XVIII

1192 Kata
“Sa-saya Haikal. Dan ini nomor ponsel ibu saya.” “Oh, kamu anaknya. Pas banget, saya baru mau hubungi keluarga korban.” “K-keluarga korban? “ Tenggorokan Haikal tercekat. Tangannya gemetar tiba-tiba. Perasaan cemas mulai memeluknya erat. Haikal berusaha melepasnya tapi ia gagal. “Iya, ibu kamu mengalami kecelakaan lalu lintas, ponselnya jatuh di tepi jalan. Keadaannya bahaya, beliau langsung di bawa ke rumah sakit. Di rumah sakit Husen.” Deg! Lutut Haikal seketika lemas, tulang dan sendinya seolah tidak berfungsi, tubuhnya lumbung, sampai-sampai Haikal harus bersandar pada tembok untuk menahan tegak tubuhnya. “Ibu,” lirihnya. “Ibu bilang mau ke sini, ke sekolah Haikal, menyelesaikan semuanya bersama, tapi—“ “Ini pasti salah! “ Haikal menggeleng keras. Kabar itu bohong! Ibunya baik-baik saja! Ibunya ada di rumah. Menunggu kepulangannya dari sekolah dengan senyum lebar. Makanan enak pasti sudah tertata rapi di meja makan persegi panjang, tidak lama di susul berteriak abangnya dari arah dapur, menyeru Haikal untuk segera turun. Di meja makan, Ibu akan bercerita mengenai alasan memasakan menu itu, semua menyimak. Fauzan sudah tidak tahan untuk makan, ayah terus melancarkan pujian yang membuat wajah ibu merona, proses makan tidak kunjung mulai, Haikal diam-diam dengan aksinya makan nyemilin lauk, Fauzan memutar mata menangkap basah Haikal, lalu menyela untuk segera membaca doa makan bersama. Suasana hangat selalu berhasil ibu ciptakan. Ibu koki yang hebat dan ibu terbaik. “APA MBAK? BILA MASUK RUMAH SAKIT?” Fatiah berbalik. Tangannya yang mengantung di ambang pintu, kembali ia tarik, menjauh. Fatiah berjalan ke arah barat. “IBU! “ Haikal keluar. Berlari ke arah timur, gerbang sekolah. “Iya, Mbak. Sepulang sekolah aku bakal ke sana. Iya, mbak.” “Gak... gak mungkin! Ibu gak mungkin kenapa-napa!” Langkah Haikal tercekat pagar sekolah. Rasa takut kehilangan, mengebu-gebu di benaknya, mematahkan akal sehatnya. Haikal mencari celah untuk memanjat pagar yang tinggi menjulang, berpotensi melukai dirinya jika terkena ujung tajam pagar. Bahkan biang onar sekali pun tidak akan pernah melakukan hal senekad ini. “Haikal jangan! “bu Sri menghentikan pergerakan Haikal. Bang Ipul dan beberapa guru pria langsung menahan lengan Haikal. Haikal terus memberontak. “Lepas! Saya hanya ingin pulang! “ “LEPASKAN SAYA! “ “Haikal tenang! Kendalikan diri kamu! Melakukan hal bodohnya tidak akan mengubah apa pun! “ “Lepaskan saya. Saya hanya ingin memastikan ibu saya baik-baik saja. Kabar itu bohong! Ibu sudah janji mau datang ke sini.” “Kabar itu benar Haikal. Ayah kamu tadi juga telepon ke sekolah.” Maniak mata Haikal seketika turun. Tubuhnya lemah, hampir-hampir saja ia ambruk jika saja bang Ipul tidak bergerak cepat menahan lengannya. “Haikal, Ibu kamu di bawa ke rumah sakit Husen. Keadaan beliau kritis, sebaiknya kamu ke sana. Biar pihak sekolah yang antar kamu ke sana.” . . Langkah Haikal terseok, semua orang bak robot yang bergerak cepat di sekitarnya. “Suster kamar rawat nomor 64 di mana ya? “ “Di sana Mbak.” ”Makasih, suster.” Haikal meringgis, memegangi bahunya yang dihantam tanpa ampun. Haikal tidak peduli! Rasa sakit itu tidak sebanding dengan tekadnya untuk segera menemui ibunya. “Bang.” “Haikal...” Fauzan langsung memeluk Haikal. Pelukan hangat yang semakin membumbungkan kesedihan. “Ibu? “Mata Haikal terpaku pada sosok di balik kaca tebal yang menghalanginya. Tubuh ibunya terbaring lemah, ditemani deting alat-alat yang menempel sana sini, seolah lagu pengantar tidur yang membuat ibunya enggan untuk membuka mata, menyambutnya yang baru saja pulang sekolah. “Haikal, kita harus kuat,” bisik Fauzan di sela tangisnya. Apa maksud harus kuat! Haikal tidak ingin mengerti. Haikal mendorong keras tubuh Fauzan, menatap tajam Fauzan yang sekarang berdiri di jarak yang Haikal ciptakan. “Aku gak mau jadi kuat, Bang! Dari dulu abang yang mau kuat, biar abang saja! Aku gak mau! Aku hanya mau ibu! “Apa pun takdir yang akan terjadi. Kamu harus menerimanya Haikal! “lirih Fauzan. Fauzan terus berlinang air mata, menatap sendu Haikal yang masih tidak mau mengerti tentang makna kuat yang abangnya itu maksudkan. Haikal menggeleng keras. Matanya menyalak tajam. “Ibu memang lagi tidur di sana, tapi saat ibu bangun, aku bakal laporin abang! Aku bakal bilang kalo abang selalu usilin aku! Ibu bakal ngelus kepala aku dan marahin abang. Ibu bakal bilang, ‘abang, jangan gangguin adik kamu terus, kasihan dia’. ‘Haikal, abang, jangan berantem terus’. ‘Anak ibu dua-duanya ganteng banget sih’. ‘Haikal bangun buru, udah mau qomat tuh!” “Dek......” “Bang, ibu pasti bangun, kan? “ “Bang, maafin Haikal. Maaf semua ini karena Haikal.” . . “Alhamdulillah kalo keadaan kamu baik-baik aja, Bil,” kata Fatiah. “Makasih ya, kalian udah datang. Tadi tuh tiba-tiba vertigo aku kambuh, mbak Rani pontang-panting cemas, kalian tahu sendiri kalo di mahad di bawa jam 12 am, mahad sepi banget, pada belum pulang sekolah. Makanya Mbak Rani panik dan cuman kepikiran buat teleponin kalian.” “Iya, kita tadi panik banget pas tiba-tiba mbak Rani nelepon.” “Makanya kita langsung buru-buru ke sini.“ “Kalian belum sempet balik k mahad? “ “Belum, Mbak. Pulang sekolah langsung ke sini.” “Ya ampun, kalian pasti belum makan, kan? “ Lail menggeleng polos. “Ih, makan atuh, entar kalian pada sakit juga.” “Entar aja, Mbak, pas pulang.” “Ih gak boleh gitu. Fatiah, kan punya riwayat penyakit maag, gak boleh telat makan. Kita ke kantin aja. Kebetulan ana tadi barubaru dapat rejeki dari tante di desa. Katanya buat jajan, biar pas pulang ke desa udah gemukan.” “Wah, asik banget kalo di traktir mah, aku gak akan nolak,” sahut Lail. “Emang di kantin rumah sakit ini ada makanan enak buat orang yang gak sakit ?“ tanya Lingsi. “Iya ada. Mbak waktu itu ngajuin proposal buat kegiatan acara amal ke sini. Terus mampir ke kantinnya. Jajanannya beragam dan gak mahal-mahal banget plus enak.” “Duh, jadi lapar nih.” “Bila, kita tinggal di sini sendirian gak papa, kan?” “Iya Mbak, sok aja.” Lail mengusap-ngusap perutnya, tidak sabar untuk segera mengisinya. “Mbak di kantin ada sushi kayak punya Fatiah kemarin gak? “ “Gak ada deh kayaknya. Di sini khusus makanan Indonesia.” TIT........... Suara nyaring yang berasal dari alat berbentuk kotak dari dalam kamar, mengundang perhatian Fatiah. Fatiah menoleh, langkahnya berhenti tepat di depan pintu yang semi terbuka, menampilkan sedikit pemandangan bahu yang gemetar dengan isak yang samar-samar terdengar. “Inalilahi Wainalilahi Rojiun,” gumam Fatiah. Sejak dulu Fatiah selalu merasa nano-nano setiap kali berada di rumah sakit. Ada yang tersenyum lebar, ada yang menangis terseguk. Ada yang mendapatkan, ada yang kehilangan. Ada yang berjingkrak bahagia, dan ada yang meringkuk meratapi. “Is okey lah, yang penting kenyang.” “Si engkoh dasar tukang makan.” “Iya dong, Mbak. Makan itu kebutuhan, penyokong utama penghasil energi dalam tubuh. Iyakan, Iah?” Lail menoleh ke belakang. Fatiah mengangguk setelah fokusnya benar-benar kembali. “Iah, kenapa kamu ada air mata di pipi kamu? “ “Ha? “ “Iya itu.” Fatiah meraba wajahnya. Kapan ia menangis ? “Kamu lagi mikirin apa sih?” “Gak aku cuman....” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN