Dhevi Kalau Di Rumah

2061 Kata
Mobil yang membawa Dhevi baru saja meninggalkan sekolah. Dhevi langsung menurunkan sandaran tempat duduknya, dia ingin rebahan. "Capek dek?" tanya Mbak Ninis yang duduk di sebelahnya. "Mbak Ninis nanyanya basa-basi ya?" tanya Dhevi sambil melirik pengasuhnya itu. Tentu saja Mbak Ninis tertawa. "Basa - basi kan juga perlu, tapi ini serius nanya, ya siapa tahu Wonder Woman nggak pernah capek." "Capek banget Mbak Ninis, kita pijat yuk." "Jangan macam-macam, Popa udah nungguin" "Popa bukannya lagi pergi ke kantor Om Dio?" "Udah pulang dari tadi, tadinya malah pengen jemput Adek." Dhevi langsung duduk tegak. "Terus siapa yang menggagalkan?" "Moma." Dia lega dan rebahan lagi. "Jangan sampai ya mbak." "Iya, kan Moma juga udah Adek kasih tahu." Eh apa kita ke tempat yangti, yuk." Ada - ada saja ide Dhevi, perjalanan yang sedang macet - macetnya ini tiba-tiba dia memberi ide untuk ke rumah yangtinya yang jelas - jelas saja supir harus memutar balik lagi dan menemui kemacetan yang lain. "Kalau mau ke rumah yangti besok aja, bilang dulu sama Popa, ini sekarang Popa sudah nungguin, kalau Adek nggak pulang ... Kan Mbak Ninis sama Pak Basri yang kena marah, memangnya Adek tega?" "Ckk ... males banget kalau udah pakai tega - tegaan," ucap Dhevi lalu membalikkan badannya ke arah jendela, membelakangi mbak Ninis. Ninis tahu kalau Dhevi mau ngambek. Sudah empat belas tahun lebih dia kenal sama anak ini. Ngambek .... Mau es krim nggak," goda Mbak Ninis sambil menusuk-nusukkan telunjuknya ke pinggang Dhevi. Anak ini emang penggeli, jadi dia langsung bereaksi digelitik oleh Mbak Ninis. "Mbak!" teriaknya sambil tertawa tidak dapat menahan geli. "Masih ngambek nggak?" "Nggak kalau dibeliin es krim McD." "Pak Basri, kita ke McD dulu ya." "Iya mbak," jawab Pak Basri. Mereka mampir di drive thru karena hanya membeli es krim cone kesukaan Dhevi. Setelah membeli es krim yang diminta Dhevi, barulah mereka pulang menuju rumah. "Tadi nasi boxnya untuk siapa aja dek?" "Buat orang-orang yang di perpustakaan." "Memangnya rame?" "Lumayan." "Enak nggak nasinya?" "Lumayan," jawab Dhevi sambil menjilat es krim cone-nya, "Besok lagi ya Mbak, sampai hari Jumat." "Kok sering?" "Masalah?" "Bukan masalah, kan Mbak nanya." "Ya pokoknya Adek kerja bakti di perpustakaan selama lima hari, jadi Mbak Ninis siapin makanan buat lima hari, menu buat besok nanti Adek wa." "Dihukum ya?" "Emangnya tadi Adek bilang dihukum?" "Ya enggak sih, tapi kok kayak dihukum?" "Adek itu kerja bakti, mbak Ninis paham nggak kerja bakti? Kerja sukarela nggak pakai dibayar." "Iya mbak tahu, dulu waktu masih sekolah di kampung, Mbak sering juga kerja bakti, bersihin sekolah." "Nah tuh paham." "Tapi satu sekolah Dek, tadi Mbak lihat cuman adek sendiri." "Masih ada tuh tadi orang - orang, lihat nggak?" "Yang anak laki - laki di lapangan itu? Mbak udah lihat mereka dari tadi, Adeknya aja yang baru muncul." "Udah jangan jadi masalah deh, pokoknya Adek lagi kerja bakti." Ninis menahan senyumnya, sudah biasa Dhevi begini. Perjalanan pulang yang harusnya hanya lima belas menit, hari ini jadi empat puluh menit karena selain mereka harus mampir dulu membeli es krim, sekarang sudah masuk jam pulang kerja, tentu saja membuat jalanan lebih padat dari biasanya. "Dek .... kok pulangnya sore banget sih ?" tanya Popa yang sedang menyambut Dhevi yang turun dari mobilnya. Popa sampai menunggu di teras rumahnya. Dhevi memeluk Popa nya sebentar sebelum mereka masuk ke dalam rumah bersama - sama. "Habis menjalankan kerja bakti, Popa" jawab Dhevi santai sambil melepas sepatu dan kaos kakinya. "Dek, Moma bikin Tiramisu nih, mau ngemil dulu nggak?" tanya Moma yang baru datang dari dapur. "Sebentar lagi, Moma," jawab Dhevi, lalu dia pergi mencuci tangan memakai sabun di wastafel "Kerja bakti apa, Dek?" tanya Popa, dia masih penasaran karena obrolan mereka belum selesai. "Di perpustakaan, bantuin beres - beres buku." "Tugas BK lagi?" tanya Moma yang sedang menyiapkan piring - piring kecil untuk makan tiramisu. "Iya," jawab Dhevi yang akhirnya mengaku "Masih soal olahraga?" Dhevi mengangguk. "Ya udah dong, Dek ... ikut aja, kalau olah raga itu kan harus praktek ... masa nggak mau ikut?" "Panas banget, Moma ... Adek gerah." "Kan nggak selalu panas, praktek olahraganya apa sekarang?" "Atletik." "Apalagi cuma atletik, kalo di sekolah kan larinya nggak jauh, mana ada lintasan, paling di lapangan basket kan?" Dhevi menghela nafas. "Masalahnya kalo ambil nilai tuh di Gbk, Moma." "Waduh." "Yaudah, lari cantik aja, Dek ... yang penting ada nilainya," usul Popa, "Popa juga gitu, dulu, sebatas menggugurkan kewajiban, abis itu pura - pura pingsan aja." Moma Dhevi memutar bola mata malas, suaminya sering mengeluarkan ide - ide 'cemerlang' buat cucu mereka yang istimewa ini, nanti ujung - ujungnya Dea ngomel - ngomel karena daddy-nya mengajarkan anaknya trik - trik seperti itu. "Popa ... di kantor Popa ada artis yang namanya Chia, nggak?" Dhevi tiba - tiba teringat soal kakak kelasnya tadi yang mengaku artis. Walau popanya tidak memegang langsung perusahaan manajemen artisnya, tapi pasti masih mengikuti. "Chia siapa?" "Waduh ... Chia siapa ya?' "Adek kenal dimana?" "Kakak kelas Adek, katanya dia artis sinetron." "Nggak pernah denger, kalaupun ada, pasti grade B." "Ada grade-nya?" "Ya ada dong, kalo di kantor Popa dipisahin, grade A itu yang main sinetron berseri, biasanya terkenal, kalo grade B yang main Ftv, atau drama - drama pendek aja." "Besok Adek tanyain deh, dia grade apa." "Eh jangan, mereka nggak tahu, yang bikin grade kan cuma kantor Popa aja, mereka tahunya cuma jadi artis aja. Sombong nggak dia?" "Kayaknya sombong, waktu Adek tanya dia terkenal atau nggak, dia malah melotot." Moma tertawa mendengar cerita cucunya ini, kalau Popa malah bangga. "Adek bener ini, memang harus ditanya dulu, kalo dia melotot, fix nggak famous." "Ya kalo dia famous, pasti nggak marah ditanya gitu, Popa ... paling senyum aja." "Adek nggak pernah di bully kan, di sekolah?" tanya Moma. "Pernah kayaknya." "Kayaknya?" "Maksud Adek ada yang berusaha mau bully Adek, tapi kayaknya nggak sukses deh." "Siapa? Kakak kelas? Si artis itu?" tanya Popa sudah mulai naik tensi. "Bukaan ..." jawab Dhevi cepat. Gawat kalau Popa sampai tahu. "Udah ah, Popa kepo. Orang sudah dibilang nggak berhasil juga," jawab Dhevi langsung mengambil piring yang dibawa Moma tadi, dia hendak mencicipi tiramisu buatan Moma-nya. "Jangan sampe bablas ya, Dek. Kasih tahu Popa kalau ada yang bully Adek." "Kalo Adek yang bully, lapor Popa nggak?" tanya Dhevi usil. Tentu saja Popanya jadi senyum - senyum. "Lapor juga, Popa mau tahu keadaan yang Adek bully, apa dia baik - baik aja." "Ini nanti Moma yang lapor ke mama ya, biar Adek di bawa ke Bandung lagi," ancam Moma yang mendengar percakapan kerjasama antara kakek dan cucunya ini. Dhevi dan Popa saling melirik dan mengangkat satu alis, entah itu kode apa. *** Dhevi naik ke kamarnya, dia harus mandi dulu dan menelepon mamanya, itu dua hal wajib yang dilakukan saat pulang sekolah. Tas sekolahnya sudah diletakkan Mbak Ninis di atas meja belajar, baju gantinya juga sudah ada di tempat tidur. Dhevi segera masuk kamar mandi, sebentar lagi sudah jam setengah enam, keasikan ngobrol sama Popa dan Moma membuatnya lama naik ke atas. Ketika keluar dari kamar mandi, dia baru melihat ternyata Mamanya sudah misscall dua kali. Dhevi tidak langsung membalas telepon mamanya, tapi dia memakai bajunya dulu, menyisir rambutnya baru dia naik ke atas tempat tidur untuk menelpon mamanya. Belum sempat dia menekan nomor Mamanya, sudah keburu masuk lagi telepon dari mamanya itu. "Ya Ma," jawab Dhevi sambil melihat ke arah kamera hp. "Kok lama angkat teleponnya?" "Adek dari kamar mandi." "Baru pulang?" "Iya." "Ada acara apa?" "Kerja bakti di perpustakaan." "Kenapa lagi tuh??" Ternyata ada Papa Azki di belakang mama Dea dan tidak terlihat oleh Dhevi. "Nggak ada, cuma bantuin Bu Wening aja kok. Papa kenal nggak sama bu Wening?" "Kenal dong, kayaknya semua kenal deh." "Iya tadi bu Wening cerita, katanya waktu pernikahan Papa sama Mama dia juga datang. Kenal dengan om Abang sama Om Mas, sama abang Shaka juga." "Harusnya sama paman dan bibitha juga kenal tuh, mereka kan pindahan waktu itu ... tapi cuma sebentar sih." "Tapi Bu Wening nggak bilang tuh." "Lupa kali, kan udah tua juga. Kayaknya udah mau pensiun harusnya." "Tahun depan katanya." "Nah iya soalnya dia udah lama banget di sana." "Memangnya siapa aja sih Pa yang sekolah di situ?" "Semua juga sekolah di situ." "Berarti bu Wening kenal semua dong." "Kayaknya waktu zaman yangti Ana, bu Wening belum ada deh. Mulai dari zaman Abang, berarti nanti terakhir sampai zaman Adek karena dia udah pensiun. Titip salam ya. Eh nanti papa titip sesuatu deh suruh mbak ninis beliin apa gitu buat kenang-kenangan. De, suruh Ninis beliin apa kek gitu," ucap papa Azki ke mama Dea. "Iya nanti aku bilangin Ninis." "Gimana pelajaran hari ini dek?" "Baik-baik aja." "Nggak dipanggil guru BK kan?" "Hari ini nggak, aman kok, Adek nggak terlambat." "Sama guru olahraga itu udah selesai belum urusannya?" Dhevi hanya diam tak bersuara tapi menggeleng. "Gimana sih dek, itu yang harus selesai dulu. Itu mata pelajaran loh, beda sama kasus terlambat. Kalau terlambat tuh cuman dihukum, selesai urusannya, tapi kalau mata pelajaran ya harus diganti, kalau nilai ujiannya kurang harus ikut remedial." "Adek tuh sebel soalnya ujian tengah semester itu nilai prakteknya diambil di GBK Pa, mana lagi jam panas - panasnya, meleleh Adek nanti." "Teman Adek ada yang meleleh nggak?" "Ya nggak ada." "Terus kenapa adek sendiri yang meleleh? Mama ke Jakarta ya nemenin adek waktu ngambil nilai olahraga," ucap Papa Azki yang langsung dijawab dengan gelengan oleh Dhevi. "Mana boleh orang tua ikut." "Itu kan buat orang tua yang lain yang anaknya nggak bermasalah dengan olahraga, adek kan punya masalah dengan olahraga jadi harus ditemenin, kalau nggak mau mama yang nemenin, berarti Papa aja yang ke sana nemenin Adek lari di GBK, papa cuti nih." Dhevi cemberut. "Pokoknya Adek nggak mau ditemenin." "Kalau nggak mau ditemenin, berarti Adek ikut ambil nilai." "Ya udah." "Nanti mama yang ngecek ya ke gurunya." "Ckk, jangan. Pokoknya nanti ada nilainya, nggak percaya amat sih." "Oh ya udah, kalau mau dipercaya, buktikan dong." Dhevi mencebikkan bibirnya dan membuat papa dan Mamanya tertawa. "Minggu ini papa nggak bisa ke Jakarta, adek ke Bandung ya." "Iya." "Kalau Popa nggak bisa ikut, sama Pak Basri sama Mbak Ninis aja." "Ya nanti Adek bilang sama Popa dulu. Kenapa sih Papa nggak bisa datang Padahal Adek pengen nginep di rumah eyang." "Papa main golf sama dokter-dokter di sini." "Ooo." "Adek udah makan belum?" "Belum, sebentar lagi kali, Adek masih kenyang juga tadi Moma bikin tiramisu, sebelumnya Adek makan es krim McD pulang sekolah." "Jangan terlalu banyak makan yang manis-manis ya." "Takut Adek tambah manis ya Pa?" "Iya." Dhevi jadi terkikik geli. "Di sekolah nggak ada yang gangguin Adek kan?" "Ngapain juga sampai di gangguin orang, Adek aja di kelas terus." "Ya siapa tahu ada cowok-cowok yang usil." "Nggak ada kok, aman-aman aja. Kenapa papa nanya begitu? Memang Papa dulu usil, suka godain cewek?" "Oh nggak Papa Adek tuh baik banget dulu, selain kalem, hobinya di kelas aja nggak keluar - keluar sama kayak adek," jawab mama Dea. Papa Azki malah tertawa, mungkin dia malu mengingat masa SMA nya dulu. Sekarang malah sok me-interogasi anaknya. "Bisa aja sarkasnya," Papa Azki colek dagu mama Dea. Pintu kamar Dhevi diketuk dari luar, setelah Dhevi menyuruh masuk ternyata Mbak Ninis. "O Adek lagi nelpon?" "Kenapa Mbak?" "Diajak makan sama Popa," jawab Mbak Ninis. "Masak apa Nis?" tanya mama Dea. "Ikan bakar sama sayur asem, Mbak." "Memangnya Adek mau ikan bakar, ya?" "Nggak mau, tapi ada ayam goreng kok," jawab Ninis. "Ya udah makan dulu Dek besok kita telepon lagi ya, jangan lupa siapin bukunya malam ini, ada PR nggak?" "Nggak ada." "Nah bukunya aja siapin, seragamnya udah ya Nis?" "Udah Mbak." "Besok bekal adek apa?" "Sushi." "Oh ya udah. Udah dulu ya, Adek mau turun, kan?" "Iya, udah ya Ma, bye." Tapi Dhevi hanya pamit kepada mamanya karena papanya sudah tidak ada di layar ponsel, sepertinya sedang melakukan sesuatu yang mendadak. Dhevi pun turun ke bawah bersama Mbak Ninis. Sudah ada Popa dan juga Momanya yang sudah menunggunya untuk makan malam. "Kok lama, masih mandi?" "Nggak, papa sama mama lagi telepon. Popa, katanya Papa sama Mama nggak bisa datang weekend ini, Adek disuruh ke Bandung sama Popa sama Moma juga." "Mauren mau dititip disini, soalnya papa sama Mamanya mau ke Singapura. Kita ajak aja ya, Dek." "Terserah Popa aja." Walau Dhevi dan Mauren tidak akrab dari kecil, sudah besar begini mereka sesekali pergi bersama. Tapi kalau mengajak Mauren, Popanya tetap menanyakan kepada Dhevi dulu, dia berkenan atau tidak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN