E and A | 8

2803 Kata
PART 8   Sinar matahari menerobos masuk melalui setiap celah gorden yang ada di kamar Elvano, Arabelle menutupu kedua matanya yang silau dengan telapak tangan yang terbuka lebar. Dia melirik sekitar, barulah kemudian tersadar kalau saat ini dia tidak berada di kamar pribadinya, melainkan kamar Elvano. Arabelle menghembuskan napasnya panjang, kemarin malam seingatnya dia terakhir kali berbaring di sofa panjang sambil menonton acara telivisi, sekarang sudah berada di atas kasur. Apa Elvano yang memindahkannya? Jadi, tadi malam mereka tidur dalam ranjang yang sama? Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan sosok seorang Elvano yang gagah dengan porsi tubuh idealnya. Otot lengan, perut, kaki ... oh astaga! Arabelle harus mengakui kalau semuanya memang sempurna. Belum lagi hidung mancung, bibir berwarna kemerahan itu, dan rambut basahnya ... benar-benar membuat otak mesumnya meronta-ronta! Hey, Arabelle sejak kapan kau menjadi gadis nakal dengan segala pemikiran kotor seperti ini? gerutunya dalam hati. Pria itu hanya menggunakan handuk yang dia lilitkan pada pinggang seperti kejadian sore lalu. Arabelle menggerutu lagi dalam hati, apakah pria itu memiliki tingkat kepedan di atas rata-rata? Dia senang sekali mengumbar tubuh polos di depan matanya! Sialan. “Kamu sudah bangun?” tanya Elvano untuk sekedar berbasa-basi. Arabelle memutar bola matanya jengah, tetu saja dia sudah bangun. Matanya terbuka lebar sekarang, bahkan bisa melihat tubuh indahmu, Elvano! “Seperti yang kamu lihat.” Arabelle berusaha cuek menjawabnya. “Sebaiknya kamu cepat mengenakan pakaianmu, apa kamu tidak takut handukmu melorot?” desisnya kemudian. Kalau melorot di tempat tertutup—tidak ada orang lain bersamanya sih tidak masalah. Tapi kalau melorot di hadapan Arabelle bagaimana? Bahkan dia tak bisa membayangkannya. Elvano menaikkan sebelah alisnya, satu tangannya terlipat ke pinggang, menatap penuh selidik ke arah Arabelle yang sedang duduk bersandar pada kepala ranjang. “Kamu sedang menggoda saya untuk mempelorotkan handuk ini?” tanya asal Elvano, dia hanya ingin mengerjai gadis itu. Mata Arabelle langsung melotot sempurna. “Sembarangan! Sudah, ih, sana! Pakai pakaianmu dengan benar.” “Hm ... kalau saya meminta kamu untuk menyiapkan pakaian saya, bisa?” “Tentu tidak.” Elvano melempar handuk kecil untuk mengusap rambutnya tadi ke arah Arabelle. “Tugas istri itu menyiapkan pakaian suaminya, lakukan sekarang!” “Minta Mimi saja, ya? Aku akan memanggilnya sebentar,” katanya beranjak dari kasur, namun segera Elvano mencekal pergelangan tangannya. “Kalau selalu Mimi yang membantu saya, buat apa kamu? Saya mau disiapkan oleh kamu saja.” Arabelle mendongak, menatap Elvano dengan mengerutkan kening. Elvano tiba-tiba mengusapnya pelan, menghilangkan kerutan tersebut membuat d**a Arabelle berdebar cepat. Jangan sampai salah tinggah, Arabelle! batinnya. “T-tapi ... tapi aku gak tau gimana pakaian yang bagus untukmu. Aku tidak pernah melakukan itu sebelumnya.” Elvano tersenyum, benar-benar manis. “Makanya belajar dari sekarang. ayo!” ajaknya menuju ruang pakaian. Mata Arabelle melebar ketika Elvano membukakan pintu ruang khusus pakaian kerjanya. Rapih, bersih, tertata dan tersusun begitu rapih. Bagian rak sepatu hitam, sepatu cokelat, sepatu olahraga, sepatu santai lain, dasi, gelang jam semua tersusun pada tempat yang benar. “Wow, kamarmu benar-benar berbeda jauh dengan kamarku,” kekeh Arabelle. “Itulah kenapa saya selalu menegurmu untuk menyusun barang dengan benar, enak dilihat dan dicari ketika kita memerlukannya.” Arabelle mengangguk, membenarkannya. “Ya sudah, kamu hari ini akan mengenakan pakaian hitam?” Elvano mengangguk. Arabelle memilihkan kemeja dan setelan jas yang cocok untuk dikenakan Elvano, sesekali menanyakannya apakah pilihannya sudah benar atau belum. Elvano hanya mengangguk-anggukan kepalanya. “Kau memiliki selera pilihan yang bagus. Saya akan mengenakan ini dulu.” Membawa celana dan kemejanya ke ruang kecil—tempat mengenakan pakaian. Sementara Elvano mengenakan pakaiannya, Arabelle memilihkan sepatu, dasi, dan jam tangan. Entahlah ... menyiapkan pakaian Elvano seperti ini membuat kesenangan tersendiri. Tidak lama, tirai terbuka keluarlah Elvano dari dalam sana. Sudah siap dengan celana dan kemeja yang dimasukkan ke dalam berserta ikat pinggangnya. “Kenapa menatap saya seperti itu? Apa sekarang kamu mau mengakui bahwa saya tampan?” ucapnya begitu percaya diri sambil memperbaiki sedikit lagi pakaiannya. Arabelle langsung tersadar dan menggelengkan kepalanya. “Cih! Percaya diri banget, sih!” Elvano tertawa kecil. Hey? Apa Arabelle sedang berada di dunia mimpi sekarang? Pagi ini Elvano lebih banyak tersenyum dan tertawa. Manis sekali! “Kamu bisa memasangkan dasi saya juga gak?” Arabelle tersadar dari lamunan singkatnya, lantas berdecak kesal. “Gak bisa!” “Bohong sekali. Ayo pasangkan dasi saya.” Elvano memberikan dasinya kepada Arabelle, tidak langsung diterima oleh gadis itu. “Menunggu apa lagi? Saya masih ingat benar dulu Papa kamu bilang, kamu sering menawarkan diri untuk memasangkan dasi kepadanya. Tidak ada alasan sekarang kamu tidak bisa memasangkan dasi saya.” Dengan kasar, Arabelle menerima uluran dasi dari Elvano. “Menunduk. Aku gak sampai, kamu terlalu tinggi.” Elvano mengacak-acak rambut Arabelle gemas. “Kamu yang terlalu kecil.” Kemudian melingkarkan tangan kanannya pada tubuh Arabelle secara tiba-tiba membuat gadis itu memekik keras dan refleks melingkarkan tangannya pada lengen Elvano—takut terjatuh, Elvano mengangkat Arabelle ke atas meja tempat dia menaruh berbagai macam koleksi jam tangannya. Arabelle meninju bahu Elvano kesal. “Resek!” katanya sambil cemberut. Elvano tidak bereaksi apapun. “Ayo pasangkan dasi saya.” Tanpa bersuara lagi, Arabelle memasangkan dasi itu ke leher Elvano. Gadis itu sibuk dnegan kegiatannya, sedangkan Elvano sibuk memerhatikan wajah seriusnya. Bibir mungil Arabelle tidak lepas dari perhatian Elvano. “Suda—” Tanpa aba-aba Elvano mencium bibir Arabelle, melumatnya pelan. Gadis itu masih sama seperti kemarin, terkejut hingga tidak tahu harus melakukan apapun bahkan untuk menolak saja dia sudah terlalu lemas. Jari jempol Elvano mengusap permukaan bibir Arabelle ketika dia melepaskan ciumannya tadi. Arabelle hanya diam, pandangan mereka bertemu beberapa saat. Elvano pikir diamnya Arabelle pertanda bahwa dia boleh melakukannya sekali lagi, namun ketika akan mendekatkan bibirnya Arabelle memalingkan wajahnya, hingga bibirnya mendarat di pipi kanan gadis itu. Tidak masalah bagi Elvano, dia mengecup pipi itu tiga kali berturut-turun tanpa membiarkan Arabelle melakukan perlawanan apapun terhadapnya. Bugh! Arabelle kembali meninju bahu Elvano, kali ini lebih keras dan berasa sakitnya. “Aku belum gosok gigi tahu! Jorok, huek!” katanya sambil menunjukkan ingin muntah, pipi Arabelle merona merah akibat ciman tadi. “Tetap saja rasanya sama.” “Berhenti menggodaku!” bentak Arabelle yang sudah semakin memerah pipinya. Kali ini dia tidak semarah kemarin. Apa Arabelle mulai menyukai ciuman Elvano? Tidak, tidak! “Lain kali kalau saya cium itu dibalas. Masa cuman saya yang melakukan pergerakan, kamu tidak.” Arabelle melotot, dia mulai salah tingkah sekarang. “A-aku gak mau dicium lagi!” “Yakin? Tapi saya suka nyium kamu, gimana dong?” “Kamu apa-apaan sih!” Arabelle mencubit perut Elvano sampai pria itu meringis sakit. “Enak?” Elvano mengusap perutnya. “Bibirmu? Ya enak!” jawabnya polos. “Otakmu benar-benar sudah tidak beres!” Tidak ada percakapan apapun lagi di antara mereka tiba-tiba hening. Elvano sedang memasang kaos kaki dan sepatunya. “Hem ... El?” panggil Arabelle. Elvano menyahut dengan gumaman kecil. “Kamu akan pergi ke Amerika kan?” tanyanya teringat akan acara tadi malam. Elvano mendongak, dia telah selesai memasang sepatunya. Kembali berdiri di hadapan Arabelle. “Lalu?” Senyum Arabelle mengembang. “Bolehkah aku menginap di rumah Nana selama kamu per—” “Tidak boleh!” Bibir Arabelle maju ke depan beberapa senti. “Aku akan bosan di rumah sendirian.” “Aku pergi cuman tiga hari.” “Satu lagi, bolehkah aku ke kampus naik motor sendiri? Ah, aku sangat merindukan motorku, ingin berkeliling bersamanya.” Mata Elvano melebar. “Tidak akan saya izinkan. Kamu di antar sama orang saya saja nanti. Lebih aman.” Arabelle memberengut kesal. “Begini saja, kamu boleh deh menciumku setiap hari, maksimal satu kali. Asal aku boleh menggunakan motorku lagi. Gimana?” Gadis itu mencoba memberikan penawaran yang tiba-tiba muncul di kepalanya. “Tanpa kamu membuat menawaran seperti itu, saya tetap akan mencium kamu. Sekali tidak boleh tetap tidak boleh Ara. Mengendarai motor sendiri sangat berbahaya untuk keselamatanmu.” “Egois!” “Terserah apa katamu.” Elvano akan beranjak meninggalkan Arabelle, namun segera ditahan. “Ya? Boleh, ya?” paksanya sekali lagi dengan menunjukkan wajah memohon. “Tidak.” Arabelle berdecak sebal. “Sekali menyebalkan, tetap menyebalkan! Lihat saja, takkan kubiarkan kamu menciumku lagi, sampai nanti-nanti!” “Kita lihat saja nanti.” Elvano kemudian meninggalkan Arabelle sendirian di ruang pakaian, pria itu berlalu secepat kilat. “Resek! Apa-apa selalu tidak boleh, terus apa yang boleh untukku?” teriak Arabelle, entah pada siapa. **** Sehabis kelas, Arabelle dan kedua teman baiknya—Natalia dan Rival akan mengunjungi kafe. Semenjak Arabelle menikah, pertemuan dan jalan-jalan bersama mereka emang lebih jarang. Lebih tepatnya Arabelle yang tidak diperbolehkan berkawan sembarangan oleh Elvano. “Badan lo makin kecil aja, Ra?” tegur Rival ketika mereka sudah mengambil tempat duduk masing-masing. “Iya, pertanda hidup gak bahagia ya begini.” Rival dan Natalia tertawa bersama. “Lo aja yang terlalu berpikiran, semua hal lo jadikan beban. Beginilah jadinya, hidup lo tertekan.” Natalia mencibir, mereka memanggil pelayan kafe, memesan makanan dan minuman masing-masing. “Di rumah terlalu banyak beban dan peraturan. Si tua bangka gak bolehin gue ini dan itu. Sebel!” Rival terkekeh. “Coba lo nikahnya sama gue, kita bisa jalan-jalan dan nongkrong setiap hari kayak gini,” candanya sambil diiringi kekehan. Natalia langsung melempari cowok itu dengan kacang polongnya. “Gak tau deh kenapa gue bisa nikahnya sama Elvano. Enak sih, banyak uangnya. Tapi jarang dibawa jalan-jalan. Katanya terlalu bahaya inilah itulah, aish!” Natalia menggelengkan kepalanya. “Yaudah, sih, nikmatin aja. Om El ganteng, tajir, apa lagi yang kurang?” “Kurang bergaul! Hidup dia itu membosankan, gak seru banget.” Rival mengacak rambut Arabelle, gemas. “Lo gemesin banget dah, Ra, cemberut gini.” “Ye!” Arabelle memukulkan gulungan kertas kartonnya pada Rival. “Sana lo cari pacar! Jangan suka sama gue, hati gue cuman buat Kak Aldo!” Rival memutar bola mata malas. “Mending gue ke mana-mana daripada di songong ntuh!” desisnya kesal. Jika membicarakan soal Aldo entah kenapa bawaannya selalu ingin marah, hadeh! Natalia hanya mendengarkan perdebatan antara Arabelle dan Rival, sedangkan dia hanya fokus pada layar laptopnya—menyelesaikan tugas kelompok yang diberikan dosen. Ikut serta dalam berdebatan mereka, pasti tak akan menemukan titik terang. Makanan pesanan mereka sampai, barulah Rival dan Arabelle berhenti berbicara. “Minum, Val, dinginin otak lo. Arabelle lo ajak debat, ya kalah lo!” Natalia menggelengkan kepalanya. Arabelle mengusap lengan Rival. “Gak berantem gak sayang, ya gak Val?” katanya sambil menaik-turunkan alis. Rival menyentil dahi Arabelle. “Terserah lo putri kecil.” “Dih! Gue sudah besar, anjir!” “Iya, saking besarnya dah menikah.” Kalah telak. Arabelle hanya bisa terkekeh tanpa dosa. Mereka bertiga kompak mencari materi untuk menyelesaikan tugas. Meski sering berantem, ketika selalu kompak dalam hal apapun. Rival yang mempunyai perasaan pada sahabatnya sendiri itu pun hanya bisa pasrah menerima keadaan. Yang pertama dia hanya kalah cepat dengan Aldo, tetapi sekarang sudah benar-benar kalah oleh seorang Elvano. Dialah pemenangnya atas Arabelle. Kesal, tapi tetap berusasa mendukung. Rival menyayangi Arabelle, jadi apapun yang membuat gadis itu bahagia ... Rival mendukungnya. Ketika tengah asik bercanda gurau sambil belajar, Remon datang menghampiri mereka. Meminta Arabelle untuk ikut dengannya sekarang, atas perintah Elvano. “Tidak bisa! Apa kamu tidak melihat aku sedang belajar sekarang, Remon? Pergilah, jemput aku satu jam lagi.” Arabelle mengusir Remon tanpa basa-basi terlebih dahulu. “Tidak bisa, Nona. Kita akan ke Bandara sekarang.” Mata Arabelle melebar. “Ngapain ke Bandara?” “Tuan Elvano akan berangkat ke Amerika satu jam lagi. Dia ingin Nona juga ikut mengantarnya.” “Ish! Mengantar saja aku juga perlu ikut? Benar-benar menyusahkan!” gerutunya, kemudian terpaksa pamit pada Natalia dan Rival. Arabelle memberikan tasnya kepada Remon, dia melangkah lebih dulu sambil mengangkat kepala. “Lain kali kalau mau menjemputku lihat situasinya. Aku sedang ingin bersama teman-temanku, tapi kamu selalu saja datang mengganggu.” Remon tidak menjawab, dia lebih memilih membukakan pintu mobil dan mempersilakan Arabelle masuk. Sepanjang perjalanan Arabelle hanya bermain ponsel, membalas chat dan melihat postingan teman-teman di beranda instagramnya. Setibanya di Bandara, Remon membawa Arabelle ke tempat Elvano menunggu sedari tadi. “Lambat sekali!” ketus Elvano dengan mimik wajah kesalnya. Arabelle mencibir. “Untuk apa aku ke sini? Kamu benar-benar ya! Mengantarmu begini saja, aku harus ikut. Tidak penting tahu!” “Diam, Arabelle. Kamu tidak malu mengomel di sini? orang-orang akan mendengarnya.” “Memangnya aku peduli? Kamu sih menyebalkan, aku bawaannya pengin marah terus.” Elvano menggelengkan kepalanya, keheranan. “Aku akan berangkat sekarang, kamu jaga diri baik-baik. Jangan melakukan apapun yang saya tidak suka. Menurutlah selama saya tidak ada, jangan terlalu banyak membangkang. Saya akan membawakanmu oleh-oleh nanti.” Mendengar oleh-oleh mata Arabelle berbinar. “Kamu mau membelikanku apa? Sepatu termahal di sana? Baju dan celana kekinian? Hem ... atau tas?” tebaknya. “Rahasia. Turuti saja dulu apa yang saya bilang tadi.” Arabelle menyuruh Elvano menunduk, dia ingin berbisik sesuatu. Elvano menurutinya, meski agak malu karena terlihat mau saja disuruh oleh gadis kecilnya itu. “Aku boleh memakai motor kan? Nanti kamu boleh menciumku setiap hari sebagai hadiahnya.” Alis Arabelle naik-turun. Dia memberikan penawaran lagi seperti tadi pagi. “Tidak!” tegas dan tak terbantahkan. Arabelle berdecak, Elvano meninggalkannya bersama beberapa orang kepercayaannya. “Ayo kita pulang, Nona,” ujar salah seorang dari mereka. Arabelle memberengut. “Terserah! Aku benci kalian semua! Apa kalian mendengarnya?” Empat orang kepercayaan Elvano tersebut mengangguk kompak. “Bagsu, jadi jangan banyak mengaturku. Bebaskan aku selama Elvano gak ada.” Lantas beranjak cepat meninggalkan mereka. Orang-orang bertubuh idela itu dengan cepat juga mengikuti langkahan Arabelle. **** Sehabis membersihkan diri, Arabelle menuju pantry, para asisten rumah tangga kaget dan segera melarangnya. “Jangan melarangku, aku ingin membuat kue saja. Tidak ingin membakar pantry ini.” Arabelle berdecak kesal. “Aku sudah menyiapkan bahannya, tinggal membuatnya saja. Aku sudah pernah mencoba sebelumnya sama Mama, jadi sudah jago. Kalian tenang saja.” “Tapi Nona Ara, Tuan El akan marah jika tahu kamu memasak seperti ini. Itu bisa membahayakan Nona Ara.” Mimi memperingati. Arabelle tetap tidak mendengarkannya. Dia mengambil beberapa wadah dan pisau untuk memotong-motong cokelat batangannya. Mimi ke sana saja, jangan menggangguku, aku bisa sendiri. “Tapi Nona ... Tuan El pasti akan memarahi kita semua jika terjadi sesuatu sama Nona.” “Tidak akan, tenanglah!” Arabelle membuka lemari tempat penyimpanan mikser. Dia mengambil wajan untuk memanaskan mentega. Mimi masih saja mengawasi pekerjaan Arabelle, dia sangat mengkhawatirkan pisau yang saat ini sedang berada dalam genggaman Arabelle. Astaga, pisau itu benar-benar bahaya jika Arabelle salah memotong sedikit saja. “Mimi tolong ambil—aw!” Arabelle mengangkat tangan kirinya yang tak sengaja teriris, darah segar langsung mengalir deras dari jari jempolnya hingga menetes ke lantai. “Oh, astaga, Mimi! Tanganku, tanganku!” teriaknya. Mimi dan asisten rumah tangga lainnya segera menghampiri Arabelle yang tengah berteriak dengan wajah yang sudah memucat. Mimi memekik kaget, dia segera berlari mengambilkan kotak P3K. “Ada apa?” tanya Tiger yang juga mendengar teriakan Arabelle barusan. “Nona Ara tangannya teriris pisau!” Mimi segera beranjak meninggalkan Tiger menuju pantry. Arabelle sudah terduduk dengan keringat membasahi pelipisnya. Tiger mengambil sebuah cairan, menuangkannya ke jari jempol Arabelle yang berdarah kian banyak. Arabelle memekik kesakitan. “Tiger apa yang kamu lakukan?! Ini perih sekali!” pekiknya sambil menangis keras. “Mimi, Mimi carikan obat cepat! Ini perih, perih sekali!” Tiger mengehentikan Mimi. “Tidak masalah, ini akan segera sembuh. Setelah ini darahnya akan berhenti keluar.” Arabelle tak berhenti menangis, wajahnya sudah kian memucat. Gadis itu takut darah. Ponsel Mimi dalam kanton seragam ART-nya berdering. Elvano menelponnya. “Tuan Elvano!” kaget Mimi. Arabelle sudah tidak bisa menyahut, dia terlalu lemas melihat darahnya yang berceceran di atas lantai. Bibi Aini mengambil lap basar dan kering untuk membersihkan darah yang ada di lantai serta kaki Arabelle. “Angkat cepat sebelum Tuan El marah!” perintah Tiger ketika Mimi tak kunjung mengangkat hingga panggilan kedua. Mimi mengangguk, dia mengangkatnya. “Halo, halo Tuan—” “Apa yang terjadi di rumah?” “Anu Tuan, ini ... tadi Nona Ara ingin membuat kue—” “Langsung ke intinya saja Mimi, apa yang terjadi?” Mimi seketika gagap. “T-tangan Nona Ara keiris pusai, Tuan.” Elvano melebarkan matanya, dia langsung berdiri dari tempat duduknya. “Bagaimana bisa?” Lantas mengubah panggilannya menjadi panggilan video. Elvano ingin melihat Arabelle. Mimi mengarahkan kamera belakangnya pada Arabelle yang terdiam lemas sementara ART membersihkan lukanya. “Ara, Ara ... kamu baik-baik saja?” tanya Elvano terdengar khawatir sekali. Arabelle tidak menjawab. Elvano dapat melihat gadis itu pasrah diapakan saja, bibirnya juga tidak sepink biasanya. Pucat sekali. “Mimi, buatkan air untuk Ara. Kenapa kau bisa membiarkan dia masuk pantry? Bukankah kalian semua sudah saya pesani segalanya untuk keselamatan Ara?” Mimi hanya bisa meminta maaf, berkali-kali. Dia juga kaget sekali melihat Arabelle terluka, hingga tak dapat berkata-kata banyak dan kakinya juga sedang bergetar sekarang. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN