XXII

1701 Kata
“Btw, kalian tahu gak sama orang yang namanya Haikal ?” tanya Lail tiba-tiba. Fatiah menggeleng, begitu pun Billa dan Lingsi. “Serius kalian gak tahu?” kaget Lail, seolah tidak mengetahui orang yang Lail sebutkan adalah hal yang paling aneh di dunia. “Hem, kelas 12 kah? “tanya Lingsi. Lail mengangguk pelan. “Anak kelas sebelah. Masa kalian berdua gak tahu sih..., Bil, Iah? “ “Memangnya ada apa sih, Lail? “tanya Billa kepo. “Parah ih kalian, ini berita dari angkatan sendiri gak tahu.” Lail menggeleng-geleng dramatis. “Emang kalian gak buka grup angkatan? Aku yang adik kelas aja tahu loh.” Fatiah menggeleng serius. “Chatnya banyak banget, jadi malas scroll.” “Parah-parah... pada hal ini heboh loh.” Sekali lagi Lail menggeleng-geleng dramatis, sampai-sampai tidak sadar di depannya ada batu. Beruntung Fatiah langsung menghentikan langkah gadis berwajah orintal itu. “Hati-hati, Lail.” “Tuh, kualat bikin orang kepo,” tambah Billa. Lingsi cekikikan melihat Lail yang sekarang mengaruk-garuk tengkuk kepalanya yang tertutup hijab. “Heheheh, ya maap... “ “Buruan ada apa? “tanya Billa lagi. “Ibu Haikal meninggal kecelakaan.” “Innalilahi Wainalilah Rojiun,” serempak Lingsi, Bills dan Fatiah. “Sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi Allah berkata lain. Kabar yang beredar, ibunya bisa kecelakaan motor karena nekat bawa motor padahal baru bisa bawa motor.” “Lah kok bisa? “ “Iya, jadi ibunya buru-buru gitu ke sekolah. Terus mobilnya mogok, di rumah cuman ada motor jadi langsung aja di bawa.” “Innalilah....” “Terus Haikal jadi ngerasani bersalah, dan sekarang dia diam aja. Gak mau ngomong, bahkan gak nangis.” “Ya Allah kasihan banget dia. Dia pasti terpukul,” Fatiah memejamkan sesaat matanya seolah dapat merasakan perasaan sedih yang melanda Haikal. “Kamu kenal sama Haikal, Iah? “ tanya Billa. Fatiah menggeleng, pelan. (Flashback End) ** “Eh, benaran gak sih kabar yang beredar ?" “Jadi bisa dibilang, Haikal penyebab kecelakaan itu ya.” “Iya, kalo dia gak buat ulah kan, ibunya gak perlu datang ke sini. Kecelakaan itu gak terjadi.” “Apaan sih kalian. Kematian itu takdir setiap yang bernyawa. Kalo pun bukan karena ulah Haikal, pasti bakal ada aja jalan ke sana. Tempat, waktu, semua udah ada yang ngatur.” “Ye, tahu sih, tapi kan gitu ceritanya.” “Iya, tahu nih Roni. Kita gak gibah tapi bicara fakta.” Roni memutar bola matanya, menatap satu-persatu teman sejawatnya yang membentuk lingkaran perubahan. “Buat apa fakta tapi nyakiti orang.” “Orang lagi kena musibah, kalian malah nyalah-nyalahin. Coba kalo kalian ada di posisi Haikal, gimana perasaan kalian? Sebagai teman kita tuh bantu dia, bukannya malah mau jatuhin mental dia. Dia udah terpuruk kehilangan orang yang dia sayang, eh, kalian malah naburin garam. Apa gak punya perasaan kalian?” “Ye, gak gitu juga sih. Lagian Haikal juga gak ada.” “Udahlah jangan ada yang bahas berita gituan lagi. Kita turut berduka cita buat Haikal. Stop berita gak penting!” Roni menutup ceramah singkatnya sebagai ketua kelas 11 IPA 1. Hening sesaat. Perkumpulan dadakan itu hendak membubarkan diri sebelum suara langkah kaki menarik perhatian mereka. Secara bertahap, mereka menoleh ke arah pintu. Dzawan dan Dzawin berdiri di ambang pintu menatap bingung diri mereka yang kini menjadi sorot banyak mata. Mereka berdua melempar tatapan bingung satu sama lain. Tapi masih belum menemukan alasannya. “Sumber info nih...” celetuk salah satu di antara mereka. Satu orang menghampiri dan selanjutnya, Dzawan dan Dzawin menjadi pusat di antara mereka. “Eh gimana, emang benar ya kabar itu? “ “Haikal katanya jadi depresi ya karena ini?” “Eh benar gak sih kalo ibunya kecelakaan karena mau datang ke sini? “ “Jawab dong, kok diam aja.” Dzawan panik. Ia melirik kembarannya yang berdiri di sebelahnya, keringat dingin sudah memenuhi pelipis wajahnya, matanya bergerak cemas, da*danya naik-turun cepat dan seketika.... Bruk! Dzawin pingsan. Cewek yang ada di sekitar Dzawin berteriak kaget, berlari kecil, menjauh dengan jarak aman dari Dzawin yang ambruk. “Eh, tolongi oi!!” teriak Roni, memecah hening yang ada. Para cowok segera berkerumun hendak bersama-sama mengangkat Dzawin ke ruang UKS. Tapi langsung dihentikan oleh Dzawan yang tidak ingin kembarannya itu pingsan lagi saat melihat dirinya jadi pusat perhatian satu sekolah. Kejadian apa yang tidak heboh saat pagi-pagi yang cerah, segerombolan siswa berpadu langkah mengangkat siswa lain yang pingsan. Semua orang tentu akan penasaran dan bertanya-tanya, mengiringi langkah mereka. “Bantuin gue, bawa dia bangkunya aja. Terus minta minyak angin biar dia cepat sadar,” intruksi Dzawan mendapat anggukan cepat teman-temannya. “Kalian balik ke bangku kalian aja. Jangan keruminan lagi. Dzawin tuh gak punya trauma kalo di kerumuni.” Semua langsung bubar. “Win, bangun kek. Issh, Lo mah!!” Dzawan mengoleskan minyak kayu putih di cuping hidung dan leher kembarannya itu. “Ah elah, trauma Lo pakai acara kambuh lagi.” “Buruan bangun oi, habis nih minyak kayu putih orang.” Dzawan menatap sebal kembarannya itu yang tidak kunjung sadarkan diri. “Dia pingsan atau tidur sih, nyenyak banget,” Dzawan kembali hendak mengusapkan minyak kayu putih di cuping hidung Dzawin. “St, udah sih, udah banyak, pedas tahu,” gumam Dzawin pelan, ia membuka sedikit matanya lalu kembali memejamkannya. “Gue sengaja lama-lamain pingsan, biar gak di tanya-tanya mereka. Emang Lo mau di tanya-tanyain?” bisik Dzawin. Dzawin menatap sinis kembarannya itu. “Oh, jadi dari tadi Lo pura-pura pingsan, Hah?! “ “Eh, pelan-pelan tuh suara,” gumam Dzawin. “Aelah gak koopratif banget sih Lo, Bang.” “Gue dah cemas, EGOK. Tahunya Lo cuman...” “Eh, tadi emang trauma gue kambuh, Bang. Tapi langsung sadar pas kalian pindahi gue.” “Tangan gue jadi korban nih ngusapin minyak kayu putih ke Lo. Tanggung jawab, Lo! “ “Ya, sori dah, Bang.” Dzawin mengedikkan satu matanya, yang langsung ia tutup begitu Roni lewat. “Udahlah, gue mau nyambung pingsan lagi sampai guru datang, biar gak di kerubungi kayak tadi. Kasih tahu gue ya bang kalo guru datang.” “Kalo ingat.” . . “Gak pa-pa, Bah. Billa masih punya uang kok buat bulan ini. Abah sama mak gak perlu cemasi kondisi Billa ya...” “Iya Mak. Mak, abah juga jangan lupa jaga kesehatan, ya.” “Gak perlu mikirin macam-macam. Rezeki, Allah yang kasih.” “Assalamualaikum.” Billa mematikan panggilan ponsel. Setelahnya ia menatap layar ponselnya, senyum yang tadi mengembang, perlahan sirna terusik kenyataan bahwa sebenarnya kantongnya sedang tidak baik-baik sekarang. Billa harus ketat berhemat dan memulai mencari uang tambahan. “Iah, kamu ada lowongan kerja ngajar ngaji privat gak? “ “Ngaji privat? “ “Iya, lumayan buat ngisi waktu sama tambah uang saku.” “Untuk sekarang belum ada, Bil. Tapi nanti kalo ada, insyallah aku kabari.” “Makasih ya, Iah.” Fatiah mengangguk kecil. Bel pergantian jam berbunyi nyaring, pelajaran kosong berganti pelajaran Fisika. Fatiah segera mengeluarkan buku catatan dari dalam tasnya, tidak lama guru datang memasuki kelas. “Permisi, Bu.” Terdengar ketukan pelan dari pintu yang terbuka lebar. Berdiri di luar kelas, dua siswa dan satu siswi menggunakan pin OSIS di seragamnya, di tangan mereka masing-masing membawa kardus bekas mie. “Iya ada apa?” tanya Bu Imel “Kami perwakilan OSIS mau minta sumbangan meninggal wali murid Haikal Kan, kelas 11 IPA 1. Boleh minta izin mengganggu jamnya, Bu? “ tanyanya sopan. “Iya silahkan.” “Terima kasih, Bu.” Mereka lalu berjejer di depan kelas. “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” “Walaikumsalam Warahmatullah Wabarakatuh.” “Innalilahi Wainalillahi Rojiun, ada kabar duka yang datang dari Haikal Kan, anak kelas 11 IPA 1. Bahwa pada hari sabtu kemarin, sang ibu meninggal dunia di rumah sakit Husen.” “Kami selaku OSIS ingin meminta sumbangan seikhlasnya kepada teman-teman sekalian, sebagai bentuk bela sungkawan dan support kita semua. Insyallah uang sumbangan ini akan langsung kami berikan pada Haikal, setelah pulang sekolah.” Fatiah mengambil uang di tasnya. Satu-satunya uang yang dimiliki saat ini. Uang yang rencananya ingin ia belikan gorengan dan nasi uduk di kantin. “Iah.” Billa menyikut pelan lengan Fatiah. Fatiah mendongak, baru tersadar. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri hingga tidak mengindahkan kotak kardus yang sekarang berada di depannya. Fatiah buru-buru memasuk uang miliknya itu. “Iah, nanti pas ke kantin, beli nasi udik yuk. Perut aku lapar ihh ...” bisik Billa. Satu jam lagi bel istirahat akan berbunyi. Fatiah tersenyum ragu. Dia tidak bisa menceritakan pada Billa kalo uangnya habis. Fatiah takut Billa memaksa untuk mentraktirnya pada hal keadaan ekonomi Billa tidak baik sekarang. Ketakutan Fatiah terjadi. Billa mengajaknya ke kantin, dengan bimbang Fatiah mengangguk setuju. Sebelum pergi Fatiah sengaja membawa botol minumnya yang untungnya terisi penuh. Fatiah bisa meminimalir rasa lapar dengan terus minum. “Iah, mau pesan apa? Nasi uduk juga? “ tanya Billa setelah mereka mendapatkan meja dan kebagian tempat di kursi kayu panjang, bersama berberapa siswa lain yang sedang asik makan dan bercerita. Fatiah menggeleng. “Mau minum aja.” “Es teh? Es jeruk? “ “Gak. Air putih lebih sehat.” Fatiah menunjukkam bangga, botol berwarna bening itu. “Serius gak mau makan? Maag kamu kambuh loh entar.” “Tadi sebelum pergi sekolah, kan, kita udah makan. Sabi lah sampai nanti pulang.” Fatiah diam-diam melirik beberapa siswa yang tadi asik mengobrol. Mereka menggeser piring yang masih belum dihabiskan dengan sempurna, menjauh dari hadapan mereka. Andai saja mereka tahu, ada banyak orang yang kelaparan dan sangat ingin makan, tapi belum mendapat rezeki itu. Sedangkan mereka, mereka menyia-nyiakannya begitu saja. “Kenapa kamu gak makan? Gak bawa uang ya? Pakai punya aku aja,” Billa menawarkan diri. “Eh, gak usah.” Fatiah menggeleng cepat. “Udah sana kamu pesan gih ke buru masuk entar.” Billa nampak ragu melangkah, ia terlihat berpikir sejenak dengan alis yang hampir bersatu, setelahnya senyum tiba-tiba terbit melepas kerut di dahinya. “Bil, jangan pesan buat aku ya. Entar malah mubazir,” kata Fatiah menyelah langkah Bila yang sedikit menjauh. Seketika wajah Billa berubah mendung. “Kamu bisa baca pikiran ya? “ Fatiah tergelak kecil. “Udah buruan pesan sana.” “Hm.” Billa berbalik pergi. Fatiah memandangi punggung Billa yang sekarang menjauh, seiring itu, perutnya berbunyi kecil. Aroma makanan yang beragam menyapa indra penciumannya, semakin membuat gaduh perutnya. Fatiah menekan pelan perutnya, mereka tidak punya uang lagi. Semua uangnya sudah ia sumbangankan. Mereka harus bersabar. Fatiah meraih botol minumnya, caranya untuk meredam demo di perut sedikit berhasil dengan air putih. Meski sekarang rasanya Fatiah seperti sapi gelondong yang kaya akan air. Jika Fatiah meloncat mungkin akan terdengar suara air yang di guncang dari dalam perutnya. Dan pemikiran itu membuat Fatiah tersenyum kecil sendirian. “Baru di tinggal bentar udah senyam-senyum sendiri. Kalo agak lama dikit, bisa-bisa kamu ketawa sendiri, terus dikata gila sama yang lain,” kata Billa, kembali duduk di bangku tadi. “Eh, Bil, gak pesan nasi uduk? “Fatiah bingung mendapati Billa membawa dua bungkus roti. “Gak tiba-tiba pengen roti.” Billa tersenyum tipis. “Dan tadi kebetulan beli dua. Nih satunya buat kamu, hadiah. Gak bisa nolak.” . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN