XXIV

1816 Kata
“HAIKAL KAN.” Sepasang bola mata membulat sempurna, sebelum cahaya lampu menyilaukan matanya. Haikal mengerjap, sejenak, memandangi sekitar, orang-orang berdiri dalam kegelapan, hanya dia yang bersinar sekarang. Semua mata tertuju padanya diiringi sorak-sorak riuh dan tatapan kagum di mana-mana, menanti langkahnya menuju tempat yang lebih tinggi—panggung. Di mana dia? Haikal gama, meski langkahnya terus bergerak maju. Haikal menajamkan matanya, menatap sekeliling, mencari petunjuk akan keberadaan dirinya. Ah...dia ada di laboratorium sekolah terlihat dari meja lebar dan panjang yang jelas jauh berbeda dari meja kelas pada umumnya, plus ada beberapa tabung kaca kecil yang tersusun rapi di rak bening. Dan jangan lupa, aroma aneh dari senyawa yang biasa ada di ruangan ini. Haikal menghentikan langkahnya tepat di hadapan anak tangga panggung, yang akan membuatnya terlihat lebih tinggi dua centimeter. Haikal kembali menajamkan mata, kali ini objek matanya melihat ke arah panggung. Dia tidak menyadari sebelumnya, ternyata berdiri bu Imelda dan dua siswa lain di atas panggung dengan cahaya remang, karena semua cahaya menyorotinya. Mereka tersenyum lebar ke arahnya, tatapan matanya seolah menanti pahlawan sesungguhnya yang baru saja datang untuk menempati podium bertuliskan pertama. Haikal melangkah, meski tidak ia temukan jawab kenapa dia harus melangkah. Haikal naik, naik, dan terus naik, sampai kakinya menginjak panggung yang ternyata berbahan dasar semen bukan kayu atau sejenisnya yang bisa di lepas pasang jika acara selesai. Haikal tidak ingat kapan sekolah membangun panggung permanen ini. Dan untuk apa panggung dibuat di dalam ruangan laboratorium? “Untuk merayakan kemenangan kamu.” Haikal tersentak, apa dia melewatkan sesuatu? Apa kini teknologi sudah berkembang pesat sehingga bukan hanya bisa menciptakan dunia virtual tapi juga masuk ke dalam pikiran orang ? Haikal menoleh bodoh, ke sana-ke mari, mencari sesuatu semisal kamera kecil yang bisa masuk ke kepala atau sejenis kamera sensor pembaca pikiran. Mungkin saja, kan. Haikal tidak menemukan apapun, dan malah mendapati alis semua orang yang berada di atas panggung tertarik naik. Haikal berdeham pelan, membuat gugupnya, lalu kembali melangkah, berusaha setenang mungkin. Bruk! Haikal sedikit terdorong bersamaan bunyi krek, nyaring di sekitar kakinya. Haikal spontan menunduk, memastikan apa yang kakinya injak. Apa ini? Apa ada tembok yang tiba-tiba muncul dan sekali lagi, luput dari sepengetahuannya ? Haikal berdeham. Dia rasa tidak. Jika tadi ia menabrak tembok, mungkin dia tidak akan terdorong dan menghasilkan bunyi seperti tadi, melainkan kepalanya berdenyut dan mendapat sebuah bola golf yang menempel di sana. Dan lagian mana ada orang membangun tembok di atas panggung. Sangat aneh jika itu terjadi. Tapi sejak tadi keanehan memang sering terjadi. Haikal langsung mengangkat kepalanya. Ah... leganya. Dia menabrak orang, bukan tembok. Setidaknya itu membukti, Haikal tidak berada di tempat yang aneh. Lalu siapa orang yang entah dari mana, bisa menabraknya? Orang yang kini berdiri di hadapan namun membuang muka ke belakang. Haikal hanya mampu melihat ujung kain yang menutupi kepalanya, yang terjuntai karena hembusan angin seolah sedang mengajak bersalaman. “Kamu merusaknya! “ “Ha? “ Haikal membeo. Otaknya mencerna, maksud kalimat orang itu. “Iya, itu,” jawabnya cepat, tangannya terjulur mengarah pada kaki Haikal. Haikal mengikuti arah tangan itu dengan bingung. “Kamu menghabisinya sampai tidak bersisa! Dia tidak lagi bisa membantu orang banyak, bingkainya sudah pecah, tak mampu bertengger dengan baik lagi.” Apa maksudnya? Memangnya apa yang dia rusakan? Haikal mengangkat kakinya. Dan... ** Sepasang mata menatap jauh ke luar jendela. Di luar jendela, banyak objek yang harusnya bisa menjadi objek perhatiannya, pemandangan anak-anak yang tengah bermain, ibu-ibu yang lalu lalang membawa sayur atau berjalan santai menikmati sinar matahari yang teduh atau bisa juga keluar menikmati pemandangan langit yang sedang ranum dengan warna biru terang. Tapi itu semua tidak mampu menarik perhatian, orang yang kini mengubah posisinya dari berdiri menjadi duduk. Ia terlalu asik dalam lamunan panjang, dan tatapan kosong tak bermakna. “Ah....” Desah nafas yang tengah berapa kali sudah keluarkan mulut yang seharusnya banyak bersyukur. Dering ponsel menyela kesunyian ruang yang bernuansa biru hangat, namun tidak menghangatkan hati pemiliknya yang kini meraih ponselnya di atas nakas dengan wajah datar. Matanya sayup karena sama seperti malam-malam kemarin, dia tidak bisa tidur. Entah sudah seberapa mirip kantung matanya dengan kantung mana panda, dia tidak peduli. Panggilan masuk... Dia mengheningkan cipta sesaat, begitu melihat nama kontak yang melakukan panggilan. Kali ini Dzawan. Kadang Dzawin. Entah sampai kapan mereka akan bosan melakukan semua ini. Karena sang pemilik ponsel tidak ingin mengangkatnya. Haikal tidak ingin mengatakan apa pun, pada siapa pun. Dia hanya ingin tenang, meski nyatanya dia tidak mendapatkan apa pun setelah semua yang dilakukan. Entah dia bersembunyi dari apa? Dari semua orang? Atau dari dirinya sendiri? Jika dari dirinya sendiri, maka dia sia-sia. Waktu berharganya sudah banyak berlalu. Kapan terakhir kali ia berbicara? Kapan dia bersekolah? Bahkan kapan ia tersenyum? Satu bulan yang lalu. Yap.. Haikal tahu ini salah. Dia tahu ini salah. Tapi, dia terus menepis untuk bangkit. Seolah hidupnya telah berakhir bersama jasad sang Ibu yang di masukan ke dalam tanah. Sesak. Haikal menahan air matanya, yang jika keluar bukan rasa lega yang ia dapat setelahnya, namun rasa makin hancur yang teramat pedih. Haikal sudah terlalu berlebihan dalam menangis. “Haikal...” Haikal mematung, tidak langsung menoleh ke sumber suara. Jika ia tahu suara berat siapa yang kini berdiri di belakangnya. Dengan gerakan cepat Haikal memastikan bahwa matanya tidak basah. Setelah yakin, Haikal menoleh. Wajah datar tidak bisa ia ubah menjadi seulas senyum, beruntung Abbas, ayahnya bisa memaklumi hal itu. Abbas tersenyum, mengajak Haikal untuk duduk di ujung kasur berukuran sedang miliknya. “Ayah ingin kamu menentukan keputusan kamu sekarang.” Abbas menatap dalam mata anaknya itu. Bukan tidak bisa memaklumi kesedihan yang Haikal rasakan, tapi Abbas tidak ingin anaknya seperti. Seperti orang tanpa agama, marah pada takdir, sama halnya marah pada ketentuan yang Allah berikan. Haikal berdeham pelan. Menatap sendu maniak ayahnya. Sungguh Haikal tidak ingin melihat mata itu menunduk sedih karena ulahnya. Bukan hanya dia yang kehilangan, sosok pria di hadapannya yang berusaha tegar dan kuat demi anak-anaknya juga kehilangan. Mungkin lebih dalam dari apa yang Haikal rasakan. “Kalo memang kamu tidak mau sekolah seperti biasa. Kamu bisa sekolah privat. Kita akan kembali ke Jakarta, ahad ini.” Haikal masih hening dengan diamnya. Membuat Abbas menghela nafas panjang. “Ditinggalkan orang yang disayang, selamanya rasa kehilangan itu tidak akan pernah hilang. Bahkan meski bertahun-tahun kamu mengunci diri dari dunia.” “Semua orang pernah mengalami kehilangan, tapi mereka tidak berhenti melangkah. Bukan karena mereka telah berhasil menghilangkan rasa kehilangan itu. Mereka hanya berusaha untuk terbiasa dengan rasa itu. Rasa yang jika datang membuat mereka ingin menangis. Tapi itu tidak masalah. Itu manusiawi. Tidak ada yang melarangmu untuk menangis. Menangislah jika memang hati kamu rindu. Tapi ingat, setelah tangis itu, hadirkan rasa ikhlas. Ikhlas akan setiap takdir yang ada.” “Dengan begitu kamu akan kembali kuat.” Haikal masih membisu. “Ayah, anggap diamnya kamu, sebagai bentuk setuju. Beresin semua barang kamu ya, ahad kita pulang ke rumah.” Abbas menepuk pelan bahu Haikal sembari tersenyum. “Baiklah Haikal, ayah, harus mengingatkan abang kamu juga untuk bersiap.” Abbas bangkit. Kepala Haikal yang sejak tadi menunduk, tenggelam dalam pikirannya sendiri, spontan Haikal ikut bangkit dan langsung menahan lengan ayahnya. “Yah, Haikal tidak mau sekolah privat.” Abbas tidak menyahut. “Haikal ingin sekolah seperti biasanya. Datang ke sekolah dan bertemu banyak orang.” Seketika Abbas berbalik, menatap haru putranya itu. “Haikal minta maaf, Yah. Haikal seharusnya tidak egois seperti ini. Haikal tahu, ini salah. Haikal terlalu egois memikirkan perasaan Haikal sendiri. Haikal terus jadi beban ayah dan abang. Maafkan Haikal, Yah.” Abbas meraih bahu Haikal. “Haikal, ayah senang kalo kamu sudah mulai ngerti. Kamu bukan beban atau masalah bagi ayah. Kamu anak ayah. Hidup ayah.” ** “Eh, dua kembar, udah dapat kabar belum dari Haikal? Banyak guru pelajaran nih nanyain kenapa absen dia bolong hampir sebulan,” tanya Roni, selaku ketua kelas. Dzawan dan Dzawin saling berpandangan sesaat, sebelum kompak mengangkat bahunya bersamaan. “Tapi setahu gue, Haikal dapat semacam pemakluman gitu gak sih, soalnya dia ada surat dari psikolognya yang emang nyaranin dia buat menenangkan diri dulu,” jawab Dzawan, diplomatis. “Iya sih. Tapi tetap aja, para guru banyak nanya ke gue. Gue kan bingung mau jawab apa. Emang kali gak bisa gitu, nanya-nanya ke Haikal? Mana sih nomornya, biar gue aja yang telepon.” “Kita yang jelas ada di kontaknya aja gak di angkat. Apa lagi yang nomor asing. Auto di blok atau paling gawat dia langsung ganti nomor. Makin susah deh, ngehubungi si Haikal,” kata Dzawan lagi. “Iya juga ya. Eh, tapi emang gue orang asing? Masa sih, si Haikal gak save nomor gue, gue ketua kelas loh....” Roni menepuk pelan da*danya bermaksud layaknya satria yang akan terlihat macoh, tapi malah justru terlihat seperti anak TK yang belajar menari. “Idih, Lo siapa? “ Dzawin terkekeh pelan. Roni memutar bola matanya, hendak menyahut tapi kalah cepat dengan Dzawin yang langsung menetralkan suasana. “Iya bisa aja. Mungkin ponselnya kepenuhan atau dia kelupaan sate gitu,” kata Dzawan. “Hem, bisa juga sih.” Roni manggut-manggut, setuju. “Ya udah kalo gitu, kalo kalian dapat kabar dari Haikal, kasih tahu ya. Gini-gini, gue perangkat kelas ya. Punya jabatan di kelas.” Roni berbalik. “Gini-gini apa?” Dzawin terkekeh memperhatikan Roni berjalan menjauh dari meja mereka. Roni memiliki perawakan tubuh tinggi menjulang, nomor satu yang paling tinggi di kelas. Dengan tubuh kurus dan kulit sawo matang. Tapi bukan itu yang Roni maksud ‘gini-gini' melainkan sepucuk rambut di atas kepalanya. Terlihat seperti bercerai lalu rujuk lagi dan berkumpul di tengah-tengah kepala terlihat seperti pulau. Dan jangan lupakan jambul orange yang diam-diam dia sembunyikan dari razia para guru. Ponsel Dzawan bergetar, menimbulkan getaran yang mengganggu telingah Dzawin. “Bang, matiin aja kek mode getar gitu. Berasa gempa tau,” protes Dzawin. “Terus ganti nada dering kayak punya Lo itu. Idih lebih mengganggu kenyamanan telinga,” sahut Dzawan, masa bodoh. “Ish, kalo gitu ubah jadi mode sunyi aja,” kata Dzawin lagi. “Gue suka kaget tau pas tidur, tiba-tiba ponsel Lo getar, di telinga gue.” “Buruan ubah Bang! “ desak Dzawin. Dzawan menatap malas kembarannya itu. “Malas. Ganti aja sendiri.” Dengan ogah, Dzawin mengambil ponsel Dzawan. Jarinya baru hendak menggeser tombol matikan panggilan, tapi mendadak matanya malah membesar dan jarinya berhenti di udara. Dzawan menoleh. Alisnya naik, bertanya. “Haikal, telepon,” kata Dzawin pelan namun penuh penekanan. “Serius? “Dzawan langsung merampas benda pipih itu dari tangan yang malah bengong dan langsung menggeser tombol hijau. “Assalamualaikum, Kal,” kata Dzawan, cepat. Dzawin menoel lengan Dzawan, bingung kenapa tidak ada kalimat baru yang mengudara setelah kata assalamualaikum. Dan bukannya menjawab kembarannya, malah kembali mengucap, “Waalaikumsalam.” Dan panggilan di akhiri. “Bang? “ Dzawan mengulas senyum. Dzawin tahu sepertinya ini kabar baik, tapi sialnya saudara kembarnya itu malah hanya senyam-senyum saja. “Tunggu aja kabarnya.” “Bang! Oi!! “ **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN