XXIII

1918 Kata
“Kerjakan halaman 156-180. Tulis soal, terus jawabnya. Di kumpul pas bel pulang bunyi.” “Selesai, gak selesai, harus kumpul! “ Dengung protes memenuhi kelas. Macam dengung lebah, tidak jelas. Tidak ada yang berani angkat suara, meminta kelonggaran waktu untuk mengerjakan 50 soal dalam waktu yang lebih panjang, bukan 10 menit saja. Tak ada gunanya mengeluh, dan semua siswa-siswi mulai sibuk mempercepat tangannya dalam seni menulis. Fatiah refleks sedikit membungkuk saat rasa nyeri menyapa lambungnya, tangannya menekan perutnya, awalnya menekan pelan, sedang dan sekarang kuat, tanpa sadar, seiring level sakit yang makin menjadi. Rasa-rasanya asma lambung itu sudah naik ke tenggorokannya yang terasa sepet. Fatiah berusaha fokus dan mengabaikan keadaannya. Tangan kirinya ia letakan di perut dan tangan kanannya ia gerakan cepat di atas kertas. “Aw ...” Fatiah tanpa sadar meringis. Bila menoleh kecil. “Kenapa, Iah? “ Fatiah tersenyum kecut. “Gak. Gak pa-pa kok,” sahut Fatiah cepat, tanpa memperlihatkan wajah pucatnya. Bila percaya dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Bel berbunyi nyaring. Bersama helaan nafas gusar dan lega dari beberapa siswa yang bisa menulis dengan kecepatan rata-rata. Fatiah menatap nanar bukunya, lima puluh soal dan Fatiah hanya mampu menulis sampai lima belas soal, sangat jauh tertinggal dari Billa yang setidaknya berhasil menulis tiga puluh soal. “Duh tangan aku kram banget, rasanya.” Billa melakukan olahraga kecil pada jari-jemarinya. “Tangan kamu kram gak ?” Fatiah mengangguk kecil. Bukan hanya jarinya yang kram tapi perutnya kini terasa seperti terbakar. “Bil, langsung pulang kan? “ “Iya lah, mau ke mana lagi coba ?” Fatiah secepat kilat membereskan buku-bukunya yang berserakan di meja. Bahkan sangking ingin cepatnya, Fatiah juga memasukan buky milik Billa ke dalam tasnya. “Iah, itu buku aku Loh.” “Oh, iya, gak pa-pa lah, Bil. Nanti kamu ambil di mahad aja.” Fatiah menyembunyikan ringisannya dan buru-buru menggendong tas ransel miliknya. Beruntung Billa mampu mengimbangi gerakan cepat Fatiah. Saat Fatiah bangkit, Billa telah selesai dengan semua bukunya. “Buru-buru banget, Iah.” Billa kewalahan mengejar langkah cepat Fatiah. “Iah, tungguin,” seru Billa. Fatiah menghentikan langkahnya. Ia berbalik, tepat di depan gerbang sekolah, membelakangi sinar matahari yang berada tepat di atas kepalanya. Memberi efek seolah Fatiah bayangan hitam yang gelap di pandangannya. Biilla terkesima akan hal itu, langkahnya tanpa sadar memelan. Fatiah memegangi kepalanya lalu tiba-tiba tubuh Fatiah seolah kehilangan gravitasi bumi dan bruk.... ia jatuh membuat semua orang di sana kaget, dan pergerakan di sana seolah terhenti sesaat. Sebelum tersadar dan menghampiri Fatiah yang kini berjumpa dengan debu. “Iah, Iah, kamu kenapa? “Billa cemas. Menepuk pelan pipi Fatiah. Tapi Fatiah tidak kunjung membuka mata. Bang Ipul, selaku satpam di sana segera memanggil beberapa guru. Bu Sri keluar dengan tergopoh-gopoh, hanya menggunakan sendal jepit berwarna merah dan wajah polos tanpa riasan. Selayaknya guru lain, di jam segini mereka tengah menikmati waktu ISOMAH (istirahat salat dan makan) sebelum pulang. “Bawa dia ke rumah sakit. Mobil operasional sekolah tolong bawa dia,” seru bu Sri, yang langsung diindahkan bang Upil, di bantu Billa menaiki Fatiah ke dalam mobil bertuliskan SMA Bangsa. Anak OSIS yang baru hendak masuk ke mobil, saling menatap bingung satu sama lain. Pasalnya mereka harus pergi ke rumah Haikal menyampaikan bela sungkawa. “Terus rombongan kita gimana, Bu Sri? “ tanya bu Imelda dari arah belakang. Bu Imelda rencananya akan menjadi perwakilan guru yang akan datang ke rumah Haikal bersama anak inti OSIS. “Ya naik aja. Antar dia dulu ke rumah sakit, terus baru ke rumah duka.” Bu Imelda mengangguk setuju. Mereka semua naik ke dalam mobil. “Iah, bangun dong. Kamu kenapa pingsan ?” “Iah...” Billa nampak gusar, meski ia sudah berusaha menutupinya dengan baik, tidak enak dengan anak osisi dan bu Imleda. “Tuh liat, gue tadi liat Lo pingsan, secemas itu tahu.” Billa mendengar percakapan itu, dari kursi belakang mobil. Mobil ini memiliki sembilan kursi penumpang, satu di sebelah supir, tiga di depan, dan tiga di belakang. Fatiah dan Billa berada di kursi tengah, yang diapit anak OSIS di depan dan dua orang berwajah sama di kursi belakang, Billa tidak tahu siapa namanya tapi Billa sering melihat mereka di sekolah. “Pake ini, siapa tahu membantu.” Dari kursi belakang, salah satu orang berwajah kembar menggunakan hoodie hitam, menyodorkan sebotol minyak kayu putih. “Terima kasih.” “Iya. Sama-sama.” Billa langsung mengoleskannya, di cuping hidung Fatiah lalu di sekitar lehernya yang tertutup hijab. Mobil melaju. Fatiah masih belum sadarkan diri. Tak banyak yang bisa Billa lakukan selain berdoa. “Bu, kita ke rumah sakit dulu, kan? “tanya pak supir pada bu Imelda. “Iya, Pak. Setelah itu baru kita ke rumah Haikal.” “Berarti beda arah ya, Bu.” “Emang gak ada, Pak, rumah sakit yang searah sama rumah Haikal? “ “Wah, setahu saya mah gak ada, Bu.” Bu Melda menoleh ke belakang, melihat Fatiah yang terguai lemah di sandaran kursi mobil. “Sebelumnya apa Fatiah sering pingsan gini? “tanya Bu Imelda pada Billa yang kaget karena sejak tadi ia menunduk dan tidak tahu bu Imelda melihat ke arahnya. “Tidak pernah, Bu. Kebetulan kami tinggal di mahad, satu kamar. Ini pertama kalinya dia pingsan setahu saya.” “Dia punya penyakit bawaan atau lagi sakit? “ “Setahu saya dia sakit maag, Bu.” “Oh, apa gara-gara itu dia pingsan?” gumam bu Imelda. Billa hanya mengangguk-ngangguk, membenarkan hipotesis bu Imelda. “Ya udah, Pak. Gak pa-pa, kita bawa di ke rumah sakit aja. Takut ada apa-apa.” “Setelah pengkolan ini berarti kita belok kanan ya, Bu.” Bu Imelda mengangguk pelan. “Iah, bangun dong,” gumam Bila, raut cemas belum sirna di wajahnya. Billa kembali mengoleskan minyak kayu putih di cuping hidung Fatiah, dan kali ini ada respon dari Fatiah. Fatiah terbatuk kecil, sebelum matanya perlahan terbuka sayu. “Bil...” “ALHAMDULILLAH.” Kelegaan yang mengudara, sampai-sampai Billa lupa akan fakta bahwa ia berada di mobil bersama guru. Billa spontan menggigit ujung lidahnya saat menyadari suaranya terlalu menggelegar. Semua orang di kursi depan, refleks menoleh. Bu Imelda tersenyum menyambut sepasang mata bulat Fatiah yang mengerjap, bingung. “Bil, k-kita di mana?” Fatiah berbisik pelan setelah membalas sopan senyum bu Imelda. “Kita lagi di mobil operasional sekolah, kamu tiba-tiba pingsan makanya mau di bawa ke rumah sakit.” Mata Fatiah membulat sempurna, punggungnya yang bersandar di sandaran kursi mobil, seketika menegak. “Buat apa?” bisik Fatiah, dengan penekanan yang tertahan. “Gak usah.’ Bila mengangkat bahunya. “Kalo kamu gak mau ke rumah sakit, kamu bilang gih sama bu Imelda sebelum lewat pengkolan, biar bisa langsung ke rumah siswa yang berduka itu,” tambah Billa, pelan. Fatiah mengedarkan pandangnya menatap punggung-punggung anak OSIS dan punggung bu Imelda yang terlalu fokus memandang jalan dari kaca depan mobil hingga tidak terusik oleh tatapan yang Fatiah arahkan. Fatiah menghela nafas, menenangkan diri dan membuang ragu sebelum terlambat. Ia harus bersuara. Hm hm... Fatiah memastikan terlebih dahulu kalo tenggorokannya dalam keadaan baik .. “Bu, maaf...” suara Fatiah seperti tercekik saat secara bersamaan semua menatapnya. Tenang.... Fatiah merapal kalimat itu di benaknya saat gugup mulai menguasai. “Iya ada apa, Nak? “ “B-Bu, saya tidak kenapa-napa, tadi saya cuman kurang tidur dan kelelahan aja.” Fatiah menjeda kalimatnya untuk menarik nafas yang entah kenapa ia tahan. “Dan saya rasa, tidak perlu ke rumah sakit.” Diam sejenak. Bu Imelda terlihat sedang menimbang usul yang Fatiah berikan. “Bener kamu gak kenapa-kenapa? “ Fatiah langsung mengangguk pelan, tapi tegas. “Hm, kalo begitu, Pak, kita gak usah belok ke kanan. Kita langsung ke rumah Haikal aja,” kata Bu Imelda. “Kalian berdua gak papa kan sekalian ikut? “ Bu Imelda kembali menoleh. Bila dan Fatiah mengangguk kompak. Setelahnya, perjalanan diisi hening, tak seorang pun berbicara, baik bu Imelda yang memilih memandangi jalan beraspal, anak OSIS yang segan untuk berisik atau dua anak kembar yang sibuk berkutat dengan ponselnya, dugaan Fatiah, mereka sibuk bermain game online, ciri khas anak-anak jaman sekarang. Tiba-tiba Billa menyikut pelan lengan Fatiah yang sibuk memandang ke luar jendela mobil, sampai-sampai tidak menyadari kendaraan beroda empat itu telah berhenti. Bu Imelda dan anak OSIS sudah mulai turun, fi susul dia kembar itu. “Kita turunnya belakang aja, kita ekor aja,” bisik Billa. Fatiah bergumam pelan, tentu saja ia setuju. Billa dan Fatiha memelankan langkahnya, agar tetap berada di belakang semua orang, Fatiah menggunakan kesempatan itu untuk memperhatikan rumah yang di d******i warna putih dengan sentuhan aksen gelap, yang sejak turun sudah mencuri perhatiannya. Tanpa sadar Fatiah berdecak kagum. Fatiah terkesima. Langkah-langkahnya tidak luput dari memandang pohon mini dan beberapa bunga di sisi kanan-kiri jalan yang sengaja di aspal membelah rumput hijau yang membentang bak permadani empuk yang berhasil memanjakan mata. Rumah ini memiliki lima pilar berjajar menyangga teras, dua di antaranya akan menyambut pada pintu masuk serta jendela kayu tebal berderet di bagian atas rumah yang mengingatkan Fatiah pada konsep rumah Belanda-Indo. Elegan dan manis. Ada yang bilang bahwa konsep rumah juga bisa menujukan kepribadian pemiliknya. Rumah ini bernuansa homely dan damai. Fatiah menerka siapa pun yang tinggal di sana pastilah merasakan kehangatan itu. “IBU BELUM TIADA! IBU MASIH ADA!” Suara dari dalam rumah, mengagetkan Fatiah. Fatiah refleks menoleh ke kanan, melihat Billa yang lebih dulu berhenti melangkah sebelum dirinya. “Iah, kita tunggu di sini aja ya,” katanya dengan pandang menatap ragu pintu yang menelan bu Imelda dan beberapa anak OSIS.. “Kenapa? “Fatiah mengikuti arah pandang Billa. “Kamu gak dengar teriakan tadi? “kata Billa dengan alis naik. “Kayaknya gak enak kalo banyak orang yang ikut masuk.” Mulut Fatiah terkantup, paham. Dua menit setelahnya, “HAIKAL TIDAK MAU! TOLONG JANGAN PAKSA HAIKAL, YAH.” Teriakan itu lagi. Bu Imelda dan dua anak OSIS yang sudah masuk ke dalam rumah, memilih bertahan, sedangkan sisanya ada yang memilih keluar bersama anak kembar, yang keluar dengan desahan panjang. “Saya ingin sendiri. Tolong semuanya tinggalkan saya. “ Dan setelah kalimat itu, Bu Imelda keluar bersama dua anak OSIS yang ada. Kepala bu Imelda menunduk, Ia menatap dalam ke arah pintu sebelum berbalik. Hal pertama yang Fatiah liat adalah sorot mata bu Imelda. Bukan sorot marah yang terpancar karena pengusiran yang terjadi. Tapi sorot mata kasih sayang, seorang ibu yang mengkhawatirkan keadaan anak-anaknya. Tidak lama, seorang pria paru baya yang Fatiah yakini sebagai ayah Haikal, mengejar kecil, langkah bu Imelda. Keduanya lalu berbicara sejenak sebelum bu Imelda, dengan beragam ekspresi yang Fatiah liat. “Saya mengerti, Pak,” bu Imelda memaksa senyum terbit di wajahnya. “Haikal masih merasa terpukul akan semua yang terjadi dengan cepat.” “Tidak masalah, Pak. Kami bisa memaklumi hal itu.” Raut lega langsung terpancar pada wajah pria paru baya itu. “Kalo gitu, kita pamit pulang dulu ya, Pak.” “Iya, Bu, terima kasih atas bela sungkawannya.” “Kenapa ya? “Billa bergumam, penasaran. Kepalanya refleks menoleh pada Fatiah lagi. “Dia kayaknya terpukul deh.” “Kasihan dia.” “Sorot matanya kosong banget.” Bisik-bisik anak OSIS, mengiringi langkah Billa dan Fatiah yang notabennya masih berposisi di ekor rombongan. Fatiah terusik untuk berbalik sembari berjalan, Fatiah melihat di jendela, seseorang tengah menggeser pot bunga kecil—sebagai pemanis ruangan, dari tempat yang tidak terkena cahaya menjadi berhadapan langsung dengan cahaya. Hal itu memang tidak aneh, andai saja Fatiah tidak berhasil membaca gerak mulut orang yang berdiri dalam gelap, yang berulang kali mengatakan, “ AKU BENCI AUKSIN.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN