Haikal berdiri memandangi sepatunya, memastikan sepatunya dalam keadaan baik dan mengkilap. Matanya bergerak naik, merapihkan seragamnya yang agak berkerut sehabis duduk di motor, membenarkan jam tangan berkepala besar, berwarna hitam yang melilit sempurna di tangan kanannya. Lalu bergerak naik, memandangi jalan yang akan di lewati duo kembar. Haikal dipenuhi semangat dan optimis maksimal. Rencana kedua akan ia eksekusi hari ini.
Pukul 05.30
Dzawan dan Dzawin nampak dari jauh. Berjalan gontai, menembus embun tipis tak kasat mata di udara, seumpama pahlawan super yang baru selesai di medang perang dan keluar dari kepulan asap dengan d**a terbusung.
Semangat mengaliri darah Haikal. Haikal mengepal tangannya, kakinya menghentak pelan, menerbangkan debu-debu putih di sekitar sepatunya. “Siap....?”
“Siap....” Dzawan menjawab tegas.
Dzawin menyusul dengan nada setengah niat. “Siap. Tapi ngantuk banget oi, kenapa gak jam enam aja? Belum puas nih gue tidur.”
“Tidur terus sih Lo. Tidur gak akan buat Lo jadi apa-apa.”
Dzawin memutar bola matanya. “Amboi, pandai lah tuh....”
“Jadi kita mau mulai gimana? “tanya Dzawan.
“Ya....kita hadang orang di gerbang depan.”
“Masih soal hadang, menghadang? Gue pikir ada ide yang lebih fresh gitu.”
“Contohnya? “ sergah Haikal.
Dzawin cengar-cengir. Kepalanya belum sepenuhnya aktif, faktor ngantuk yang belum reda. “Ya... Apa aja gitu. Kenapa gerbang depan? “
“Ya, karena gerbang depan pasti dilewati semua orang. Ini jalan satu-satunya masuk ke sekolah. Mustahil kalo murid sini tapi gak lewat gerbang depan. Ruang lingkupnya juga besar, gak kayak kamar mandi.”
Dzawan manggut-manggut, menyetujui argumen Haikal. Dzawin akhirnya mengangguk juga, antara tidak ada pilihan atau juga ikut setuju.
“Tapi jam segini belum ada yang datang, kecuali Bang Saiful, satpam kita.”
“Nah itu fungsi kenapa kita datang pagi banget. Supaya gak ada siswa yang terlewat satu pun. Kita harus berdiri di gerbang depan, menghadang siswa pertama sampai terakhir.”
“Sungguh pekerjaan yang menyulitkan, kisanak,” Dzawin menggeleng-geleng, bola bayangan timbul di atas kepalanya, memberi bayangan seberapa lama kakinya akan berdiri.
“Kuy lah, kita berdiri di gerbang utama.”
“Yuk.”
“Win, ayo dong, Lo semangat dikit kek. Jangan kek sapi perah, lesu banget.”
“Idih, bisa gak perbandingan yang agak macho dikit, misalnya kayak kerbo sakit kek. Kan lebih LAKIK.”
Sudut bibir Haikal terangkat. Dzawin memang si biang protes, tapi tanpa kehadirannya, seperti ada yang kosong. Seperti hati Fauzan yang lama tidak berpenghuni.
“Buru yuk, jangan sampai ada yang kelewatan. Semangat!” Dzawan mengepal tangannya bak siap bertempur di medan perang.
“Berasa ibu-ibu mau jogging ya, pakai acara kasih semangat segala,” Gumam Dzawin yang berjalan mengekor di belakang Haikal dan Dzawan.
“Pagi bang Ipul.”
“Pagi, eh, kalian datangnya pagi banget. Mau saingan sama ayam? “
“Bisa aja nih, bang Ipul...” Dzawin tergelak. “Orang kita besti-an ama ayam.”
“Kita ada misi rahasia, Bang,” kata Haikal.
“Eh, rahasia apa nih? Ada kameranya ya? Bang Ipul masuk ytb?” Ipul melirik sana-sini, tangannya melambai-lambai dengan senyum lima jari yang tidak pernah putus.
“Bukan gitu, Bang. Tapi Bang Ipul mau bantui kita, kan?”
“Bantui apa dulu nih? Kalo buat menyalah aturan sekolah, bang Ipul big no. Bang Ipul dari dulu terkenal dengan satpam jurdi, jujur dan adil.”
“Jadi ceritanya gini, Bang....”
Haikal mulai bercerita. Ekspresi bang Ipul naik-turun mengikuti ritme cerita Haikal. Kadang sedih, Kadang senang, kadang prihatin. Semua mengalun mengawali cerita Haikal hingga sampai di titik ini, tak lupa Haikal memberi sedikit bumbu, menambahkan mengenai tekadnya yang kuat, sekuat baja. Semangatnya yang meletup-letup bak pop corn jagung. Serta harapannya yang menyentuh untuk segera menyelesaikan semua dan kembali hidup damai seperti sedia kalah.
Di akhir cerita, Bang ipul terenyuh. Seolah jalan akhir cerita kini berada ditangannya. Ya atau tidak.
“Kita butuh banget sama bantuan bang Ipul...,” Haikal memelas. “Kita cuman mau bang Ipul tutup dikit aja pagarnya, biar yang masuk satu-satu. Kita mau tanyai perihal cerpen ini.”
Bang Ipul menimbang, meski sudah simpati, masih ada sesuatu yang masih mengganjal di benaknya. “Terus gimana yang bawa motor sama mobil ?”
“Ya, entar Dzawan sama Dzawin yang ngantur, Bang. Tenang gak akan berantakan, Bang. Aman terkendali.”
“Beneran ya, aman? “
Haikal mengangguk yakin. Ditambah senyum memastikan. “Insyallah, Bang.”
“Ya udah, bang Ipul izinin selaku satpam di sini. Ini kunci pagarnya, kamu atur deh, bang Ipul mau ngopi-ngopi, santuy. Entar balikin lagi yak, kuncinya.”
“Siap Bang, makasih Bang.”
Pukul 06.00 Siswa mulai akan berdatangan dipukul ini.
Haikal membagi dua fotocopy cerpen auksin untuk Dzawin dan Dziwan. Formasi sudah dibentuk sedemikan rupa. Di garda terdepan Haikal akan menjaga pagar dan menghadang siswa-siswi yang berjalan kaki atau di antar. Di garda tengah, Dzawan menunggu di parkiran mobil, siap menanyai siswa yang membawa mobil. Dan di garda terakhir, Dzawin siap, beradu suara dengan bisingnya kenal pot kendaraan roda dua.
Moto Haikal, jangan sampai ada yang terlewat. Bahkan jika daun busa diajak bercengkerama tidak akan luput dari pengawasan Haikal. Sekecil apa pun peluang, mereka akan menangkapnya.
.
.
“Kal, masih belum ketemu? ” Dzawan mengedarkan pandangnya, di parkiran sudah berjejer mobil memenuhi lahan persegi itu.
Haikal mendengus pelan. “Belum. Di parkiran mobil beneran gak ada?”
Dzawan mengangguk kecil. “Terus gimana? “
“Usaha lagi! “
“Tapi bentar lagi masuk.”
“Kita belum dapat kabar dari parkiran motor.”
“Hem, semoga aja ada kabar baik.”
“Aamiin.”
Haikal menarik sudut bibirnya, menutupi rasa gelisah yang membumbung. Dia harus optimis, masih ada waktu sepuluh menit lagi. Tidak ada kata tidak mungkin dalam sepuluh menit mendatang. Mungkin saja Haikal akan menemukan si penulis di sisa waktu 00.
“Weh, kayak ada kabar gembira nih...” Dzawin melangkah ringan menghampiri dua pemuda yang nampak senyam-senyum.
“Eh, ada kabar gembira—” Dzawin menepuk pelan bahu Haikal.
Haikal menoleh, mengamati sesaat ekspresi wajah Dzawin yang dihiasi senyum, tidak lama senyum juga menular pada wajah Haikal bahkan Dzawan yang berdiri di sebelah Haikal.
Sangat mujarab.
Dzawin menggoyangkan alisnya naik turun, tidak sabar mendengar berita baik dari Haikal. Terlebih setelah melihat binar terang di mata Haikal yang hampir-hampir mengalahkan sinar redup matahari yang baru saja hendak muncul.
“Ketemu?” kata Haikal.
“Eh, ketemu apa? Perasaan gak ada yang hilang? “
Haikal menoleh pada Dzawan. “Mentang bawa kabar baik, pura-pura gak tahu.”
“Iya, nih, dek, sebut siapa ? Kepo nih...”
“Siapa apa, Bang? Gue? Nama gue Dzawin.”
“Bukan Lo!” Haikal berdecak pelan. “Nama penulis cerpen itu.”
“Lah kok gue? Bukannya kalian yang dah dapat ya? Makanya terang banget tuh senyum.”
Haikal mendesah pelan, wajah bingung Dzawin sudah menjawab segalanya.
“Eh, ini pagar kenapa ditutup sih? Belum jam masuk tahu! “
“Iya nih...!”
“Iya sabar, satu-satu masuknya,” Haikal berbalik ke pagar dan seketika itu juga matanya terbelalak, mendapati di luar pagar, siswa-siswi berjajar membentuk tubuh ular, sangat panjang sampai ujungnya tidak lagi terlihat.
“Astagfirullah, kenapa jadi numpuk gini?” Haikal bergerak cepat, sebelum terjadi keributan.
“Satu-satu ya....”
“Eh, buka aja kenapa sih pagarnya!” teriak salah satu di antara mereka. Teriakan itu menumbuhkan suara protes lainnya, bak lebah yang hendak masuk ke sarang. Berdengung memekikan telinga.
“BURUAN BUKA! “
Aksi protes berlanjut pada penggoyangan pagar bersama-sama.
“Kalian tenang dulu. Semua pasti bisa masuk kok.” Haikal mengencangkan suaranya. Tapi suaranya hilang begitu saja ditelan hiruk pikuk suara.
“Kal, udah buka aja pagarnya.”
“Iya, buka aja. Jangan sampai sekolah ini jadi kayak gedung DPR.”
“Tapi kalo dibuka, gimana mau tanyainya satu-satu?”
“Kal, ini udah urgen, situasi gak terkendali! “
“Suara mereka takutnya ngundang guru-guru datang, bisa gawat kalo itu kejadian.”
“Kal...! Buruan! “
“Bentar, semua bakal terkendali lagi.” Haikal bersikeras, membuka sedikit celah pagar.
"Bentar lagi bel masuk, Oi! "
Haika tidak menduga, celah itu menarik perhatian semua siswa-siswi yang ingin segera masuk. Tanpa pikir panjang mereka saling dorong, memperebutkan celah kecil, tidak peduli kalo aksi mereka, membuat pagar diambang dilema untuk sekokoh biasanya.
KREK
Suara nyaring itu membuat semua membeku. Pelaku dorong-mendorong dibuat terkesiap sesaat, sebelum logika mereka menarik langkahnya secepat kilat, menjauh dari pagar.
Bruk!
Pagar itu kehilangan kejayaannya. Sekarang mengantung lemah dengan satu engsel terbuka. Dzawin dan Dziwan menganggap, kompak. Tanpa peduli lalat bisa saja masuk ke dalam mulut mereka.
“Kal, ini bencana,”
Haikal menatap Dzawan dan Dizwan, berganti. Apa sekarang dirinya akan dikenal sebagai Haikal si biang onar perusak pagar hanya untuk mencari penulis n****+ itu.
.
.
“Tuh angkot atau komedi putar sih, gak jelas banget.” Billa berdecak keras, matanya masih memandangi angkot berwarna biru muda yang kini kembali berlagak bak raja jalanan dengan jurus salap-salip. Bodynya yang besar tidak menjadi halangan, bergoyang sana-sini beradu dengan aspal jalan.
“Ingatin, Iah, tuh angkot, jangan sampai kita naik tuh angkot lagi, meski itu angkot terakhir di muka bumi. Mending jalan kaki dah dari pada senam jantung. Nyebelin banget.”
“Kepala aku pusing banget deh rasanya, Bil. Gak woles banget tuh abang angkot bawa mobil kayak di kejer anjing aja.”
“Tahu tuh supir angkot emang mesti di ruqiyah,” sahut Billa. “Eh, Iah, kita mampir ke warung soto aja yuk. Gak ada gunanya ke sekolah, jam segini udah telat. Pagar pasti udah di tutup.”
“Udah nanggung kalo mau putar arah, Bil. Dikit lagi sampai sekolah. Kali aja pagar masih di buka.”
“Mustahil. Sekolah kita selalu mengedepankan on time.”
“Iya sih, tapi kita ke sana aja dulu, kalo emang gak ada tolerin, kita langsung pulang aja.”
“Serius mau ke sekolah? Gimana kalo kita di hukum?”
“Bagus dong. Kalo di hukum setidaknya kita bisa masuk.”
“Iya sih, tapi kan capek.”
“Gak papa lah, Bill. Nanggung nih. Atau biar aman, kita liat dari jauh aja gimana? “
“Iya juga sih. Apa salahnya liat dulu.”!
“Eh, pagar gak di tutup.”
Langkah Billa dan Fatiah berhenti, memandangi pagar berwarna hitam, yang kini terlihat sedikit berbeda, tapi keduanya tidak sadar. Mereka terlalu fokus akan jalan yang terbuka lebar.
“Dan gak ada satpam,” tambah Fatiah.
“Kok bisa ya, gak biasanya gini? “
“Mungkin dilonggari. Kan hari ini ada senam bersama di lapangan. Semuanya ikut senam, makanya repot kali.”
“Bisa jadi sih, tapi, seingat aku dua bulan lalu gak gini kok. Masih ketat banget jam masuk. Lagian kamu senam di lapangan bukan di pagar depan, kenapa gak di kunci ?”
“Ini namanya takdir. Takdir kita buat belajar hari ini, makanya ada aja jalannya.”
“Bisa-bisa,” Billa mengangguk setuju.
Keduanya berjalan santai menyusuri lorong kelas, tidak ada siswa-siswi yang berlebihan di sana, di kelas juga kosong melompong, semua berkumpul di lapangan yang musiknya sayup-sayup terdengar memantul di sudut koridor dan aula.
“Iah, kamu udah pak baju olahraga di dalam ya? “
“Iya, biar gak susah ke kamar mandi.”
“Aku rencananya mau gitu juga, tapi kelupaan, makanya aku bawa aja. Temenin aku yuk ganti baju.”
“Iya, yuk.”
.
.
“Siapa nama kamu? “
Bulu kuduk Haikal meremang, sepasang bola mata, menatapnya intensif dari balik kacamata tebal yang diberi aksen seperti kalung mengkilap, berbentuk bulat-bulat, yang menjuntai kecil di sisi kanan-kirinya.
“Haikal Kan, Bu.”
“Oh, Haikal,” bu Sri manggut-manggut kecil, mencatat nama Haikal pada buku kebesarannya, buku hitam, khas guru BK.
“Dan kalian berdua? “
“Dzawan dan Dziwan.”
“Ibu gak pernah menduga kalo kalian melakukan semua ini. Satu sekolah geger, dan pagar sekolah jadi tumbalnya.”
“Siapa otak dari semua insiden ini? “ bu Sri mengedarkan pandang tajamnya.
Dzawin dan Dzawin menunduk, menghindari tatapan mengintimidasi yang bu Sri lemparkan agar mereka berkata jujur.
“Saya, Bu,” sahut Haikal, tidak peduli tatapan kaget Dzawan dan Dziwan di sebelahnya. Bagi Haikal solidaritas tidak berarti harus membagi tanggung jawab atas masalah yang dia perbuat.
“Mereka berdua cuman bantuin saya, Bu. Mereka gak salah,” cicit Haikal, mencoba melawan getir pada suaranya.
“Tetap salah. Mereka berdua membantu kesalahan, mereka tetap salah.” Ulitimatum bu Sri, membuat ketiganya hanya bisa menunduk pasrah. “Dan dari mana kamu dapat kunci pagar? Dari Ipul?”
“Bukan, bang Ipul yang salah, Bu. Tapi saya yang maksa bang Ipul buat pinjam kunci gerbang. Tolong bu, jangan aduin bang Ipul ke yayasan. Ini murni kesalahan saya,” sahut Haikal cepat.
Bu Sri berdecak keras.
“Kalian nih ya, gak pernah masuk BK, gak pernah kedengaran namanya di sini, tapi tiba-tiba boom aja kayak bom. Buat heboh satu sekolah, ngalah-ngalahin deretan murid biang onar yang udah di wanti-wanti.”
“Merusak fasilitas sekolah bukan hal sepele. Bahkan anak tawuran gak sampai gini.” Kepala bu Sri bergerak kanan-kiri, bak engsel pintu yang belum dikasih minyak, kaku dan tegang. Tangannya menempel di kepala, menekan-nekan pelan bagian yang luput dari dalaman hijab, sekilas melihat ke arah Haikal, dengan tatapan sedikit meredup.
“Bu, kepala sekolah manggil ibu.” Tepukan pelan di bahu bu Sri menyudai bu Sri mentapakuri kertas berisi banyak nama itu, beralih pada bu Fatmah yang sekarang berdiri di sebelahnya. “Kepsek manggil soal masalah tadi.”
“Kalian tunggu di sini! Jangan kemana-mana!” titah bu Sri, kembali menyalak, melempar tatapan yang membuat Haikal langsung menuduk dalam.
“Kal...”
“Gue gagal lagi plus merusak segalanya. Satu sekolah jadi heboh karena ulah gue.”
Dzawin menepuk bahu Haikal, berniat mentransfer energi positif pada pundak yang nampak layu itu. Haikal tersenyum kecil, sebagai balasan.
“Di lapangan ada apa?” mata Haikal spontan terkelap, memfokuskan indra pendengarnya untuk menangkap suara sama-samar yang dia yakini sebuah musik dari arah lapangan.
“Lo lupa ya? Setiap dua bulan sekali, emang ada senam bareng mulai dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas. Guru-guru juga pada ikut, makanya pada sepi gini.”
Mata Haikal berbinar. “Gue punya ide.”
“Ide apa lagi? “ Dzawin getar-getir, semakin ke sini, semakin menjadi ide yang Haikal cetuskan.
“Lo gak berniat malu-maluin diri Lo sendirikan?” Dzawan menahan langkah Haikal.
Haikal tersenyum simpul. “Kalian tenang aja. Semua tetap pada koridornya.”
“Kal, Lo mau ke mana? Bu Sri bisa marah kalo Lo pergi.”
“Tolong bilangin ya, gue mau ke kelas. Gak lama kok cuman dua jam doang.”
“Dua jam? Gak lama kata Lo? Eh, Lo mau ke kelas atau mau ke Bogor sik lama banget? “
“Gue mau ke kelas. Lebih tepatnya ke semua kelas yang ada.”
“Serius Lo? Mau ngapain oi?!”
“Gue mau melakukan rencana dadakan. Mumpung semua orang ada di lapangan, gue bisa masuk ke kelas buat cek tulisan orang dari buku tulis mereka.”
“Aman, kah? “
“Aman.”
“Ya udah kalo gitu kita ikut aja.”
“Gak usah guys. Kalian udah banyak bantu gue. Masalah tadi udah besar banget, gue gak mau kalian keseret lagi.”
“Lo seriusan mau sendirian? Kalo ada kita, setidaknya membantulah walau sedikit.”
“Gak usah, guys. Kalian di sini aja, bu Sri bisa makin marah kalo kita tiba-tiba ngilang.”
“Ya udah, Good luck, Kal. Semoga Lo bisa temui tuh penulis.”
“Aamiin.”
Dzawan dan Dzawin mengiringi kepergian Haikal dengan tatapan cemas dan optimis campur aduk, mereka bingung harus memilih yang mana. Semua seolah saling melengkapi.
.
.