Rangga hanya membuka ransel Nike dan mengisinya dengan beberapa baju, celana panjang dan pakaian dalamnya. Semuanya dia letakkan dibangku belakang mobil sedannya. Dia kembali lagi ke dalam rumah untuk meyakinkan kalau kamar kosnya sudah di kunci, sekaligus dia mau pamit ke penjaga kosan.
Rangga memang memilih kos tidak jauh dari polsek tempatnya bertugas. Tentu saja kos - kosan yang eksklusif untuk kenyamanannya. Dia baru pindah tugas sekitar empat bulan yang lalu dari Purwokerto, ke Bandung. Sebenarnya dia betah disana, tapi tidak tahu atas campur tangan siapa, dia di mutasi ke Bandung. Kalau di Purwokerto dulu, dia punya banyak alasan untuk tidak pulang ke Jakarta, tapi sejak di Bandung ini, mamanya sering sekali menuntutnya pulang, walaupun dia juga cukup pintar menghindar, ujung - ujungnya Bastian yang mengeluh padanya. Tapi hari ini dia memang harus pulang, karena dia akan mendatangi rumah Popanya Adek, Rangga yakin pujaan hatinya itu sudah pulang ke Jakarta.
"Pulang kang?" tanya Adan penjaga kos tempat Rangga tinggal.
"Iya, cuma dua hari. Titip ya, Dan."
"Iya, kang."
Dunia seperti terbalik, dulu Rangga dipanggil 'Dan' oleh teman se-geng nya, sekarang dia memanggil 'Dan' juga ke penjaga kos yang kebetulan bernama Adan.
Yang membuat Rangga betah di kos an mahal ini karena si Adan memanggilnya, Kang. Ini selalu mengingatkannya ke sosok 'tengil' dimasa lalu yang selalu memanggilnya 'Kang'. Memang ajaib sih kedengarannya, Rangga yang merasa tidak memiliki darah Sunda dan yang memanggil juga bukan orang Sunda, di Jakarta pula, kan janggal, tapi ternyata panggilan itu yang terus terngiang - ngiang di telinganya dan bukan membekas dihati, malah menetap disana.
Izin atasan sudah, pamit dengan penjaga kos sudah, kamar juga sudah rapi dan dikunci, Rangga pun siap meluncur pulang ke Jakarta.
Baru saja dia naik mobil, hp-nya berbunyi, panggilan dari Bastian lagi.
"Halo."
"Mas ... Jadi pulang kan hari ini?"
"Iya ini juga lagi siap-siap, kenapa?"
"Nggak kenapa - kenapa, aku cuman mastiin aja, kalau sampai Mas nggak pulang, kan aku bingung jawabnya ke Mama."
"Tapi sudah bilang belum kalau Mas nggak usah ditunggu jam berapa sampai di rumah?"
"Sudah, memangnya Mas mau ke mana dulu?"
"Ngumpul sama teman-teman."
"Oh ya udah deh."
"Kamu lagi dimana Bas?"
"Di studio, lagi rehat sebentar. Cuma aku khawatir sebentar lagi mama bakal ngecek nih. Coba sekali-sekali Mas Rangga deh nelpon mama."
"Ya tinggal kamu aja yang ngomong, ngapain rame-rame cuma mau bilang Mas pulang ke Jakarta."
"Papa juga lagi di rumah."
"Oo.."
"Ya udah deh kalau mas lagi siap-siap, aku juga lagi mau lanjut kerja. Hati-hati di jalan, mas."
"Oke, makasih."
Rangga memutus sambungan telepon, tapi sebelum jalan dia melihat dulu pesan wa yang masuk. Ternyata sudah terjadi percakapan di grup Badass.
Rava
Pak Mendan jam berapa sampe di Apt Gusti?
Bima
Gue agak telat ya, jam sembilanan baru sampe sana, nganter inib ke dokter dulu bentar ya.
Rava
Bisa kabur abis itu?
Bima
Bisaaa ... gue jual nama Rangga. Gue bilang mau ngumpul - ngumpul soalnya udah lama nggak ketemu.
Rava
Saee
Zidan
Gue pulang kantor langsung ke Gusti.
Epri
Gue uga
Anov
Hadir on time.
Gusti
Gue udah dari jam empat di Apt, terserah mau datang jam berapa.
Rava
Okee, ini awas aja pak Mendan boongin kita, kalau sampai dia nggak dateng, ntar gw kirim delivery fiktif ke Polseknya.
Anov
Haha ... Sekarang nggak main ya kalau bom, mendingan orderin makanan, terus kabur.
Rava
Yoii
Gusti
Itu cewek-cewek nggak diundang? Kalau tahu kita ngumpul, apa nggak berisik tuh bacotnya?
Bima
Nggak usah, itu nanti aja deh kapan-kapan. Rangga kayaknya nggak mau deh.
Gusti
Oke, asal jangan bocor aja nih. Apalagi ngumpulnya di tempat gue. Si Lika sering banget ke sini.
Rangga hendak menulis respon percakapan itu sebelum dia jalan.
'tok ..tok..
Rangga menurunkan kaca jendela mobilnya karena ketukan dari luar.
"Eh, Mas Ari .."
"Mau ke mana, Mas Rangga?"
"Balik ke Jakarta."
"Oh .. mendadak? Jadi nggak ikut dong ke tempat Kang Eki?"
"Enggak euy, tapi tadi sudah izin sama kang Eki. Ada keperluan mendadak."
"Ya udah hati-hati di jalan ya."
"Iya, Mas .. makasih."
Ariyanto teman satu tempat kost dengan Rangga, Dia satu letting dengan Rangga, tapi dia baru dua bulan ini mutasi ke Bandung, tapi bukan di polsek yang sama dengan Rangga. Memang rencananya kapolsek Rangga, yang biasanya dipanggil dengan panggilan kang Eki, mengajak mereka kumpul - kumpul di rumah dinasnya. Tidak ada acara khusus, hanya mengisi waktu malam minggu saja. Istrinya Kang Eki hobi masak, jadi dia sering menjamu anak buahnya dan adik letting untuk kumpul-kumpul makan di rumahnya. Buat para jomblo dan anak kos, tentu saja ini kesempatan besar, di mana lagi bisa makan enak tapi gratis kalau nggak di rumah Pak Kapolsek?
Rangga balik lagi melihat ke ponselnya, maksudnya hendak melanjutkan menulis pesan. Tapi matanya keburu melihat lagi ada beberapa pesan yang masuk ketika dia sedang ngobrol dengan Ariyanto tadi.
Rava
Gue deg - deg an nih, Rangga typing-nya lama banget. Jangan-jangan dia lagi nulis alasan buat nggak datang malam ini.
Gusti
Siap-siap deh, orderan fiktif.
Bima
Woy, Rang. Jangan sampai gue bohong sama bini gue nih kalau sampai lo nggak datang.
Rava
Enaknya kita order makanan, apa jemputan aja... sepuluh taksi cukup nggak?
Rava mulai menyiapkan hukuman yang akan diberikan kepada Rangga, kalau - kalau sampai dia memberikan alasan tidak datang hari ini.
Rangga yang membaca jadi terkekeh. Dia Lalu mengambil foto selfie untuk dikirimkan ke grup dan menuliskan sesuatu di bawahnya
Rangga
Pada berisik banget sih! Bisa tenang dikit nggak? Udah siap jalan niihh.
Pesan Rangga masuk ke dalam grup dan juga foto selfie-nya.
Rava
Anjiirr, pak Mendan kesayangan Adek, ganteng amat yak...
Gusti
Adek forever
Anov
Adek lope -lope.
Bima
Rang, gue liatin foto lo ke bini Gue, katanya .. kesian polisi gagal move on. Gimana nih Rang?
Epri
Kena pelet
Brian
Ada apa nih Woy rame - rame?
Rava
Biasaa Bri ... kang Rangga-nya Adek mau pulang.
Brian
Semoga bisa ketemu Adek lagi ya, Rang. Jodoh di tangan Tuhan.
Bima
Gue ngerinya kalo Tuhan sudah lepas tangan, Bri.
Rava
Anjiiir... sumpah ngakak gue. Bisa aja lo Bim, mentang - mentang dah kawin jadi ngeremehin jodohnya kang Rangga.
Rangga tertawa membaca percakapan yang ada di grup SMA nya itu. Teman-temannya memang sudah men-cap dirinya sebagai pria gagal move on. Rangga tidak menyalahkan, memang benar dia gagal move on. Tapi sepertinya keteguhan hatinya itu sebentar lagi akan membuahkan hasil, dia yakin Tuhan tidak lepas tangan akan jodohnya seperti Bima bilang tadi. Dia belum menceritakan kepada teman-temannya soal pertemuan dengan Dhevi beberapa hari yang lalu. Rangga menahannya sampai pertemuan mereka nanti malam di apartemen Gusti, di Jakarta.
***
"Besok malam kita makan malam di luar yuk, rame-rame," ajak mama Dea ketika mereka sedang berkumpul di meja makan.
"Adek nggak bisa," sahut Dhevi duluan.
Adek mau ke mana," tanya popa.
"Temen - temen Adek dari Jakarta mau datang malam ini, terus kami mau jalan-jalan. O ya Popa, nanti mereka bareng kita aja pulang ke Jakarta, hari Minggu."
"Mereka naik apa dari Jakarta?"
"Bawa mobil, maksud Adek iring-iringan."
"Ooo .."
"Teman-teman di mana, Dek?"
"Mama ingat Anya, Buana sama Vino kan? Teman sekelas Adek waktu di SMA."
"Oh masih kontak ya?"
"Masih, teman Indonesia Adek ya cuma mereka yang masih terus kontak. Dulu sempat putus kontak sih sebentar, waktu Adek baru pindah ke Melbourne, habis itu lanjut lagi. Beberapa hari yang lalu, Adek baru kasih tahu mereka kalau Adek sudah sampai di Indonesia. Terus mereka pikir sambil mengisi weekend, mereka juga mau ke Bandung nyusulin Adek."
"Nginap di mana Dek suruh nginap di sini aja."
"Nggak apa-apa, Ma?"
"Ya nggak apa-apa, paviliun sebelah kan sudah kosong. Kalau mau nanti mama suruh siapin, dua kamar kan?"
"Iya. Nanti sebentar Adek telepon Anya dulu, mereka sudah pesan hotel apa belum."
Paviliun di sebelah memang bangunan tambahan, yang dipakai kalau ada keluarga yang akan menginap. Kemarin diisi oleh keluarga om Dio. Kalau Eyang dan Popa, punya kamar di rumah utama. Eyang Nino juga sudah pulang tadi sama Uwak Owie.
"Adek di Jakarta juga ke tempat eyang ya, dilihat itu mas-masnya."
"Iya."
"Project-nya kapan dimulai, Dek?"
"Senin pa, penjahitnya sudah mulai pada datang juga hari Minggu sore."
"Memangnya renovasi itu dia udah selesai?" tanya papa Azki ke mama Dea.
"Sudah dari minggu lalu sebelum Adek pulang. Daddy udah lihat belum?"
"Udah, Adek juga udah lihat kok."
"Bagus nggak?"
"Bagus, dari kantornya mas Juna, ya?"
"Iya," jawab mama Dea.
"Pantes aja rapi, kalau kerjaan dari kantor arsitek tuh bersih, daddy udah nebak sih kalo itu dari kantor mas Juna."
Bekas Studio milik Dio dulu sudah direnovasi jadi studio jahit Dhevi. Popa, Moma dan Dhevi memang tidak melihat langsung saat proses renovasi karena mereka masih di Paris. Dan ketika mereka pulang, bangunan itu sudah jadi sesuai dengan keinginan Dhevi. Sudah hampir delapan tahun ini, hidup Dhevi bersama Popa dan Momanya memang banyak dihabiskan di luar negeri, tepatnya sejak dia SMA sampai merintis karirnya sekarang ini. Dhevi menghabiskan masa SMA dan juga kuliahnya di Melbourne, dan beberapa tahun terakhir ini mereka tinggal di Paris. Dulu kemana Dhevi pergi, pasti Popa dan Moma mengikuti, atas permintaan Dea, tapi terakhir ini kalau Dhevi sedang mengikuti acara Fashion Week di negara lain, biasanya Popa dan Moma hanya menunggu saja di Paris, di apartemen mereka.
Kepulangan mereka kali ini for good, Dhevi juga hanya menghabiskan waktu beberapa minggu saja di luar negeri untuk kegiatan-kegiatannya, sementara kalau untuk produksi dan tempat tinggal, mereka sudah memilih untuk stay Indonesia. Lagi pula dia sudah bisa dikatakan sudah cukup dewasa dan mandiri untuk jalan sendiri mengurus pekerjaannya.
Makan malam dan ngobrol selesai, mereka akan kembali ke kamar masing - masing, sekarang sudah jam delapan malam.
"Jangan lupa kabarin kalau temen adek jadi nginep di sebelah ya, biar mbaknya nyalain ac-nya dulu," ucap mama Dea.
"Iya, Ma."
"Adek ada rencana keluar nggak sama temennya malam ini?"
"Mungkin, adek yakin pasti mereka belum makan ... katanya nyampe sini antara jam setengah sembilan sampai jam sembilan gitu deh, kayaknya sebentar lagi. Adek mau ngecek dulu, mereka sudah sampe dimana," jawab Dhevi yang memang tidak membawa ponselnya saat ke meja makan tadi.
"Kalau Adek pergi sama mereka, jangan pulang terlalu malam ya Dek."
"Perginya aja udah malam, Ma."
"Ya maksud Mama jangan lewat tengah malam. Kalau cuma mau ngobrol di paviliun juga bisa ... isinya cuma teman-teman Adek. Nanti mama suruh mbak siapin minuman atau makanan."
"Iya gampang deh, Ma, Adek belum ketemu mereka juga, jadi belum bisa berencana dulu."
"Telepon aja, tanya dulu."
"Iya."
"Kalau mau makan di rumah juga nggak apa-apa, nanti Mama suruh siapin."
Dea memang selalu begitu, dia lebih senang teman-teman anaknya main ke rumah dan dia menyiapkan segala sesuatunya, daripada anak-anaknya yang berkegiatan tidak tentu di luar sana. Teman-teman Dharren dan Dhannis dulu juga begitu. Mereka sering main di sini karena Dea memberikan tempat yang nyaman dengan banyak makanan dan minuman dan membuat mereka betah. Hanya teman Dhevi yang tidak pernah datang, malam ini baru untuk pertama kalinya. Tapi kalau di rumah Cipete, teman-teman sma Dhevi ini pernah datang untuk belajar dan bermain.