PART 9
Arabelle menggeleng keras ketika mendengar jari jempolnya akan di jahit. Tiger yang mengusulkannya.
“Apa kamu gila? Ini terasa sakit dan perih sekali, dan sekarang kau mau menambah rasa sakit dengan menjahitnya? Aku tidak akan pernah mau!”
“Tapi, Nona, lukanya besar dan dalam sekali. Alangkah baiknya jika dijahit saja agar dagingnya sembuh dengan baik nanti.”
Arabelle tetap menggeleng, menolak mentah-mentah saran tidak masuk akal itu—tidak masuk akal menurut gadis itu. “Mimi telponkan Elvano, aku ingin berbicara padanya.”
Mimi mengangguk, dia menelponkan Elvano. Ketik panggilan tersambung, Mimi memberikan ponselnya kepada Arabelle.
Gadis itu saat ini tengah duduk bersandar pada kepala ranjang, di kamar Elvano. “El ...?”
“Ya, Ara? Apa lukamu sudah ditutup?”
“Sudah. Hanya saja Tiger menyuruhku untuk menjahitnya, aku tidak akan mau El. Itu akan terasa sakit dan tambah perih, bukan? Bilang pada Tiger aku tidak ingin melakukannya. Aku akan segera sembuh.”
Di seberang sana Elvano memijat pelipisnya, pekerjaannya banyak sekali ditambah dengan mencemaskan keadaan Arabelle sekarang. “Itu lebih baik, Ara, lukamu memang harus dijahit. Tidak akan sakit, saya akan mencarikan dokter terbaik untuk menyembuhkan lukamu. Aku akan kembali dua hari lagi.”
“Tidak, El. Apa kau tidak mengerti? Aku takut sekali!”
“Ada Mimi yang akan menjagamu. Di jahit sekarang, ya, akan saya telponkan dokternya.”
Arabelle menyerahkan ponselnya kepada Mimi, dia memajukan bibirnya kesal. “Terserah kalian. Aku sudah tidak peduli lagi. Lihat saja kalau luka ini tambah sakit jika dijahit, ketika sembuh nanti akan ku pukul kepala kalian semua!”
Tiger mengangguk, setelah sedikit membungkukkan badan pria itu berlalu meninggalkan Arabelle dan Mimi.
“Tidak akan sakit, Nona. Tenanglah, luka Nona Ara akan segera sembuh setelah dijahit nanti.”
“Ya, ya, terserah kalian saja. Aku mau istirahat dulu, jika dokter datang nanti, bangunkan aku.”
****
Setelah jari jempolnya di jahit, malam harinya Arabelle demam. Mungkin itu bawaan dari rasa sakitnya, hal ini sudah biasa terjadi pada orang yang terluka seperti Arabelle. Dokter yang dicarikan oleh Elvano benar-benar dokter terbaik, dia menjahit jari Arabelle dengan baik, hanya terasa seperti digigit semut. Alat jahit yang dia gunakan pun canggih sekali, tidak memakai jarum dan benang pada umumnya. Meski setelah beberapa jam kemudian luka itu tetap terasa sakit hingga menyebabkan lengan kirinya katur oleh rasa sakit dan perih—tidak berasa.
Elvano menyuruh Mimi mengecek keadaan Arabelle ketika tengah malam nanti, soalnya dokter telah memberitahukan kalau efek dari jahitan tersebut kemungkinan besar akan demam, apalagi ketika melihat tubuh Arabelle yang sudah lemas terdahulu.
Jam satu dini hari Mimi terbangun, dia segera keluar dari kamarnya menuju kamar Elvano. Suara seseorang tengah mengigau mengisi setiap sudut ruangan tersebut.
“Mama ...?” panggil Arabelle dalam tidurnya.
“Papa ...?”
Sambil menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Keringat sudah membasahi daerah pelipis dan lehernya.
“El ... Elvano? El ...?” panggil Arabelle lagi. Dia terus memanggil tiga orang tersebut.
Mimi mengusap lengan Arabelle, mencoba menenangkan gadis yang tengah diselimuti oleh mimpi-mimpinya. Ketika Arabelle sudah mulai tenang, Mimi meletakkan telapak tangannya pada dahi Arabelle, panas. Kemudian dia dengan cepat meninggalkan kamar Elvano sebentar menuju dapur—berniat akan mengompres Arabelle agar panasnya turun.
Mimi sudah mencoba menghubungi Elvano, tetapi tidak mendapat jawaban apapun. Mungkin sedang sibuk, pikir Mimi. Usai mengompres Arabelle Mimi tidak langsung pergi ke kamarnya, dia mengamati lebih dulu wajah cantik dan polos Arabelle ketika tertidur. Mimi selalu mengakui kecantikan Nona kecilnya tersebut.
“Cepat sembuh, ya, Nona. Kalau Nona Ara sakit seperti ini, siapa yang akan meneriaki dan memarahi saya?” candanya sambil tersenyum. Dia mengusap lengan Arabelle sekali lagi, gadis itu sudah kembali tertidur dengan nyaman.
****
Dua hari berlalu, Elvano kembali mendapatkan penghargaan sebagai pengusaha terhebat tahun ini. Selesai acara, Elvano langsung meminta Remon mengurus keberangkatannya menuju Indonesia. Tahun-tahun sebelumnya, Elvano selalu menyempatkan diri berlibur terlebih dahulu sembari menyantaikan diri, berbeda sekali dengan tahun ini. Pikiran Elvano sejak mendengar insiden jari Arabelle teriris, menjadi tak karuan. Dia ingin segera menyelesaikan pekerjaannya di sana agar setelah acara bisa pulang langsung ke Indonesia.
Sesampainya di Indonesia, Tiger dan satu orang pengawal lain menjemput Elvano dan Remon. Mereka segera melaju menuju kediamannya. “Bagaimana keadaan istriku?” tanya Elvano pada Tiger.
“Sudah lebih baik, Tuan.”
“Apa dia makan dengan teratur?”
“Sedikit susah. Tadi pagi dia mengatakan kepalanya masih sedikit pusing, menjadikan napsu makannya menurun.”
Elvano terkejut, seharian semalam dia tidak sempat menelpon Mimi untuk menanyakan kabar Arabelle, dia terlalu sibuk. “Kenapa tidak diberi vitamin penambah napsu makan? Belakangan ini berat badannya sudah menurun.”
“Mimi dan saya sudah membujuknya, Tuan. Nona Arabelle tetap menolaknya. Bahkan katanya ketika sudah sembuh dia akan memukul kepala kami semua.”
Mata Elvano melebar. “Kenapa?”
“Kami mengatakan setelah dijahit nanti dia akan sembuh, tidak merasakan sakit dan perih lagi. Tapi nyatanya setelah dijahit dia malah demam, luka jahitnya pun kata Nona terasa sakit dan perih.”
Elvano tertawa kecil. Mendengar semua cerita dari Tiger membuat Elvano semakin merindukan gadis kecil itu saja. Sikapnya selalu membuat siapa saja gemas.
Mobil yang ditumpangi Elvano memasuki pekarangan rumahnya. Ketika pintu mobil dibukakan, Elvano keluar melangkah lebar memasuki rumahnya. Mimi dan asisten rumah tangga lainnya menyambut dan mengucapkan selamat atas prestasi yang sudah berhasil Elvano raih.
Elvano mengucapkan banyak terima kasih, lalu kembali melangkah menuju kamarnya. Saat pintu terbuka, Elvano melihat Arabelle yang tengah tertidur dengan pulas di atas kasurnya dengan layar telivisi yang masih menyala. Elvano segera mendekatinya, mengusap pipi dan mencium kening Arabelle. “Kau terlihat lebih kurus, Ara.” Elvano menggelengkan kepalanya.
Merasa ada yang mengusap-usap pipinya, Arabelle terbangun. Dia membuka kedua kelopak matanya, mengerjap beberapa saat. “El?” panggilnya.
“Ya, ini saya.”
“Kapan kamu kembali?” tanyanya lagi, masih sedikit kaget.
“Baru saja.” Elvano duduk di pinggiran kasur. Dia meraih tangan kiri Arabelle, melihat ke arah jari jempol Arabella yang sudah sedikit mengering. “Apa masih terasa sakit?”
Arabelle menggeleng. “Tidak terlalu, sih, mungkin perih saja kalau tidak sengaja bersentuhan sama kain.”
“Kamu semakin kecil saja saya tinggalkan.”
Arabelle langsung mencubit perut Elvano. “Nyebelin.”
Elvano tertawa kecil. “Apa kamu sudah makan? Saya dengar kamu malas makan akhir-akhir ini.”
“Aku hanya malas.” Pandangan keduanya bertemu beberapa saat, kemudian secepat kilat Arabelle mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Hm ... selamat atas prestasimu, aku melihat tayangan acaranya.”
Elvano mengusap puncak kepala Arabelle. “Mau memberi hadiah atas prestasi saya?”
Arabelle mencibir. “Tidak, siapa suruh kamu tidak mengizinkanku menaiki motor.”
“Kamu selalu ceroboh, lihat saja tanganmu. Sudah saya bilang jangan memasak apapun, kamu tetap ngeyel.”
“Tidak usah menyalahkanku. Ini hanya kecelakaan tidak sengaja.”
“Jangan diulangi lagi.”
Arabelle diam beberapa saat. “Aku tidak bisa berjanji, karena aku suka membuat kue. Mungkin lainwaktu aku akan membuatnya lagi.”
Mata Elvano melebar. “Apa kamu bercanda? Lihat tanganmu, sudah luka seperti ini masih tidak jera juga?” sebalnya. “Lain kali iris sekalian seluruh jarimu, siapa tahu dengan itu kamu tidak akan mengulanginya kembali.”
Sebuah tinjuan mendarat pada bahu Elvano. “Resek! Sudahlah, mandi sana! Bau tahu!” Arabelle berpura-pura menutup hidungnya, seperti mencium bau tidak sedap dari tubuh Elvano.
“Kamu bercanda? Saya tidak mandi seminggu pun akan tetap wangi.”
“Mengada-ngada! Sana ih mandi!”
Elvano terpikir sebuah ide menarik. “Mau mandi berdua sama saya?” tanyanya dengan percaya diri.
Bugh! Satu bantal mendarat pada d**a bidangnya, Arabelle melempar bantal itu kepada Elvano dengan kesal.
“Saya bercanda saja.”
“Nyebelin! Pergi saja lagi kamu, jangan pulang sekalian!”
Elvano menghentikan gerakannya membuka jas dan sepatunya, menaikkan sebelah alis. Dia teringat sesuatu, “Yakin? Nanti kamu ngigau lagi panggil-panggil nama saya. El ... Elvano?” ledeknya. Mimi menceritakan perihal tersebut, membuat Elvano girang setengah mati.
Arabelle membelalakkan matanya. “Gak! Aku gak ada ngomong gitu! Kamu mengada-ngada saja terus. Pulang dari luar negeri bukannya jadi manis malah tambah nyebelin! Emang susah kalau dari lahir ditakdirin buat orang murka terus.”
“Saya yang dituduh mengada-ngada, padahal kamu sendiri yang ngomong tanpa sadar. Kamu saya tinggal tiga hari saja sudah kangen kan, apalagi kalau saya tinggal selamanya.”
Arabelle akan melemparkan bantalnya lagi jika Elvano tidak segera memasuki kamar mandi. “Kamu, ya, El? Aku akan memukul kepalamu setelah ini.”
****
Natalia dan Rival menjenguk Arabelle yang sudah dua hari ini tidak masuk kuliah. Arabelle sudah memberitahukan bahwa dirinya baik-baik saja, tetap saja Natalia mengkhawatirkannya.
Rival tadi melihat sekilas wajah datar Elvano, dia akui pria itu tampan sekali—jauh di atas rata-rata. Sudah tampan, mapan, kurang apalagi? Bahkan dirinya pun tak sanggup bertanding dengan seorang Elvano, tidak ada apa-apanya.
Arabelle melangkah dengan santai menuruni satu persatu anak tangga. “Beneran datang ya lo berdua, gue pikir cuman bercandaan.”
Natalia tidak tertarik menyahutnya, dia langsung menyuruh Arabelle duduk dan melihat keadaan lukanya. “Astaga, Ra, ini yang lo bilang lukanya sedikit? Kalau sampai dijahit begini namanya parah, bego!” Natalia memukul bahu Arabelle kesal. Temannya itu selalu meremehkan apapun, sok kuat!
Rival juga mendekati Arabelle, bergantian melihat lukanya. “Masih sakit, Ra?” tanyanya agak ngeri juga melihat jari jempol Arabelle yang masih kelihatan membengkak dan merah. Kuku Arabelle masih membiru.
“Gak terlalu sih. Ya kalau gue tidur kadang suka benturan sama selimut atau guling, ya ... sakit sih. Perih juga kadang-kadang.”
Natalia bergidik ngeri. “Lo sih ada-ada aja, pisau dibuat mainan. Begini nih kalau kerjaannya keras kepala terus, gak mau dengerin apa kata orang. Gue tau pasti lo ngeyel kan dibilangin Om El, makanya kena musibah begini. Kualat lo!”
Arabelle terkikik geli. “Gue cuman buat kue cokelat doang, Na. pas mau motong cokelatnya eh tiba-tiba kepeleset pisaunya, bukannya itu cokelat yang keiris malah tangan gue.”
“Lo sih suka bener uji nyali!” Rival mengacak-acak rambut Arabelle, kemudian merapikannya lagi.
Natalia memukul lengan Rival dengan kasar. “Lepasin tangannya lo dari Ara, di sini banyak CCTV, lo mau ditendang sama orang-orang berbadan besar di sini?”
Rival hanya mengangkat sebelah bahunya, tidak terlalu ambil pusing.
“Tugas kelompok dah beres, gue sama Rival yang nyeleseinnya kemarin sore.” Ntalia mengalihkan topik pembicaraan mereka, Rival yang sedang memakan kue kering mengangguk setuju. “Hampir juling mata gue ngetik sampai malam, Rival gak mau gantian ngetik. Dia cuman baca dan mengumpulin jawaban. Resek kan?”
Rival mengumpal mulut Natalia dengan kue keringnya. “Untung gue bantu lo!” Tatapannya kini beralih pada Arabelle, “Lihat temen lo, gak pernah bersyukur banget.”
Arabelle terkekeh, kemudian menggelengkan kepalanya. “Kalian berantem terus, gak capek? Jodoh nanti baru tau rasa kalian!”
Rival dan Natalia sama-sama melototkan mata mereka, dan kompak menjawab, “OGAH!”
Natalia meninju bahu Rival. “Gue yang ogah sama elo! Kalau elo dapat gue mah untung, lah gue dapat elu? Buntung namanya.”
“Sembarangan!”
Kalau saja tidak dihentikan oleh Arabelle Rival dan Natalia akan terus berdebat akhirnya bisa-bisa baku hantam, lebih tepatnya Natalia yang menghajar Rival.
Arabelle memanggil Mimi, “Mimi buatkan kita bertiga mie instan kuah, ya.”
Mimi menghampiri Arabelle. “Tapi Nona, bukannya Tuan El melarang Nona memakan mie intan? Mimi masakin sayuran hijau saja, ya?”
“Bosan, Mimi, makannya sayuran hijau terus. Bikinkan saja, jangan bilang-bilang sama El. Dia lagi sibuk di ruang kerjanya, gak bakal tahu. Kalau pun tahu, aku yang akan menanggung semuanya.”
Mimi diam beberapa saat, baru kemudian menganggukinya.
“Mimi, jangan lupa kasih telur ya. Langsung masukin telurnya ke dalam mie kuahnya.”
“Iya, Nona Ara.”
Seperginya Mimi, Natalia menyenggol bahu Arabelle. “Lo ngaco, ya? Kok masih ngeyel mau makan mie, kan Om El gak bolehin?”
“Bodo amat deh, Na. Gue lagi kepengen soalnya. Gue tau cara tenangin dia kalo nanti marah, lo tenang aja.”
Rival menggelengkan kepalanya, dia sentil dahi Arabelle pelan. “Katanya bukan anak kecil lagi, tapi dibilangin yang baik malah gak mau dengar. Ara, Ara, kenapa lo gemesin banget si? Pantas aja gue sayang.”
Natalia melebarkan matanya. “Val, difilter sedikit bisa omongan lo? Jangan cari masalah di sini, bahaya buat keselamatan. Lo mau pulangnya dah gak punya kepala?”
“Yang satu kelewat gemesin, yang satu lagi kelewat bacod. Heran!”
Natalia mencubit lengan Rival kesal, sampai cowok itu meringis sakit meminta dihentikan.
“Kalian ke sini pakai motor atau mobil?” tanya Arabelle.
“Mobil, gue numpang sama Rival, Ra. Kenapa?”
“Gak apa. Tangan gue gatel banget pengen bawa motor soalnya.”
Rival sedikit terkejut. “Jangan bercanda lo! Terakhir kali lo bawa motor aja nabrak pagar kampus. Jangan nyari bahaya lagi, Ra. Lo gak sayang nyawa apa?”
Kali ini Natalia setuju dengan Rival, Arabelle menghembuskan napasnya. “Jadi sekarang kalian satu kesatuan sama Elvano?”
“Ye, lo ini ya emang gak bisa dibilangin yang baikan dikit.”
Obrolan mereka terhenti ketika Mimi dan Bibi Anin datang membawakan tiga mangkuk mie kuah pesanan Arabelle tadi. Mata Arabelle langsung berbinar, terang.
“Ambilkan cabe sama saos pedasnya, Mi.”
“Tidak boleh, Nona. Nona Ara kan masih sakit, tidak baik makan yang terlalu pedas.”
“Baiklah-baiklah. Kali ini aku menurut.”
Mimi tersenyum. “Kalau begitu saja kembali ke dapur, Nona. Kalau ada apa-apa bisa panggil saja lagi.”
Arabelle mengangguk, dia mengucapkan terimakasih pada Mimi.
“Makan,” ucapnya pada Natalia dan Rival. Arabelle mengambil toples kerupuk yang ada di atas meja. Memakan mie kuahnya dengan kerupuk, sangat pas sekali.
“Lo yakin Om El gak marah kan sama kita, Ra? Ntar kita gak diizinin ke sini lagi.”
Arabelle mengangguk. Rival yang sejatinya pecinta mie instan itu pun tak kuasa menolak pesonanya. Dia meraih mangkuk mie kuah miliknya, segera memakannya dengan lahap.
“Enak, Ra, kapan-kapan gue ke sini lagi.”
Arabelle terkekeh. “Gampang. Atur aja.”
Mereka makan sambil sesekali mengobrol ringan. Ketika jam sudah menunjukkan pukul lima sore, Rival mengajak Natalia pulang. Tidak enak kalau terlalu sore pulangnya.
“Val, lo gak jera kan main ke sini lagi? Perdana nih lo datang ke sini, kalau Nana kan udah sering.”
Rival mengangguk. “Gak. Kalau gue main ke sini lagi, bikinin mie kuah kayak tadi lagi, ya. Salamin sama si Mimi, bilang mie instan buatan dia enak.”
Arabelle memukul cowok itu. “Gak usah ganjen! Mimi gak bakal mau sama anak ingusan kayak lo.”
Rival terbahak. “Gue pengen ajak lo berdebat, tapi lo lagi sakit. Ya sudah, gue ngalah aja.”
Arabelle mengantar Natalia dan Rival hingga teras, gadis itu kembali masuk ketika mobil Rival sudah melaju menuju pagar depan.
“Mimi ...!” panggilnya. Mimi yang kebetulan habis menyiram tanaman di halaman samping segera menghampiri Arabelle.
“Iya, Nona?”
“Bereskan mangkuk bekas mienya. Jangan sampai Elvano tau.” Mimi mengangguk mantap.
“Aku ke kamar dulu.” Sebelum beranjak, Arabelle ingat ucapan Rival tadi. “Mimi, kamu lihatkan tadi temanku yang ganteng.” Mimi mengangguk. “Kata dia salam, mie instan buatan kamu enak.”
Mimi jadi salah tingkah, pipinya merona merah. Arabella ikut terkikik geli. Siapa yang mampu menolak pesona seorang Rival? Ganteng, tinggi, hidung mancung, dan mata birunya ... nampak indah sekali. Namun, meski begitu ganteng entah kenapa Arabelle tak pernah mempunyai rasa lebih pada Rival. Cowok itu lebih cocok menjadi abangnya, sebab Rival selalu mengutamakan kebahagiaannya. Arabelle akan merasa senang jika Rival jatuh cinta kepada Natalia, mereka serasi sekali. Sejak dulu, tanpa Natalia mengatakannya pun Arabelle sudah tahu bahkan gadis itu menyukai Rival, tapi berusaha untuk menutupinya karena dia tahu Rival mencintai dirinya.
Sesampainya di kamar, Arabelle meraih ponselnya. Ada satu pesan dari Aldo membuat senyumnya mereka sempurna.
Aldo: Ara, katanya kamu sakit?
Arabelle segera mengetikkan sesuatu untuk balasan.
Arabelle: Iya, tapi sudah sembuh, Kak.
Tidak berapa lama kemudian sebuah pesan kembali masuk, masih dari orang yang sama.
Aldo: Syukurlah. Kamu mau sesuatu?
Arabelle: Eh, gak usah, Kak. Takut ngerepotin aku mah.
Aldo: Gak pa-pa, santai aja lagih. Mau apa?
Mata Arabelle melebar, tentu saja dia mau dibelikan makanan oleh Aldo, tapi gimana dengan orang rumah? Orang-orangan Elvano pasti menolah makanan dari Aldo.
Arabelle: Doanya aja, Kak, biar aku cepat sembuh dan bisa ketemu Kakak. Hehehe ....
Aldo: Baiklah. Semoga lekas sembuh, nanti kalau sembuh saya ajak ke kedai eskrim.
“Kenapa senyam-senyum?” tanya Elvano yang entah sejak kapan datang, mampu membuat Arabelle terlonjak kaget.
“El? Kamu mengagetkanku!”
“Kamu belum menjawab pertanyaanku.”
Arabelle tergagap. “E-eh? Gak pa-pa, aku hanya merasa senang ... tugas kelompok kami mendapat nilai bagus.”
Elvano memicingkan mata. “Kamu tidak berbohongkan?”
“Tentu saja tidak, El. Kamu menuduhku?”
Elvano tidak menjawab. Dia mendekati Arabelle, kemudian mengecup singkat bibirnya.
“El, kau apa-apaan? Kenapa suka sekali menciumku?!” kesal Arabelle.
“Kamu habis makan mie instan, Ara?” tanya Elvano. Arabelle membelalakkan matanya.
“Tidak!” kilahnya secepat kilat, dia akan menghindar berniat masuk ke dalam kamar, namun Elvano lebih dulu menghentikannya.
Elvano kembali mencium Arabelle, melumatnya untuk benar-benar mencari jejak rasa mie instan. Arabelle memukul-mukul d**a Elvani, meminta dilepaskan.
“Kamu berbohong lagi, Ara. Saya merasakannya, kamu baru saja makan mie instan kan?”
Arabelle menutup bibirnya, dia menundukkan kepala. “I-iya. Kamu puas sekarang?”
Elvano tidak menjawab, Arabelle tahu pria itu tengah kesal padanya.
“Aku lagi pengen memakannya. Lagi pula aku sudah lama sekali tidak makan mie instan, jadi gak masalahkan, El?”
“Tapi kamu masih sakit, Ra, mie instan kurang sehat.”
Arabelle memajukan bibirnya. “Ya sudah, maafkan aku.”
Elvano sedikit terkejut, Arabelle meminta maaf? Wow, tumben sekali. Rekor sekali.
“Cium saya, maka maaf akan diterima.”
“Tidak akan!”
“Ya sudah kalau begitu, padahal niatnya nanti malam saya akan memberikan kamu hadiah dari Amerika.”
Mata Arabelle melotot. “Hadiah apa, El?” tanyanya terdengar semangat sekali.
“Cium saya dulu.”
“Kecup saja, ya?” tawarnya.
“Tidak, lakukan seperti saya mencium kamu tadi.”
Arabelle menutup bibirnya, “A-aku gak tahu bagaimana caranya.”
Elvano tersenyum miring. “Cium saja dulu, nanti saya yang akan mengajarimu.”
Arabelle diam beberapa saat memikirkannya, kalau menolak maka hadiahnya hangus. Lagipula hanya ciuman saja kan? “Menunduklah, El, aku mana mungkin sampai jika kamu terus berdiri tengak seperti itu.”
Dengan senang hati Elvano membungkukkan badannya. Dia memejamkan mata sembari menunggu Arabelle menciumnya. Ketika Arabelle menempelkan bibirnya pada bibir Elvano, pria itu tidak menyia-siakan kesempatannya. Elvano melingkarkan lengan kirinya pada pinggang Arabelle, sementara tangan kanannya menekan kepala bagian belakang milik Arabelle.
Arabelle mengikuti gerakan bibir Elvano, hingga mereka larut dalam satu kegiatan yang akan menjadi candu keduanya tersebut. Meski hanya ciuman, d**a Arabelle tak henti berdebar dengan kencang.
****