PART 2
Langit malam yang gelap telah berlalu dengan begitu cepat, berganti dengan mentari pagi yang nampaknya begitu cerah di hari ini. Tentu saja Arabelle akan memulai dan menghabiskan harinya dengan bersenang-senang. Tidak ingin urusannya dicampur tangani oleh Elvano.
Pagi ini dia memang kelihatan berbeda dari biasanya. Bangun dan bersiap-siap di pagi buta. Bahkan gadis kecil itu nampak memoles wajahnya dengan make-up natural ala anak remaja ketika pergi ke kampus.
Di tempat lain, sebelum berangkat ke kantor, Elvano berniat menyempatkan diri menemui Arabelle di kamarnya terlebih dahulu. Gadis kecil itu harus diingatkan untuk sarapan agar tak terbiasa mengabaikan jadwal makan paginya.
“Sepagi ini sudah rapih? Mau ke mana kamu?” tanya Elvano yang lagi-lagi mengejutkan Arabelle. Gadis itu tengah mematut dirinya di depan cermin. Penampilannya pagi ini sudah rapih dan terlihat cantik sekali.
Arabelle tidak berniat menjawab pertanyaan dari Elvano. “Tidak penting sekali!” batinnya.
“Apa kamu tidak mendengarnya, Ara? Saya sedang berbicara sama kamu, jawab pertanyaan saya.”
Arabelle berdecak kesal. “Kepo! Terserah aku dong mau ke mana dan ngapain aja. Kita sudah sepakat untuk itu sejak awal menikah kan? Jangan banyak mencampuri urusan pribadiku!” Gadis itu membalik tubuhnya menghadap Elvano, dengan posisi melipat kedua tangannya di depan d**a. “Aku harap kamu tidak melupakannya!” tekannya kemudian.
Elvano tersenyum miring. “Lalu? Apa dengan semua itu saya tidak berhak atas diri kamu? Apa saya harus membebaskan kamu ke manapun yang kamu mau—?”
“Ya! Bebaskan aku!”
“Lalu? Untuk apa saya menikahi kamu kalau semua peraturan saya tidak berlaku? Jangan bercanda kamu!”
Arabelle memberengut kesal. “Aku memiliki kehidupan pribadi, kamu juga. Aku tidak mengusik urusanmu, aku harap kamu melakukan hal yang sama!”
“Baik, tapi tidak ada uang belanja. Bayar sendiri apapun yang kamu perlukan, jangan pernah mengeluhkan segalanya pada saya.”
Setelah mengucapkan itu, Elvano beranjak meninggalkan Arabelle dengan menutup pintu kamar sedikit keras. Arabelle berdecak dan mendesis kesal secara bersamaan. Bagaimana pria itu bisa membuat peraturan seperti ini? Arabelle tidak memiliki tabungan sendiri, uang di dompetnya pun tersisa beberapa ratus ribu saja. “Elvano si tua bangka sialan!” umpat Arabelle dalam hati.
Arabelle mengejar kepergian Elvano. “El ... tunggu!” ucapnya seraya meraih pergelangan pria itu. Tanpa sepengetahuan Arabelle, Elvano tersenyum miring—penuh arti. “Aku mau kamu menarik lagi ucapanmu yang tadi.”
Elvano menaikkan sebelah alisnya—menunjukkan ekspresi pura-pura tidak mengerti.
“Bagaimana bisa aku bersenang-senang kalau tidak ada uang? Oke, begini saja. Aku akan menurut apapun yang kamu bilang, asal jangan mengekangku. Bebaskan aku untuk berteman, bermain, dan bersenang-senang dengan teman-temanku.”
“Baik. Sekarang kamu habiskan sarapanmu dulu!”
Arabelle melebarkan matanya, kemudian sebuah ide muncul di kepalanya. “A-aku sakit perut, nanti aja sarapannya, ya?” Kali ini Arabelle kembali berbohong dengan mengatakan dia sedang sakit perut, padahal alasan sebenarnya ialah karena malas sarapan. Gadis itu memang susah sekali diatur dalam hal mengisi perut. Elvano menatap Arabelle dengan memicing.
“Jangan coba membohongi saya. Makan sarapanmu sekarang atau tidak ada uang—”
“Oke!” tegas Arabelle. “Kalau saja tidak demi uang, sudah ku sumpal mulut pria tua itu dengan sepatuku sekarang juga!” gumamnya pelan sambil melangkah menuju meja makan.
“Saya masih bisa mendengarnya, Arabelle! Jaga ucapanmu, saya adalah suamimu!”
“Iya, terserah! Semakin hari, kekuatanmu makin hebat saja. Jangan-jangan besok kamu juga bisa mendengar gerutuanku dalam hati!” sungut Arabelle terdengar tidak suka. Gadis itu duduk di kursinya, disusul oleh Elvano yang duduk di sebelahnya. Arabelle nampak tengah cemberut, bibirnya maju beberapa senti dan tangan kanannya dia gunakan untuk menopang dagu.
“Jangan terlalu sering memajukan bibir seperti itu di depan saya. Kamu meminta untuk dicium atau bagaimana?”
Arabelle tersedak air liurnya. “Jaga ucapanmu pria tua bangka! Saking kurangnya belaian, otakmu agak sedikit bengkok!” desisnya kesal. Elvano hanya terkekeh mendengarnya. Menggoda Arabelle di pagi hari seperti ini ternyata menyenangkan juga. “Berhenti tertawa. Aku akan merajuk kalau kamu terus saja menertawakanku, padahal aku sama sekali tidak sedang melucu.”
Tangan kiri Elvano terangkat untuk mengusap puncak kepala Arabelle. Kadang-kadang dia masih saja tidak percaya kalau takdir mempertemukan dan menyatukan mereka dalam sebuah ikatan suci pernikahan. Ternyata benar, umur tidak menjadi tolak-ukur untuk seseorang bisa berjodoh.
“Turunkan tanganmu!” pekik Arabelle sambil memukul tangan Elvano. Dia kembali memperbaiki tatanan rambutnya yang padahal tidak rusak sama sekali. Elvano hanya mengelus, bukan mengacaknya. Dasar gadis kecil!
“Kamu akan kelihatan lebih manis jika menurut dan tidak membangkang seperti ini, Ara.”
“Hanya dalam mimpi kamu! Aku tetaplah seperti ini, gadis keras kepala yang selalu membuatmu naik darah. Benar begitu kan?” balas Arabelle tanpa dosa. Elvano memberengut kesal. Ingin sekali rasanya Elvano menyentil pelipis gadis itu, saking gemasnya.
“Pria tua ini yang selalu memberimu uang. Ingat itu, Arabelle!”
“Tentu saja ingat. Kamu kan mesin ATM untukku.”
Elvano melebarkan matanya, tidak menyangka jawaban Arabelle akan seperti itu. “Makin hari ucapanmu makin tidak benar saja. Apa perlu saya memberimu hukuman untuk rasa jera?”
Arabelle terbelalak, lantas menggeleg cepat. “Oke, aku tarik lagi kalimatku yang tadi. Kau bukan mesin ATM bagiku, tapi suamiku. Puas?!”
Elvano tidak menanggapinya. Hingga makanan untuk mereka sarapan tersaji dengan begitu rapi di atas meja. Segala macam makanan, dan buah-buahan telah tersedia.
Arabelle hanya mengambil setengah sendok nasi, sepotong ayam goreng dan kecap.
“Makan yang benar, Arabelle! Kamu tidak akan kenyang dengan makanan sedikit seperti itu. Ambil beberapa potong ayam lagi, dan makan sayuran hijaumu!”
“Enggak! Aku sedang tidak ingin memakan sayuran hijau, bosan. Aku hanya ingin makan ini. Jangan memaksaku, atau aku tidak makan sama sekali. Kamu pilih mana?”
Elvano menghela napasnya. Remon yang berada tak jauh dari posisi kedua pasang suami-istri tersebut pun terkekeh pelan. Bagaimana bisa gadis kecil seperti Arabelle membuat seorang Elvano kehabisan kata-kata? Gadis kecil itu benar-benar menunjukkan kehebatannya.
“Berhenti menertawakan saya, Remon!” gerutu Elvano tegas dan tanpa menoleh. Remon seketika tersedak dan segera beranjak meninggalkan tempat semulanya berdiri menuju teras.
Arabelle menatap Elvano dengan memicing. “Kamu tidak bersekutu dengan para setan kan? Kenapa tahu Remon sedang menertawakanmu, aku saja tidak mendengarnya?!” Arabelle bergidik ngeri melihat pria itu.
“Diam dan lanjutkan saja makanmu, Ara! Jangan membuatku semakin kesal!”
Arabelle kehabisan kata-kata. Elvano sedang serius, bukan waktunya berdebat atau piring yang berada di depan matanya melayang dan menjadi kepingan kecil. Arabelle masih mengingat kejadian beberapa minggu yang lalu, ketika mereka makan malam bersama, Elvano sedang kesal dengan seseorang yang berada di seberang saja dan alhasil miring di hadapannya melayang hingga pecah menjadi kepingan kecil.
Kalau seorang Elvano marah, siapapun tidak akan berani menentangnya ... kecuali Arabelle.
****
Arabelle membuang muka. Dia sedang merajuk lagi.
“Besok-besok tidak perlu mengantarku lagi. Aku bukan anak kecil, bisa sendiri berangkat kuliah!” ucap Arabelle menekankan pada pria di sampingnya.
“Saya akan mengantarkanmu! Untuk keselamatan kamu juga. Apa kamu lupa kemarin kamu baru saja jatuh dari motormu?” Elvano melirik tajam Arabelle.
“Aku tidak terluka parah. Hanya siku dan lenganku yang berdarah! Masih jauh dari kematian, jangan lebay! Lain kali aku akan berhati-hati lagi.”
Elvano mendengkus kesal. “Kamu berhati-hati, belum tentu orang lain juga melakukannya. Kadang ada saja saat kita sudah benar berkendara, orang lain yang menabrak atau menyerempet motor kita. Apa kamu paham yang saya ucapkan ini?”
Arabelle memberengut kesal. “Tapi kamu terlalu mengaturku! Aku malu sama teman-temanku. Semenjak bersuami, kebebasanku terbatas. Aku ingin jalan-jalan ke sana, ke sini, harus meminta izin dulu. Mereka jadi berpikir dua kali untuk mengajakku bersenang-senang kalau akhirnya kamu tidak memberikan izin!”
“Saya hanya ingin kamu bersikap lebih dewasa lagi. Teman-temanmu masih wajar saja bersenang-senang, mereka tidak memiliki suami. Sedangkan kamu?”
“Aku benci dengan kenyataan ini. Tuhan benar-benar tidak adil. Kenapa harus menyatukan kita, padahal aku masih ingin bersenang-senang dengan kebebasan! Aku merasa tidak bahagia.”
“Coba saja kamu belajar untuk menerima saya, dan nikmati kehidupan bersama saya. Kamu akan bahagia. Apapun yang kamu mau akan saya belikan.”
Arabelle mendesis. “Tidak akan! Kamu menyebalkan, bagaimana bisa aku berdamai denganmu?” katanya dengan kejam. Elvano hanya tertawa kecil. Gadis itu masih saja menganggap Elvano seseorang yang begitu menyebalkan. “Bisa lebih cepat lagi? Nana sudah menungguku di kafe depan kampus. Kamu memang sengaja mengulur waktu kan?” lanjut Arabelle yang mulai jengah berada dalam satu mobil bersama Elvano.
“Apa kamu tidak melihat? Sedari tadi macet.”
Arabelle menghela napasnya. “Terserah saja. Berdebat denganmu tidak akan berujung, aku bosan mendengar suaramu.”
Setelah itu Arabelle maupun Elvano tidak ada lagi yang membuka obrolan di antara mereka, keduanya sama-sama diam hingga tiba di kampus Arabelle.
“Kalau sudah selesai telepon saya, akan saya jemput.”
Arabelle menoleh, menatap tajam Elvano. “Tidak perlu. Sehabis jam kuliah aku mau jalan-jalan sama Nana! Tidak perlu menjemputku.”
“Jalan-jalan ke mana?”
“Ke mana hati mau! Jangan kepo, urus saja pekerjaanmu yang banyak itu. Aku masuk, bye!”
Kemudian keluar dari mobil Elvano tanpa memberi kesempatan untuk Elvano menyela ucapannya.
Elvano: Baiklah, saya izinkan. Jangan pulang malam-malam.
Elvano mengirimkan pesan singkat tersebut pada Arabelle yang hanya bertanda dua centang biru—hanya dibaca oleh Arabelle tanpa berniat membalasnya. Terdengar helaan napas dari Elvano, sebelum dia kembali melajukan mobilnya meninggalkan area kampus dan segera menuju kantor, akan ada rapat penting yang harus dia pimpin jam sepuluh nanti.
****
Sehabis rapat Elvano memanggil Remon agar segera menemuinya di dalam ruangan pribadi Elvano. Tanpa berbicara, Remon langsung memberikan tablet yang dia gunakan untuk mengawasi ke manapun nona kecil pergi, siapa lagi kalau bukan Arabelle?
“Jam berapa kuliahnya selesai?” tanya Elvano masih mengamati layar persegi benda tipis itu. Jari telunjuknya bergerak untuk melihat lebih jelas ke mana arah gerak Arabelle.
“Sekitar satu jam yang lalu, Tuan.” Remon beucap sopan. Dia berdiri di samping kanan Elvano.
“Apa yang dia lakukan di kafe ini dan bersama siapa?” Tunjuk Elvano pada layar.
“Nona Ara ke kafe bersama dua temannya. Rival dan Natalia. Mereka memesan minuman dan beberapa cemilan sambil mengobrol. Setelah itu mengunjungi pusat perbelanjaan, sekarang mereka sedang berada di bioskop.”
Elvano mengangguk mengerti. “Terus awasi ke mana mereka pergi, saya tidak ingin terjadi sesuatu padanya. Ada berapa orang yang kau perintahkan untuk mengikuti mereka?”
“Dua orang, Tuan, Dino dan Tiger.”
Elvano kembali menyerahkan tablet itu pada Remon setelah menyambungkan pada tablet miliknya. Agar tidak hanya Remon yang dapat melihat ke mana saja Arabelle pergi, tapi dirinya juga. Elvano tidak akan puas jika tidak mengawasinya sendiri.
“Jangan sampai kecolongan, terus kerahkan Dino dan Tiger agar tidak kehilangan jejak. Kamu tahu bukan gadis kecilku itu memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Dia banyak akal, jangan sampai kita dibodohi.”
Remon mengangguk mengerti, lantas beranjak meninggalkan ruangan Elvano menuju ruangannya. Sungguh, mengawasi Arabelle merupakan pekerjaan yang memusingkan. Beberapa waktu yang lalu Remon harus menerima amukan dari Elvano karena Arabelle berhasil kabur dan alhasil gadis itu pulang dengan keadaan yang tidak baik-baik saja—waktu Arabelle kecelakaan motor.
****
Sehabis menonton, Rival memisahkan diri dari Arabelle dan Natalia. Lelaki itu harus pulang lebih dulu karena harus menjemput sang ibu di Bandara. Kini, tinggallah dua gadis itu yang diawasi oleh orang kepercayaan Elvano. Arabelle dan Natalia sedang berada di store kosmetik. Mereka memilih berbagai macam alat make-up. Apapun yang menurut mereka bagus di mata, mereka beli. Oh bukan mereka, lebih tepatnya Arabelle yang membelikannya.
Usai membayar semua belanjaannya, Arabelle dan Natalia kembali menyinggahi store pakaian dengan merk terkenal dan sudah terjamin kualitasnya.
“Lo serius kan, Ra, mau belanja di sini? Astaga gue takut uang lo habis! Kita sudah belanja banyak hari ini.” Natalia berbisik pada Arabelle sebelum mereka memilih pakaian.
Arabelle menghela napas dan memutar bola matanya. “Lo tenang aja. Gue malah berniat akan menghabiskan uang si tua bangka itu!” balas Arabelle tajan, namun sambil terkekeh geli.
Natalia menjitak kepala Arabelle. “Jangan terlalu berlebihan! Om El tau bakal dikasih hukuman lo!”
“Gue gak peduli. Dia resek banget, sumpah! Selalu bikin gue naik darah, Na. Kesel pokoknya mah!”
“Perasaan lo selalu ngeluh sama sikap dia. Padahal kalau dilihat dan dipikir-pikir, lo jadi istri dia itu adalah sebuah keberuntungan tau, Ra!” decak Natalia antusias. “Coba aja gue yang ada di posisi elu, huh ... gue jamin hidup gue bahagia banget!” lanjutnya masih dengan mata berbinar. Seolah apa yang telah diucapkannya sudah benar. Natalia terlahir dari keluarga yang berkecukupan, ayah dan ibunya seorang pengusaha—tetapi masih tergolong usaha kecil, tidak sebesar dan sekaya raya Elvano. Segitupun dengan Arabelle, sbelum menikah dengan Elvano dia sudah hidup dengan serba berkecukupan. Dapat dikatakan sudah enak hidupnya.
“Elu mah emang penggemar om-om, jadi gak heran lagi gue!” cibir Arabelle sambil melihat-lihat baju atasan yang cocok untuknya. “Kalau belum hidup satu atap sama dia, lo gak bakal tau gimana sikap menyebalkannya itu. Gue apa-apa harus izin dulu, ke sana, ke sini ... harus izin dulu. Bosen!”
“Tapi om El ganteng banget tau, Ra. Siapa sih yang gak suka sama pengusaha mapan, tampan, dan sekaya-raya seorang Elvano?” Natalia berpendapat serius. “Gue juga mau jadi istri kedua dia,” lanjutnya kemudian yang langsung mendapat jitakan dari Arabelle. “Aw! Sakit tau, Ra, lu asal jitak kepala gue aja!”
“Habisnya omongan lo gak ada yang benernya! Jangan sampai deh lo jadi istri kedua, apalagi simpanan om-om. Hih ... najis, Na. Lo cantik, baik, udah gue anggap sodara, jangan sampai lo punya cita-cita kayak gitu, ya?” saran Arabelle. “Kalau sama duda beda cerita, sih, ya sah-sah aja. Asal jangan ambil punya orang.”
Obrolan mereka berlanjut sampai keduanya selesai memilik pakaian. Sesekali di sela-sela obrolan itu mereka berdebat dan tertawa. Tidak heran kenapa setiap kali mereka bertemu selalu Elvano yang jadi bahan pembicaraan, pria itu memang memiliki sejuta pemikat. Untung saja Arabelle bukan termasuk ke dalam cewek atau wanita yang senang memuja seorang Elvano.
Usai berbelanja dan mengisi perut, Arabelle dan Natalia berniat pulang. Tidak terasa, ternyata hari sudah malam. Berkeliling di pusat perbelanjaan selalu membuat seseorang lupa waktu.
Mata Arabelle memicing ketika menyadari dua orang yang nampaknya seperti mengikuti mereka secara diam-diam—sedari tadi. Ketika dia rasa mengenali salah satu dari orang itu, Arabelle berdecak kesal. Natalia heran melihat sikap Arabelle yang berubah seketika.
“Kenapa?” tanya Natalia bingung. Dia mengikuti ke mana arah tatapan sang sahabat tersebut. “Apa sih yang lo lihat?” lanjutnya ketika tidak menemukan keganjalan dari arah tatapan itu.
Arabelle mengajak Natalia untuk mengikutinya. “Mau ke mana kalian?” cegah Arabelle lebih dulu sebelum dua orang kepercayaan Elvano berhasil pergi menjauh. “Tidak perlu mengatakan apapun, aku sudah mengerti kenapa kalian berada di sini. Tuan kalian si tua bangka itu memang menyebalkan!” potong Arabelle cepat sebelum salah satu dari orang bertubuh besar itu berucap untuk memberikan penjelasan.
“Langsung antarkan aku pulang, aku sudah tidak sabar untuk mengomeli si tua bangka itu!” Lantas melangkah lebih dulu, menuju parkiran. Tatapan Arabelle beralih pada Natalia yang sedari tadi diam tak bersuara melihat kekesalannya. “Lo langsung pulang aja, Na, gue bisa pulang sama mereka.”
“Aman kan, Ra? Gue kok merasa akan ada pertempuran setelah ini?” Natalia balas menatap Arabelle. “Lo jangan ngelakuin hal yang aneh-aneh, ya, om El marah nanti baru tau rasa lo.”
“Iya, iya. Sana udah, pulang! Sampai bertemu besok, jangan lupa pakai baju yang sudah kita janjikan tadi.” Natalia mengangguk, kemudian pergi meninggalkan Arabelle menuju parkiran mobilnya.
Tak lama, mobil pribadi mewah Elvano berhenti di hadapan Arabelle. Dino membukakan pintu mobil untuk Arabelle dan mempersilakannya untuk duduk di kursi bagian belakang.
“Lain kali jangan mau kalau diperintahkan Elvano atau Remon untuk menguntitku! Aku sudah besar, tidak perlu diawasi lagi. Kalian mengerti dengan ucapanku kan?” tanya Arabelle tajam. Gadis itu menatap marah kepada Dino dan Tiger yang bergantian meliriknya dari spion tengah.
Tiger diam saja, tidak menjawab apapun. Sedangkan Dino hanya menganggukinya. Bagaimana mereka berdua berani melawan perintah seorang Elvano? Mereka bekerja pada Elvano, dan mendapat bayaran juga dari pria itu. Tetapi daripada berdebat dengan Arabelle, lebih baik Dino menganggukinya saja. Menguntit lagi atau tidak, itu urusan nanti.
****
Sesampainya di rumah, Arabelle memberikan semua belanjaannya kepada Mimi, asisten rumah tangga Elvano yang biasanya mengurus keperluan dirinya. “Taruh semua belanjaanku ke kamar. Aku akan menemui Elvano terlebih dahulu. Di mana sekarang dia berada?”
“Tuan berada di ruang kerja, Nona Ara,” sahut Mimi dengan sopan. Arabelle mengangguk mengerti, kemudian menyuruh Mimi untuk langsung ke kamarnya.
Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Arabelle langsung saja membuka pintu ruang kerja milik Elvano—dengan kasar hingga menimbulkan bunyi yang lumayan keras. Elvano tidak terkejut, pria itu tengah menatap datar ke arah Arabelle dengan posisi menyandar pada kepala kursi kebesarannya.
“Ada apa? Tidak bisakah mengetuk—”
“Tidak bisa! Kenapa kamu begitu menyebalkan?”
Elvano menaikkan sebelah alisnya. “Apa maksudmu?”
“Jangan berpura-pura tidak mengerti! Untuk apa kamu mengirim Dino dan Tiger untuk mengawasiku seharian ini. Apa kamu tidak percaya dengan ucapanku? Aku sudah besar, bisa menjaga diriku sendiri. Tidak perlu sampai diawasi seperti anak TK seperti ini!”
“Saya hanya ingin menjaga kamu. Tidakkah kamu berpikir, di luar sana banyak sekali pesaing saya yang bisa saja memanfaatkanmu untuk menjatuhkan saya. Bagaimana kalau mereka menyakiti atau mencelakaimu?”
“Ini yang aku tidak suka! Kenapa harus menjadi istrimu?! Aku tidak bisa melakukan segala hal dengan bebas sesuai yang aku mau!” kesal Arabelle, kemudian meninggalkan ruang kerja Elvano.
Seperginya Arabelle, Elvano menghela napasnya panjang. Arabelle tidak mengerti dengan rasa cemasnya terhadap keselamatan dirinya.
Elvano menyusul kepergian Arabelle ke kamar gadis itu. Dia melihat Arabelle yang sudah memposisikan dirinya untuk tidur.
“Apa kamu berniat tidur sebelum membersihkan diri dan meminum vitaminmu?” tanya Elvano. Arabelle berdecak kaget dengan kedatangannya. “Bersihkan dulu tubuhmu, setelah itu minum vitaminmu. Seharian ini kamu sudah terlalu lelah dengan bersenang-senang, tanpa memikirkan kondisimu yang masih kurang stabil.”
Arabelle menutup telingan dengan bantal. Tidak mau mendengarkan apa yang Elvano ucapkan padanya.
“Apa kamu tidak mendengarnya, Arabelle? Mau pakai cara saya sendiri untuk membuatmu menurut?”
Arabelle berdecak sebal. “Kenapa kamu selalu memaksaku?!” balasnya dengan membentak.
“Cepat mandi dan minum vitaminmu!”
Arabelle memberengut. “Tidak mau! Sana keluar saja kamu dari kamarku! Kamu tidak mengizinkanku untuk memasuki ruangan pribadim—kamarnya—tapi kamu dengan sesuka hati keluar-masuk kawasan pribadiku!”
Elvano tidak menjawab, dia melangkah lebar mendekati Arabelle dan tanpa aba-aba dia menggendong gadis itu ke kamar mandi. Arabelle memekik kaget, dan meronta meminta diturunkan.
Sesampainya di kamar mandi, Arabelle tidak habis-habis memaki Elvano sampai dia puas. Dengan perasaan kesalnya yang tersulut, tanpa persetujuan dari Arabelle, Elvano langsung membungkam bibir Arabelle dengan bibirnya. Ciuman adalah satu-satunya cara agar gadis itu berhenti mengomel.
“Saya tidak segan untuk melakukannya kembali kalau kamu sulit diatur!” tekan Elvano setelah menghentikan lumatannya.
Arabelle tidak menjawab. Jangankan untuk kembali mengumpat, bergerak saja terasa sulit. Gadis itu benar-benar mematung di tempatnya, tanpa mampu melakukan perlawanan apapun. Ini yang pertama kalinya pria itu melumat habis bibirnya setelah dua bulan menikah. Arabelle terkejut bukan main.
“Bersihkan tubuhmu dan jangan lupa meminum vitamin sebelum tidur. Selamat malam,” ucap Elvano sebelum benar-benar menghilang dari hadapan Arabelle.
Tubuh Arabelle bergetar, berusaha mengembalikan kesadarannya yang menghilang entah ke mana gara-gara ciuman tadi. “Sial! Pria tua bangka itu berhasil membuatnya kehilangan akal!” umpat Arabelle dalam hati.
****