Jika dulu Dhevi malas bicara sama Mauren, sekarang ya sama saja. Apalagi mereka jarang bertemu. Mauren itu lebih akrab sama Mas Dharren dan mas Dhannis, bahkan sejak mereka sudah sama - sama besar sekarang, mereka lebih sering menghabiskan waktu bersama, khususnya weekend ketika si kembar libur koas, mereka juga pernah ikut menghadiri acara peragaan busana Mauren.
Sedangkan Dhevi, jangankan sama Mauren, bahkan sama kakak - kakaknya Dhevi jarang berkomunikasi. Hanya sesekali saja mereka bertukar kabar. Kalau melihat hubungan mereka, rasanya tidak percaya kalau mereka ini kembar tiga. Ketika Dhevi sekarang berencana menghabiskan waktu tiga bulan di Jakarta, mereka juga tidak sama - sama, Dhevi di Cipete dan kakak - kakaknya di Kebayoran. Dhevi masih hidup di circle yang dia mau saja. Tapi ajaibnya, ketika ketiga anak Azki dan Dea ini berkumpul, Dhevi bisa dengan santainya duduk bersandar kesalah satu kakak - kakaknya itu, dia jadi manja tidak jelas dan berlaku seperti yang seharusnya, yaitu menjadi saudara kembar yang paling kecil. Mungkin sebenarnya Dhevi kangen kebersamaan mereka, tapi keinginan mereka dan jalan hidup yang ditempuh ternyata berbeda, membuat mereka jarang bertemu, apalagi sejak Dhevi pindah ke Jakarta dulu. Kedua kakaknya itu sayang sama Dhevi, cuma ya gitu, Dhevi-nya saja yang suka seenaknya. Tapi tetap darah lebih kental daripada air, Dhevi tetaplah adik 'ajaib' mereka.
Pintu kamar Dhevi diketuk dari luar.
"Masuk," sahut Dhevi.
Setelah pintu terbuka, Dhevi baru tahu yang datang ternyata Mauren.
"Ganggu nggak, Dek?"
"Tergantung."
Mauren meringis. Sebenarnya dia enggan masuk ke kamar sepupunya ini, tapi dia mau berbuat baik, siapa tahu bisa diterima.
Mauren duduk di pinggir tempat Dhevi.
"Aku mau ada pagelaran perancang Indonesia, Adek mau ikut nggak, aku kenal panitianya, kebetulan panitia penyelenggaranya kakak kelasku."
Basa basi pun dimulai.
"Nggak. Nggak akan ada peminat juga."
Belum apa - apa langsung dapat penolakan.
"Ya kan belum di coba, mereka kan disini belum kenal Adek."
"Adek juga nggak mau dikenal disini, gimana dong?" tanya Dhevi dengan senyum sarkas. Walau sarkas, setidaknya dia senyum. Dhevi memang sudah mulai banyak tersenyum beberapa tahun belakangan ini, mungkin karena usia yang terus bertambah dan pergaulan yang semakin luas.
Mauren seperti dimatikan alur komunikasinya dengan tanggapan Dhevi barusan. Mauren ini sebenarnya belum menggali minat dan keinginan Dhevi dulu sebelum mengajaknya bicara, kalau sudah begini kan bingung juga meneruskan pembicaraannya. Padahal dari percakapan di ruang tengah tadi harusnya dia sudah tahu maunya Dhevi seperti apa, jelas - jelas dia bilang rancangannya tidak cocok untuk orang Indonesia, kok malah ditawarkan ikut fashion show di dalam negeri, kan jadinya intro yang sia - sia.
"Dek, aku boleh tanya sesuatu?"
"Apa?"
"Tapi Adek jangan marah dulu ya."
"Kok harus marah?"
"Ehm .. kenapa sih Adek nggak suka sama aku? Salah aku apa, Dek?"
Topik pembicaraan Mauren tiba - tiba berubah. Puluhan tahun berstatus sepupu, baru kali ini Mauren berani bertanya soal hubungan mereka. Sepertinya dia sedang mencoba peruntungan, siapa tahu Dhevi mau menanggapi.
"Kenapa ya?"
Dhevi malah balik bertanya.
"Dari aku kecil dulu, Adek nggak mau temenan sama aku, masa sampe gede Adek tetap nggak mau temenan sama aku?"
"Adek nggak suka lihat anak cengeng."
"Ya kan dulu masih kecil, Dek."
"Sama sok manis."
"Aku nggak sok manis, Dek, cuma memang aku lebih diam aja."
"Hmm."
"Mommy pernah cerita, Mommy sama mama Dea dari dulu bersahabat, masa anaknya malah nggak dekat?"
"Persahabatan itu keturunan?"
"Ya nggak gitu, kita Popa dan Momanya sama, orang tua kita kembar, itu dekat banget Dek."
Dhevi merubah posisi duduknya.
"Walau kita ini keluarga, tapi ada yang bisa dekat sama nggak. Kita nggak musuhan, cuma nggak main bareng aja."
"Tapi setidaknya kita komunikasi, Dek."
"Yaudah, nanti kita komunikasi. Masukin nomor hape Mauren kesini," ujar Dhevi sambil menyodorkan ponselnya.
"Padahal ada di grup keluarga lho, Dek," jawab Mauren sambil menyimpan nomornya di ponsel Dhevi.
"Adek udah tahu, tapi nggak nyimpen aja," jawabnya sambil menerima hpnya kembali.
"Aku sama mas Dharren, sama mas Dhannis aja sering hangout bareng, kan aku juga pengen sesekali sama Adek."
"Tapi kalo Mauren masih nyebelin kayak masih kecil dulu, Adek skip ya."
Terbit senyum Mauren, ternyata hanya perlu keberanian bicara dengan sepupunya ini, persis seperti saran mas Dharren dan mas Dhannis.
Aku berhasil Yura.
"Iya, aku nggak akan cemen kayak dulu lagi, kita berteman," ucap Mauren.
"Hm.."
"Boleh nggak Aku peluk Adek?"
"Ya udah."
Mauren memeluk Dhevi, dan Dhevi meresponnya dengan menepuk - nepuk punggung Mauren. Setelah itu Mauren pamit keluar karena dia mau pergi sama mommy-nya.
'Klik'
Pintu kamar Dhevi ditutup dari luar.
Dhevi menghela nafas.
"Kenapa sih dia ... kayak kurang teman aja," gumam Dhevi heran.
Dia mengambil ponselnya lalu men scroll nama yang ada di kontaknya.
'Tuut ...'
'Tuut ..'
"Adeeek."
Dhevi sampai menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Anya berisik banget sih, kuping Adek pengang, tau nggak."
"Abisnya ngagetin banget, udah seminggu nggak ngabarin. Udah sampe di Indonesia?"
"Iya udah, udah lima hari malah."
"Ih Adek sih gitu, kok nggak bilang sih?"
"Soalnya ada acara dulu, waktu itu nyampe di jakarta udah malam, besoknya masih jetlag, besoknya lagi udah ke Bandung."
"Sekarang masih di Bandung nggak?"
"Masih, acaranya baru tadi. Paling Adek pulang ke Jakarta hari minggu. Mau ketemuan kapan? Buana sama Vino bisa libur nggak?"
"Eh apa kita ke Bandung aja ya, hari Minggunya bisa pulang sama-sama," usul Anya.
"Terserah aja, Anya tanyain sama Buana Vino ya."
"Adek lama nggak di sini?"
"Maksudnya?
"Di Indonesia."
"Oh lama masih tiga bulanan, nanti akhir tahun adik baru berangkat ke New York lagi."
"Mau ada reuni lho dek, datang yuk."
"Reuni? Adik kan bukan lulusan SMA itu."
"Nggak papa, yang penting Adek pernah masuk sekolah itu dan pernah jadi muridnya hampir satu tahun, kan temen-temen yang kenal juga banyak."
"Nanti deh adek pikirin dulu, emangnya kapan sih, Nya?"
"Masih dua bulan lagi. Lintas angkatan kok, angkatan kita termasuk yang paling muda jadi banyak yang senior-senior gitu."
"Duh Males deh."
"Takut ketemu kak Rangga yaaaa? Dia asli ngilang loh dek ... Gue udah cari tahu ke mana-mana, nggak ada yang tahu dia masuk kuliah mana, jangan - jangan dia ke luar negeri."
"Ini cerita ulangan setiap tahun deh."
Anya tertawa terbahak-bahak. Dia memang selalu mengulang cerita ini. Maksudnya cerita tentang Rangga yang hilang tidak tahu ke mana. Di saat spanduk pengumuman kakak kelas mereka diterima di perguruan tinggi negeri, keterangan Rangga tidak ada sama sekali. Sebenarnya bagi yang tidak mengenal Rangga, tentu saja tidak heran kalau Rangga tidak diterima di perguruan tinggi negeri manapun, kan dia sudah diklaim punya masa depan yang suram, hanya sebagian orang saja yang tahu bahwa sebenarnya Rangga itu adalah anak pintar, dia hanya nakal. Para guru saja tidak bisa memberi nilai jelek padanya karena memang nilainya akedemik nya bagus.
"Adek ketemu Kang Rangga tadi."
Anya yang masih larut dalam tawanya, mendadak berhenti dan minta Dhevi untuk mengulangi lagi kalimatnya karena tadi dia tidak begitu fokus mendengar.
"Adek ketemu siapa?"
"Kang Rangga."
"Jangan sok nge-prank Dek," ucap Anya yang sudah biasa kena prank oleh Dhevi.
"Adek serius,Nya."
"No .. No .. Ku tak percaya... Ku tak percaya," sahut Anya sambil bernyanyi dengan nada yang tidak jelas.
"Ckk ... Adek serius banget, Nya."
"Coba video call dulu, gue harus lihat tampang lo dulu, Dek."
Anya langsung melakukan request panggilan video dan diterima oleh Dhevi.
"Coba bilang lagi."
"Tadi adek ketemu sama kang Rangga."
Raut wajah Dhevi agak berbeda, dia tidak terlihat tenang seperti biasa, seperti ada keresahan walau sangat tipis, Anya sangat teliti soal ini.
"Serius? Ketemu di mana Dek? Udah jadi apa dia sekarang?" tanya Anya hati-hati, dia khawatir soal keadaan Rangga sekarang, pria yang sangat dicintai Dhevi. Sebenarnya Anya juga takut mendengar cerita ini, bisa dibayangkan setelah sekian tahun tidak pernah bertemu, tidak pernah ada kabarnya, tiba-tiba bertatap muka, apakah keadaannya sesuai ekspektasi orang-orang dulu, masa depan suram? Ahhh ... Anya takut.
"Ketemunya tadi, di acara rumah sakit Royal, dia negur adek duluan ... Sumpah adek kaget setengah mati. Sampe - sampe adek kabur pulang duluan."
"Aiishh ... kenapa Dek. Gimana keadaan kak Rangga sekarang?" tanya Anya penasaran.
"Anya udah lihat IG story Adek, nggak?"
"Belum, gue belum buka IG, yang mana nih, yang perancang apa yang pribadi?"
"Pribadi."
"Posting apa?"
"Ada fotonya di sana."
"Wait ....wait.."
Anya seperti orang tidak sabar, dia sampai kesal karena hp-nya lemot ketika dia berusaha membuka laman i********:.
Matanya melotot ketika sudah melihat IG Story Dhevi.
"Polisi?"
"Iya, Anya kaget kan? Adek juga."
"Kok bisa?"
"Ya jangan tanya adek dong."
"Nggak, maksudnya kok bisa dia ada juga di acara yang sama?"
"Dia termasuk salah satu undangan kayaknya, mewakili kantornya."
"Ini acara di Royal, kan?"
"Iya."
"Berarti ketemu papa Adek dong?"
"Anya tahu nggak, nggak ada yang kenal dia. Padahal papa Adek duduknya satu deret sama Kang Rangga."
"Se-berubah itu, Dek?"
"Iya, se- berubah itu."
"Tapi kan dari namanya ketahuan dong."
"Papa kayaknya cuma tahu namanya Rangga, nggak tahu nama panjangnya juga. Lagian udah lama banget, Nya ... mana papa ingat kang Rangga kayak apa."
"Kalaupun ingat, nggak nyangka juga kali, Dek."
"Adek aja nggak nyangka. Adek kan nggak pernah perhatiin orang, kalo dia nggak negur, Adek juga nggak akan tahu itu kang Rangga. Bahkan waktu MC nyebut nama lengkapnya, Adek juga nggak bakal yakin itu kang Rangga kalau belum ketemu sebelumnya."
"Terus gimana waktu dia habis manggil lo?"
"Adek sampai nggak bisa ngomong."
"Ngomong nggak bisa, tapi masih bisa foto ya?"
"Anya ih!" sangat kentara Dhevi malu.
"Lagian ... tangan gercep banget."
"Cuma itu yang kepikiran sama Adek, tapi sebelum acara selesai Adek kabur dulu."
"Kenapa kabur, ajak ngobrol dulu dong, tanya - tanya apa gitu ... paling nggak bilang, Adek kangen kang Rangga."
"Lebay!"
Anya terkekeh.
"Berarti dia tugasnya di Bandung ya Dek?"
"Kayaknya sih gitu."
"Eh kalau gue sama Buana dan Vino jadi ke Bandung, kita cari yuk."
"Eh nggak ya ... Adek nggak mau."
"Kenapa?"
"Adek takut."
"Takut apa, takut jatuh cinta lagi?"
"Ish Anya ... kayaknya dia sudah punya istri deh."
"Apa iya ... emang berapa sih umurnya sekarang? dua lima ya? Kan beda dua tahun sama kita."
"Kita?"
"Eh maksudnya sama gue. Lo aja yang salah kelas, Dek. Lo masih dua puluh dua setengah ya."
"Seperempat."
"Aelah dihitung banget."
"Usia kang Rangga kan usia yang biasanya sudah menikah, apalagi dia sudah punya pekerjaan yang bagus, Nya."
"Pangkatnya apa Dek?" tanya Anya.
"Ih Adek nggak ngerti soal pangkat, Nya. Pokoknya ada garis dua."
"Hamil dong."
"Anyaaa!"
Anya tertawa ngakak mendengar teriakan Dhevi.