PART 3
Dengan wajah ditekuk, dan terlihat masam Arabelle duduk sambil menopang dagu di meja makan sembari menunggu sarapan untuknya. Kejadian semalam benar-benar membuatnya tak bisa tidur hingga menjelang subuh. Pria itu sungguh membuatnya hampir seperti orang gila. Bagaimana bisa Elvano menciumnya secara bruntal semalam? Bahkan setiap gerakan yang terjadi pada bibirnya semalam masih begitu membekas—tidak bisa dia lupakan. Ciuman sialan yang mampu membuat jantungnya hampir melompat dari tempat asalnya. Sungguh gila!
Kedatangan Elvano membuat Arabelle tersadar dari lamunannya. Dia tidak berani menatap pria itu walau sekejap. Perasaannya menjadi campur aduk secara tiba-tiba seperti ini.
“Kenapa wajahmu masam seperti itu?” tanya Elvano memecah keheningan di antara mereka. Nampak paham dengan kediaman gadis itu, Elvano menggerakkan tangannya, menyuruh Remon pergi meninggalkan mereka. Arabelle tidak akan membuka suara kalau masih ada Remon di sana. “Masih terbayang soal kejadian semalam?” lanjutnya dengan begitu santai. Arabelle yang tadinya membuang muka, langsung menatap Elvano. Dia melihat sekelilingnya, untung saja tidak ada orang. Bagaimana kalau ada yang mendengar? Orang lain akan mengira mereka telah melakukan hal yang tidak-tidak.
“Jaga ucapanmu!” tegas Arabelle. Dia sedang tidak ingin berbicara dengan pria tua bangka yang begitu menyebalkan itu.
Remon terkekeh kecil. “Kenapa, huh? Apa kau malu jika orang lain mengetahui saya telah menciummu tadi malam?” godanya semakin menyudutkan Arabelle. Pipi gadis itu seketika memerah mendengar ucapan tanpa saringan Elvano tersebut.
“Kenapa pria bau tanah sepertimu begitu menyebalkan?! Apa kamu tidak bisa diam dan merahasiakan kejadian semalam? Kamu memang berniat mempermalukan aku!” kesal Arabelle akhirnya. Amarahnya sudah berada di ubun-ubun di pagi hari seperti ini—bukankah itu tidak baik untuk kesehatannya? Huh, dasar pria tua bangka sialan! “Diam, dan jangan mengucapkan apapun lagi! Mimi bisa mendengarnya!” lanjutnya menghentikan Elvano yang akan berucap. Pria itu harus segera dihentikan sebelum kelakuannya menjadi-jadi.
Elvano tersenyum miring. “Saya akan melakukannya lagi dan lagi kalau kamu susah diatur.”
Arabelle membelalakkan matanya. Dia pikir ciuman semalam hanya akan terjadi malam itu, tidak untuk kedua atau ketiga dan selanjutnya. Namun, nyatanya Elvano berencana untuk melakukannya lagi dan lagi. “Jangan bercanda! Aku tidak ingin melakukannya lagi! Menjijikan!”
“Bukankah tadi malam kamu juga menikmatinya? Buktinya kamu diam saja saat aku menciummu dan memilih menjadi patung tanpa pergerakan apapun.”
“Apa kamu bodoh? Aku terkejut. Kamu hampir saja membuatku jantungan!”
Elvano tergelak. Tawanya mengisi ruang makan, membuat Mimi yang melangkah bersama asisten rumah tangga lain terkejut heran. Baru kali ini mereka mendengar tuannya tertawa sampai selepas itu.
Arabelle mempelototi Elvano untuk tidak melanjutkan obrolan mereka. Tidak ingin orang lain sampai tahu.
“Lupakan, dan jangan pernah membahasnya lagi! Atau aku akan mogok bicara padamu!” ucap Arabelle sedikit berbisik. Kemudian kembali bersikap biasa saja seolah tidak pernah terjadi apapun di antara mereka sebelumnya.
“Saya tidak bisa berjanji untuk segala hal.”
Arabelle berdecak sebal. Pria itu benar-benar membuatnya darah tinggi, dan sebentar lagi mungkin akan terkapar di ruang ICU. Arabelle tidak mendebat lagi, dia lebih memilih memakan sarapannya.
“Siapa yang menyuruhmu menyisihkan sayuran hijau itu? Makan!” Elvano menatap Arabelle tajam. Seolah tidak ingin ucapannya dibantah.
“Aku sedang tidak ingin makan sayuran hijau. Lama-lama aku bisa jadi kambing kalau seperti ini terus. Kamu selalu menyuruhku memakan sayuran hijau, kenapa tidak sekalian menyuruhku memakan rerumputan di halaman belakang saja? Bukankah sama saja berwarna hijau?!” desis dan decaknya sebal
Elvano manggut-manggut. “Saya akan memikirkannya nanti.”
Arabelle mendengkus. “Dasar!”
“Sedaritadi kamu terus saja mengomel dan menggerutu, masih pagi jangan menambah dosa yang sudah segunung.”
“Terserah! Kamu memang selalu berbicara seolah kamu yang paling benar, dan aku yang paling salah!” cibir Arabelle pelan, tidak terlalu terdengar oleh telinga tajam milik Elvano.
Mereka menyudahi obrolan panas mereka di pagi ini, dan memilih menikmati makanan mereka masing-masing.
****
Rival menaikkan sebelah alisnya melihat Arabelle. Kemudian tatapannya beralih pada Natalia yang sejak tadi duduk di sampingnya. “Lo berdua janjian pakai baju yang sama?” tanyanya kemudian. Arabelle dan Natalia memakai pakaian atas yang sama, hanya untuk bawahannya saja yang berbeda.
Kedua gadis itu mengangguk bersama dengan senyum manis yang tercetak di bibir masing-masing. “Iya, dong!” jawab mereka kompak. “Kita berdua cantik gak?” tanya Arabelle kemudian.
Rival menganggukinya, memang benar, kedua gadis itu cantik. Apalagi Arabelle, senyum dan cara menatap gadis itu membuat lelaki manapun akan menyukainya. Matanya yang indah dengan iris cokelat pekat, pipinya yang selalu merona ketika malu dan kesal, serta bibir kecil yang nampak begitu sempurna—menambah kadar kecantikannya.
“Tugas proposal kemarin sudah lo revisi kan, Ri?” tanya Natalia teringat akan tugas kelompok mereka yang akan dikumpulkan hari ini. Rival mengangguk, mengeluarkan proposal itu dari dalam tasnya, memberikan pada Natalia.
“Lo cek dulu, udah pas atau masih ada yang kurang. Nanti gue perbaiki lagi kalau mash ada yang kurang pas.” Natalia mengangguk. Tatapan Rival beralih pada Arabelle yang sedang sibuk dengan ponselnya.
“Kemarin lo berdua pulang jam berapa?”
“Jam setengah tujuh,” jawab Arabelle sambil mengeluarkan bukunya ke atas meja.
“Kebiasaan cewek, kalau belanja pasti lupa waktu,” cibir Rival kemudian. Natalia dan Arabelle hanya terkekeh.
Obrolan mereka berakhir ketika dosen masuk dan segera memulai pembelajaran mata kuliah pagi ini. Rival, Natalia, dan Arabelle berada dalam satu fakultas dan kelas yang sama hingga posisi duduk mereka pun selalu berdekatan satu sama lain. Ketiganya sudah berteman dan akrab sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah atas.
Ketika kelas berakhir, ketiganya memilih mengobrol di kantin kampus. Arabelle sudah merindukan bakso dan batagor yang sudah hampir seminggu ini tidak memakannya. Elvano penyebabnya. Pria itu melarang Arabelle memakan makanan sembarangan, katanya kurang sehat.
“Gak dimarahi om El lo makan bakso sama batagor lagi?” bisik Natalia pada Arabelle ketika gadis keras kepala itu memesan kedua makanan kesukannya tersebut. Natalia ingat sekali bagaimana pesan singkat yang dikirimkan Elvano minggu lalu pada Arabelle.
Elvano: Jangan terlalu sering memakan bakso dan batagor. Saya akan menyuruh Mimi membuatkan bekal, agar kamu tidak memakan makanan sembarangan lagi!
Arabelle menghela napasnya. “Diam dan jangan banyak komentar! Gue gak peduli pria tua bangka itu bakalan tau atau ngelarang gue makan bakso sama batagor lagi. Apapaun yang gue suka, akan gue lakuin.”
Natalia mencubit gemas lengan Arabelle. “Dasar gadis keras kepala!”
Arabelle terkekeh. Kedatangan Rival membuat keduanya mengalihkan topik pembicaraan. Rival tahu mengenai Arabelle yang sudah menikah, tetapi tidak terlalu memperdulikan dan mempermasalahkan status itu selagi Arabelle welcome padanya.
Mata Arabelle berbinar melihat pesanannya datang. Yang pertama kali masuk ke dalam mulutnya ialah batagor. Makanan dengan bumbu kacang itu benar-benar membuatnya ketagihan. “Haahhh ... leganya gue bisa makan batagor lagi!” ucapnya girang. Giginya tak berhenti mengunyah makanan yang masuk ke dalam mulutnya. “Enak banget astaga ...!”
Rival hanya terkekeh. “Puas-puasin aja, mumpung gak ada suami lo,” ucapnya sambil memutar sedotan minumannya. Dia tahu betul bagaimana Elvano melarang Arabelle soal makanan dan waktunya bersenang-senang.
Arabelle mengangguk. “Kalau di luar kayak gini gue bebas mau makan apa aja. Kalau di rumah makanan cuman sayurah hijau, sereal, ya semacam yang sehat-sehat gitu aja terus. Bosen gue!”
“Ada untungnya, lo sekarang gak sering sakit lagi kayak pas sekolah dulu. Jadi berkat om El, kesehatan lo terjamin. Benar gak tuh?” Natalia menimpali sambil memakan bakso miliknya. Arabelle memberengut kesal mendengarnya. Natalia terdengar selalu membela Elvano, membuat Arabelle sering kesal dengannya.
Kedatangan seseorang membuat obrolan di antara mereka terhenti. Tatapan Rival seketika berubah tajam. “Ngapain lo ke sini lagi?” tanyanya terdengar tidak enak, seperti sedang marah.
Arabelle memicingkan matanya pada Rival. “Sudah baikan, Kak?” tanya Arabelle dengan ramah, gadis itu menyuruh Aldo duduk di sampingnya. Lelaki itu masih sepenuhnya menempati ruang di hatinya. Arabelle masih mencintai lelaki yang menjadi cinta pertamanya tersebut.
Aldo balas tersenyum, kemudian mengangguk. “Sudah lebih baik,” jawabnya.
Rival berdiri dari tempat duduknya, tanpa mengucapkan sepatah kata lelaki itu langsung meninggalkan kantin entah ke mana. Natalia dan Arabelle saling memandang, kemudian Natalia mengangkat bahu tanda tidak tahu.
“Ada kelas lagi setelah ini?” tanya Aldo kemudian. Arabelle menggeleng. “Bisa jalan sebentar?”
Arabelle diam beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk mengiyakan. Tentu saja dia mau. Inilah yang Arabelle tunggu, Aldo mengajaknya jalan-jalan lagi untuk menghabiskan waktu bersama setelah dua bulan tidak saling bertemu. Berbicara sedikit mengenai hubungan keduanya yang terpaksa kandas ini sebenarnya disebabkan oleh pernikahan Arabelle dan Elvano. Aldo begitu terkejut dan sakit hati menerima kenyataan kekasihnya harus menikah dengan orang lain. Yang mencintai, dan memacari siapa, yang menikahi siapa? Bukankah kedengarannya konyol?
Pandangan Arabelle beralih pada Natalia. Kemudian berbisik, “Jangan tahu Elvano ya gue jalan sama Aldo.”
Natalia memutar bola matanya jengah. “Tanpa gue kasih tau, om El bakal tau sendiri.”
Arabelle terkekeh. “Biarin aja, gue gak terlalu peduli juga. Yang penting bisa jalan sama Kak Aldo,” ujarnya tanpa dosa. “Gue berangkat, ya ... bye!”
****
Arabelle dan Aldo melaju menuju store pakaian dan sepatu olahraga di salah satu pusat perbelanjaan. Katanya lelaki itu akan membeli pakaian dan sepatu baru untuknya latihan basket—akan ada pertandingan beberapa bulan lagi.
“Menurut kamu bagusan yang warna dan model kayak gimana?” tanya Aldo menenteng tiga model sepatu dengan warna berbeda. Seperti waktu mereka berpacaran, apapun yang Aldo beli adalah pilihan Arabelle.
Arabelle memperhatikan ketika sepatu itu. Matanya jatuh pada sepatu kuning yang berada di tangan sebelah kiri Aldo. “Kuning itu kayaknya cocok buat Kakak, kalau Navy Kakak sudah punya kan? Sedangkan yang putih itu aku kurang suka sama modelnya.”
Aldo tersenyum puas dengan pilihan Arabelle. “Pilihan kamu gak pernah mengecewakan. Aku ambil yang kuning ini.” Arabelle tersipu malu mendengarnya. “Habis ini kamu mau ke mana?” tanya Aldo kemudian.
“Ke mana Kakak mau?”
