XVII

2121 Kata
“Bill...” Billa mengerang pelan saat tubuhnya di dorong pelan berbalik dari dinding menghadap Fatiah yang sejak tadi berusaha membangunkan Billa. “Bil, ayo bangun. Salat subuh dulu.” Billa mengerjap, matanya perlahan membuka menampilkan sepasang mata yang nampak layu. “Kamu sakit, Bil? “ “Kayaknya. Dari semalam badan aku gak enak banget.” “Ya Allah, terus gimana, kepala kamu pusing gak? Butuh obat gak? Biar aku mintain sama ustadzah Lala.” “Nanti aja, Iah. Udah azan subuh, kan? “ “Iya.” “Iah tolongi izinin ke ustadzah, hari ini aku gak piket.” “Iya nanti sekalian aku mintai stok obat juga.” “Aku mau salat subuh, tapi aku mau tayamum aja. Badan aku mengiggil banget, takut makin jadi kalo kena air.” “Kamu sanggup berdiri? Kalo gak sanggup, jangan dipaksain Bil, duduk aja ya. Nanti aku bentangi sajadah sama siapin mukena kamu.” “Iya, makasih, Iah.” “Kamu gak pa-pa, aku tinggal ke aula? “ “Iya, gak pa-pa. Makasih ya, Iah.” Fatiah pergi setelah memastikan Billa aman untuk di tinggalkam di kamar sendiri. “Mana Billa nya, Iah? “tanya Rani, setelah Fatiah bergabung duduk di sebelahnya. “Dia gak enak badan dari semalam, Mbak.” “Panas badannya? “ “Iya, tapi dia ngerasanya menggigil gitu.” “Oh, mungkin dia masuk angin. Nanti deh biar ana kerokin sama ana buatin teh madu.” Fatiah tersenyum, rasa hangat menjalar di hatinya. Pepatah mengenai darah selalu kental dari pada air, tidak sepenuhnya benar. Terkadang hubungan peduli, kasih sayang, tidak membutuhkan hubungan darah untuk tumbuh. . . “Iah kamu ada kaos apa gitu buat kompres, Billa, gak? Ana gak ada nih.” “Bentar, Mbak, aku liat dulu.” Fatiah mengambil kursi untuk menjangkau lemari mini yang ditempel di dinding. Memang agak merepotkan, tapi itu sepadan dengan kamar yang nampak lebih luas, tanpa berjejer lemari di sana-sini. “Pakai apa ya, Mbak? “ Fatiah mengedarkan pandangnya. Sembari berpikir, Fatiah sedikit merapihkan kaos kaki yang mencuat hendak muncul dari sesaknya lemari. Fatiah teringat untuk segera mengurangi lemarinya jika ingin lemarinya serapi lemari Lingsi. “Kak, pakai softek aja, aku liat di internet bisa kok pake itu,” kata Lail. “Beneran engkoh? Gimana caranya? “ “Ya kasih air dikit lah, terus tempel di jidat Bila. Udah gitu doang.” “Boleh juga tuh. Iah, kamu punya stok softek, kan? “ “Iya, ada, Mbak.” “Mana, sini, biar aku aja yang kasih airnya. Kamu mau siap-siap sekolah, kan? “ “Iya, Mbak.” Fatiah turun, meletakan kembali kursi di teras. “Iah, aku titip surat izin, ya...” kata Billa. “Iya, Bil, nanti biar aku buat di sekolah deh.” “Makasih ya.” “Iya, kamu istirahat aja. Jangan lupa minum obat juga. Nanti pulang sekolah, kamu mau di beliin apa? Vitamin atau s**u steril? “ “Gak usah, Iah. Obat ini udah cukup.” “Kamu udah makan? “ Billa menggeleng lemah. “Nanti deh, aku masih kenang, habis makan roti sama teh madu.” “Kamu mau pergi sekarang? “ “Iya, kan hari ini jadwal piket aku.” “Hati-hati di jalan ya. Jangan senyam-senyum sendiri, entar dikira kamu kesurupan.” Fatiah terkekeh. “Tahu aja.” “Kan gak lucu, cantik-cantik gila.” . . “Maaf, Bu.” Haikal menunduk dalam, tangannya menyerahkan selembar kertas yang tidak asing bagi bu Imelda. “Saya tidak bisa ikut lomba itu, karena cerpen itu bukan saya yang buatnya.” Bu Imelda menatap Haikal sesaat sebelum matanya jatuh pada kertas yang Haikal serahkan. Dua detik, Tiga detik, Empat detik belum ada jawaban dari bu Imelda. Haikal sudah siap dengan semua resiko yang ada. Dia harus mengakhiri lingkar setan ini. Satu pohon kebohongan mampu menumbuhkan banyak cabang kebohongan. “Haikal kamu ibu hukum atas kebohongan kamu ini,” tegas bu Imelda. Haikal menguatkan hatinya. Dia berhak mendapatkan semua ini. “Hukuman kamu, cari siapa pemilik cerpen itu, dan belajar cara membuat cerpen agar kamu bisa maju dalam ajang lomba itu. Nama kamu sudah terdaftar dan tidak akan bisa ditarik lagi, terlepas kamu bohong atau tidak.” Haikal mengangkat kepalanya. Tersirat kaget pada sorot matanya. Bagaimana bisa ia mendapat tugas mencari pemilik cerpen itu lagi? “Bu, saya sudah berusaha satu pekan ini mencari penulis cerpen itu, tapi saya tidak bisa mendapatkannya, Bu.” “Oh, jadi selama sepekan ini kamu berulah karena mencari penulis cerpen itu?” Haikal mengangguk lemah. Raut iba terpancar di wajah bu Imelda. “Kenapa kamu gak bilang dari awal?” “Hem, ini kesalahan saya, Bu. Dari awal seharusnya saya memang jujur.” “Ya sudahlah, sagu udah jadi lem. Percuma juga kalo mau disesali. Tapi mungkin ibu bisa jelasin kronologi semua ini sama guru-guru yang lain, biar kamu gak kena skorsing.” “Terima kasih, Bu.” “Iya. Dan mengenai mencari penulis itu, ibu punya ide. Ibu minta tolong kamu ya buat bacain cerpen itu di speker sekolah. Kita akan minta penulisnya buat datang ke kantor.” “Iya, Bu.” “Permisi bu Imelda.” “Iya, ada apa, Bu? “ “Bu Sri sama bu Fatmah, manggil Haikal buat ke ruang BK. Sebentar lagi pertemuan orang tua Haikal dengan bu Sri, buat membahas masalah kemarin.” “Oh iya, Bu. Saya juga mau ke sana,” kata bu Imelda. “Ayo Haikal, kita ke sana.” Haikal mengangguk sopan. Di ruang BK, Haikal melihat Dzawan dan Dzawin yang duduk bersama kedua orang tuanya, berhadap-hadapan dengan bu Sri yang hanya dihalangi meja berukuran sedang di depan mereka. “Iya, Bu, sebelumnya tidak ada catatan kenakalan yang di lakukan Dzawan dan Dzawin. Saya berharap setelah hari ini, keduanya tidak lagi mengulangi kesalahan semacam ini. “Dan maksud kami mengundang bapak dan ibu, bukan berniat untuk merendahkan atau sejenis, kami hanya untuk bersilaturahmi dan membicarakan soal ini, agar tidak ada mis komunikasi diantar wali murid dan guru.” “Iya, Bu. Saya selaku orang tua dari Dzawan dan Dzawin, meminta maaf sebesar-besarnya atas perbuatan yang anak kami lakukan. Besar harapan kami untuk mendapat maaf yang sebesar-besarnya.” Setelahnya mereka undur diri membawa Dzawan dan Dzawin bersama. Dzawan mengangkat kepalanya saat melewati Haikal, memberi senyum tipis seolah mengatakan semua akan baik-baik saja. “Gak perlu takut, santai aja,” bisik Dzawin, setelahnya. Haikal tersenyum, percaya bahwa semua akan kembali membaik. “Haikal, duduk di sini,” kata bu Sri setelah kedua orangtua Dzawin dan Dzawan benar-benar menghilang dari pandangan mereka. “Di mana orang tua kamu? “ Bu Sri melirik jam yang terlilit di tangannya. “Seharusnya sudah datang satu jam yang lalu. Kamu kasih surat panggilan itu, ke orang tua kamu, kan? “ “Ibu saya yang akan ke sini, Bu.” “Di mana, kenapa sampai sekarang belum datang? Coba kamu telepon ibu kamu.” “Baik, Bu.” Haikal merogoh sakunya, menekan nomor ibunya. “Bu Sri, maaf menyela, saya ingin mengatakan sesuatu,” kata Bu Imelda. “Iya, ada apa, Bu? “ “Hm....” bu Imelda melirik Haikal, memberi isyarat agar Haikal pindah ke kursi di ujung ruangan. Haikal segera bangkit, masih sibuk dengan benda pipih di tangannya, mengabaikan bu Imelda dan bu Sri yang sekarang nampak mengobrol serius di meja utama. “Assalamualaikum, Bu... “ Akhiranya panggil terhubung. Di seberang sana, Haikal mendengar suara bising jalan raya. “Bu, ibu di mana?” “Ha? Apa Kal? Ibu gak denger.” Haikal menjauhkan ponselnya dari telinga, suara ibunya yang terlampau kencang membuat telinganya berdenging. “Bu, Ibu di—“ “Kal, nanti aja bicaranya. Ibu gak kedengaran. Ibu kemungkinan sampai di sekolah kamu sepuluh menit lagi.” Panggil di tutup sepihak. Haikal memandangi ponselnya, seolah keanehan berada pada benda pipih itu. Haikal sangsi jika ibunya berada di dalam mobil diantar abangnya. Suara bising itu seperti suara angin saat mengendarai motor. “Biar aku chat Abang aja deh.” Haikal sibuk mengetik di ponselnya sampai tidak sadar, Bu Sri melihat ke arahnya sesaat, sebelum akhirnya mengangguk pada bu Imelda. “Dan selagi menunggu orang tua Haikal, apa boleh saya pinjam Haikal bentar agar masalah ini cepat selesai.” “Iya, silakan bu Imelda.” “Ayo Haikal.” Haikal langsung mengikuti bu Imelda. “Kal, sesuai rencana tadi, kamu siarin cerpen di speaker sekolah. Biar ibu yang izin sama bagian TU. Terus kamu tungguin siapa yang datang, ibu gak bisa soalnya harus ngajar di kelas sepuluh.” “Iya, Bu.” . . “Jam pulang kapan sih?” Fatiah menangkupkan dagunya, desah nafas pelan keluar begitu saja dari cela bibirnya yang setengah terbuka, pandangnya mengedar, menatap suasana kelas. Semua murid nampak sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Jam kosong memang mengasikan tapi hari ini Fatiah tidak menikmatinya. Dia bingung harus melakukan apa, Billa sakit dan stok novelnya habis. Fatiah ingin ke perpustakaan, tapi mereka di larang ke luar kelas saat jam kosong. “Hufffttt! “ “Tidur aja dah.” Tangan Fatiah yang menyangka dagu, jatuh menumpuk, membentuk bantal tangan yang lumayan nyaman menahan kepalanya agar tidak bersentuhan langsung dengan meja. Fatiah menguap kecil sebelum rasa ngantuk mengerjap menutup matanya. “Eh Awas! “ Teriak itu samar-samar memenuhi telinga Fatiah. Fatiah menggerang pelan, menarik kembali iler yang hampir saja turun dari sudut bibirnya. “Apa sih?” Fatiah mengangkat malas kepalanya, mengucek matanya yang masih enggan terbuka. “Awas! “ Mata Fatiah seketika terbelalak saat melihat kursi yang melayang di udara bak punya sayap. Buru-buru Fatiah bangkit. Bruk! Mata Fatiah mengerjap, kursi itu gagal landing di kepalanya. “Eh, maaf, Iah. Kita gak sengaja.” Dua siswa, pelaku kursi terbang, langsung mengambil kursi itu menjauh dari Fatiah yang masih diam dengan ekspresi kaget. “Eh, coba diam dulu, itu ada pengumuman di spaker!” Namanya Auksin Hanafi. Sama seperti hormon auksin, dia memiliki kebiasaan buruk yang selalu menangis saat terkena lampu sorot di lokasi syuting. Fatiah menoleh, menatap speaker yang tertempel di atas sudut kanan pintu kelas. Rangkaian kalimat itu membuat mulut Fatiah hampir-hampir jatuh. Prisila Agata kakak kandung dari Auksin Hanafi, mereka memang terlahir dari rahim yang sama, tapi hal itu tidaklah membuat mereka sama seutuhnya. Sangat berbeda dengan Auksin. Sila bersinar dengan sangat cemerlang di atas langit hiburan, membuat mata siapa saja akan silau memandang. Sejak kecil, Sila sudah menyukai dunia selebriti. Sila lebih dominan mewarisi bakat ayah dan ibunya sebagai entertainer sedangkan Auksin entah bakat siapa yang mengalir deras dalam tubuhnya. Sedikit pun Auksin tidak memiliki jiwa seorang entertainer. Dan karena itu juga ada banyak sekali perbedaan antara dunia Auksin dan Sila. Dunia yang tidak pernah di anggap oleh kedua orang tuanya. Dunia itu juga yang menjadi jurang pemisah antara Auksin dan kedua orang tuanya. Jurang tak kasat mata yang selalu memberi jarak antara anak dan orang tua. Jika kasih sayang orang tuanya 100 persen untuk Auksin, maka 150 persen untuk Sila. Kedua orang tua Auksin tidaklah membenci ataupun membedakan dengan Sila. Mereka sangat menyayangi Auksin dan Sila. Hanya saja terkadang Auksin merasakan jurang dalam itu. “Itu pengumuman apa sih di kantor? Aneh banget.” “Iya, itu lagi lomba baca cerpen atau apa ya? “ Fatiah menoleh. “Eh, itu asal suaranya dari ruang TU, ya? “Iya, biasanya kan suara gituan emang dari ruang tata usaha.” “Ketua kelas, aku izin keluar ya.” “Mau ke mana?” . . “Saya harap bagi penulis cerpen ini untuk segera datang ke ruang TU.” Haikal mengakhiri bacaannya. Ada sesuatu yang membumbung memenuhi benaknya. Terasa nyaman dan tenang, seutas senyum terbit di wajahnya. “Ya Allah, semoga penulis itu dengar dan segera datang.” Haikal menatap penuh harap ke arah pintu TU yang setengah tertutup. “Mana ya?” “Dia dengar, kan?” “Kok belum ada yang datang ya?” “Apa karena masih jam pelajaran ?” Tanpa alasan Haikal mondar-mandir, sembari terus melihat ke pintu, berharap daun pintu itu terbuka dan menampilkan si pemilik cerpen itu. “Oh iya, Ibu udah datang belum, ya? Aku telepon dulu deh.” “Kok gak di angkat ya.” “Apa ibu udah ada di ruang BK ya? “ “Tapi kenapa gak di angkat? “ “Angkat dong, Bu.” “Ibu angkat.” Panggil tersambung. “Assalamualaikum, Bu. Ibu udah di man—“ “Waalaikumsalam, maaf ini dengan siapanya ya?” Dahi Haikal berkerut. Haikal mengecek nama panggilan yang tertera di layar. Benar itu nomor ibunya. Tapi suara bariton siapa yang sekarang menyapanya. Itu jelas bukan suara Fauzan. “S-saya Haikal. Dan ini nomor ponsel ibu saya.” “Oh, kamu anaknya. Pas banget, saya baru mau hubungi keluarga korban.” “K-keluarga korban? “ Tenggorokan Haikal tercekat. Tangannya gemetar tiba-tiba. Perasaan cemas mulai memeluknya erat. Haikal berusaha melepasnya tapi ia gagal. . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN