Silent Treatment

2127 Kata
Ternyata kejadian kemarin di kelas Dhevi itu, merupakan awal penjemputan selanjutnya, ada jemputan kedua, ketiga dan tidak tahu sampai kapan lagi. Tapi Dhevi tidak diinterogasi lagi, dia hanya disuruh duduk di dekat kelompok Rangga yang sedang makan-makan di kantin dan hanya bisa menyimak obrolan mereka yang absurd, Anya tetap sebagai pendamping Dhevi, tanpa diminta pun dia pasti mendampingi sahabatnya itu, walau dia sadar itu tidak baik untuk kesehatan jantungnya yang jadi berdebar lebih cepat. Seperti kompakan, atau di bawah ancaman? Dhevi tidak tahu pasti, tapi semua teman-teman Rangga juga tidak ada yang mengintimidasinya seperti hari Senin yang lalu. Sebenarnya Dhevi lebih gelisah dengan suasana seperti ini, soalnya jadi mati gaya, dia tidak bisa ngapa-ngapain, mau pesan makanan dia sudah kenyang, mau mau pesan minuman, dia juga tidak haus. Hp-nya hanya ditaruh di kantong baju, mau main mobile Legends juga nggak lucu dengan suasana begini, baru ini Dhevi merasa begitu kesal dengan Rangga yang sudah merenggut hak bermainnya. "Kalau kita kabur aja gimana?" bisik Dhevi ke Anya. "Gue nggak yakin ide lo bagus. Lo salah apa sih Dek, kok gini banget nasib kita dibuat kak Rangga?" keluh Anya yang merasa sedang dibuat main teka teki oleh Rangga. "Dia nggak bisa diajak bercanda, Nya, kayaknya orangnya terlalu serius deh ... Orang serius yang punya kekuasaan ya kayak gini nih." "Lo ajak bercanda gimana sih Dek? Lo bisa nggak sih milih-milih orang buat dibercandain? Harusnya sasaran bercandaan lo bukan Rangga Damar Utomo!" ucap Anya pelan tapi sekaligus geram, tepat di telinga Dhevi. Dhevi malah menahan senyum mendengar ucapan Anya, lalu dia melirik ke arah Rangga, di saat Rangga juga sedang melihat ke arahnya dengan tatapan datar. Melihat Dhevi menahan senyum, Rangga malah salah sangka, dia benar-benar tidak melihat sedikitpun keresahan Dhevi yang dia hukum duduk diam tidak diajak bicara sedikitpun. Rangga sampai ragu, ini anak apa benar-benar tidak punya perasaan ya? Jelas sekali perbedaannya dengan wajah Anya yang terlihat tidak nyaman. Saat diinterogasi dia santai, diabaikan saja dia tenang, malah sekarang seperti menahan senyum. Rangga sampai membuat peraturan ke teman-temannya tidak boleh mengajak Dhevi bicara, lumayan kan empat puluh lima menit membuat dia stress? Tapi yang Rangga lihat malah sebaliknya. "Sampe kapan sih mereka lo suruh duduk disana, apa setiap hari di saat jam istirahat?" tanya Epri yang melihat Rangga sedang menatap ke arah Dhevi dan Anya. "Sampe dia minta ampun sama gue." "Memang dia ngapain sih, Beb?" tanya Chia yang main bab beb bab beb saja ke Rangga, walau Rangga tidak mempersoalkan panggilan itu. Chia penasaran juga melihat apa yang dikerjakan Rangga beberapa hari ini, menjemput Dhevi ke kelasnya, lalu menyuruh nya duduk di dekat geng mereka, tapi tidak boleh diajak bicara, padahal Chia juga sudah gemas ingin mengerjai Dhevi. dan ini benar-benar suatu keanehan yang tidak pernah mau dijawab Rangga. "Jangan kepo urusan orang!" jawab Rangga tegas. Chia auto kiceup. Rangga kalau udah serius memang menyeramkan, apalagi kalau ditambah dengan ekspresi wajah dan tatapan tajam. Terdengar lagi bunyi bel tanda jam istirahat berakhir dan membuat Rangga menoleh ke arah Dhevi dan Anya. "Kalian boleh balik ke kelas." Tanpa ba bi bu, Dhevi berdiri dan pergi meninggalkan kantin sambil menarik tangan Anya, dia malas pamit sama Rangga. "Lama-lama gue capek banget deh, gue nggak ngerti dia maunya apa sih?" omel Anya ketika mereka sudah menjauh dari kantin dan naik ke lantai dua. "Ya tanyain aja sama dia." "Please dong Dek, normal dikit dong. Masa kita diinjak-injak begini lo cuman diam aja? Gue aja disuruh duduk begitu doang nggak ngapa-ngapain, stress loh," ucap Anya sambil memijat dahinya. "Adek sih udah lihat dari tadi tanda - tanda Anya stress, makanya marah-marah aja." "Ckk ... Bisa nggak besok nolak aja waktu dijemput paksa?" "Bisa aja, kalau Adek nolak ... Kan Anya pergi sendirian, mau? Kalau mau ya udah besok Adek tolak." "Eh ... eh, nggak gitu juga," seketika Anya panik ketika menyadari dia hanyalah tumbal Dhevi. "Terus gimana?" "Iya maksudnya tolak nggak usah semuanya pergi ke kantin yang nggak ada pentingnya itu, jajan nggak bisa, mau buka handphone takut, nggak diajak ngomong ... Kita tuh beda tipis sama daftar menu yang ada di dinding kantin, Dek." "Apa iya?" "Ckkk.." Anya berjalan lebih cepat beberapa langkah meninggalkan Dhevi di belakangnya yang hanya terkekeh melihat reaksi Anya. Mereka masuk ke kelas, teman-teman mereka sudah duduk di tempat masing-masing tinggal menunggu guru yang belum datang, "Hari ini kalian jadi apa lagi?" tanya Vino ketika kedua sahabatnya itu duduk di bangku mereka. "Jadi daftar menu," jawab Dhevi. "Maksudnya gimana dah?" "Iya diam aja di situ nggak ngapa-ngapain, walaupun sekali-sekali ditengok orang," sahut Anya. "Itu namanya silent treatment, Nya. Mereka sedang membully secara pasif dan bikin kita gelisah dan nggak nyaman," jelas Dhevi. "Nggak jelas banget ya? Baru tahu gue ada bully-an jenis itu," ucap Vino. "Kalau jelas, gue nggak bakal ngomel kayak gini, Vin," sambar Anya yang masih saja kesal. "Tenang aja, Nya, nanti Adek bales." "Ya Allah dek, please deh, jangan nambah-nambah kelakuan lagi. Ini baru gue doang yang ikut, kalo lo nambah lagi, bisa-bisa Buana sama Vino juga ikutan dibawa ke kantin, tau nggak?" "Ya Enak dong, kan jadi rame, Adek bisa main lagi sama Buana sama Vino di kantin." "Benar kata Anya Dek, please jangan nambah-nambah lagi," ucap Buana dengan nada memelas. Dia memang jenis cowok yang tidak ingin cari keributan, ingin damai dan hanya bersenang-senang. "Ya udah kalau gitu." Ketiganya menghembuskan nafas lega. "Adek balesnya nanti aja." *** Dhevi masih di perpustakaan, sekarang baru jam tiga, Dhevi sudah menyelesaikan tugasnya, hari ini lebih cepat karena buku yang dikembalikan oleh murid-murid tidak terlalu banyak, hanya sekitar tiga puluh buku. Penghuni perpustakaan baru saja selesai makan siang. Sebenarnya Dhevi sudah bisa pulang, tapi dia sudah terlanjur menyuruh Mbak Ninis jalan jam setengah empat dari rumah, berarti mobilnya baru akan datang sekitar empat puluh lima menit lagi. Dhevi tentu saja lebih memilih tetap tinggal di perpustakaan yang dingin ini daripada harus menunggu di luar, apalagi sejak hari Senin kemarin gerombolannya Rangga selalu ada di lapangan, ya walaupun baru dua hari ya, tapi Dhevi menduga hari ini juga tetap sama. "Adek nggak ikut ekskul apa-apa ya?" tanya bu Wening. "Nggak Bu, nggak ada yang Adek suka." "Keluarga kalian kan terkenal sebagai atlet basket, memangnya Adek nggak kepengen?" "Takut keringetan Bu," sahut Pak Iman mendahului Dhevi, dan itu membuat Dhevi tersenyum. "Oh iya, ibu sampai lupa. Jadinya gimana tuh pelajaran Pak Sarjan? Sudah ada solusinya belum?" "Kemarin Adek olahraga kok, bawa bajunya juga." "Tapi kok kemarin ibu lihat adik baik-baik aja. Berarti nggak masalah dong ikut praktek olahraga?" "Adek kan pingsan, Bu." "Serius? Kok siangnya bisa ke perpustakaan?" Bu Wening benar-benar penasaran, masalahnya kemarin Dhevi datang ke perpustakaan seperti biasa, dia baru tahu kalau Devi kemarin sempat pingsan, dan itu yang membuatnya ingin tahu apa yang terjadi setelahnya. "Serius kok. Ibu aja yang nggak tahu karena di perpustakaan melulu." "Memang kemarin Adek ke GBK?" "Nggak, kemarin enggak ada jadwal ke GBK. Jadi habis istirahat pertama langsung ganti baju, terus lari dekat lapangan basket, baru lari satu putaran, Adek langsung pingsan, dibawa ke ruang UKS." "Nanti Pak Sarjan pasti kapok nyuruh adek lari lagi deh," duga Pak Iman. "Bener Pak, kata Pak Sarjan berarti adek memang benar - benar nggak cocok buat lari," jawab Dhevi sambil memamerkan senyumannya. "Habis pingsan nggak disuruh pulang?" "Nggak dong, bu, Adek bilang kalau Adek nggak mau pulang, soalnya harus menjalankan tugas di sini." Harusnya dari cerita itu Bu Wening tahu mana yang palsu, pingsannya atau loyalnya menjalankan tugas hukuman? "Udah jam setengah empat nih Dek, turun aja... Paling mobilnya sebentar lagi datang." "Iya Bu, Adek mau siap-siap." Dhevi berdiri lalu mengambil tasnya, dia memasukkan handphonenya, dan ikat rambutnya ke dalam tas. "Adek pulang duluan ya Pak, Bu.." Pamit Dhevi. "Iya hati-hati di jalan, kalau mobilnya belum datang, tunggu di pos satpam aja ya, jangan keluar pagar," pesan bu Wening. "Iya bu." Ketika Dhevi turun, suasana sekolah tidak sepi seperti biasanya, ternyata di salah satu ruangan di bawah sedang ada latihan tari, biasanya sih semua ekskul sudah pulang jam segini, mungkin mau ada perlombaan, jadi anak ekskul latihannya lebih lama. Setelah turun dan menuntaskan semua undakan anak tangga, Dhevi berbelok ke arah depan. Seperti dugaannya, gengnya Rangga ada lagi di sana, di tempat yang sama. "Pasti cari gara-gara lagi nih," gumam Dhevi sambil memasang airpods nya lagi. Dia terus melangkah seperti biasa, setelah agak mendekat dari lapangan basket, Dhevi menghitung dalam hati ...satu ....setelah tiga langkah, Dua ... "Dek." panggil Rangga. Ckk ... nunggu tiga kek! Dhevi tentu saja mendengar panggilan Rangga karena airpordnya tidak menyala, dia sedang tidak menelpon dan dia juga sedang tidak mendengarkan musik dari spotify. Jadi dari hari pertama dia juga sudah mendengar kalau Rangga memanggilnya Tapi tentu saja dia pura-pura tidak dengar dan ketika dihampiri dia akan kaget. "Dek." Panggil Rangga lagi, tapi sekarang dia sudah berada di sisi Dhevi. "Apa?" "Belum dijemput tuh, gue antar pulang yuk." Dhevi melihat keluar, memang mobilnya belum ada di tempat biasa. Setelah dia melihat jam tangannya ternyata memang belum waktunya, harusnya sepuluh menit lagi mbak Ninis sampai. "Sebentar lagi juga nyampe," jawab Dhevi sambil terus berjalan dan Rangga juga mengikutinya. "Gas, Rang ... jangan kasih kendor," begitu teriakan yang Dhevi dengar, tentu saja itu ulah teman-temannya Rangga, dan Dhevi memilih pura - pura tidak dengar. Mereka sampai di pos satpam, di sana ada bangku panjang dan Dhevi duduk disana. "Belum dijemput ya mbak?" tanya Pak Maman yang lagi bertugas. Dia berdiri tidak jauh dari Rangga dan Dhevi. "Iya Pak, biasanya sebentar lagi ... Ini cuma kecepatan keluar dari perpustakaan," jawab Dhevi. "Biasanya kan Mbak Devi keluarnya jam empat, ini belum jam empat." "Soalnya tadi kerjaannya juga nggak banyak, jadi disuruh Bu Wening pulang." "Yang jemput sopir biasa kan, sama Mbaknya?" "Iya Pak." Rangga mulai kesal, pak Maman sepertinya tidak henti-hentinya mengajak Dhevi ngobrol. Padahal dia juga mau bicara dengan Dhevi. Rangga tidak tahu saja kalau Pak Maman memang sengaja mengajak Dhevi bicara karena ada Rangga disana, pak Maman khawatir kalau Rangga akan mengganggu Dhevi, mau dilarang takutnya malah dia jadi bereaksi macam-macam, anak puber model Rangga lagi tidak bisa dibilang baik-baik. Makanya Pak Maman memilih mengajak Dhevi bicara supaya tidak ada kesempatan untuk Rangga membully-nya. Sampai akhirnya Dhevi dijemput, pak Maman benar-benar tidak memberi kesempatan untuk Rangga bicara dengan Dhevi. Sampai Rangga kembali lagi ke kumpulan teman-temannya. "Gimana, minimal nomor telepon dapat dong," goda Rava. "Siapa juga yang minta nomor telepon!" jawab Rangga seperti kesal. "Lah terus ngapain lo ngikutin dia, cuma mau bilang hati-hati di jalan ya, Dek, gitu?" "Kepo banget sih lo!" "Ya kepo lah, kemarin-kemarin lu cuma nyamperin sebentar, terus bye bye, hari ini meningkat sedikit sampai pos satpam, jangan-jangan besok sampai rumah nih." Rangga tidak menanggapi. "Tadi di kantin lo diemin dia, sampai kita juga nggak boleh ngomong, terus barusan lo ngajak dia ngomong apa?" tanya Gusti. "Boro - boro ngomong, si Maman nggak ngasih gue kesempatan sama sekali buat ngomong, dia ngajak Adek ngomong terus, ngeselin banget!" jawab Rangga sengak, sampai-sampai dia tidak mau menambahkan embel-embel Pak di depan nama Pak Maman yang memang belum tua itu, mungkin usianya sekitar tiga puluhan tahun.. "Lo kasih kode kek, kan bisa gue seret juga si Maman masuk pos," ucap Rava lagi. "Mana Gue nyangka dia bakal ngajak ngomong sampai selesai, awalnya gue pikir basa-basi doang ... Lama-lama gue lihat kok si Maman nggak berhenti-berhenti ngobrol. Waktu gue mau nge-cut, mobil jemputannya udah keburu datang, kampret banget." "Jangan-jangan dia udah paham ada lo di situ, takutnya si Adek lo apa-apain, makanya dia ambil alih tuh," duga Anov. "Eh bener lagi, pasti gitu tuh, Rang. Besok kalau gitu lagi, kita bakal ikutin lo ke pos satpam, terus ngajakin si Maman ngobrol ya sampai puyeng." "Ya udah deh yuk kita pulang," ajak Rangga malas-malasan.Sambil pulang Rangga memikirkan lagi, treatment apa yang akan dilakukannya untuk Dhevi besok. Dia belum puas rasanya mengerjai Dhevi kalau belum melihat Dhevi kesal, marah, apalagi sampai menangis. Sementara itu Dhevi yang sudah dalam perjalanan pulang ditanyain sama Mbak Ninis. "Cowok tadi siapa dek?" "Pak Maman? Kenapa, Mbak Ninis naksir sama pak Maman?" "Nggak dong, cowok yang tadi deket Adek, seragamnya sama kayak adek, bukan temennya Pak Maman dong?" ledek Mbak Ninis. "Oh itu kakak kelas, Adek. Dia lagi nungguin ojek." "Kirain nemenin Adek." "Adek kan udah ditemenin sama Pak Maman, mbak Ninis mau titip salam nggak? Besok Adek sampein." Maksud hati Ninis menggoda Dhevi, malah dia yang balik digoda. "Pak Maman ganteng juga loh mbak." Kan ... "Pak, gimana cocok nggak Pak Maman sama Mbak Ninis?" "Cocok Dek." "Udah Mbak Ninis mau aja sama Pak Maman, mbak Ninis nikah dong, Adek takut disalahin malaikat nih nanti." "Disalahin apa sih Dek, sampai bawa - bawa malaikat segala?" tanya mbak Ninis bingung. "Nanti kata malaikat, gara - gara jagain Adek nih Mbak Ninis nggak nikah - nikah, padahal yang punya tulang rusuk udah nyariin, kan Adek jadi dosa."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN