Fatiah meraih ponselnya, bingung harus melakukan apa kecuali hanya bermalas-malasan di kamar dengan Wi-Fi yang lancar. Kamar enam kembali sepi saat ahad. Billa, pergi ke pondoknya, Lail dan Lingsi ada tugas kelompok sejak jam tujuh mereka sudah pergi. Dan yang tersisa hanya Rani, yang sibuk dengan ponselnya sembari rebahan santai.
“Lapar gak, Iah? “ tanya Rani tiba-tiba.
“Ha?” Fatiah yang sejak tadi fokus pada layar ponselnya, langsung mengangkat kepala pada Rani yang kini duduk di atas kasurnya.
“Lapar gak? “tanyanya lagi.
Fatiah berpikir sejenak, sepertinya perutnya memang sudah memberi sinyal sejak tadi namun teralihkan oleh rasa malas dan terlalu asik dengan benda pipih di tangannya.
“Iya lapar, Mbak. Tapi malas keluar,” jawab Fatiah jujur dan kembali menjatuhkan kepalanya di kasur, mengokohkan dirinya yang malas bergerak.
“Beli online aja. Ana ada voucher gratis ongkir. Mau gak?”
“Wah ide bagus tuh, Mbak. ”
“Tapi beli apa ya? “
“Yang enak dan ngenyangin, Mbak.”
“Apa? “
“Apa aja Mbak.”
“Bingung Ih.” Rani berdecak pelan. “Ana cari-cari dulu deh.” Jari Rani mulai bergerak lincah di atas layar ponselnya.
“Ayam penyet gimana? “ tanya Rani setelah lima menit bergumam sendiri mengenai harga yang cocok, testimoni yang menyakinkan dan makanan apa yang enak.
“Boleh tuh, Mbak.”
“Tapi yang mana? Ada yang 40 Rb plus gratis es teh, atau yang 38 rb tapi gak ada gratis apa-apa.”
“Yang 38 rb aja, Mbak. Aku takut minum teh pagi-pagi, takut maag kambuh.”
“Ih tapi sayang tahu, Iah. Yang 40 rb aja. Ada es tehnya, kan lumayan. Kalo kamu gak mau ya udah buat ana aja.”
Fatiah berdeham pelan. “Ya udah, sok atuh, Mbak.”
“Bener ya? “
Fatiah mengangguk kecil. Percuman juga protes, pendapatnya akan selalu kalah dengan sosok yang sekarang sudah mengklik tanda pesan.
“Lumayan ih dapat gratis es teh,” kata Rani lagi.
“Mau level berapa pedesnya? Ada dua sampai lima.”
“Tiga aja deh, Mbak.”
“Oke.”
“Makanannya sepuluh menit lagi sampai,” tambah Rani. “Jadi satu orang dua puluh ribu ya.”
“Pake uang aku dulu aja, Mbak.”
“Sip. Sekalian kamu juga yang ambil ke depan ya, ana mager mau keluar.”
Fatiah tersenyum kecut. Dia juga mager, tapi ya sudahlah... “Iya, Mbak.”
“Iah, tuh, abang yang dah sampai.”
“Serius, Mbak? Tadi katanya sepuluh menit lagi.’
“Iya buru, gih, ke sana.”
Dengan setengah ogah, Fatiah bangkit dari kasur, meraih rok untuk melapisi celana panjangnya dan hijab langsungan.
“Mana nih, abangnya, kok gak ada? “Fatiah celangak-celumgukcelinguk di depan pagar mahad. Dua menit menunggu, tapi tidak kunjung ada apa yang di nanti.
Fatiah kembali ke kamar, memastikan pada Rani, bahwa abangnya memang sudah sampai atau belum.
“Mbak....”
“Eh, kok balik lagi sih? “
“Dari tadi nunggu, belum ada.”
“Ih, ada tahu, Iah.”
“Coba cek dulu, Mbak. Mungkin belum sampai.”
“Ih tinggal lima menit lagi.”
“Lima menit lagi? “Fatiah membeo, terputar perkataan, abangnya sudah datang di kepala Fatiah.
“Kalo kamu tunggu di sana, kan, pas abangnya datang, langsung kamu ambil. Gitu.”
“Tuh, Iah, dah datang depan pagar.”
Fatiah menghela nafas panjang, langsung berbalik.
“Eh, Iah...” teriak Rani tiba-tiba.
Fatiah berdeham pelan sebelum, menoleh ogah. “Kenapa, Mbak? “
“Es teh kamu yang buat ana tolong di wadahi di cangkir ya.”
“Cangkir kan ada di depan, Mbak.”
“Itu plastik, Iah.”
“Terus kenapa, Mbak? “
“Gak mau. Mau yang beling, di dapur mahad. Tolong ambilin ya.”
“Tapi aku kan mau ambil makanan ke depan.”
“Iya, setelah ke depan, kamu langsung ke belakang.”
“Kenapa gak ambil sendiri, Mbak?”
Rani mengangkat kepalanya dari ponsel. “Kan ada kamu. Kamu aja.”
Fatiah menghela nafas berat. Lagi. Fatiah harus menghadapi sikap menyebalkan ini.
**
Haikal menatap dirinya di cermin. Seragam putih dengan sedikit motif batik di ujung bajunya dan celana abu-abu panjang yang sedikit memudar dari terakhir kali ia gunakan.
Kapan terakhir dia memakainya?
Ya....hari itu. Hari di mana tidak akan pernah Haikal lupakan.
Haikal melirik sesuatu yang entah sudah berapa lama bertengger di atas balasnya. Haikal tidak ingat meletakan kertas itu di sana. Kertas berisi cerpen itu. Ya. Cerpen auksin. Haikal meriahnya. Tangannya tergerak hendak meremas kertas itu menjadi tak berbentuk, merobeknya dan membuangnya ke sampan, tapi Haikal tidak melakukannya. Tangannya malah tergerak memasukkan secarik kertas itu ke dalam saku celananya.
Haikal membuang nafas panjang. Dia tidak boleh larut dalam kesedihan lagi. Dia sudah berjanji untuk menjadikan ruang itu, ruang kehilangan, sebagai rumah yang akan di kunjungi tapi bukan untuk dia ratapi. Ia akan memulai kembali harinya.
Haikal memejamkan mata, melafadzkan doa seperti yang sering ibunya ajarkan dan tak lupa Haikal juga mengirimkan seutas Al-Fatiah untuk sang bidadari di surga, ibunya. Setelahnya Haikal merasa lebih lega.
Haikal melangkah keluar kamar. Ia mendapatkan senyum hangat dari ayahnya yang sudah menunggu di meja makan.
“Yah, abang mana? “ tanya Haikal, tidak mendapati kursi sebelahnya kosong, tempat biasanya Fauzan duduk.
“Masih di kamar.”
“Abang, gak ikut sarapan juga, Yah ?“
“Tadi ayah udah ajakin, tapi katanya dia mau makan nanti aja. Ada kuliah siang.”
“Hm...”Haikal berdeham pelan, sebelum menarik kursi untuk duduk.
“Roti doang gak papa, kan? “tanya Abbas melirik Haikal yang diam-diam menatap dalam menu sarapan pagi ini.
Biasanya mereka selalu makan nasi setiap pagi. Ya, itu kebiasaan yang selalu istrinya lakukan. Ia akan bangun lebih pagi agar bisa menyiapkan banyak hidang mengenyangkan demi anak-anak dan suaminya. Tidak masalah bangun lebih awal, yang terpenting anak-anaknya kenyang dan bersemangat menjalankan aktivitas.
“Ayah belum dapat ART yang cocok,” tambah Abbas lagi.
Haikal tersenyum tulus. “Roti juga ngenyangi kok, Yah.”
“Uang jajan kamu ayah tambah ya, nanti di sekolah kamu beli makanan yang kenyang, nasi uduk atau apa gitu.” Abbas mengunyah rotinya. Sejujurnya dia tidak suka roti. Dia ingin nasi.
“Eh, gak usah ya. Uang biasanya cukup kok.”
