omongannya agak ngawur. Hening, tak ada yang merespons sepatah kata pun. Entah bermaksud membuat lelucon atau apa. Yuki masih saja memasang wajah datar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN