Gagal

2517 Kata
"Rang, nanti malam lo mau ngajak ribut anak Garuda lagi?" tanya Rava ketika mereka masih berada di pinggir lapangan basket setelah jam pulang sekolah. Tadi mereka memang menonton anak basket sedang berlatih, termasuk Gusti, Zidan dan Epri. Tapi mereka tidak langsung pulang, melainkan nongkrong di lingkungan sekolah agar tidak kena razia tongkrongan di luar sana. Selama ini kalau anak sekolah nongkrong di luar halaman sekolah, misalnya di taman kecil di dekat jalan Mendawai, akan dicurigai sedang merundingkan suatu kegiatan negatif, sedangkan nongkrong di halaman sekolah malah tidak dicurigai sama sekali, padahal tetap saja mereka merundingkan yang negatif juga. Rangga langsung menoleh ke kiri dan kanan, dia khawatir ada guru yang melintas dan mendengar pembicaraan mereka, maksudnya ucapan Rava barusan kan mengandung bahaya, tapi syukurnya aman. "Bisa nggak jangan asal ngomong di lingkungan sekolah gini?" tanya Rangga dengan nada mengancam. Jelas dia kesal mendengar ucapan Rava yang menurutnya tidak tahu tempat, kalau ada orang lain misalnya murid, tukang sapu atau satpam yang mendengar, kan bahaya, jangan - jangan dia dipanggil lagi ke ruang BK sebelum melakukan apa - apa. "Eh, sorry ... sorry, gue lupa," Rava sadar akan kesalahannya. "Lo mau gue dipanggil BK lagi?" "Eh lo dapat hukuman apa kemarin, Rang?" tanya Anov. "Panggil orang tua." "Buset, siapa yang datang?" "Pembantu gue, gue bilang aja adek nyokap gue." Mereka tertawa mendengar cerita Rangga, memang ada - ada saja idenya. Tapi terbukti manjur selama hampir tiga tahun ini. Suasana sekolah sudah sepi membuat tawa mereka jadi satu - satunya suara yang terdengar. Anak - anak ekskul juga sudah pulang dari beberapa menit yang lalu, dan di depan sekolah hanya ada satu mobil jemputan yang masih menunggu,sepertinya masih ada siswa lain yang belum pulang selain mereka. "Jadi kita ngumpul di tempat biasa jam berapa, Rang?" tanya Bima, memecah keheningan. "Abis Maghrib aja," jawab Rangga singkat. "Cepet banget, njirr," keluh Rava. Masalahnya rumah Rava paling jauh, di Bintaro, sedangkan yang lain masih dekat dengan area sekolah. Untuk pulang saja dia bisa menghabiskan waktu empat puluh menit, balik juga begitu, ini saja sudah jam empat, makanya dia protes. "Kalo nyokap sama bokap gue udah pulang, gue susah keluar, kudu ribut dulu," jelas Rangga memberitahu alasannya. "Nggak apa - apa kalau yang lain bisanya jam sembilanan, gue temenin Rangga abis Maghrib," sahut Gusti. "Nggak capek lo habis maen?" "Nggak lah, pulang, mandi, selonjoran bentar ..trus kesini cuma lima belas menit," jawab Gusti. "FM, kan?" tanya Bima memastikan tempat mereka akan berkumpul. "Iya," jawab Rangga. "Mereka berapa orang, Rang?" tanya Anov. "Nggak tahu, yang jelas one on one, mereka nggak main keroyokan," bisik Rangga. "Gue ngincer si toge ya," sahut Epri cepat. "Si lemah gemulai itu?" "Paling lemes mulutnya, gemes banget pengen gue bogem mulutnya." Mereka tertawa mengingat salah satu anak Garuda yang memang terlihat gemulai, tapi bukan banci, memang bawaannya begitu. Kalau Rangga pasti berhadapan dengan Ardian atau Riko, mereka musuh bebuyutan dari SMP soalnya. Dulu waktu masih satu sekolah di SMP, mereka sudah pernah berkelahi dan berakhir di ruang kepala sekolah, bukan hanya BK, lalu membuat surat perjanjian didepan orangtua bahwa mereka tidak akan mengulangi lagi. Rava tiba - tiba mengalihkan pandangan, memperhatikan seorang gadis yang baru saja keluar dari koridor sekolah. "Eh, itu anak kelas sepuluh yang tadi, bukan?" Mata Rangga ikut melirik ke arah yang sama. "Dek..." panggilnya tiba - tiba. Namun, Dhevi tidak menoleh sama sekali. Dia bukannya sombong mengabaikan panggilan Rangga jadi terus saja berjalan tanpa menoleh sedikit pun, rupanya karena dia mengenakan AirPods di telinganya. "Dia pakai AirPods, mana denger lo manggil," ujar Gusti sambil terkekeh. Rangga berdiri dan sedikit berlari mengejar langkah Dhevi. Teman - temannya memperhatikan dengan wajah heran, Rangga tidak pernah mengejar wanita, maksudnya mengejar dalam arti yang sesungguhnya, yaitu dengan berlari dan menghampiri seperti ini. Tapi sekarang Rangga melakukannya dan lupa kalau ada teman - temannya. Tampak Rangga mensejajarkan langkah dengan gadis itu, yang akhirnya berhasil membuatnya menoleh, bahkan sampai membuat Dhevi kaget karena tiba - tiba ada Rangga disebelahnya, dan dia mengait alisnya. Dhevi melepas satu AirPods dan menghentikan langkahnya. "Ada apa lagi, Kang? Temennya mau ngebully Adek lagi?" tanya Dhevi dengan nada datar. "Nggak, kok" jawab Rangga buru-buru. "Gue penasaran aja, kenapa lo baru pulang?" "Dari perpus," jawab Dhevi singkat. "Rajin amat belajarnya?" Rangga berusaha basa-basi. "Siapa yang rajin? Kan denger sendiri Bu Dewi ngasih hukuman apa." "Owh iya, bantuin beresin buku, emangnya sampai sore, ya?" "Iya, tapi bukan dari pagi sampai sore. Cuma dari pulang sekolah tadi, dua jam yang lalu." "Ngapain aja dua jam di perpus?" Rangga mulai penasaran. "Tadi udah bilang, bantu beresin buku. Kenapa nanya lagi?" "Masa iya beresin buku sampai dua jam?" Rangga masih belum percaya. "Ngobrol sama ibu perpus, sambil makan juga," jawab Dhevi sambil mendesah, dia mulai pegal ditanyai seperti selebriti. "Jadi asisten apa temen ngerumpi?" Rangga mencoba bercanda. "Mau tau banget?" tanya Dhevi, menatap Rangga tajam. Rangga kebingungan mau menjawab apa. "Uhm, mau diantar pulang nggak?" Dhevi melirik ke arah teman-teman Rangga, tepatnya ke arah gerombolan mereka yang terkenal di sekolah, dan mereka juga sedang menatap ke arahnya dan Rangga. "Nggak deh, makasih. Adek udah dijemput," jawab Dhevi sambil menunjuk mobil putih milik popanya yang sedang parkir di depan gerbang sekolah. "Owh, yaudah. Mungkin lain kali," ucap Rangga dengan ragu. Lain kali? Dhevi merasa geli mendengar ucapan itu. Yakin banget lain kali? Mana mungkin Popanya mengizinkan dia diantar sama berandalan model Rangga. Bisa - bisa Popa datang ke sekolah dan memberi peringatan keras, menjadikan Rangga masuk golongan red flag dalam catatan keluarganya. "Adek duluan," ucap Dhevi, lalu ngeloyor pergi meninggalkan Rangga yang hanya bisa melihatnya dari kejauhan sebelum kembali ke teman-temannya. Rangga memang belum berhasil mengajak Dhevi pulang bersama karena Pak Basri dan Mbak Ninis, pengemudi dan pengasuh Dhevi, selalu standby menjemput cucu kesayangan majikan mereka. Bahkan, mereka belum pernah terlambat menjemput Dhevi karena omelan Popa akan sangat dahsyat kalau sampai terlambat. "PDKT lo sama bocil, Rang?" tanya Epri sambil mengamati Rangga. "Lucu aja buat hiburan," jawab Rangga enteng, lalu duduk disebelah Anov. "Eh, kita taruhan bakso Mang Aceng yuk. Kalo Rangga berhasil nembak bocil dan diterima, kita traktir dia makan bakso Mang Aceng sepuasnya," usul Rava sambil terkekeh. Tentu saja dia menggoda Rangga yang terasa 'agak lain' hari ini. Rangga mengibaskan tangannya. "Nggak usah taruhan gitu. Terlalu mudah buat gue dan terlalu murah buat lo semua. Gue cuma iseng doang kok, nggak ada pacar - pacaran. Anak itu tengil banget, ekspresinya juga nyebelin, gue penasaran pengen bikin dia nangis" "Sumpah, gue kepikiran hal yang sama, Rang ... kok dia nggak ada takut - takutnya sama sekali ya," ucap Rava yang sejak awal sudah mengklaim Dhevi bukan anak yang asik. "Gue rasa urat takutnya udah putus tuh orang, tapi dia itu cantik, Rang. Gue nggak enak aja bilang di depan Chia kalau si Adek itu lebih cantik dari dia... nanti drama lagi," sahut Gusti sambil menyeringai, mereka jadi terbiasa menyebut nama Dhevi dengan panggilan Adek karena mereka mendengar Dhevi menyebut dirinya begitu, jangan - jangan mereka malah tidak tahu nama aslinya Dhevi. Mereka semua tertawa mendengar komentar itu, Rava sampai mentoyor Gusti sangking gelinya, bahkan Rangga ikut tersenyum. "Berani lo ngomong gitu depan Chia, langsung akting nangis kejer dia," tambah Epri masih sambil tertawa lebar. "Makanya gue nggak komentar. Tapi bener nggak sih, cakep juga si Adek kalau gue bilang. Cuma anaknya garing kriuk kayaknya," ujar Gusti lagi. "Nyalinya juga top. Sekelas Lika, Chia, sama Kelsie aja dijawab, lho, sama dia," kata Rava menambahkan. "Cocok tuh sama lo, Rang, Lo perlu cewek yang nggak jaim - jaim gitu, apa adanya," goda Bima. "Sama sedikit galak," tambah Anov. "Cuma perlu dipikirin betapa kecewanya artis kita yang nggak berhasil ngegebet Rangga, takutnya Adek jadi sasaran mereka," Brian mengingatkan soal Chia yang mengincar Rangga. "Nggak lah. Udah gue bilang, gue cuma iseng doang, lagian bukan tipe gue yang wajah datar kayak gitu. Kalo dibikin nangis, asyik juga kayaknya tuh." "Tadi lo bilang kalo nggak dia yang sakjiw, ya elo .. sekarang kalo dia nggak nangis, ya berarti elo juga, Rang ... hati - hati, bilangnya iseng, nanti babls lho," ucap Bima sebagai pemerhati Rangga dan Dhevi. "Seriusan ... gue tuh penasaran banget sama itu anak, kek nggak ada melow - melow, sakit hati atau marah gitu, itu badan di karoseri nggak ada jeroan hati apa gimana, sih? lempeng banget, njirr." "Nggak mungkin nggak ada hati, memang kadar stresnya rendah, Rang ... jadi semua dibikin asyik sama dia." "Atau bapaknya galak kali, jadi dia PD nggak akan ada yang berani nyakitin dia, bisa - bisa bapaknya maju." "Info yang gue dapat dari anak kelas sepuluh, bapaknya dokter yang tinggal di Bandung, dia tinggal sama kakeknya di sini, tinggal di Cipete," jelas Rangga. "Aman kalo cuma kakek - kakek, paling ngangguk - ngangguk doang, datengin aja rumahnya, Rang." "Enak banget itu ngomongnya," Rangga melirik ke Rava. "Ya kaliii mau berjuang, jangan setengah - setengah." "Siapa yang mau berjuang? Jangan ngarang nggak karuan deh." Suara Rangga mulai terdengar kesal. "Tau nih Rava ngarang - ngarang aja sih lo," tegur Gusti. "Kan gue bilang kaliii, Rang, kalo nggak mau ya udah, buat gue kalo gitu." "Yuk, ah cabs," ajak Rangga sambil berdiri dan mengambil tasnya dan tidak mau menanggapi Rava yang mungkin sedang bercanda. Mereka berjalan keluar sekolah menuju parkiran basement ruko di seberang sekolah, tempat mereka menyimpan motor. Karena mereka membawa motor dengan cc tinggi, mereka tidak diperbolehkan parkir di lingkungan sekolah. Hanya motor sopan sekelas bebek dan Vespa yang boleh parkir di sekolah. "Jangan bilang nggak tipe, Rang ... sebagai cewek Dhevi itu nggak ada kurangnya, cuma ekspresinya itu lho," bisik Rava lagi, dia sepertinya masih penasaran dengan sikap Rangga. "Gue nggak cari cewek, nggak ada pentingnya, cuma nyusahin aja," jawab Rangga dan mempercepat langkahnya supaya bisa cepat pulang untuk beristirahat sejenak. Sesampainya di rumah, Rangga langsung melempar ranselnya ke lantai dan merebahkan diri di atas tempat tidur single-nya. Rasanya lelah sekali hari ini. Dia berencana istirahat sebentar karena malam nanti dia akan keluar lagi. Seperti yang dibicarakan tadi dengan Rava, mereka akan menerima tantangan dari anak - anak SMA Garuda. Ini adalah tantangan ketiga, dua tantangan sebelumnya tidak diladeni Rangga karena dia baru saja dapat hukuman dari sekolah. Jadi, dia harus tetap kalem untuk sementara karena pasti dia masuk dalam pantauan wali kelas. Rangga mendengar suara pintu pagar depan digeser. Sepertinya ada mobil yang akan masuk. Dia bangkit dari tempat tidur dan menuju jendela kamarnya. Dari jendela, dia melihat mobil mamanya yang baru saja masuk. Tumben mamanya sudah pulang jam segini? Rangga melihat jam dinding, baru setengah lima sore. Biasanya, sebelum jam tujuh malam, mamanya belum ingat pulang. Untuk memastikan, Rangga turun ke lantai bawah. Dan benar saja, mamanya baru saja masuk rumah dengan tas tenteng di tangan, sementara pembantu mereka membawakan barang belanjaan. "Tumben pulang sore, Ma?" tanya Rangga penasaran. "Teman arisan Mama masuk rumah sakit, koma. Jadi, teman - teman Mama nggak enak mau lanjutin acara. Abis besuk, langsung pulang," jawab mamanya. Mamanya Rangga memang ibu gaul yang banyak acara, mulai dari kegiatan sosial di organisasi para istri di kantor papanya hingga bergaul dengan teman - temannya. Ngopi cantik, breakfast meeting, lunch meeting, birthday Party, Arisan genk Australia karena pernah sama - sama kesana, arisan geng sma, arisan geng celebrity karena pernah fitnes di tempat yang sama, itu adalah judul - judul kegiatan mamanya, tapi dia juga sering terlibat dalam kegiatan sosial seperti membangun rumah singgah, ikutan bikin malam amal untuk yayasan kanker, bikin pameran hasil kerajinan anak cacat dan kadang - kadang ikut short trip ke luar negeri untuk sekadar healing. Mau tahu kerjanya apa?Pekerjaan tetapnya adalah pengangguran banyak acara. Mengurus anak? Itu lain cerita. Rangga dan adiknya, Bastian, lebih sering diasuh oleh baby sitter sejak kecil. Mamanya hanya membesarkan mereka waktu diperut, menyusui selama enam bulan dan selebihnya mempercayakan pengasuhan Rangga dan Bastian pada baby sitter yang terus berganti sampai mereka besar dan masuk usia sekolah. Tidak ada protes dari papanya, mungkin mereka memakai perjanjian pranikah soal mengasuh anak ini, jadi papanya tidak banyak ikut campur dan mamanya berbuat semaunya. Tidak heran jika Rangga selalu mencari perhatian, baik di sekolah maupun di rumah, meski hasilnya jarang mendapat respons dari orang tuanya. Rangga lebih sering mengandalkan asisten rumah tangga yang juga mengasuhnya dari SD, sebagai wali yang datang ke sekolah dan mengaku sebagai adik mamanya. Lain lagi Bastian yang tumbuh jadi anak tetap ceria tapi banyak bergantung pada Rangga, usianya tiga tahun lebih muda dari Rangga. Dia tidak banyak bergaul di luar rumah, memang soal ini dia agak berbeda dari Rangga. Untuk banyak hal, dia lebih mengandalkan mas Rangga, begitu dia memanggilnya. Pernah juga diajak Rangga bergaul dengan teman - temannya, dan Bastian sangat senang karena merasa kakaknya seorang jagoan. Rangga hanya tersenyum kecut mendengar jawaban mamanya, lalu dia hendak kembali ke kamarnya. "Mas Rangga nggak pergi - pergi lagi kan malam ini?" Pengecekan standar, kalau dia jawab iya, persoalan selesai, tapi kalau dia jawab keluar, maka mamanya akan mengoceh sejak saat ini sampai menjelang tengah malam nanti. "Belum tahu," jawab Rangga cari aman. "Nggak ada keluar rumah setelah jam tujuh malam. Papa kan sudah bilang, nggak ada lagi keluar malam, ujung - ujungnya pasti berantem. Kunci motor mana?" tanya mamanya sambil menyodorkan tangan. Rangga sudah tahu, dia harus kabur dulu, baru bisa keluar rumah malam - malam. Makanya tadi dia minta kumpul cepat supaya tidak bertemu mamanya seperti sekarang, eh malah mamanya pulang cepat dan mau menahan kunci motornya, Apes! Bukannya tidak ada mobil di rumah, ada, tapi Rangga tidak suka kabur bawa mobil, jangankan serumah, tetangga juga bisa dengar kalau dia kabur bawa mobil, tapi kalau motor, dia akan mendorong motornya hingga melewati dua atau tiga rumah, baru dia nyalakan. Malam nanti, pertarungan sudah menunggunya. Seperti biasa, Rangga akan mencari adrenalin untuk mengisi kekosongan yang tidak pernah dipenuhi oleh perhatian orang tuanya. Tapi dia sekarang bingung bagaimana caranya kabur, biasanya dia menunggu orang tuanya tidur baru dia pergi diam - diam walaupun pekerja di rumahnya ini tahu dan membukakan pintu, tapi mereka tidak melaporkan pada majikannya, tapi sekarang mau kabur pake apa? Masa mau berantem naik ojek? *** Rangga Guys ... nyokap gue pulang. Selama nyokap belum tidur, gue susah kabur nih, mana bokap nggak tahu pulang jam berapa. Rangga tidak menceritakan perkara kunci motornya yang disita, gengsi dia. Rava Pending aja Rang. Rangga Ntar dibilang chicken lagi. Rava Kagak ... ntar gue yang bilang sama gengnya Rico, dari pada lo diciduk orang suruhan nyokap lo? Cari masalah namanya. Bima Iya Rang, mending nahan diri aja daripada ntar jadi masalah. Rangga Padahal gue udah nggak tahan pengen geplak kepala si Rico. udah kek Taek dia nge wa gue. Anov Sengaja tuh dia mancing lo, dia tahu lo bakal ngegas, santuy aja Rang. Kita memang kudu santai kalo ditantangin, pas dia nyantai baru kita sikat. Rangga Jadi gimana nih, seriusan mau pending? Bima Saran gue sih gitu. Biar si Rava yang kontak anak Garuda. Rava Nanti gue bilang gini ya, komandan gue lagi berbunga - bunga ... jadi nggak fokus berantem, lagi ada Dedek gemes soalnya. Rangga Taeek lo! Rava memang paling bisa memancing kemarahan Rangga. Sekarang dia memakai nama Dhevi untuk membuat Rangga kesal, dan tentu saja berhasil, buktinya Rangga sudah mengeluarkan umpatannya di WA grup mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN