Catatan No. V :“Perempuan Dalam Takdir”

1882 Kata
Nida melonjak kaget. Matanya melebar luas. Agak bingung ia melihat tembok serba putih di sekeliling. Tak butuh waktu lama baginya untuk beranjak keluar ruangan. Kedua matanya jeli memperhatikan lorong sepi di kedua sisi. Beberapa orang berjalan dari kejauhan, mereka mengenakan pakaian rapi bak seorang bangsawan, tapi roknya pendek di atas lutut. “Tempat apa ini..?”  Nida menyapu pandangan ke sekeliling, berusaha mengumpulkan informasi. Tempat ini lumayan ramai. Remaja lelaki dan perempuan semuanya mengenakan seragam yang sama. Jangan-jangan ini area sekolah? Keluar dari ruangan lorong, Nida dihadapkan pada sebuah taman. Bangunan tempatnya dirawat tadi bertuliskan, ‘Klinik St. Marry’. “Klinik?” Nida menyelidik kebingungan. Karena di Exiastgardsun, rumah penyembuh terbagi menjadi beberapa jenis, ada yang diobati menggunakan paparan cahaya kristal sihir, lainnya menggunakan teknik regen dari teknologi misterius di kota Mythril. “Tak ada sihir di sini, jadi proses penyembuhan dilakukan lewat teknik medis berbasiskan sains.” Seseorang berucap di penghujung lorong. Nida berbalik ke asal suara, “Yuki?” Senyum kecil mengembang di wajahnya. Di sana juga terdapat Orchid dan Celine berdiri sambil berkacak pinggang. “Di antara kita semua, kamu yang bangunnya paling lama,” ucap Celine memutar-mutar jari, bergaya seperti guru sembari berjalan mendekat. Mereka lalu pindah ke lobi kosong yang agak sepi. “Jadi, gimana caranya kita pulang?” Celine mengucap memulai diskusi. “Kita bahkan tidak tahu posisi sekarang ada di mana,” ujar Yuki menambahkan, “Hp-ku sama sekali tidak merespons. Laptopku juga tak bisa koneksi ke internet. Di sini memang ada jaringan nirkabel, tapi frekuensinya jauh berbeda dengan apa yang ada di Exiastgardsun.  Segala peralatan juga sepertinya memiliki basis teknologi listrik. Aku bahkan harus mengisi ulang daya handphone-ku menggunakan Manna dari sihir sendiri.” Exiastgardsun memiliki teknologi berbasis Manna, segala sesuatu menggunakan Manna sebagai penggerak utama. Manna sendiri adalah energi sihir yang digunakan untuk berbagai keperluan layaknya listrik di kehidupan kita. Tanpa Manna, orang-orang di Exiastgardsun tak akan mampu mengerahkan sihir. Keempatnya tak lagi sehebat ketika di negeri asal mereka. Singkatnya, sihir tak sanggup melawan teknologi persenjataan era modern milik peradaban dunia ini. “Itu berarti apa yang kamu sebutkan waktu di pesawat itu benar?” tanya Nida. “Apanya?” Yuki menoleh. “Kamu bilang ‘mungkin kita sedang berada di lorong penghubung antar dimensi’.. Jika itu benar, berarti sekarang kita sedang berada di dimensi yang lain..?” Terdapat jeda keheningan. Masing-masing berusaha mencerna pernyataan terakhir itu. “Lalu bagaimana caranya kita kembali? Pesawat Excaliber juga entah ada di mana.” Celine bertanya seraya menghela napas. Kepalanya mulai terasa pusing. Tak ada yang bisa menjawab. “Wow! Seperti sedang berada dalam film ya,” cetus Orchid dengan wajah tanpa dosa. Padahal ini semua salah dia, tapi dia malah datang cengengesan seraya membawa setumpuk makanan. Rasanya, detik ini Nida begitu berhasrat untuk mengajar Orchid demi menghentikan tawanya yang mengganggu itu. “Jangan banyak tingkah lah. Kau pikir ini semua gara-gara siapa?” timpal Celine jengah. Tak lupa ia lempar pandangan tak sedap. “Tapi serius... bagaimana cara kita kembali?” sela Yuki. Udara kembali membisu. Tak ada yang bisa menjawab. Mereka bahkan tak tahu ada di mana. Dunia ini tak berbeda jauh dengan Exiastgardsun, hanya saja teknologi di sini sedikit lebih maju, dan orang-orang sepertinya tidak mengenal sihir. “Walau aku tak mengerti pembicaraan kalian, tapi setidaknya tak usah khawatir soal pesawat.” Semua orang menoleh ke arah resepsionis. Seorang pria berdiri di penghujung ruangan, lengkap dengan senyum ramah mengembang di wajah. Sekilas ia terlihat seperti seorang butler. “Kami tak bisa memahami jenis teknologi apa yang kalian gunakan. Untungnya tak ada kerusakan di bagian mesin dan avionik. Jadi sedikit tambalan di sana sini, cukup untuk membuatnya operasional kembali.” Lengannya terangkat untuk membetulkan letak kacamata. Langkah kakinya terayun untuk memperpendek jarak. “Siapa?” tanya Nida. “Ah.. maafkan saya karena tak memperkenalkan diri sebelumnya. Nama saya Arby. Salah satu pelindung dari tuan putri yang telah kalian tolong.” “Tuan putri? Maksudmu Fia?” Seakan diingatkan soal Fia, sorot mata Nida berubah seketika. Berulang kali ia menoleh ke sekeliling, berusaha mencari keberadaan sosok itu dengan wajah berbinar-binar. Agak termenung Arby mendengar Nida memanggil nama Fia, “Anda kenal dengan Maria?” Nida sedikit dibuat bingung, “Maria? Nama dia Fia.” “Nama panjang beliau Fiani Maria Fransiska. Akan tetapi panggilan kesehariannya adalah Maria.” Peduli setan dengan panggilan. Fia mungkin mengubah nama belakangnya. Nida masih saja menyapu pandangan ke sekeliling. Dia terlihat seperti seekor anak anjing dipenuhi semangat. “Jadi dia benar-benar Fia!?” Nida semakin kegirangan. Setelah penantian panjang, berharap dalam keputusasaan, Tuhan akhirnya mengabulkan satu-satunya permohonan selama tiga tahun ini. Fia masih hidup, ia belum meninggal dan sekarang ada di dunia ini. “Nama depan beliau memang Fia,” jawab Arby singkat, heran atas tingkah orang di hadapannya, “Beliau sedang berada di taman.” “Aku pergi dulu..!” Nida sontak berlari tanpa memedulikan yang lain. Wajahnya semakin berseri-seri. “Nida..” Celine berucap pelan, mendapat punya firasat buruk tentang ini. Semua orang terdiam memikirkan hal tersebut. Fia sudah tiada, ia dinyatakan meninggal 3 tahun yang lalu, tidak mungkin dia masih hidup, sosok berambut biru bernama Maria pastilah sekadar mirip saja. .... Nida berlari menyusuri jalan dipenuhi siswa-siswi. Beberapa kendaraan aneh dengan roda berseliweran di sekitarnya. Orang-orang berlalu lalang di samping jalan dengan kesibukan masing-masing. Jalan ini menurun, di belakangnya adalah perbukitan. Lebih jauh lagi, terdapat bari pegunungan menjulang tinggi. Sekilas Nida bisa melihat keberadaan bangunan megah terbuat dari kaca. Tersembunyi dalam rimbun pepohonan serta padang bunga berwarna-warni. Kilauan sinar matahari dari pantulan kaca membuatnya tampil mencolok dari lingkungan sekitar. Pandangan Nida juga sedikit disilaukan oleh pantulan cahaya dari arah barat. Di sana terdapat permukaan air. Sebuah danau terbentang nyaris sepanjang garis cakrawala. Nida menuruni jalan setapak—Langkah kaki menerobos tumbuh-tumbuhan, menginjak rerumputan—menuruni bukit hingga mendekati tepian danau.  Pemuda itu kini dihadapkan pada pagar tanaman menjulang tinggi, pintu masuk taman.   Kakinya menjejak menuju bagian dalam. Puluhan burung merpati terbang berhamburan, terkejut akan kedatangan dia. Lalu di antara beragam kepakkan sayap, tampaklah sosok gadis di depan air pemancuran. Rambut biru itu panjang tergerai. Baju dengan renda kecil menghias indah. Tubuh dia terlihat ramping karena pakaiannya agak mengetat. Anggun memesona, sosok itu berdiri membelakangi Nida. Salah satu merpati tampak bertengger di lengan sikunya. Lekuk punggung, pinggang dan dua kaki jenjang terlihat begitu sempurna. Nida seakan kehabisan napas hanya dengan melihatnya dari jauh saja. Jantungnya berdebar-debar tak terkendali. Ini dia. Gadis itu terperangah, sadar akan keberadaan seseorang di belakang. Segera saja ia menoleh, bibirnya sedikit tertarik menuju tepian, mengukir senyum kecil yang kian mengembang. Batin Nida seakan tersihir. Dia melihat jelas penjelmaan Fia yang selalu hadir dalam ingatannya. Dalam mimpi, hingga sejuta halusinasi. Bagaimana parasnya yang jelita. Hidung berukuran kecil nan mancung. Bibirnya bahkan berwarna merah delima. Tak perlu dijelaskan perawatan macam apa yang dilakukan hingga dia bisa memiliki kulit bersih merona. Semuanya terlihat identik. Dia cantik— luar biasa cantik. Tak ada kata mau pun perumpamaan yang mampu mewakili keindahan ciptaan tuhan yang satu ini. Bagi Nida, waktu terasa berjalan begitu lambat. Otak pria itu merekam jelas bagaimana rambut biru kekasihnya itu terlihat bagai untaian sutera. Tiap helainya memantulkan binar cahaya berkilauan. Sinar matahari berpendar terik dari percikan air di belakangnya. Daun-daun melayang di udara, berbaur dengan rontoknya bulu hitam dari kawanan merpati. Napas Nida mengembus pelan, meluapkan sejuta emosi tatkala menyadari gadis itu melangkahkan kaki, berjalan mendekati. Sempat Nida meragukan indera penglihatannya sendiri.  Jangan-jangan ia kembali berhalusinasi? Sosok itu begitu memesona. Wajar saja, ia telah merebut hati Nida sejak keduanya masih berusia 10 tahun. Degup jantung di d**a terasa riuh bak genderang perang, berdebar kencang tatkala keduanya saling bertukar pandang. Nida kenal sekali dengan senyum itu. Raut wajah cerah milik sang tunangan. Semua orang bilang separuh jiwa Nida telah hilang. Akan tetapi mereka salah, kini Fia berdiri utuh tepat di hadapannya. Nida merasa kembali utuh seperti sediakala. “Halo Nida.” Gadis itu menyapa sembari tersenyum lembut. Nida melonjak seketika, gadis itu memanggil namanya, “Tak salah lagi, dia Fia..!” Andai dia tak bisa menahan diri, dia sudah pasti berlarian ke sana kemari kegirangan layaknya pemain bola yang sukses mencetak gol. Tapi Nida masih bisa mengendalikan diri. Pria itu dengan segera menggenggam erat lengan Fia. Mulutnya mengucap lembut meski hatinya nyaris meledak oleh bahagia, “Fia... akhirnya kita bertemu lagi.” Tanpa terasa, pandangan dia memburam menahan haru berkaca-kaca. Fia tidak merespons. Terdapat semacam jeda tatkala keduanya terdiam satu sama lain. Bibir Maria terbuka perlahan, berniat mengucap namun disertai ragu, “Maaf... Apa sebelumnya dulu kita pernah bertemu..?” Retak Wajah Nida terlihat  membatu, lalu retak seakan dihantam palu. “... eh?” Jawaban Fia seketika mengubah air muka Nida. Pria itu kebingungan. Hanya ada satu kata di benaknya, “Maksudnya?” “Iya, kamu kan bilang.. ‘akhirnya kita bertemu lagi’. Apa dulu kita pernah saling kenal?” Nida tak mengerti, otaknya berputar menganalisis namun gagal mencerna. Tak sanggup ia menerka. Kenapa Fia tak mengenalinya? “Kamu.. Fia, kan?” tanya Nida agak meragukan. “Iya.” “Ini aku! Nida..!” Fia terkejut, matanya agak melebar, bingung atas sikap Nida. “Tunggu Nida! Orang itu bukan tunanganmu.” Celine muncul di pintu gerbang taman. Firasatnya menebak bahwa Nida tak akan bisa berpikir jernih setelah bertemu Fia, “Kau tahu.. Jika benar apa yang dikatakan oleh Yuki, berarti Maria hanyalah duplikat Fia dari dimensi ini. Seperti yang kita tahu ... ada kemungkinan kita akan menemukan sosok yang sama persis dengan orang kita kenal di Exiastgardsun. Ehhm..” Celine bingung menjelaskan, “Intinya dia bukan Fia tunanganmu,” lanjutnya agak berbelit. Nida terdiam, ia bisa menebak arah pembicaraan ini. Yuki muncul dari belakang Celine, ekspresi pemuda itu seperti biasa terlihat datar. Sorot mata miliknya terasa seperti sayatan silet. Ia membuka mulutnya dan mulai menjelaskan, “Dari segi fisik, Maria adalah orang yang sama dengan Fia, baik wajah maupun kepribadiannya. Namun dia bukanlah tunanganmu.. mereka adalah entitas yang berbeda.” Napas Nida terasa sesak. Sementara Orchid dan Arby datang menyusul. “Tidak, dia pasti Fia yang itu. Dia mungkin cuma hilang ingatan.” balas Nida. Pandangannya terarah kepada Fia, berusaha meyakinkan gadis itu. Namun Fia menggelengkan kepala perlahan, “Tidak, tidak...” sanggahnya tegas, “Aku mengingat segala kehidupanku sejak kecil di sini. Kita memang belum pernah bertemu sebelumnya.” Gadis itu meminta maaf, seraya melempar senyum, berusaha menunjukkan ramah-tamah menyakitkan. Tak lupa ia lepas genggaman tangan Nida secara hati-hati, “Lagi pula, tolong panggil aku Maria.” Respons Maria menciptakan semacam jarak tak kasa mata di antara keduanya. Untuk pertama kali dalam hidup Nida, ia merasa begitu asing terhadap seseorang di hadapannya. Wajah sang pewaris takhta itu kian memutih, terlihat pucat pasi menyangkal realitas, “Kau yakin?” sesekali Nida mencuri pandang pada gesper kecil yang melilit tangan kanan Maria. Ia yakin gesper itu adalah benda pemberiannya dulu. Maria entah kenapa melipat lengannya ke belakang punggung, seakan menyembunyikan gesper dari pandangan Nida. Langkah kakinya berjalan mundur, memperlebar jarak di antara keduanya. Raut wajah gadis itu terlihat canggung, “Iya, aku tak pernah mengenalmu.” Batin Nida menciptakan sejuta prasangka. “Ada yang tidak beres,” begitu pikirnya. Celine menatap Nida dipenuhi rasa iba. Ia bersumpah, baru kali ini ia memergoki sorot mata kosong di wajah sepupunya itu. Ekspresi sendu jelas sekali menyiratkan sejuta kekecewaan. Celine paham betul bagaimana perasaan Nida saat ini, karena bagaimana pun, Fia merupakan sahabatnya di Exiastgardsun. Namun Fia sudah lama pergi. Dia meninggal dalam suatu insiden. Sekarang, ada seorang perempuan dengan wajah dan perawakan yang sama muncul di hadapannya. Nama depan mereka juga sama-sama Fia. Mirip seperti proses salin tempel di komputer, dua orang itu nyaris tidak ada bedanya. Siapa pun akan berpikir bahwa mereka adalah orang yang sama. Orang waras bisa saja dibuat gila. Jadi Celine paham, akan betapa frustrasinya Nida saat ini. Di lain pihak, Orchid mulai gusar, “Suasananya canggung banget.” Semua orang terdiam tanpa kata, Nida sendiri terlihat seperti mayat hidup. Pikirannya melanglang buana, kosong meninggalkan raga. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN