Siraman hujan turun membasahi. Gedung-gedung pencakar langit memantulkan kilat petir berulang kali. Riuh genderang perang sirna begitu saja.
Kota tandus ini dikepung hamparan pasir. Sebuah hujan dianggap sebagai anugerah tak terhingga. Tak seorang pun berhasrat untuk meneruskan perang karena larut dalam letupan euforia.
Nida dan kawan-kawan berlindung di dalam rongsokan pesawat.
Bangunan tempat Excaliber tersangkut rusak parah. Dindingnya hancur dipenuhi bekas hantaman artileri.
Di ruang penyembuh, tampak gadis cantik berkulit seputih salju terbaring tak sadarkan diri.
“Dia kan,” Orchid menggigit ujung jempolnya, seakan berpikir keras berusaha memecah kebingungan. Baik Yuki dan Celine kurang lebih bereaksi sama dengan dirinya. Sempat mereka meragukan apa yang tersaji di depan mata. Sosok berambut biru itu memang tampak tak asing.
“Fia...” Nida berucap dengan suara lembut. Tiada henti ia memegangi lengan gadis itu. Tak perlu disebutkan bagaimana carutnya raut wajah sang Raja Exiastgardsun itu.
Tak salah lagi, sosok di hadapannya merupakan Fia.
Nida terlihat seperti pemuka agama yang tiada henti menyebut pujian terhadap tuhan. Hanya saja, mulut itu hanya meracau nama Fia berulang-ulang. Dua matanya mulai tergenang air mata. Tak mau ia melepas tangan sang tunangan tercinta, yang selama ini diratapi tanpa jeda.
Duka atas kehilangan Fia terasa bagai siksa neraka. Tiga tahun tak cukup bagi Nida untuk bisa merelakan kepergiannya.
Siapa sangka, takdir kini telah mempertemukan kembali mereka berdua. Batin Nida penuh dikuasai sukacita.
“Untung lukanya tidak terlalu parah.” Celine berkomentar seraya mengelap bagian tubuh gadis berambut biru di hadapannya. Ia yang dijuluki penyihir putih sibuk tiada henti memancarkan Manna dalam bentuk mantra penyembuh. Kristal di atas ruangan juga berpendar lembut mengeluarkan radiasi misterius untuk regenerasi sel dalam tubuh.
Suasana menjadi hening. Nida enggan mengacuhkan apa pun di sekelilingnya. Perhatian dia hanya tertuju pada Fia.
Yuki hanya terdiam, sementara Orchid menyibukkan diri memanaskan makanan di dapur untuk menenangkan suasana. Sejatinya, semua orang bingung harus berbuat apa. Mereka hanya bisa menunggu sampai sang pimpinan sanggup mengumpulkan ketenangan. Nida harus bisa menguasai diri.
Kemudian, suara ledakan terdengar dari arah luar. Lantai tempat mereka berpijak terentak bersamaan. Gemuruh tercipta dari runtuhnya sebuah bangunan.
Semua orang terperanjat kaget. Awalnya dikira telah terjadi gempa. Tapi gempa macam apa yang disertai ledakan hebat, bara api, dan sumpah serapah?
Tiada cara terbaik untuk memeriksa selain mendatangi langsung menuju sumber suara. Semua orang bergegas menuju kokpit, satu-satunya jalan keluar dari pesawat.
Orchid tiba paling awal, dia langsung memperlambat langkah, “Waduh..”
Yuki, dan Celine menyusul di belakang.
Celine menggaruk-garuk kepalanya kebingungan, “Itu apaan?” tangannya menunjuk pada sebongkah besi yang berjalan merayap. Moncong tembakan menghias di bagian puncaknya.
Jumlahnya ada puluhan, didampingi ratusan prajurit bersenjata lengkap bersiaga di kedua sisi.
“Aku yakin mereka mau merebut Fia kembali.” Orchid menebak yakin seraya mengunyah sepotong roti.
Yuki melangkahkan kaki melewati beberapa puing bangunan. Batinnya bergumam pelan, “Masuk akal..”
Celine mempersiapkan diri atas konflik yang hendak terjadi. Lengannya berputar-putar seakan mengusap dinding tak terlihat. Sedetik kemudian, sebuah tongkat sihir tercipta dari ketiadaan. Ukurannya panjang, mengilat berwarna perak dan dilapisi semacam kabut tipis berwarna putih, persis seperti benda yang membeku. Tak lupa kristal merah muda tampak berpendar indah di ujungnya.
“Nyahaha~ Kayaknya bakalan seru nih,” canda Orchid. Gadis itu mengukir seringai intimidasi.
Mereka melangkahkan kaki bersamaan. Memasuki rintik air hujan, menuju pasukan lengkap dengan tank di hadapan. Pasukan itu menunggu dengan moncong senjata terangkat.
Namun sedetik ketika hendak menyerang. Nida datang melesat dari belakang seolah mencuri start. Gunblade—pedang berukuran besar dengan pelatuk kecil di bagian pangkal—menghunus tajam mengincar kerongkongan musuh.
“Flare.” Nida membisik pelan pada senjatanya. Pedang di tangan mendadak mengeluarkan aura merah menyala.
Sorot mata sang raja Exiastgardsun terlihat angker menatap para makhluk rendahan. Bagaimana pun, mereka tak layak hidup karena berniat mencelakai belahan hatinya. Ia baru saja menemukan sebuah kebahagiaan. Geram memenuhi d**a tatkala menyadari ada pihak luar yang hendak merebutnya.
Ledakan besar tercipta sesaat setelah Nida memasuki arena pertempuran. Tiap tebasan pedang Nida pasti berselimutkan sihir api tingkat tinggi. Alhasil, pria itu sanggup menembus apa pun berkat plasma panas, juga kemerahan di bilah runcingnya.
Celine menghentikan langkahnya, memperhatikan Nida membabat habis para infanteri. Serpihan logam alat pertempuran beterbangan ke sana kemari ditebas Gunblade berdoping sihir.
Namun keasyikan itu harus terhenti. Celine menyadari beberapa benda aneh tengah meluncur mendekat. Objek misterius itu meninggalkan jejak asap di tiap senti udara yang dilewati.
Namanya misil. Sistem pendorong mesin jet membuatnya sanggup melesat cepat, seraya mengikuti target lewat bidikan optik infra merah.
Yuki muncul di samping Celine seraya merapal mantra, “Potestatem purus ventus[1]..”
Pistol sihir muncul di kedua tangan. Keduanya berwujud handgun dengan selongsong tambahan pada ujung barel.
“Seraphin Shoot.” Bersamaan dengan rapalan terakhir, Yuki berulang kali menekan pelatuk disertai bidikan pistol pada target di kejauhan. Rentetan peluru bercahaya terlontar disertai ledakan, melesat menghampiri puluhan misil beterbangan.
Hulu ledak itu hancur berserakan di udara. Bidikan Yuki sukses menghantamkan pelurunya pada puncak tiap misil secara akurat.
Ditengarai kegagalan, pasukan musuh lantas membabi buta menghadiahi kubu Nida dengan hujan tembakan. Deru ledakan mesiu dari senjata api serasa memekakkan telinga.
Kali ini giliran Celine untuk maju. Lengannya anggun memutar tongkat sebatas d**a. Lingkaran sihir dalam ukiran Hexagram[2]—berpendar di bawah kakinya. Angin kecil menggoyang-goyang rambut merah muda gadis itu. Mulutnya merapal mantra dengan suara agak dikeraskan,
“Praesidio..!”
Bangun ruang tak kasat mata terbentuk lewat lingkaran sihir. Membentuk selubung tipis mengelilingi Nida dan Orchid. Ratusan peluru yang hendak menghunjam mendadak terhenti di udara. Semua orang kini dilindungi oleh perisai transparan. Sihir Celine otomatis aktif untuk menangkis peluru kapan pun diperlukan.
“Refledia..!” seru Celine meneriakkan sihir berikutnya. Lengan gadis itu mengayunkan tongkat sihir dalam gerakan searah jarum jam.
Butiran peluru tadi tiba-tiba saja berbalik arah, lalu melesat melubangi kepala penembak masing-masing.
Para prajurit musuh terperanjat melihat apa Celine perbuat. Mungkin pertama kalinya mereka melihat hal seperti itu. Sepertinya sihir merupakan hal asing di dunia ini.
Tak mau berlama-lama, pihak musuh kembali mengerahkan seluruh batalion untuk menumpas para manusia berkemampuan khusus. Mereka muncul dari tiap persimpangan. Posisi Nida terkepung dari segala arah.
Orchid mengambil salah satu perempatan jalan. Wajahnya terlihat bersemangat seraya menerobos barikade hanya berbekal tangan kosong. Pakaian hitam yang Orchid kenakan terlihat longgar, bagian lengan dan kakinya berkibar tiap kali ia bergerak lincah.
Selayaknya bola boling menghantam pin di penghujung arena, gadis itu menghancurkan formasi para tentara hingga beterbangan ke udara. Keberadaannya sendiri seperti sebongkah tank kokoh tak tertandingi. Siapa pun yang ditabrak olehnya pasti terpental tak terkecuali.
Menghadapi Tank tak serta merta membuat Orchid gentar. Lihat saja, dia malah mengukir senyum sinis meremehkan. Kepalan tangannya terayun demi menghajar bagian depan sebuah tank baja.
Suara logam hancur terdengar keras, bersamaan dengan melayangnya peralatan tempur seberat tujuh puluh dua ton di udara.
Tank itu jatuh menimpa sisa-sisa pasukan lainnya, membabat satu kompi penuh dengan bobotnya yang berat.
Riuh semakin menjadi. Beragam caci maki terdengar keras dalam bahasa yang tak bisa dimengerti. Para prajurit itu Frustrasi. Persenjataan modern yang mereka banggakan tak bisa melukai lawan sama sekali.
Orchid mempertontonkan senyum lebar sambil berpose kemenangan mengacungkan dua jari.
Gadis berpakaian serba hitam itu gagal menyadari keberadaan lima buah tank di belakang. Moncongnya siap menembak, sibuk menyesuaikan bidikan menuju gadis aneh berpakaian serba hitam.
Orchid berada dalam bahaya. Bagaimana pun juga, sihir perisai Celine masih memiliki batasan. Proyektil dengan daya ledak tinggi masih bisa memecahkan dinding mistis yang ada.
Oleh karenanya, Celine tidak bisa tinggal diam. Ia tak lagi bersikap defensif di garis belakang. Julukan penyihir putih hanyalah gelar untuk seorang penyembuh. Ia yang sudah menguasai keahlian baru kini merasa percaya diri dengan sihir berjenis serangan.
Gadis itu mengibaskan tongkat sihirnya.
Tiba-tiba saja benda lapis baja itu terbelah dua, meledak diselimuti bara api. Angin berembus kencang dengan asap hitam pekat membubung tinggi. Sapuan angin tadi sukses menyayat permukaan tank bak pisau membelah mentega.
Orchid terlihat cengengesan, kagum pada Celine yang sudah bertumbuh kuat.
Nida, Celine, dan Yuki bertugas sebagai petarung garis terdepan. Mereka dengan cuek beraksi tanpa memedulikan peluru yang berseliweran. Kemampuan kelompok itu jauh di atas manusia normal. Hasil pertempuran pun tampak menjanjikan.
...
Akan tetapi, tidak segalanya bisa berjalan sesuai dengan rencana. Di dunia ini, sihir tak lagi menjadi penentu kemenangan.
Tiga jam berlalu, napas yang memburu disertai bau anyir seolah menjadi latar dari akhir pertarungan yang ada.
Dengan segala kelebihan itu, seharusnya pihak Nida bisa dengan mudah meraih kemenangan.
Sayangnya, alih-alih membantai sekumpulan pasukan lemah yang mudah dikalahkan. Nida dan kawan-kawan malah tergeletak bersimbah darah.
“Kenapa?”
Batin Nida berusaha untuk memahami.
Pria itu berusaha berdiri meski cairan merah terlihat merembes dari baju yang ia kenakan. Kedua kakinya bergetar, sulit menjaga keseimbangan. Pandangan pun sedikit memburam.
Tak sedikit pun ia sangka, orang-orang lemah tanpa kemampuan sihir bisa mengalahkannya. Ia dan para petinggi dari Exiastgardsun yang terkenal sakti mandraguna, ternyata dibuat tak berkutik sama sekali.
Padahal sedari awal tadi, alur pertempuran terasa mudah sekali.
Ratusan prajurit kian berdatangan tiada henti, seakan menghantar nyawa menggantikan mereka yang tewas seraya menjunjung harga diri.
Hujan yang turun sibuk dalam tugasnya membersihkan tumpahan darah. Genangan air terlihat memerah.
Serangan terkoordinasi dari pesawat udara, lengkap dengan misil berpeledak sulit untuk dibendung oleh sihir pertahanan. Ledakan demi ledakan kian melemahkan perisai mistis yang melindungi semua orang.
Dalam beberapa kasus, pelindung itu bahkan pecah oleh sebuah peluru terkonsentrasi dari jarak jauh. Peluru menghantam dalam lesatan melebihi kecepatan suara, energi kinetiknya sulit untuk dibendung sihir biasa.
Pada akhirnya, dalam sebuah doktrin peperangan, sisi kuantitas terbukti lebih ampuh dibanding dengan tingginya kualitas.
Sihir gagal mempertahankan superioritas melawan teknologi.
Leon dan kawan-kawan kehabisan Manna dengan cepat. Udara tempat ini tak menyediakan energi bermuatan substansi sihir layaknya di Exiastgardsun. Akibatnya, Celine gagal meregenerasi keberadaan perisai mistis yang selama ini melindungi semua orang.
Hal itu berujung fatal, dan tentu saja datang dengan alasan bagus. Bagaimana pun juga, tak ada satu pun dari mereka yang memiliki tubuh cukup kuat untuk menahan peluru. Sekekar-kekarnya otot Nida, dia masih terbuat dari darah dan daging. Sebutir logam kecil, berkelana dalam kecepatan 1.000 meter per detik pasti sanggup menembus tubuhnya.
Semuanya telak terkena berondongan tembakan. Tak ayal, nyawa pun berada di ujung tanduk. Tak ada yang sanggup berdiri.
Orchid tak lagi bergerak, Celine terbatuk darah seraya tertelungkup di atas bebatuan, Yuki terduduk lemas tak sadarkan diri. Organ di tubuh mereka dikoyak oleh timah panas, Nida menjerit putus asa dalam keadaan sekarat.
Sampai di sini saja kah perjalanan hidupnya?
Nida menolak.
Dalam keputusasaan itu, ia masih berusaha bangkit. Meski paru-paru terasa sesak dibanjiri darah yang merembes, kakinya kembali berpijak pada tanah. Pegal pada otot tak sedikit pun ia pedulikan.
Lengannya bergetar, pedang di tangan ia jadikan sebagai tumpuan. Pandangan terasa berkunang-kunang.
Dalam kebingungan, Nida merasa melihat sebuah ilusi. Semacam khayalan yang terjadi dalam gerak lambat. Matanya menangkap penampakan gadis berambut biru panjang. Gesper berwarna cokelat berhiaskan Kristal hijau tersemat di lengan kanan.
“—Fia?”
Gadis itu meloncat dari belakangnya, melewati semua orang yang terbaring lemas. Binar hijau sekilas berpendar dari kedua matanya.
Pandangan Nida semakin memburam, ia mulai roboh dipaksa oleh tubuh yang lelah.
Seakan mengamuk, gadis itu tanpa ragu mengerahkan seluruh kemampuan sihirnya.
Jemarinya berpendar mengirimkan tembakan berupa binar cahaya. Jumlahnya ribuan. Tiap proyektil mistis itu menyapu bersih segala ancaman.
Nida masih memaksakan kesadarannya, berusaha untuk bisa menyaksikan apa yang sedang terjadi. Segalanya terlihat miring. Bahunya mulai menubruk bumi, tak sanggup mempertahankan keseimbangan.
Pandangan Nida kian memburam, tak mampu untuk fokus. Telinga pun serasa mendengung kencang.
Sol sepatu terlihat melayang dari belakang.
Beberapa orang melangkahi dirinya, bergegas menghampiri Fia. Di atas sana, terdapat pesawat raksasa melayang di balik gedung. Orang-orang berpakaian setelan hitam itu terlihat khawatir dengan kondisi Fia. Samar Nida bisa mendengar ucapan yang terlontar.
“Kau baik-baik saja?”
Namun Fia tak menjawab. Lengannya menunjuk pada Nida. Sebuah instruksi untuk mengutamakan keselamatan orang lain dari pada dirinya.
Nida bersumpah, ia jelas melihat kedua mata Fia berpendar lembut dengan bias cahaya berwarna hijau.
Batin Nida kini dipenuhi tanda tanya, “Hijau? Bukannya Fia memiliki mata berwarna Biru terang?” Ingin rasanya ia bangkit seraya mencari tahu.
Susah payah Nida berusaha memaksakan kesadaran, akan tetapi tubuhnya tiada henti memprotes dalam bentuk sengatan rasa sakit.
Segalanya mulai terlihat gelap, dirinya kini tergolek tak sadar.
Seluruh dengungan itu mereda, menyisakan seucap pertanyaan dari pria bersetelan hitam di hadapannya,
“—Len?”
[1] Pure Wind Power
[2] Hexagram merupakan bentuk bintang segi enam, atau hasil penggabungan dua segitiga sama sisi. Ukiran ini sering dipergunakan dalam upacara ritual mistik dalam dunia gaib. Simbol ini harus tersedia ketika memanggil setan / entitas gaib selama ritual berlangsung. Kata ‘Hex’ berasal dari lambang ini