XIV

2583 Kata
“Iah, kira-kira kita telat gak ya, kalo berangkat sekarang?” tanya Billa sambil mengecek jam di ponselnya. Pukul 06.20 “Udahlah gak usah sekolah aja. Entar telat Loh. Lingsi sama Lail udah pergi dari tadi,” sahut Rani, yang sedang sibuk beres-beres kamar. “Gimana keadaan Lila? “ “Tadi orang tuanya datang. Tapi Ustadzah Lala masih di sana, nemenin.” “Oh... Tapi dia gak kenapa-napa, kan? “ “Gak, Mbak, cuman asma sama maagnya kambuh barengan makanya tadi attack banget.” “Lagian ya, tahu kita selalu di suruh bangun pagi, mbok ya, kajiannya sampai jam sepuluh aja.” “Iya, tapi Lila kecapaian karena tugas sekolahnya banyak banget. Makanya jadi beban gitu.” “Iya juga sih. Terus banyak mau diurus juga ya, bentar lagi diakan tamat SMA.” “Makanya itu, Mbak. Oh iya, Mbak, kuliah gak hari ini? “ “Gak, kenapa? “ “Ustadzah Lala nyuruh buat kasih surat izin sakit Lila ke sekolahnya.” “Yowes, biar aku aja. Eh, kalian beneran mau masih ke sekolah jam segini ?” Rani melirik Fatiah yang sudah mengenakan seragam sekolahnya. Billa mengaruk kepalanya. “Iah, gak usah sekolah yuk hari ini.” “Gak deh, Bil. Aku mau sekolah. Sakit kemarin udah banyak izinnya aku.” “Tapi waktunya mepet gini, Iah.” “Tapi kamu udah mandi, kan? “ “Udah sih.” “Tinggal siap-siap aja. Gak telat-telat banget kok. Nanti kita naik taksi aja.” “Eh, naik taksi...” “Iya. Biar cepat sampai.” “Gak uang, Iah. Taksi kan mahal.” “Aku ada tabungan kok. Kita pake uang aku aja.” “Uang tabungan kamu? Pasti uang itu buat beli sabun sama sampoh, kan? Kalo dipake buat bayar taksi entar kamu beli sabun gimana?” Fatiah terkekeh. “Gak, Bil. Tenang aja. Uangnya beda.” “Eh? Baru di kasih uang ya? “ Fatiah tersenyum simpul. “Buruan siap-siap, Bil.” “Iya.” . . Taksi berhenti tepat di pinggir gerbang depan sekolah. Billa langsung mengedarkan pandangnya, lalu bernafas lega setelah mendapati masih banyak siswa-siswi yang lalu lalang ke gerbang sekolah. Pagar juga masih terbuka lebar. “Alhamdulillah kita gak telat. Yuk turun, Iah.” Fatiah mengangguk, merogoh saku rok panjangnya mencari selembar uang seratus ribu dari sakunya. “Pak, ini uangnya ya.” “Wah, Neng, bapak gak ada kembaliannya.” “Emangnya ongkosnya berapa, Pak?” tanya Billa. “Lima puluh ribu.” Billa langsung sibuk mencari keberadaan uang di saku dan dompet mini miliknya. “Yah, kurang kalo lima puluh ribu,” gumam Billa pelan. “Terus gimana, Neng?” “Gak Pa-pa, Pak. Buat bapak aja,” sahut Fatiah. “Makasih ya, Neng.” “Iya, Pak.” Fatiah dan Billa turun dari taksi. “Iah, bayar taksinya patungan aja ya. Nanti aku bayar di mahad.” “Eh, gak usah, Bill.” “Gak pa-pa. Uang kamu habis, kan bayar taksi tadi?” “Gak kok, Bill. Alhamdulillah masih ada buat beli sabun sama sampoh.” “Serius? “ “Iya, Bil. Gak pa-pa. Serius.” “Hem, makasih, ya, Iah.” Bila tersenyum. “Eh, tapi, kalo kamu butuh uang buat beli sampoh atau sabun, jangan sungkan buat pinta ke aku ya. Emang uang aku gak seberapa, tapi bisa lah buat beli sabun mah.” “Jajanan orang mah, boba, cimol, batagor. Lah kita mah sabun, sampoh. Ibu rumah tangga sekali ya.” Fatiah dan Billa terkekeh, mengiringi langkah ringan mereka menuju gerbang sekolah. “Tolong kasih surat izin Haikal ya. Dia sakit gak bisa masuk.” “Sakit apa Bang? Perasaan kemarin tuh anak baik-baik aja.” “Ya, tadi di kecelakaan.” “KECELAKAAN? !” Fatiah menoleh, terundang suara pekik mendadak itu. “Iya, gak kenapa-napa sih. Kakinya memar doang, ciuman sama batu.” Fatiah melewati mereka. “Ciuman sama batu” Kalimat itu sukses menggelitik urat tawa Fatiah. Senyum tidak bisa terelakkan untuk terbit kepermukaan wajahnya. “Kenapa?” tanya Billa heran. “Gak.” “Ide muncul lagi di kepala kamu? “ “Ha? “ “Itu senyam-senyum gitu.” “Gak aku baru dengar kalimat kiasan, ciuman sama batu.” “Ha? “ “Iya....lucu ya kalo dibuat judul cerpen.” “Aneh-aneh aja.” Billa menggeleng dramatis. “Otak penulis gak bisa di tebak ya. Kayak labirin aja, banyak banget idenya.” ** Fauzan melirik ke Haikal yang sekarang ikut duduk di sofa bersamanya. “Ibu di sini aja. Temenin Haikal. Kaki Haikal sakit kalo gak ada ibu.” Suara rendah nan manja khas Haikal, seliwuran langsung menjadi penghuni utama di telinga Fauzan. Mengusik naluri dewasa yang selalu Fauzan pegang teguh. Fauzan berusaha abai, memaklumi dengan alasan sakit. “Di sini aja, Bu....” “Ibu mau masak dulu, entar kalo ibu duduk di sini kasihan ayah sama abang gak makan siang.” “Gak mau, ibu di sini aja. Haikal kan lagi sakit,” rengek Haikal. “Gak ada hubungannya kali, Dek,” sahut Fauzan. “Dasar manja.” Haikal melempar tatapan tajam, mulutnya komat-kamit tanpa suara. Pemandangan itu membuat otak Fauzan menyuarakan ide cemerlang. “Bu, ibu mau masak, kan? Fauzan lagi free kok, Bu, gak ada tugas kuliah hari ini. Fauzan dengan senang hati jagain adik tercinta.” Fauzan membalas tatapan Haikal, alisnya naik-turun, diiringi seulas senyum. “Gak mau, Bu,” tolak Haikal keras. “Haikal bisa nambah sakit kalo abang yang jaga. Bisa-bisa Haikal di gangguin terus.” “Ih, gak boleh soudzon kali, Dek. Dosa tahu.” Fauzan langsung merangkul pundak Haikal. Haikal berusaha menepis tapi gagal. Tangan Fauzan malah makin kokoh di pundaknya. “Alhamdulillah kalo gitu. Kamu tolong jagain adek kamu ya, ibu mau masak dulu.” Ita beranjak dari sofa. “Iya, Bu, masaknya lama-lama gak masalah, Bu. Haikal aman kok sama abang.” Fauzan melirik Haikal yang masih berusaha melepaskan bahunya dari tangan Fauzan. Ita pergi ke dapur. Fauzan langsung melepas rangkulannya. “Jangan manja Dek. Kamu tuh dah besar, harus mandiri. Biar pun sakit, harus tetap dewasa. Jangan apa-apa, ibu muluk.” “Namanya juga lagi sakit, Bang. Apa salahnya coba? “ “Eleh, sakit, gak sakit, juga manja.” “Abang mau main game. Diam-diam di sini, jangan berisik. Belajar jadi dewasa dalam keadaan apa pun.” Haikal memutar bola matanya. Apa enaknya jadi dewasa? “Bang, ponsel Haikal dong.” Haikal mencoba meraih ponselnya yang berada di depan Fauzan. “Susah ngambilnya, Bang....” “Nih...” “Makasih.” “Bang, mulut aku gak enak banget rasanya. Makan permen enak kali ya, Bang...” “Hm....” “Ambilin kalo gitu.” Fauzan berdecak pelan. Gamenya terancam kalah karena ulah Haikal. Fauzan meraih semua benda yang ada di depan meja, mengeserkannya tepat di hadapan Haikal. “Nih, semua udah ada di jangkauan tangan kamu. Sekarang gak ada lagi, tolong ambilin ini, itu.” Haikal menghempaskan tubuhnya di sandaran sofa, koneksi internetnya buruk, kakinya sakit dan abangnya sibuk sendiri. “Haus...,” kata Haikal, mengode. Fauzan melirik sekilas. Dia tahu kode itu. Tapi memilih tidak menyahut. “Bang, haus...” “Haus? Tinggal minum. Kenapa pake acara lapor segala? Tuh kan ada gelas di depan kamu, tinggal minum aja.” “Susah, Bang. Kaki aku kan lagi sakit.” “Emang kamu ambil minum pake kaki? Jangan manja deh. Ambil sendiri !” Haikal memutar bola matanya. “Gak pengertian banget sih, jadi abang.” Tanpa ba-bi-bu, Fauzan melempar bantal sofa ke arah Haikal. Haikal kaget. Langsung berteriak heboh. Teriakan Haikal membawa Ita lari tergopoh-gopoh dari dapur dengan codet yang belum sempat diletakkan. “Astagfirullah, ini kenapa sih? “ “Ibu, abang tuh...” Haikal memasang wajah ala korban yang terdzolimi. “Fauzan, kamu jangan usilin Haikal dong, dia lagi sakit.” “Sakit gak kepalanya?” Ita mengelus kepala Haikal yang terkena bantal sofa, sebenarnya tidak sakit sama sekali. Tapi Haikal sangat menyukainya. “Iya, tuh, Bu, abang usil banget. Makanya ibu di sini aja.” Haikal menggusel di lengan Ita. “Idih, dasar alasan. Orang dari tadi gak abang apa-apain kok, Bu. Abang yang malah terzolimi. Game abang kalah nih karena Haikal.” Ita tidak mengubris, terlalu sibuk dengan kepala Haikal yang katanya sakit. Fauzan kalah telak. Ibunya itu jelas sudah termakan rayuan Haikal, si anak bungsu. “Tapi kalo ibu di sini, ikan yang ibu goreng bisa gosong,” Ita menolak permintaan Haikal. Ekor mata Haikal melirik Fauzan.“Kan ada abang Fauzan.” “Eh?” Fauzan mendelik. “Kalo cuman balok-balik ikan mah, abang bisa, Bu. Iya, kan, Bang? “ Fauzan baru mangap untuk menjawab, Haikal sudah lebih dulu mengintrupsi. “Ibu gak lupakan dulu waktu SD abang, menang lomba memasak.” Astagfirullah, diungkit lagi. Haikal mengetahui ketidak berdayaan Fauzan. Kepalanya bergerak kecil, mendadak ada iringan lagu dikepalanya. “Oh iya. Kalo gitu, tolong ya, Bang, balikin ikan goreng di kuali, ya. Satu ikan khusus ayah kamu jangan terlalu garing ya, ayah kamu lebih suka yang empuk.” Fauzan melonggo, membiarkan codet menjulur ke arahnya. Fauzan tidak percaya ibunya benar-benar terhasut bujuk rayu Haikal. Ingin rasanya Fauzan kembali melempar Haikal dengan bantal sofa atau minimal meluruskan rambut keriting Haikal yang bergoyang-goyang kecil di atas kenestapannya. “Bu, lomba masak itu, kan, bukan Fauzan yang menang, Bu. Fauzan cuman ganti orang menang yang hilang.” “Ya udah gak pa-pa. Sekalian kamu belajar. Gak susah kok. Gak sesusah dapatin jodoh.” Haikal menahan tawanya. Ekspresi Fauzan sangat mengelitik jika sudah membawa topik jodoh. “Buruan, Bang. Entar ikannya gosong,” titah Ita. Fauzan mengambil codet, tidak ada pilihan. “Kamu emang selalu bisa ibu andalkan.” Ita menepuk pelan bahu Fauzan, bangga. Kekesalan Fauzan seketika terobati, rasa malasnya terbang melayang. Ini tugas mulia. Banyak pahala jika dia ikhlas. “Masak yang enak ya, Bang koki,” goda Haikal. “Ck!” Fauzan mendengus, beranjak dari sofa, diiringi tawa Haikal sebagai backsong-nya. “Assalamualaikum.” “Eh, ada tamu,” kata Ita. Senyum Fauzan terbit. Dia tahu siapa tamu yang datang. “Bu, biar Fauzan yang bukaiin pintu.” “Bang koki baik banget deh, jadi sayang.” Fauzan bergidik ngeri. Level manja Haikal makin menjadi di dekat ibunya. Dan itu yang Fauzan inginkan. Dia akan menambah skor. Liat siapa yang datang. Fauzan tersenyum geli. “Haikal, sekarang kamu makan dulu ya, nak.” “Gak mau.” “Loh kok, kamu harus minum obat, nak.” “Mau makan kalo ibu suapi.” “Eh, kamu kan udah besar, emang gak malu di suapin? “ “Kenapa mesti malu bu, bukannya seorang anak selalu jadi anak kecil di mata orang tuanya.” “Bisa aja kamu.” “Suapin ya, Bu, udah lama Haikal gak disuapin ibu.” “Ya udah, sekarang buka mulutnya.” “Ahhh....” “Nah, iya, kalian jangan kaget ya, kalo sakit, Haikal emang suka cosplay jadi bayi.” “Tuh liatkan.” Dzawin dan Dziwan terkesiap. Haikal mengerjap-ngerjap, mencerna situasi. Fauzan cekikikan pelan. “Eh, Dzawin, Dzawan. Duduk nak,” Ita tersenyum ramah. “Ibu lagi nyupin Haikal. Dia kalo sakit gak mau makan kalo gak di suapin.” Dzawin dan Dziwan mengangguk sopan. Mencoba mengerti bahwa hal itu biasa, setidaknya untuk Haikal. “Kalo gak mau makan, bisa sakit. Ibu gak mau bayi besar kesayangan ibu sakit.” Bayi besar. Tawa Fauzan langsung pecah. Dzawan dan Dzawin saling lirik, menahan tawa, tergoda untuk mengudara tawa bersama Fauzan. Skor Fauzan bertambah. Haikal malu bukan main. . . “Kal, kita minta maaf ya. Kita gak bermaksud buat gak bantu Lo.” Dzawan mengawali alasan mereka datang membesuk Haikal. “Kita gak tahu, kalo masalah ini, beneran besar buat Lo.” “Iya, Kal. Gue juga minta maaf banget. Awalnya gue pikir, Lo tuh cuman keras kepala buat cari penulis itu. Tapi ternyata Lo mau tanggung jawab atas masalah yang Lo buat,” tambah Dzawin. “Gue salut sama Lo yang gak mau bikin sekolah kecewa. Lo juga gak lari dari masalah yang Lo buat, padahal kan bisa aja Lo pura-pura sakit pas lomba, jadi Lo gak perlu ikut. Tapi Lo gak ngelakuin itu.” Haikal menghela nafas, dia tidak se-hero itu untuk dipuji. Lagian semua ini tidak akan terjadi jika dari awal Haikal mau berusaha dan jujur. “Kali puji-puji gue muluk. Entar yang ada bukan cuman kaki gue yang bengkak tapi telinga gue juga ikutan bengkak kebanyakan dipuji.” “Terus kita ke sini juga buat bantuin Lo cari penulis itu,” kata Dzawin. “Apa pun rencana Lo, kita bakal bantuin.” Sudut bibir Haikal membentuk lengkungan ke atas. Dukungan dari sahabat melebihi vitamin C. Secercah harapan dan semangat kembali berkumpul di benaknya. “Gimana kaki Lo? Nyeri banget gak sih? “ “Gak lagi sih, udah agak mendingan.” “Kapan Lo masuk sekolah? “ “Hem, paling lusa baru masuk. Entar gue pinjam catatan kalian ya.” “Iya.” “Jadi gimana ceritanya bisa sampai tuh kaki ciuman sama batu? “ “Ceritanya panjang, yang intinya gue cuman kurang fokus aja pas bawa motor, makanya jadi nyungsep.” “Astagfirullah, akhi.” Dzawin menggeleng-geleng, seolah baru saja mendapati setumpuk dosa yang menggunung. “Mikirin apa sih, sampai gak fokus? “ Haikal mendengus, ingatnya dengan lancang kembali memutar suara itu. Gimana udah tenang, kan? “Idih malah bengong. Aa jadi curiga nih,” goda Dzawin lagi. “Jangan-jangan, lagi mikirin, si ukhti ya.” Keduanya tergelitik. Tawa pecah tanpa kendali. Haikal tersadar dari lamunannya, mengerjap bingung. “Siapa namanya sih? Spill dong dikit ke kita,” kata Dzawan disela tawanya. “Spill apa? Nama anjing sebelah? “ “Astagfirullah, kalimatnya kasar banget akhi.” “Lah kasar dari mana ? Emang tetangga gue baru beli anjing baru kok. Namanya Winwin.” Dzawan dan Dzawin kembali melanjutkan tawa mereka. Dahi Haikal berkerut, melonggo bingung bak makhluk asing. “Bang, kayaknya mereka berdua satu spesies sama abang. Bawa pulang nih, Bang...” pekik Haikal tiba-tiba. Kepala Fauzan muncul dari balik gorden ruang tengah. “Kenapa sih dek, manggil-manggil? “ “Bang Fauzan, sini, Bang. Gabung bareng kita makan goreng,” ajak Dzawin. “Iya, Bang. Sini aja.” Fauzan mengindahkan tawaran duo kembar itu. Fauzan bergabung duduk bersama mereka di ruang tamu. “Gak kuliah, Bang, hari ini?” tanya Dzawan. “Gak. Dosennya izin Anaknya baru pertama kali bisa jalan.” “Eh, enak banget kuliah ya, Bang. Fleksibel semua. Pakaian bebas, waktu belajar juga gak sebanyak di SMA. Asik banget.” Dzawin menimpal. “Gak sih. Luarnya aja asik. Aslinya mah enggak. Apa lagi soal sistem belajarnya. Masih enakan SMA, terkhusus buat orang-orang yang gak pintar ngatur jadwal sendiri. Kalo SMA semua serba di atur, jadinya kita tinggal ngikut aja. Tapi kalo di kuliah, semua serba mandiri, kalo kita gak pandai ngatur diri, udah, wasalam, keteteran semua.” “Kayak misalnya belajar. Tugas dosen tuh cuman kasih tahu kita, ini loh nasi enak buat dimakan. Nasi enak tuh ciri-cirinya, pulen, bersih. Kalo kalian makan nasi kalian bakal kenyang. Beda kalo sama guru, kalo guru itu ibarat nasi enak udah di siapin, terus kadang juga di suapin.” Dzawan dan Dziwan spontan melirik ke arah Haikal yang sibuk dengan ponselnya. Mulut mereka mengembung menahan sesuatu yang hendak keluar. Pergerakan jari Haikal terhenti. Haikal menoleh. “Kenapa?” “Di suapin enak ya, Kal ?” Haikal mendengus. “Jangan marah dong, Dek. Entar abang suapin lagi, deh.” “BU, ABANG GANGGUIN HAIKAL LAGI.” Teriak Haikal. “BU, BURUAN CARIIN ABANG ISTRI BIAR GAK SENGKEL LAGI...!” . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN