Haikal memulai aksinya yang dia yakini bukan sebuah kesalahan. Dia hanya ingin melihat tulisan yang ada di buku semua murid, apa itu salah? Ya.. Haikal memang tidak meminta izin dan itu salah, tapi...
Haikal mengibas-ngibas awan tak kasat mata yang memenuhi kepalanya, Haikal meyakini untuk memikirkan benar dan salah nanti saja. Langkahnya tidak boleh memelan setelah ia gas dengan sangat kencang. Kepala bisingnya harus segera tenang jika ingin tetap di dengar.
“Di kelas ini gak ada yang cocok,” Haikal membalik tubuh berjalan cepat keluar dari kelas pertama.
“Di kelas kedua, mungkin ada....” gumam Haikal, kembali melanjutkan langkahnya.
“Di sini juga gak ada.”
“Di kelas ini juga. “
“Di sini sama aja.”
“Kelas berikutnya, mungkin ada, kan? “
“Gak ada.”
“Masih belum ada.”
“Di mana adanya? “
“Gak ada lagi.”
“Lagi.”
“Gak ada. “
Langkah Haikal terhenti, terkesiap melihat pantulan dirinya di lantai yang sedikit basah, nampak baru saja di pel, sangat mengkilap.
Pantulan itu memperlihatkan sosok Haikal, rambutnya mencuat sana-sini, wajahnya kusut selaras sergam sekolah yang tidak memperlihatkan sudah di gosok tadi pagi. Dasi yang di longgarkan terlalu banyak dan dia lupa mengenakan tali pinggang karena terburu-buru.
“Persis biang onar,” gumam Haikal tanpa sadar. “Di mana Haikal dua pekan yang lalu? “
“Rapi, bersih dan damai.”
“Apa cerpen ini, merubah segalanya? “
“Percuma tekad kuat kalo yang dikerjain salah. Teguhnya tekad, juga harus diiringi ketaqwaan dan rasa takut pada sang ilahi.”
Haikal menoleh kaget, mengedarkan pandangnya ke arah lorong aula yang memantulkan suara sebelum sang pemilik suara terlihat.
Suara langkah kaki nyaring, membuat Haikal tersentak, teringat akan fakta bahwa dia sedang mengendap-endap masuk ke kelas tanpa izin penghuninya. Buru-buru tubuh Haikal tersentak untuk segera pergi, tapi kakinya tergelincir, suara bruk mengiringi tubuh Haikal yang jatuh ke lantai.
Haikal segera bangkit, melupakan fakta nyeri di punggung yang mengernyit nyeri. Berlari menyembunyikan dirinya di balik pintu.
“Eh, aku mau ke kelas dulu.”
“Ke kelas ngapain? “
“Hem, minum.”
“Cuman minum? Emang haus banget ya? “
Suara langkah kaki makin dekat menyapa telinga Haikal, Haikal gentar-getir, tanpa sadar merapal kata ‘jangan masuk, jangan masuk’.
“Eh, gak jadi deh. Takut pas senam malah mau pipis. Nanti aja minumnya.”
Haikal mengintip dari sedikit celah yang ada. Mereka memutar tubuh menjauh.
“Alhamdulillah.” Haikal menghela nafas lega. “Udah masuk sini, sekalian deh periksa tulisan anak di kelas ini.”
Krek!
Haikal menoleh, menangkap bayangan seseorang dari depan dinding kelas. Bayangan itu berdiri mengarah ke dalam kelas, memergoki Haikal yang tengah membuka tas. Haikal tersadar. Dia tertangkap basah.
“Eh, ini gak kayak yang kamu duga. Saya cuman—“ Haikal terbata.
Terlambat.
Bayangan itu sudah menghilang, berlari ke arah ruang guru.
Haikal terbelalak. Dia kembali membuat masalah. Naluri bersalah segera mengajak Haikal untuk kabur dari sana, berlari sejauh mungkin atau menyembunyikan diri.
“Ya Allah, kenapa semua makin kacau?”
Haikal berbalik, memburu langkahnya menjauh dari sana. Semakin jauh, semakin ketenangannya runtuh, Haikal mulai berlari. Nafasnya memburu dengan sangat cepat selaras kaki yang terus terayun entah ke mana, melewati lantai-lantai licin yang rawan menjatuhkannya. Ia harus bersembunyi, memang tidak untuk selamanya, tapi sekarang hanya itu yang terlihat dibenaknya.
“Katanya mau tanggung jawab, tapi kok lari?”
Haikal menoleh.
Burk !
Haikal mengerjap, atap sekolah kini menjadi pemandangan pertama yang menyambut matanya.
“Aaarghhhhhh!! “
Teriakan bersahut perempuan menyadarkan Haikal. Haikal kaget. Otaknya langsung menginput data. Ini kamar mandi siswi.
“Mesum....!”
.
.
“Kamu berbuat ulah lagi!” Bu Sri berkaca pinggang. “Ulah dalam satu hari! Merusak pagar, masuk ke kamar mandi cewek dan maling... “
“Bukan bu, saya gak maksud maling bu. Saya cuman... “
“Cuman apa?” sentak bu Sri, tajam.
Haikal terdiam. Kepalanya menunduk lemah.
“Awalnya ibu gak mau panggil orang tua kamu, tapi liat semua ulah kamu hari ini, ibu bakal telepon orang tua kamu.”
“Dan ini surat panggilan untuk orang tua kamu!”
Tangan Haikal gemetar mengambil surat berwarna putih itu. Surat yang bahkan tidak pernah hadir dalam riwayat sepuluh tahun dirinya sekolah.
**
“Dek, ayo turun. Makan malam bareng. Buruan, ayah, ibu udah pada nunggu.”
Fauzan meraih gagang pintu, menekannya dan mendorong, masuk ke dalam. Fauzan mendapati Haikal yang tengah duduk di meja belajar, membelakanginya.
“Haikal gak lapar, Bang.”
“Emang kamu habis makan malam di luar? Perasaan kamu di kamar aja dari tadi siang.”
“Bang, Haikal gak lapar. Tolong tutup pintu kamarnya, Bang.”
“Dek, Lo kenapa sih? Sibuk banget belajar ya?”
“Bang, tutup pintunya.”
“Gak jelas Lo, Dek.”
Fauzan memandangi Haikal sejenak, sebelum akhirnya menutup pintu kamar, mengabaikan beragam tanya yang hinggap dibenaknya. Dan melangkah ringan ke ruang makan.
“Mana Haikal, Bang?” tanya Ita.
“Udah makan mungkin, Bu. Katanya gak lapar.” Fauzan bergabung duduk bersama Ita dan Abbas di meja makan.
“Kapan? Tapi siang dia juga gak makan.”
“Pesan online mungkin, Bu.”
“Gak ada kok. Orang ibu dari tadi di ruang tamu, gak ada yang anter makanan.” Ita menatap ke kamar Haikal yang tertutup. “Haikal kenapa ya?”
Abbas meraih tangan istrinya di bawah meja. Abbas memberi seutas senyum kalah mata Ita menatapnya.
“Biar Fauzan panggil lagi deh, Bu.”
“Gak perlu, Bang. Kamu makan aja. Biar ayah yang panggil,” kata Abbas, beranjak dari kursi ke kamar Haikal.
“Kenapa semua bisa jadi gini? Gimana aku mau kasih surat ini ke ayah, ibu? Mereka pasti kecewa.”
“Aku gak pernah buat mereka bangga, tapi sekarang aku malah buat mereka malu.”
Jika tidak bisa membawa senyum setidaknya jangan membawa duka. Jika tidak bisa membuat orang bahagia setidaknya jangan membuat orang menangis.
“Aku gak pernah bisa berprestasi kayak Bang Fauzan, dan sekarang, aku malah gini...”
“Surat ini...” pundak Haikal bergetar, air mata turun begitu saja tanpa bisa ia redam.
“Surat apa itu, Kal?”
“Ayah?“ Haikal tersentak dari kursi, ia langsung menyembunyikan surat panggilan itu dari pandangan ayahnya, tapi sungguh itu sia-sia, Abbas sudah menangkap duluan keberadaan surat itu.
“Surat izin tur, ya? “ tanya Abbas. “Ayah izinin kamu buat ikut tur sebagai hadiah kamu udah fokus belajar. Sini biar ayah tanda tangani.”
“T-tapi, Yah... “
“Mana sini, suratnya. Buruan, kasihan ibu kamu cemas kamu gak makan-makan.”
Tangan Haikal gemetar.
Abbas meraih surat itu.
Mata Abbas mulai menilik surat itu, membacanya pelan, kata demi kata, yang semakin ke bawa semakin menghilangkan seluas senyum yang tadi bertengger indah di wajahnya.
“Surat apa ini, Kal!” Rahang Abbas mengeras menatap Haikal yang tidak berani mengangkat kepalanya, pertanda bahwa apa yang tertulis di surat itu benar adanya.
“Apaan-apaan kamu, Kal! Jawab ayah! “
Brak !
Tubuh Haikal tersentak, Haikal tidak kaget dengan suara keras barusan, melainkan kaget melihat tangan ayahnya yang terdapat bercak darah.
“Ada apa ini, Yah? “
Ita dan Fauzan terundang datang setelah mendengar bentakan tajam di susul gebrakan meja.
“Ya Allah, ayah, tangannya kenapa? “Ita langsung meraih tangan suaminya itu. Fauzan berlari keluar mengambil kotak pertolongan pertama.
“Tangan ayah baik-baik aja, Ibunya Fauzan. Tapi hati ayah sangat kecewa.” Abbas menatap Ita.
Ita membersihkan darah yang ternyata hanya karena ulah nyamuk. Ita sedikit bernafas lega. “Memangnya apa yang Haikal lakukan? “
“Ibu tanyakan sendiri pada Haikal. Apa yang sudah dia lakukan sampai mendapat surat ini.”
Ita menatap Haikal, bingung bercampur kecewa.
“Haikal memang salah, Bu. Haikal buat pagar sekolah rusak, bolos pelajaran dan masuk ke kamar mandi cewek.”
Pupil mata Fauzan membesar. Fauzan menatap lekat Haikal. Abbas mendesah panjang, menarik wajahnya dari Haikal. Ita menatap dalam Haikal, sebelum rintik halus turun dari matanya. Semua membeku, di tempat.
“Dek, serius kamu buat semua itu? “ tanya Fauzan.
Haikal mengangguk lemah.
“Ini sangat memalukan! Ayah gak nyangka anak ayah jadi gini. Ayah merasa gagal! “
“Maafin Haikal ya, bukan ayah yang gagal. Tapi Haikal yang salah. Ayah gak pernah gagal mendidik Haikal. Haikal yang salah.”
Abbas pergi dari sana.
Fauzan menatap bingung Haikal sesaat, sebelum memutuskan untuk pergi menyusul ayahnya.
Hanya tersisa Ita. Ita yang sejak tadi hanya membisu, memandangi Haikal. Perasaan Haikal campur aduk. Haikal memaki dirinya sendiri yang sudah lancang membuat orang yang sangat dia sayangi menitikan air mata.
.
.
“Ibu akan tetap datang ke sekolah Haikal.”
“Tapi mas gak bisa datang ke sana, besok mas ada tugas di luar kota. Sebaiknya kamu juga gak usah datang ke sekolah Haikal.” Abbas menggeleng lemah.
“Mas, aku akan tetap datang ke sekolah Haikal. Aku gak mungkin mengabaikan surat itu. Haikal memang melakukan kesalahan, tapi aku gak bisa membiarkan Haikal merasa sendirian. Dia pasti juga merasa bersalah, dan sekarang dia butuh aku sebagai ibunya.”
“Yah, biar abang aja yang nemenin ibu ke sekolah Haikal. Fauzan bisa izin kok besok.”
Ita menggeleng lemah. “Tapi kamu besok ada turnamen basket, kan? Kamu udah latihan lama, dan ibu gak mau kamu mundur.”
Abbas menatap lekat istrinya, helaan nafas panjang keluar perlahan diiring raut tak berdaya. “Jadi kamu maunya gimana?”
“Izini aku buat ke sana, mas.”
“Hem...” Abbas dia sesaat, menilik dengan seksama wajah istrinya. Terlihat keteguhan di sana. “Mas gak akan melarang langkah kamu. Mas tahu kamu sama terlukanya dengan mas, tapi kamu memang ibu yang terbaik.”
“Terima kasih, Mas.” Ita memeluk Abbas, berharap ketenangan kembali hadir di hati suaminya itu. Semua akan baik-baik saja, insyallah.
“Kalo gitu, biar Fauzan yang nganter ibu ke sekolah Haikal.”
“Gak perlu, Bang. Ibu bisa naik taksi online. Kamu harus fokus sama turnamen kamu.”
“Tapi, Bu...”
“Lagian ibu cuman mau ke sekolah Haikal. Ibu gak mungkin nyasarkan? “ Ita mencoba menarik senyum di wajahnya, menyangkal ketegangan yang ada.
“Bukan gitu sih, Bu. Tapi masalah tadi, kayak, hm....” Fauzan mengaruk tengkuknya, bingung. “Abang gak bisa fokus kalo masalah ini belum selesai, Bu.
“Ayah pernah bilang, saat ayah gak ada, abang lah yang bertanggung jawab atas Haikal.” Fauzan menoleh pada Abbas. Mata Abbas berkaca-kaca, tepukan pelan mendarat di bahu Fauzan.
“Kamu abang yang baik. Ibu senang banget kamu sayang sama Haikal. Kamu jagain Haikal ya, jangan sering berantem sama Haikal.”
Ita tersenyum.
“Iya, Bu.”
Abbas dan Fauzan mencoba menarik seulas senyum untuk terbit, meski itu masih belum sepenuhnya berhasil.
Di tengah haru biru itu Haikal menatap dari jauh, hatinya berdenyut nyeri. Dalam keheningan kepalanya menunduk dalam. Melangkah menjauh.
Fauzan menangkap kehadiran Haikal, hendak menyusulnya.
“Bu, Haikal.” Fauzan menoleh.
“Biar ibu yang susul dia.” Ita menggantikan langka Fauzan.
“Semua jadi kacau!” Haikal memaki dirinya sendiri, melangkah secepat mungkin, perasaan bersalah berkecambuk hebat, mengambil ruang yang tidak mampu Haikal hentikan.
“Haikal.”
“Berhenti, Nak.”
Langkah Haikal seketiak berhenti. Haikal mematung tidak berani menoleh ke belakang. Dia tak kuasa melihat kesedihan pada wajah ibunya.
“Nak..,” Ita mengelus pelan pundak Haikal. “Ibu akan datang ke sekolah kamu. Kita akan selesai semuanya bareng.”
Ita merangkul pundak Haikal. Hati Haikal menghangat. Air matanya meleleh begitu saja, menampilkan kesedihan yang berkecambuk sejak tadi.
“Kamu jangan sedih lagi ya.” Ita menatap lekat Haikal.
“Maafin Haikal, Bu.” Suara Haikal getir. Masih tak kuasa melihat balik ibunya.
“Nak, bagian terbaik dari pendosa adalah bertaubat. Hari ini kamu mungkin salah, tapi hari esok kamu harus berubah.”
Ita mengangkat pelan kepala Haikal.
“Ibu yakin, anak ibu bukan orang yang berhati keras. Semua masalah yang kamu hadapi harus menjadi titik balik kamu untuk menyadari bahwa kita hanya manusia, yang lemah, yang tak berdaya. Kita harus sadar diri, bahwa tidak semua masalah bisa kita selesaikan dengan tangan kita sendiri. Segalanya ada dalam kuasa Allah SWT.”
“Ibu yakin, akan ada Haikal dengan versi lebih baik setelah ini.”
“Bu....” Haikal mengeratkan pelukannya. “Haikal sangat bersyukur Allah menghadirkan ibu dalam hidup Haikal. Haikal gak tahu gimana hidup Haikal tanpa ibu.”
.
.
Di luar, angin berhembus kencang, seperti mengabarkan akan hadirnya hujan. Fatiah mengintip dari balik jendela tinggi yang tiba-tiba terbuka di atas kepalanya karena hembusan angin. Lembab. Fatiah merapatkan tangannya saat udara berhasil menyentuhnya. Buru-buru Fatiah menutup rapat jendela, menghentikan udara untuk masuk bergabung dengan hangatnya suasana mahad.
Di aula, para santri tengah berkumpul, entah sedang mengobrol, mengerjakan tugas bersama atau hanya sekedar duduk-duduk berburu Wi-Fi di aula, menghibur diri setelah rutinitas wajib, setoran hafalan.
“Eh, Iah, kalian telat ya tadi?” tanya Lingsi, menghampiri Fatiah.
“Iya, tapi masih bisa tetap masuk. Pagarnya gak dikunci.”
“Itu bukan gak dikunci tapi pagarnya rusak.”
“Eh, benaran? Sebenarnya ada apa sih? Aku gak sengaja dengar orang cerita pagar rusak karena demo. Emang demo apa? “
“Bukan demo sih, pokoknya tadi pagi tuh heboh banget. Sampai guru pada keluar semua, terus senam sampai di tunda sepuluh menit. Bel masuk juga di undur jadi jam tujuh.”
“Sebesar itu ya?”
“Iya, Iah. Itu karena pagarnya di buka kecil sama kakak kelas, kalo gak salah kayaknya mereka seangkatan sama kamu Iah.”
“Emang kenapa pagarnya digituin ? “
“Karena mau nanyai satu-satu cerpen. Aku juga tadi sempat baca sih tuh cerpen judulnya Auksin.”
“Auksin?” Dahi Fatiah langsung berkerut dalam. Teringat akan cerpen miliknya yang entah di mana.
“Buat apa? “
“Iya, kayaknya dia nyariin siapa yang nulisnya deh.”
“Ha? Kamu ingat gak satu kalimat atau apa gitu pas baca?”
“Lupa. Aku gak terlalu baca sih. Coba deh kamu tanyain Lail di kamar, dia baca cukup lama. Barang kali ingat.”
Fatiah mengangguk.
“Duh gak selesai-selesai nih.” Lail menghela nafas panjang, mengerakkan punggung yang terasa keram. Terasa sedikit nyaman, tapi ia harus menyudahinya dan kembali ke posisi semula, menyalin semua tulisan ke buku baru miliknya.
“Kesel banget! Gak lagi-lagi deh,” gumam Lail.
“Kenapa Lail? Dari tadi cemberut aja? “ Fatiah menghampiri.
“Sebel aku tuh.” Lail menjawab tanpa menoleh. “Teman aku gak amanah banget. Pinjam buku sampai basah gini. Satu buku ketumpahan air, jadi harus salin semuanya dari awal.”
“Eh, kok bisa? “
“Gak lagi deh aku pinjamin buku aku ke dia.”
“Mungkin dia gak sengaja.”
“Tapi dia ceroboh. Udah tahu buku rawan kena air, malah taruh buku di dekat botol minum. Terus gak logis lagi bilangnya bukunya kena air sendiri. Bukunya pindah sendiri. Dikira bukunya punya kaki.”
Fatiha teringat kejadian tadi saat di tengah senam, dia tiba-tiba haus dan berniat ke kelas untuk minum, tapi tidak jadi karena menangkap basah gelagap seseorang yang mengendap-endap masuk ke kelas.
“Eh, aku jadi ingat kejadian tadi pagi. Mungkin emang dia gak naruh bukunya dekat botol. Emang tadi ada yang masuk ke kelas kalian.”
“Ha? Jadi kabar itu benar? “ Billa tiba-tiba menyahut. “Tadi pas aku lewatin ruang guru, samar-samar gitu dengar guru lagi bahas topik ini.”
“Iya. Aku liat sendiri,” kata Fatiah.
“Oalah. Syukur aku selalu kunci tas.” Billa mengelus da*danya.
“Kamu tahu siapa orangnya? “ tanya Lail.
“Aku gak liat jelas mukanya. Jadi gak tahu.”
“Tapi gak ada tuh barang yang ilang di kelas kita.”
“Alhamdulillah kalo gitu. Mungkin dia gak niat ambil apa-apa? “
“Terus ngapain toh ?”
Fatiah mengangkat bahunya ke atas. “Lail aku tanya.”
“Tentang? “
“Kamu baca cerpen tadi, kan? “
“Cerpen?” dahi Lail berlipat sesaat sebelum data ingatan menyapanya. “Oh cerpen tadi pagi ya? Kenapa emang? “
“Ingat gak kalimat atau apa gitu? “
“Kemerlap cahaya mengkerdirkanku menjauh dari-Nya.”
Mata Fatiah membulat sempurna, nafasnya seolah terhenti sesaat. Hampir-hampir mulut Fatiah mengangga jika saja dia tidak mampu segera mengendalikan rasa kaget yang menjalar di benaknya.
Kenapa ada orang yang mencariku?
**