Abbas terkekeh. “Kamu aneh. Di mana-mana anak lain tuh senang kalo uang jajannya di tambah. Kamu kok malah nolak sih.”
“Haikal, kan bukan anak lain. Tapi anak ayah,” jawab Haikal tidak terduga.
Abbas terenyuh menatap putranya yang kini sudah membaik.
“Ayah juga jangan lupa makan siang di kantor, jangan sibuk kerja terus sampai lupa makan. Jangan workholic.”
Abbas terkekeh.
“Workholic itu gak baik tahu, Yah. Ayah tahu kenapa? “
“Kenapa? “
“Karena gak yang bakal ngerokin ayah pas masuk angin. Haikal sibuk sekolah, Abang ngampus. Dan ibu—“ Haikal diam sejenak, apa yang ingin dia katakan. Dan ibu sibuk masak.
Senyumnya perlahan memudar dari wajah Haikal, teringat akan fakta ibunya yang sudah meninggal.
Abbas menyadari gerangan keterdiaman Haikal, tapi memilih berpura-pura tidak menyadarinya, dan sibuk dengan rotinya.
“Kamu tahu kenapa ayah pilih sarapan roti? “
Haikal menggeleng refleks, Ingatannya teralihkan.
“Tebak dong.” tanya Abbas memecah hening yang Haikal ciptakan.
“Hm karena enak? “
“Bukan.”
“Karena praktis.”
“Bukan juga.”
“Terus karena apa, Yah? “
“Karena roti, rasa gandum. “
“Gandum?” dahi Haikal berkerut, berpikir keras. “Emang ada, Yah, roti rasa gandum? “tanya Haikal polos.
Abbas mengangguk pelan, menahan sesuatu yang ingin keluar dari mulutnya.
“Serius ada? “
Dahi Haikal makin mengernyit. Rasa gandum? Bukannya...
“Ih ayah, roti kan emang dari gandum, bukan rasa gandum.” Haikal tersadar, setelah suara tawa mengudara dari ayahnya.
“Ih ayah, Sih...”
Abbas menepis air mata yang keluar dari sudut matanya. Awalnya Haikal kesal karena menjadi objek tawa ayahnya, namun setelah melihat tawa ayahnya yang sangat lepas, Haikal juga ikut tertawa, terbawa suasana menertawakan kelemotan otaknya sendiri.
Haikal berhenti saat teringat, kapan terakhir dia tertawa hangat di meja makan. Tawa yang mengudara karena abangnya salah mengira asam sebagai daging, alhasil, wajahnya yang menampilkan ekspresi nikmat memakan sop daging buat ibu, mengecut keasaaman.
“Kok bengong lagi sih?” tanya Abbas yang kini sudah selesai dengan rotinya. “Kasihan ruh roti di cuekin muluk. Kalo rotinya bisa ngomong, dia bakal ngomong, makan aku Haikal, jangan bengong aja, atau aku makan kamu.”
“Apaan sih Ayah. Ayah kira Haikal bakal percaya. Udah basi tahu Yah. Haikal bukan anak kecil lagi, Yah...” Haikal terkekeh dan memasukan potongan seperempat roti ke dalam mulutnya.
“Mau ke mana? “tanya Abbas saat Haikal berdiri, sedangkan rotinya belum habis.
“Mau ke kamar abang. Takutnya abang ketiduran terus lupa sarapan.”
“Habisin dulu roti kamu.”
“Sengaja Haikal tinggalin buat makan bareng bang Fauzan.”
“Kan nanti bisa ambil lagi, masih banyak tuh....”Abbas menunjuk dengan dagu, beragam tumpukan roti yang masih dalam plastik.
“Ayah sengaja beli banyak, biar kalian sehat,” alibi Abbas langsung, saat Haikal menoleh kaget. Sebenarnya Abbas bingung harus membeli roti apa.
“Haikal, panggil Fauzan dulu deh, Yah.”
“Ya udah.....”
Haikal langsung melesat ke kamar Fauzan. Haikal mengetuk pintu berwarna cokelat hangat itu. Dua, tiga kali tidak ada jawaban. Haikal berinisiatif meraih gagang pintu, namun sebelum itu terjadi, Fauzan sudah terlebih dulu membuka pintu dan berdiri di ambang pintu kamar sembari mengucek pelan matanya.
“Ada apa, Dek ?” tanya Fauzan dengan suara parau.
Haikal memperhatikan siangnya ya g sekarang menutup mulut karena menguap. Sebulan terpuruk dan hanya peduli pada dirinya sendiri, sampai-sampai Haikal tidak menyadari banyak hal yang telah berubah pada fisik abangnya itu. Misalnya, rambut Fauzan yang sedikit gondrong, dan bewok yang mulai tumbuh di sekitar dagunya. Abangnya terlihat lebih tua dari sebelumnya.
“Lah, di tanya malah bengong,” sela Fauzan, menghentikan pergerakan mata Haikal yang seperti benda sensor yang terus menyensornya.
“Bang, gak sarapan?”
“Iya nanti.”
“Entar lupa, loh.”
“Gak.”
“Makan bareng yuk. Ayah bentar lagi berangkat.”
“Entar deh. Gue nanti sarapan agak saingan.”
Gue? Haikal bergumam dalam kepalanya. Sejak kapan abangnya ini menggunakan kata ‘gue-lo’ .
“Entar lupa.”
“Gak.”
“Yuk lah sarapan bareng, Bang,” paksa Haikal.
“Entar aja deh.”
“Bang... “
“Gue sibuk.”
“Sibuk apa?” Haikal memperhatikan dengan seksama kantung mata abangnya itu. Matanya terlihat sangat lelah. Tapi bukan lelah karena kecapeaan atau kebanyakan begadang, Haikal tahu mata itu kenapa.
“Bang.”
“Udah dulu ya. Siap-siap gih mau berangkat sekolah kan ?”
Haikal mengangguk pelan-pelan.
“Ya udah, gue tutup ya pintunya.”
“Bang....” Haikal menahan pintu yang hampir menenggelamkan wajahnya kakaknya.
Fauzan memutar bola matanya, menatap intensif adiknya itu. “Apa lagi?”
“Tadi salat subuh gak? Di masjid mana?”
“Oh itu, gue tadi telat bangun.”
“Kenapa? Begadang ya, Bang ?”
Fauzan tidak langsung menjawab, dua menit setelah dia baru mengangguk, ragu-ragu.
“Tugas kuliah? “
“Mau jadi detektif ?” balik Fauzan, menyipitkan mata.
Haikal diam. Keduanya sama-sama hening.
“Bang, maafin Haikal ya.”
Alis Fauzan bertaut, bingung, kenapa tiba-tiba ada kata maaf.
“Buat? “
“Semuanya. Sebulan ini, seharusnya saling menguatkan tapi aku malah sibuk sama diri sendiri. Seolah cuman aku yang kehilangan.”
Fauzan mengangguk pelan, lalu menepuk pelan pundak Haikal. “Udah gak usah dipikirin yang udah berlalu. Yang penting sekarang kita sama-sama balik lagi.”
“Bang...”
“Hem? “
“Jangan nangis terus.”
Fauzan terkesiap. Entah apa yang dia pikirikan sembari menatap Haikal.
“Sok tahu.”
“Bukan tahu. Tapi suka tempe.”
“Hm.”
“Bang. Ada yang mau aku omongan,” Haikal menatap dalam Fauzan. Sangat serius. Membuat otak Fauzan tanpa sadar bertanya-tanya, berbanding terbalik dengan ekspresi wajahnya yang tetap datar tidak ingin terlihat sangat kepo mengenai topik yang ingin Haikal sampaikan.
“Hm?”
“Jangan lupa mandi ya. Badan abang udah mengeluarkan aroma yang menyakiti hidung.”
Fauzan mendengus, memutar bola matanya. “Gak lucu.”
“Udah pergi sekolah sana.” Fauzan sedikit menggeser tubuh Haikal menjauh dari ambang pintunya.
“Ya udah aku pergi dulu ya, Bang. Makasih udah ada di hidup aku.”
“Idih, apaan sih, geli banget.” Fauzan bergidik ngeri sebelum menutup pintu.
**