E and A | 1
PART 1
Seorang gadis sedang duduk dalam diam pada salah satu sofa single yang berada tepat di depan jendela kamarnya. Sesekali dia mengulurkan tangannya ke luar—posisi menengadahkan—merasakan tetes demi tetes air hujan yang turun begitu deras sore ini. Dia menutup matanya sembari berdoa yang terbaik untuk masa depannya yang sudah terlanjur mengecewakan—baginya. Bagaimana tidak mengecewakan, kenyataan yang begitu menyedihkan terjadi pada dirinya.
“Mau sampai kapan kamu akan duduk diam di sana? Mogok makan dan bicara sama orang rumah bukan pilihan yang tepat saat kamu marah sama saya,” tegur seseorang yang tengah melangkah memasuki kamar gadis itu sambil membawa nampan berisi makanan.
Dia seorang pria. Sepertinya barusaja pulang bekerja, terlihat dari pakaiannya yang masih memakai stelan kantor. Pria yang tidak bisa dikatakan muda tersebut nampak masih begitu tampan dan mempesona dengan lengan kemeja yang terlipat sampai siku. Rahang kokoh, d**a bidang, dan otot-otot tubuhnya seolah dipahat oleh seorang pemahat terbaik dunia. Benar-benar sempurna dan tentu saja begitu menakjubkan apalagi bagi kaum hawa yang sembilanpuluh sembilan persen begitu memujanya.
“Sampai kamu menghilang dari penglihatanku!” jawab gadis itu dengan begitu jahat. Dia tidak peduli pria itu marah padanya. Bertengkar bukan lagi hal baru baginya—sudah menjadi makanan sehari-hari. Katakan saja dia gadis keras kepala dan tak tahu aturan, memang benar.
“Jaga ucapanmu, Ara!” Pria itu meninggikan suaranya. Pertanda bahwa dia tak menyukai kalimat yang baru saja gadis bernama Ara tersebut ucapkan.
Gadis keras kepala tersebut bernama Arabelle. Nama yang sesuai dengannya yang mempunyai wajah bak seorang Dewi Yunani. Hanya saja kelakuan gadis itu berbanding terbalik dengan rupanya. Sikap yang semaunya itupun selalu berhasil membuat pria bernama Elvano tersebut naik darah. Elvano selalu geleng kepala dan banyak mengelus d**a agar selalu bersabar dengan tingkah laku gadis itu.
Arabelle tidak peduli. Dia menaikkan sebelah bahunya. “Terserah! Pergi sana, gadis yang selalu kamu bilang keras kepala ini sedang bosan melihat wajah sok tampan itu!” ucapnya lagi-lagi terdengar tajam dan tak berperasaan. Begitulah sikap seorang Arabelle. Selalu berucap apapun yang dia mau, tanpa memikirkan perasaan lawan bicaranya—ketika sedang kesal. Apalagi lawan bicraranya tersebut Elvano.
Tidak akan pernah ada kalimat manis yang terucap dari bibir Arabelle untuk seorang Elvano—bagaimanapun keadaannya.
“Sudah berapa kali saya peringkatkan, jaga ucapanmu? Apa seperti itu caranya seorang istri berbicara yang sopan pada suami?” tanya Elvano yang lagi-lagi membahas status di antara mereka. Arabelle tidak menyukainya. Selalu saja mengungkit soal kedudukan dia sebagai seorang istri yang terdengar begitu tak becus dan berdosa pada suami.
Arabelle melipat kedua tangannya di depan d**a. Matanya makin menajam, tersirat dengan begitu nyata sebuah kemurkaan dari sorot mata itu. “Sudah puas mengataiku? Omongan kamu itu selalu menyindirku sebagai seorang istri yang banyak dosa kepada suaminya. Aku benci mendengarnya!” Kemudian membuang muka, merajuk kembali. Seperti itulah Arabelle, gadis kecil yang ketika melihat atau menerima perlakuan tak menyenangkan dari Elvano maka dia akan merajuk dan mengancam mogok makan dan bicara kepada semua orang.
“Bukan waktu yang tepat untuk bertengkar. Makan saja makananmu dulu. Kamu bisa sakit, dari semalam belum makan!” Membawa nampan yang dia letakkan di atas kasur tadi ke atas meja bulat dekat Arabelle duduk. “Menurut dan makanlah, jangan menguji kesabaran saya terus!” lanjut Elvano tajam. Dia menatap serius Arabelle yang nampak mengabaikannya.
“Aku sudah kenyang!” kilah Arabelle, padahal tidak ada satupun makanan yang masuk ke dalam perutnya sedari semalam. Dia lapar, tetapi gengsinya terlalu besar untuk mengakui hal itu. Mungkin dia akan memikirkannya kembali—untuk memakan makanannya—jika Elvano meninggalkannya sendirian di kamar.
“Kenyang makan apa kamu? Jangan mencoba membohongi saya, kamu tidak cukup pintar untuk itu!”
“Kenyang makan angin! Apa peduli kamu? Sana gih pergi, aku makin gak napsu makan liat wajah kamu!” Lantas menghela napasnya. Dia menyandarkan kepalanya pada kepala sofa. Seperti seseorang yang tengah bosan dengan suasana yang ada.
Wajah gadis itu terlihat memucat sedari pagi tadi. Begitulah kiranya yang disampaikan oleh salah satu asisten pribadi Elvano yang bertugas menjaga dan melindungi Arabelle.
“Makan atau saya akan mengurung kamu seminggu di dalam sini? Tanpa kuliah, tanpa teman-teman kamu, tanpa handphone dan laptop?!”
Arabelle membelalakkan matanya. Bagaimana bisa pria tua bangka itu mengancamnya sedemikian rupa? Tega sekali!
“Kamu tidak akan tega melakukannya. Liat aja nanti!” tantang Arabelle tanpa dosa. Elvano menggertakkan giginya, kesal. Harus dengan cara apalagi agar gadis kecil yang teramat keras kepala itu menurut padanya.
“Kamu menantang saya, Arabelle?” Elvano berucap santai, namun terdengar berbeda. Ada yang berbeda dari tatapan dan cara berucapnya.
Mendengar nada bicara Elvano yang terdengar berbeda dari biasanya membuat Arabelle merasa sedikit cemas dan takut. Bagaimana kalau pria itu benar-benar mengurungnya seminggu dalam kamar ini? Bagaimana dia bisa bertahan hidup tanpa handphone dan laptopnya? Membayangkannya saja sudah membuatnya ngeri.
“Iya, iya! Aku makan, Om-om cerewet! Sudah tua juga, jangan suka ngancem-ngancem, masuk neraka!” cibirnya layaknya seorang gadis kecil. Umur Elvano dan Arabelle berbeda tujuhbelas tahun—Arabelle delapanbelas tahun, dan Elvano tigapuluh lima tahun. Hal tersebut yang membuat Arabelle selalu saja mengatai Elvano ‘si om-om tua bangka’.
Pernikahan mereka sudah memasuki bulan kedua, namun tidak ada perubahan sama sekali dari sikap Arabelle. Gadis itu tetap saja menjadi gadis pembangkang dan selalu bersikap seperti yang dia mau, tanpa memikirkan orang lain. Hampir setiap hari Arabelle dan Elvano bertengkar, yang tak lain dan tak bukan disebabkan oleh tingkah laku Arabelle sendiri.
Elvano mengangguk dan mengambil tempat pada sofa single milik Arabelle yang lain.
“Ngapain duduk di sana? Sudah sana pergi! Aku gak bakal bohong, beneran aku makan makanan ini!” ujarnya membuat Elvano mendengkus kesal.
“Jangan banyak omong kamu. Habiskan saja dulu makanan itu, baru saya akan pergi dari sini. Saya tidak yakin kamu akan menghabiskan makanannya.” Elvano berucap sambil menatap Arabelle. “Gadis cerdas kayak kamu begini banyak akalnya!” lanjutnya santai, seolah yang dia katakan benar adanya.
Arabelle hampir saja tersedak air liurnya sendiri. Bagaimana bisa pria tua bangka itu memiliki pemikiran seperti itu? “Kamu sudah tau aku ini gadis cerdas yang memiliki banyak akal, jadi berhati-hatilah bersikap. Aku bisa saja menerkam seseorang kalau lagi marah!”
Elvano terkekeh mendengar ucapan Arabelle yang menurutnya lucu dan konyol itu. “Yang ada itu saya yang akan menerkam gadis kecil seperti kamu ini,” balasnya tak mau kalah. Dia menaikkan sebelah alisnya, berniat menggoda Arabelle. Dari awal menikah, Elvano tak pernah menyentuh Arabelle, bahkan mencium gadis itupun hanya sekali—saat di hari pernikahan mereka.
“Coba saja kalau berani!”
“Kamu menantang saya? Kamu yakin?”
Arabelle salah tingkah. Dia langsung meraih piring makanannya dan segera memakannya. Dia salah telah memancing pria tua yang begitu mendambakan belaian seperti Elvano.
“Setelah ini banyak-banyak menurut sama saya. Jangan selalu memancing saya untuk marah sama kamu. Saya bukan malaikat yang selalu bisa bersikap sabar.”
Arabelle tidak menjawab. Dia lebih memilih diam dan memakan makanannya dengan tenang. Satu lagi, masakan asisten rumah tangga Elvano benar-benar enak. Arabelle jadi rindu masakan ibunya yang sudah berpulang kepelukan Tuhan beberapa tahun yang lalu—setelah kepergian ayahnya dua tahun. Yap, sekarang Ara yatim piatu—tidak memiliki ayah dan ibu. Terlebih lagi Arabelle adalah anak sematawayang keluarga Admaja, membuatnya merasa benar-benar sendirian.
Arabelle menikah dengan Elvano karena terpaksa. Ini adalah permintaan terahir ibunya sebelum meninggal. Ibu Admaja mengatakan kalau Arabelle akan aman dan bahagia jika bersama dengan Elvano—seorang pria yang selalu menjadi kebanggaan pak Admaja.
Tapi kenyataannya, apakah Arabelle bahagia? Tidak sama sekali. Setiap hari otaknya memanas dengan segala peraturan yang Elvano buat. Tidak boleh ini dan itu. Arabelle tidak menyukai semua peraturan yang membuat dirinya terkurung seperti burung dalam sangkar.
****
Usai membersihkan diri dengan berlulur dan melakukan ritual pembersihan lainnya, Arabelle keluar dari dalam kamar mandi—hanya menggunakan jubah mandi dan handuk yang melilit di atas kepalanya. Mandi keramas seperti ini rasanya enak sekali, seperti baru saja membuang beban yang ada di kepalanya.
“Apa saja yang kau lakukan di dalam sana? Lama sekali!” cibir Elvano dari arah belakang Arabelle. Benar-benar mengagetkan. Gadis itu sampai terlonjak kaget.
Arabelle menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. “Apa yang kamu lakukan di dalam kamarku? Keluar sekarang!” pekiknya kesal sekaligus was-was. Arabelle tahu sekali Elvano adalah pria normal dan dia tampil hanya menggunakan jubah mandi tanpa satupun pakaian dalam.
Elvano menatap Arabelle dari bawah sampai ke atas. Kemudian menunjukkan senyum tipis yang Arabelle tidak tahu apa artinya.
“Kenapa senyum-senyum? Kamu tidak mendengarnya, keluar dari kamarku sekarang?!” ucapnya lagi dengan nada membentak. “Jangan mendekat. Berhenti di sana!” lanjutnya dengan sedikit berteriak. Arabelle semakin takut dibuatnya. Pria tua itu benar-benar berbahaya.
Elvano terkekeh. “Saya hanya ingin mengantarkan ini,” ucapnya memberikan Arabelle sebuah cincin pernikahan mereka. “Jangan pernah melepaskannya lagi, apalagi dengan meletakkannya sembarang tempat!” Pria itu memperingati. Tadi pagi, ketika membersihkan kamar Arabelle salah satu asisten Elvano menemukan cincin milik gadis itu yang tergeletak tak berdosa di atas lantai. Dan hal itu terjadi untuk kesekian kalinya. Arabelle selalu melepas cincinnya sebelum tidur, dan selalu lupa mengenakannya kembali.
Arabelle menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. “Oke!”
Elvano tidak mengucapkan apapun lagi, langsung beranjak meninggalkan kamar Arabelle menuju kamarnya yang memang letaknya bersebelahan. Sesampainya di kamar pria itu menghela napasnya panjang. Penampilan Arabelle seperti tadi membuatnya merasakan sesuatu yang teramat sulit untuk dijelaskan. Ini adalah hal yang wajar. Elvano pria normal.
Tangan kanan Elvano terangkat untuk menyentuh permukaan dadanya yang berdetak lebih kencang. Perasannya pada Arabelle semakin nyata dan hidup. Bagaimana ini?
Tidak berbeda jauh dari Elvano, Arabelle pun sedang berdebar di tempatnya. Dia merasa semakin takut saja pada pria tua bangka berstatus suaminya tersebut. Bagaimana kalau pria itu meminta haknya? Arabelle bergidik ngeri, dia tidak akan mungkin siap digempur oleh Elvano. Membayangkannya saja sudah membuatnya ketakutan.
Selesai mengenakan pakaian santainya, ponsel Arabelle berbunyi tanda ada sebuah pesan yang masuk.
Natalia: Ara lo sekarang ada di mana???
Arabelle menaikkan sebelah alisnya. Segera jemari lentiknya itu menekan satu persatu huruf pada keyboard yang tertera di layar ponselnya.
Arabelle: Di rumah? Ada apa?
Natalia: Rival sama Aldo berantem ngerebutin elu! Gak ada yang bisa misahin mereka, selain elu. Di tempat biasa, cepetan ke sini! Sekarang!
Arabelle melebarkan matanya. Tanpa pikir panjang dia bergegas meraih tas kecilnya dan melangkah lebar menuju lantai bawah. Rival dan Aldo benar-benar membuatnya pusing belakangan ini. Kedua lelaki itu tengah bersaing untuk mendapatkan Arabelle.
Belum sempat menggapai pintu utama yang besar itu, orang kepercayaan Elvano menghalanginya dengan cepat. “Nona Ara mau ke mana? Apa sudah mendapat izin keluar dari Tuan El?” tanyanya yang sudah berdiri di hadapan Arabelle. Menghalangi jalan gadis itu.
“s**t! Remon, menjauh dari hadapanku, atau—”
“Atau apa, Ara?!” tanya seseorang dari arah belakang. Tanpa menoleh pun Arabelle sudah mengetahui suara siapa itu. Tentu saja pria tua bangka yang begitu menyebalkan, memangnya siapa lagi?
Remon nampak membungkukkan tubuhnya, tanda hormatnya pada Elvano. Kemudian beranjak meninggalkan keduanya atas perintah Elvano.
“Atau apa, Arabelle?” tanya Elvano sekali lagi.
Arabelle menggigit bibir bagian bawahnya. “Aku mau pergi sebentar saja!” ucapnya terdengar yakin sekali. Sebelum Elvano berucap, Arabelle lebih dulu menyelanya, “Menemui temanku. Sebentar saja.”
Elvano menaikkan sebelah alisnya. “Teman atau kekasihmu?” tanyanya mengintimidasi.
Arabelle mendesis kesal. “Tidak ada urusannya denganmu! Aku hanya ingin meminta izin keluar sebentar!”
“Apa kamu akan menemui dua teman atau kekasihmu yang sedang bertengkar itu?”
Yang tadinya ingin berucap dengan kata-kata pedas lagi, Arabelle urungkan. Kenapa pria tua bangka ini selalu saja mengetahui apapun yang berkaitan dengan dirinya? Dari mana dia tahu?
“Aku hanya ingin memisahkan mereka.”
“Cih! Apa yang kamu sukai dari dua bocah ingusan itu? Berpikir dewasapun tidak bisa. Apa seperti itu yang orang dewasa lakukan ketika menyelesaikan masalah, dengan baku hantam?”
Pertanyaan Elvano membuat Arabelle kehabisan kata-kata.
“Terserah apa mau kamu! Jangan sok yang paling dewasa di sini. Lagian Rival maupun Aldo bukan bocah ingusan seperti yang kamu bilang!”
“Apa sekarang kamu sedang membela mereka?”
“Ya, lalu? Apa kamu marah lagi? Mengancam mengurungku seminggu di kamar lagi? Terserah, aku sudah tidak peduli dengan semua itu!” Lantas beranjak meninggalkan Elvano—keluar dari rumah besar itu. Elvano melangkah santai dan tenang mengikuti Arabelle menuju gerbang rumahnya.
“Buka saja kalau kamu bisa,” ucap Elvano tersenyum miring. Dia sudah lebih dulu menyuruh Remon mengunci gerbang besar di hadapannya itu.
Arabelle mendesis dan berdecak kesal. Lagi-lagi dia kalah oleh seorang Elvano yang selalu berkuasa.
“Aku membencimu!” Arabelle menekankan ucapannya sebelum beranjak masuk kembali ke dalam rumah. Dia menutup kamar dengan membanting pintunya keras dan tak lupa menguncinya dari dalam.
Elvano menghela napasnya, sambil mengelus d**a. Beginilah nasib menikah dengan gadis kecil seperti Arabelle. Harus extra sabar. Elvano sudah nampak seperti seorang ayah yang sedang memarahi putrinya saat sang putri ingin keluar malam.
“Awasi istri kecilku. Jangan sampai dia keluar malam ini!” ucapnya pada satpam dan beberapa orang lainnya yang bertugas sebagai pengamanan keluarga Elvano. Mereka semua membungkuk ketika Elvano melangkah meninggalkan mereka.
“Ara ...?” panggil Elvano dari luar. Pria itu kembali menghela napas ketika mengetahui pintu di hadapannya tersebut dikunci dari dalam. “Jangan lupa meminum vitaminmu. Saya tidak ingin melihat wajahmu pucat layaknya mayat hidup seperti tadi pagi. Jangan membangkang kalau diberitahu, ini untuk kebaikanmu juga!” cerocos Elvano. Gadis itu benar-benar banyak merubah seorang Elvano yang terkenal cuek dan tak pernah peduli dengan orang lain.
“Apa kamu mendengarnya, Arabelle?” tanya Elvano sekali lagi. “Apa kamu mau saya masuk ke dalam untuk memastikannya sendiri?”
Arabelle langsung mengubah posisi tidurnya menjadi duduk tegak. Pria itu benar-benar menjengkelkan!
“Iya, aku akan meminumnya! Sekaligus satu botol supaya kamu puas!” teriaknya dari dalam. Arabelle mengepalkan tangannya, kemudian memukul kasurnya kesal.
****