Berjam-jam terjebak dalam lorong gelap berisi petir, pesawat Excaliber akhirnya menatap secercah harapan. Mereka berhasil menerobos keluar dari lorong misterius.
Semua orang bersorak kegirangan, merayakan nyawa yang terselamatkan.
Celine menggumam dengan suara bergetar, “Aku kira aku sudah mati..”
“Ehehehe, Celine sekarang sudah ‘besar’ yah.” Orchid cengengesan. Ucapan dia juga tak terdengar jelas. Bagaimana tidak? Seisi wajahnya terbenam dalam dekapan d**a Celine. Gadis itu merangkul apa pun di hadapannya ketika dikuasai panik.
“Ooorchiii…!” sesegera mungkin gadis itu mendorong Orchid.
Sementara itu Nida mencoba bangkit menggunakan kedua kakinya. Ia bisa merasakan kembali gravitasi di tempatnya berdiri, “Ada di mana kita?” ucapnya bingung. Lengannya bergerak memeriksa kokpit, seraya kedua mata mengedar memeriksa semua instrumen. Ragam lampu indikator menyala dan berfungsi normal. Nida gagal mendapati kerusakan apa pun. Excaliber masih melayang stabil di udara.
Sesaat setelah keluar dari lorong misterius, kini mereka memasuki asap pekat berwarna hitam.
“Nyahahaha! Tadi menegangkan sekali ya,” Orchid tertawa terbahak-bahak.
Pada tahap ini, sekelas Yuki pun bahkan sampai memasang wajah jengkel.
Tak lama berselang, Excaliber tiba-tiba saja berguncang hebat. Kedua telinga Nida menangkap suara ledakan dari kejauhan. Awan yang menutupi pemandangan mendadak hilang tersapu gelombang.
Semua orang berkerumun di belakang pilot. Wajah mereka tercengang, menatap pemandangan di penghujung cakrawala.
Binar cahaya memekar luas ke angkasa, membubung tinggi diikuti asap hitam kecokelatan. Sekilas berbentuk seperti jamur berukuran raksasa.
Excaliber bergetar keras. Sebuah dinding tak kasa mata terbuat dari gelombang energi mengempas tiba-tiba. Alarm pesawat kembali menyala. Tak ayal, pesawat itu terlempar jatuh tak berdaya.
Garis cakrawala di luar jendela terlihat berputar-putar tak tentu arah. Semua orang terlempar akibat gaya sentrifugal. Sistem anti gravitasi belum pulih seutuhnya.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!”
Jeritan histeris kembali membahana, seiring dengan terempasnya Excaliber menuju sebuah kota. Sekilas Nida bisa melihat bentuk bangunan di daratan.
Excaliber terbang kian merendah. Bagian bawahnya menggesek atap sebuah gedung. Suara ledakan dan tembakan terdengar mengikuti entah dari mana.
Kedatangan mereka disambut dengan muntahan proyektil dan bara api. Puluhan benda aneh berseliweran di udara. Semacam asap tercipta memanjang membentuk ekor. Sebuah ledakan tercipta tatkala benda itu berhasil menubruk targetnya.
Mereka terbang di atas medan perang.
Excaliber menabrak atap gedung, berguling-guling lalu terjun bebas dari puncak bangunan. Sempat pula pesawat itu menubruk masuk menuju gedung di sebelahnya.
Segala kekacauan itu akhirnya terhenti setelah badan pesawat merangsek jatuh menuju lantai dasar.
.......
Sekujur tubuh Nida terasa pegal-pegal. Cukup lama ia terlelap pingsan hingga enggan untuk mengumpulkan kesadaran. Andai tak ada kabel putus yang menyengat pipinya, tentu Nida tetap nyaman dalam tidur lelapnya.
Keadaan Excaliber sendiri terlihat amat berantakan. Percikan listrik menjadi sambutan pertama dalam pandangan Nida. Tak lupa ia menengadahkan kepala, menyadari dirinya ada dalam posisi terbalik. Badannya masih tersangkut dalam kursi pilot di ruang kokpit.
Usai berguling-guling tak karuan, posisi pesawat itu akhirnya berakhir dengan posisi menukik. Hanya sebagian kecil saja yang tidak tertimbun puing-puing reruntuhan, seakan badan pesawat berusaha untuk mengubur diri dalam-dalam.
Kondisi di dalam sini minim penerangan. Pandangan Nida hanya terbantukan oleh binar temaram yang menembus masuk dari sela-sela jendela.
“Semuanya gak apa-apa!?” seru pria itu memastikan.
“Nyahahaha..!” Orchid kembali tertawa renyah. Untuk yang kedua kalinya ia mendarat dalam pelukan Celine.
Seperti yang diduga, selang beberapa detik kemudian, gadis berambut hitam itu terentak jauh dihajar Celine. Setidaknya sepupu Nida itu terlihat baik-baik saja.
Sejenak Yuki menatap Orchid yang menempel di dinding, lalu berkata dengan suara pelan, “Aku gak apa-apa.”
Nida tersenyum kaku memandangi mereka, “Yah, apa sih yang bisa membunuh kalian?” komentarnya sarkastis. Pria itu lalu mencoba melihat keadaan di luar.
Nida berusaha meraih jendela pesawat, tapi letaknya agak tinggi dari jangkauan. Itu karena lantai tempatnya berpijak sekarang adalah langit-langit ruangan. Agak sulit baginya untuk memanjat ke sana. Lewat celah itu, Leon menyipitkan mata, memeriksa detail dari lingkungan sekeliling.
Sebuah Kota hancur menjadi hal pertama yang ia saksikan. Asap hitam membumbung tinggi di berbagai sudut cakrawala.
Tempat ini terlihat asing bagi Nida. Wujud bangunan di sini aneh. Semuanya berbentuk kubus, menjulang tinggi seakan hendak mencakar langit. Tiada ruang hijau menghiasi. Ke mana pun Nida menerawang, hanya ada lautan beton memenuhi.
Ini bukan Exiastgardsun. Nida merasa asing pada kota padat dipenuhi pencakar langit. Di dunianya, orang-orang membangun menuju bawah tanah. Bagian luarnya mungkin hanya bangunan dua atau tiga lantai, tapi sejatinya, bisa saja terdapat lubang ratusan meter ke dalam bumi. Semakin banyak penghuni sebuah bangunan, semakin jauh mereka menggali. Dengan begitu, mereka aman dari segala macam ancaman luar, utamanya sebagai antisipasi apabila terjadi peperangan.
Asap hitam membubung tinggi dari tiap sudut kota. Pecahan kaca dan reruntuhan beton berserakan di jalan. Lampu penerangan menyala berkedip-kedip lengkap disertai percikan listrik.
Nida menengadahkan kepala, menatap langit mendung berselimut awan gelap. Batinnya tersadar akan percikan air hujan yang hendak meluncur turun tak tertahankan.
Kota itu terlihat sepi, akan tetapi terasa ramai di saat bersamaan. Deru suara tembakan sayup terdengar di kejauhan. Ke mana pun mata memandang, jasad korban perang terlihat bergelimpangan.
Kebanyakan dari mayat itu terlihat mengenakan seragam militer berwarna krem.
Pun begitu, Leon juga menemukan beberapa korban berhiaskan sorban merah menutupi wajah. Senjata laras panjang dan selongsong peluru jatuh berserakan tak jauh dari tiap jenazah. Pertempuran hebat pasti terjadi di tempat ini. Kerusakan infrastruktur di sekeliling mengkonfirmasi dugaan itu. Jumlah korban pastilah tidak sedikit.
Pandangan Nida kemudian terpatri pada puluhan orang di kejauhan.
Mereka muncul dari balik perempatan dengan berjalan bergerombol. Para prajurit itu terlihat menyeret seorang gadis berpakaian cupang-camping.
Nida memperhatikan sang tawanan dengan saksama. Pakaian di tubuhnya berwarna serba biru.
Jantungnya mendadak berdesir detik itu juga.
Jauh memang, tapi Nida bersumpah, dia bisa melihat jelas bagaimana mata sang gadis memantulkan cahaya biru terang. Keberadaannya kontras dengan latar abu-abu kesuraman.
Siapa pun bisa melihat keberadaan tunangannya. Bagaimana tidak? Rasanya nyaris tak ada manusia yang memiliki rambut alami berwarna biru. Pakaian lusuh gadis itu juga sama-sama biru. Warna itu merupakan trademark dari keberadaan Fia.
Kulit gadis itu bening seputih salju, meski kotor ditempeli kusam dan debu.
Oh, apa ada yang bilang bajunya masih utuh?
Tidak! Baik rok mini dan kemeja itu bahkan robek di berbagai tempat, lengkap dengan ragam luka menghias. Lembam, lecet, dan goresan pedih terlihat mengalirkan darah kemerahan. Sesekali ia berusaha memberontak. Namun para tentara hanya cengengesan seolah sedang membawa piala penghargaan.
Mata Nida membelalak kaget, sulit untuk mempercayai apa yang matanya coba sampaikan. Rasa familiar akan sosok di kejauhan berhasil memanggil sejuta kenangan. Lengan kanan gadis itu bahkan dibalut benda berwarna cokelat. Melihatnya terasa tak asing, Nida berani bertaruh, gesper itu terbuat dari kulit dengan kristal hijau di salah satu simpulnya.
GroenHart. Aksesori langka—Artefak kuno untuk mengatur energi Manna berlebih—satu-satunya di Exiastgardsun.
Seketika pikiran Nida berubah kalut. Bak terkena sihir pengendali raga, tanpa pikir panjang ia menebas kokpit Excaliber untuk membuat lubang ke luar.
Celine terperanjat kaget. Tak ada yang sempat melakukan antisipasi. Pria itu tiba-tiba saja sudah menghilang dari pandangan.
Gunblade—pedang dengan sebuah pelatuk misterius di bagian gagang—terayun disertai percikan darah. Orang-orang itu sukses terbantai.
“Rushtio?” Yuki terhenyak, mengenali jenis sihir yang Nida gunakan.
Rushtio adalah sihir yang bisa membuat sang pengguna bergerak sangat cepat. Ini pertama kalinya ia melihat Nida menggunakan sihir tipe doping. Sihir seperti itu pasti memiliki efek samping yang buruk terhadap tubuh.
Darah bercucuran di mana-mana. Nida diam membisu seraya menggenggam erat bilah tajam berlumuran darah. Hujan turun tak lama kemudian, suara ledakan dan tembakan masih terdengar dari kejauhan.
Perang masih berkecamuk.
Sulit bagi Yuki dan Celine untuk menyembunyikan keterkejutan. Orchid pun bahkan dibuat terperangah tak percaya. Baru kali ini mereka melihat Nida tega membantai manusia tanpa alasan. Selama ini mereka mengenalnya sebagai sosok cuek yang tak suka kekerasan.
Di hadapan Nida, sesosok gadis dengan iris mata berwarna biru terduduk lemas tak bertenaga.
Pandangannya kosong dengan tubuh dipenuhi luka. Bibir mungil itu mengepal menahan tangis seraya wajahnya menengadah. Diserta pilu ia memelas pertolongan. Alis tipis mengerut mencerminkan sejuta teror.
Lutut gadis itu lemas hingga jatuh menubruk pasir tergenang. Tangannya bergetar saking ketakutan.
Namun Nida hanya terdiam. Pikirannya melayang terpisah dari raga.
Batinnya berpikir keras, berusaha meyakinkan diri sendiri untuk mengabaikan sosok di hadapan. Tak peduli sang gadis meminta tolong dengan suara lirih, juga bagaimana lengannya bergetar menyergap kedua kaki Nida. Pria itu tetap bergeming.
Nida meracau tak jelas dalam suara nyaris tak terdengar. Bisingnya hujan sukses merendam isak tangis gadis di hadapannya. Air mata yang mengalir larut dalam siraman hujan.
Ekspresi Nida serasa membeku, meski sejatinya ia sedang larut dalam amukan emosi menggebu-gebu.
Sosok itu pasti hanyalah ilusi.
Tak mungkin Fia ada di sini.
Tiga tahun penuh Nida selalu meratapi gadis itu tiada henti. Ia bahkan mempelajari Lucid Dream untuk membangkitkannya di alam mimpi.
Namun setelah semua usaha itu, segala sesuatu yang berhasil ia capai hanya tak lebih dari sebuah ilusi. Fia sudah tiada, dia hanya hidup di dalam pikirannya.
Benar Nida sering mendapati kehadiran sosok itu. Namun ia sadar bahwasanya hanya dirinya sendiri yang mengalami itu. Segala sesuatu yang ia rasakan tak lebih dari ilusi. Kemunculan Fia hanya terjadi dalam kepalanya. Orang lain tak bisa melihat imajinasinya.
Nida paham pikirannya memang sudah tak waras. Dan karena itulah, ia tahu sosok kali ini juga pasti tak lebih dari sebuah bayangan.
Sakit—
Pedih rasanya melihat sosok yang ia dambakan berulang kali muncul dalam wujud tak nyata.
Lihat saja, gadis berambut biru itu memeluk kaki Nida ketakutan, lengkap dengan memar di sekujur tubuh. Pandangan Nida menatap lekat tiap goresan di kulitnya, hingga merasakan belaian tiap helai rambut yang lengket dibasahi lumpur.
Semuanya terasa begitu nyata.
“Uuuuugh….” Nida menjambak rambutnya sendiri.
Halusinasi kali ini terasa sangat berlebihan. Kali ini Nida bisa merasakan dinginnya tangan Fia, bagaimana ia menyentuh rambut biru sosok itu. Lalu wangi khasnya yang tak pernah terlupakan.
Mungkin otaknya sudah mulai rusak, mungkin juga sudah menjadi gila, hingga tak bisa membedakan antara ilusi dan realitas.
Si gadis imajiner itu jatuh terkulai tak sadarkan diri.
Celine dan Yuki sontak mengerumuninya.
Tapi ada yang aneh. Perhatian mereka tidak tertuju pada Nida, melainkan merunduk rendah berusaha memberikan pertolongan pada sosok dekat kakinya.
Nida bingung. Kenapa semua orang menolong dia? Padahal gadis berambut biru itu kan hanya muncul di pikirannya saja?
“Ini kan cuma halusinasi,” begitu pikirnya.
“Nida, kenapa kau diam saja? Fia bisa mati tahu!” Celine memekik panik.
Mata Nida terbuka lebar, mendapati Celine mengenali gadis itu dengan nama Fia. Degup jantung serasa berdesir kencang. Akhirnya ia tersadar— sedari tadi itu ternyata bukanlah ilusi.