“Kebiasaan, kalau ditanya bukannya dijawab malah balik nanya.” Dengan menyentil gemas ujung hidung Arabelle. Pipi gadis itu merona malu. “Mau ke store sepatu yang biasanya?”
Arabelle menggeleng. “Baru kemarin aku ke sana sama Nana, Kak. Ke store boneka aja gimana? Aku mau beruang raksasa!” ucapnya dengan mata berbinar, Aldo mengangguk lantas mengusap rambut gadis itu gemas.
“Ayo ke depan, kita bayar ini dulu.”
Usai menyelesaikan p********n pada kasir, Aldo menggandeng tangan Arabelle menuju store boneka. Arabelle tak henti tersenyum sambil terus menatap tangannya yang digenggam erat oleh Aldo. Dia merindukan gengaman lelaki itu, terasa hangat dan nyaman. Arabelle berhasil menjadi bucin seorang Aldo.
“Kamu mau boneka beruang yang model dan warna kayak gimana? Jangan yang warna krem, nanti cepat kotor.”
Arabelle mengangguk. Gadis itu memilih boneka beruang dengan warna cokelat dan memiliki syal merah di lehernya—nampak begitu lucu dan menggemaskan sekali. “Aku suka yang ini, Kak,” ucapnya pada Aldo. Lelaki itu menganggukinya setuju.
“Lucu, sama kayak kamu.”
Arabelle langsung salah tingkah dibuatnya. Dia yakin sekarang pipinya kembali memerah karena malu. Huh ... dia benar-benar jatuh cinta pada lelaki sepengertian dan sepenyayang seperti Aldo. Kenapa dia tidak berjodoh dengan lelaki ini saja? Hidupnya pasti akan menyenangkan dan penuh warna.
Usai membelikan boneka raksasa, Aldo juga membelikan Arabelle buket bunga raksasa. Gadis itu benar-benar merasa akan terbang sebentar lagi. Aldo membuatnya bahagia sekali hari ini.
“Gak pa-pa kalau aku antar sampai rumah?” tanya Aldo sekali lagi memastikan. Dia tahu bagaimana seorang Elvano, yang mempunyai sejuta kekuasaan. Pria itu bukanlah tandingannya.
Arabelle mengangguk. “Kamu gak berani anter aku?” tanyanya dengan raut sedih—raut yang selalu menjadi andalannya untuk membujuk seorang Aldo.
“Bukan gitu. Ya sudah ... aku antar sampai rumah. Apa kamu senang tuan putri, Ara?” goda Aldo. Arabelle langsung tersenyum lebar dan mengangguk cepat.
“Aku masih sayang banget sama, Kakak,” gumamnya pelan tetapi masih bisa didengar oleh Aldo. Lelaki itu mengusap puncak kepala Arabelle, nampak paham betul dengan perasaan gadis itu.
“Aku juga. Kita masih bisa berteman, aku gak keberatan kalau kamu mau ditemani jalan-jalan atau perlu bantuan apapun. Hubungi saja aku.”
Arabelle mengangguk. “Gak bisakah kita balikan lagi kayak dulu? Pacaran lagi?” Sambil menatap Aldo yang tengah menyetir. “Aku takut Kakak cinta sama cewek lain. Aku gak akan rela!” lanjutnya jujur.
Aldo terkekeh, membuat Arabelle cemberut. “Bukannya kamu tahu hati aku untuk siapa?”
“Jadi kita pacaran lagi sekarang?” tanya Arabelle memastikan kalau Aldo memang benar masih mencintai dirinya. Dia tidak peduli dengan statusnya sekarang yang sudah menikah, dia tetap akan memperjuangkan cintanya pada Aldo.
“Iya, kita pacaran lagi.”
Mata Arabelle berbinar. Dia memeluk lengan Aldo dan bersandar pada bahu lelaki itu hingga tiba di depan gerbang besar kediaman seorang Elvano. Satpam membukakan pagar samping untuk Arabelle, yang artinya mobil Aldo dilarang memasuki pekarangan rumah mewah itu.
“Aku masuk dulu, Kak, makasih boneka, bunga, sama waktunya. Hati-hati di jalan, ya ....”
Aldo mengangguk. Kemudian kembali melajukan mobilnya.
“Kenapa gerbang utamanya gak dibuka?!” kesal Arabelle pada satpam yang masih berdiri di tempatnya.
“Ini atas perintah Tuan, Nona. Maafkan saya.”
Arabelle mendengkus sebal. “Lalu aku akan berjalan kaki masuk ke dalam?” tanyanya kemudian, satpam tersebut mengangguk. “Sialan!” umpatnya lantas segera beranjak meninggalkan satpam itu. Dari gerbang menuju rumah lumayan melelahkan. Elvano benar-benar selalu menyusahkan dirinya. “Kenapa punya rumah dengan halaman depan seluas ini, sih?! Capek jalan dari sana!” keluh Arabelle pada orang kepercayaan Elvano yang sudah menunggu di depan pintu utama. Gadis itu menghela napasnya panjang, keringat membasahi sekitar daerah pelipisnya.
Dua orang kepercayaan Elvano mengambil alih boneka dan bunga milik Arabelle.
“Bawakan itu ke kamarku.” Kedua pria itu tidak menjawab, malah beranjak meninggalkan Arabelle yang kelihatannya melangkah menuju halaman belakang. Arabelle terbelalak. “Hey! Ngapain kalian ke halaman belakang? Kamarku ada di lantai atas!!!” teriaknya sambil mengejar dua pria bertubuh besar itu. Perasaan Arabelle tidak enak.
Tanpa persetujuan dan dapat dicegah oleh Arabelle, kedua pria itu melempar boneka dan bunga milik Arabelle ke dalam pembakaran dengan api yang sudah menyala. Mata Arabelle terbelalak sempurna.
“Apa yang kalian lakukan?! Itu boneka dan bunga milikku! Kenapa kalian bakar?” teriak Arabelle berusaha meraih kembali boneka dan buket bunga raksasanya. Namun, dua pria bertubuh besar itu menghalangi dan membawanya secara paksa meninggalkan halaman belakang.
Arabelle meronta sambil menangis. Dua pria itu membawa Arabelle ke dalam ruangan kerja Elvano.
“Kalian bisa keluar,” ucap Elvano pada kedua orang kepercayaannya tersebut. Tinggallah Elvano dan Arabelle di dalam ruangan tersebut.
“Apa yang kamu lakukan?! Kenapa membakar boneka dan bungaku?!” teriak Arabelle sambil mendorong dan memukul Elvano sekuat tenaganya. “Apa kamu tidak tahu, itu boneka dan bunga pemberian dari orang yang aku sayang! Lebih berharga dari semua barang yang kamu miliki!”
Elvano diam saja menerima pukulan dan makian dari Arabelle sampai gadis itu benar-benar lelah dan terduduk di atas lantai—masih dengan tangisnya yang tak kunjung berhenti.
“Aku benar-benar membencimu! Kamu memang keterlaluan sekali! Aku benci kamu, benci kamu!” ucap Arabelle lemah, namun penuh penekanan.
Elvano berniat meraih tubuh lemah gadis itu, namun Arabelle menolaknya. Dia tidak sudi bersentuhan dengan pria tua bangka itu setelah apa yang dia lakukan.
“Jangan menyentuhku!”
Elvano tidak mendengarkannya, dia mengangkat tubuh Arabelle secara paksa dan membawanya ke kamar gadis itu. “Saya akan membelikan seribu boneka dan bunga seperti itu sebagai gantinya. Sekarang berhenti menangis! Jangan buang air matamu hanya untuk barang yang tak berguna seperti itu!”
Arabelle menatap tajam Elvano. “Kamu membelikanku sejuta sekalipun tak akan mampu menggantikan kedua barang itu! Sekalipun kamu meminta maaf, tidak akan aku maafkan! Aku membenci pria sialan sepertimu!”
“Saya tidak akan meminta maaf. Dan berhenti melebih-lebihkan keadaan, yang saya bakar hanya barang pemberian dari bocah ingusan itu. Saya belum melenyapkan orangnya.”
“Pergi dari hadapanku sekarang juga!”
“Tidak, sebelum kamu berhenti menangis.”
“Kamu bodoh atau bagaimana? Kamu yang membuat aku menangis seperti ini! Menjauh dari hadapanku sekarang! Aku ingin sendiri!”
“Mimi akan mengantarkan makan malam untukmu setelah ini.”
“Tidak perlu! Aku tidak akan memakannya! Mau apa kamu sekarang? Mengancamku lagi, atau mau menciumku lagi? Iya? Aku tak segan menghabisi nyawamu sekarang juga sampai kamu berani melakukannya!”
Elvano tersenyum miring. “Tidak segampang itu melenyapkanku.”
“Pergi sekarang, atau apa perlu aku menyeretmu sampai keluar?”
“Baik. Asal kamu tahu, saat marah seperti ini kamu terlihat begitu menggemaskan,” ucapnya tanpa dosa, kemudian pergi meninggalkan Arabelle.
“Dasar pria gila!”
****