XXVI

1789 Kata
“Bang, kata Lo si Haikal sekolah hari ini. Mana? Gak keliatan tumitnya dari tadi juga.” Dzawin mengalihkan pandangnya dari ambang pintu, berpindah pada Dzawan yang juga memandang ke ambang pintu. “Bohong ya, Lo, Bang?!” Dzawin memicingkan mata. “Astagfirullah. Fitnah nih. Mana ada anak lugu, polos dan santun ini berbohong. Astagfirullah, akhi tolong di jaga ya mulutnya,” sahut Dzawin dramatis. “Idih...” Dzawan mendengus, jijik. “Makanya, kalo abang ngomong itu di denger. Mana ada faedahnya juga gue prank Lo, rugi aja yang ada. Numpuk dosa. Cuan juga gak dapat.” “Ya kali aja, kan. Lo mau buat sensasi.” “Ke Lo?” Dzawan menaiki satu alasannya. “Kurang kerjaan banget hidup gue. Di bayar pun gua ogah!” Dzawin terkekeh. “Siapa juga yang mau bayar Lo. Lo siapa dah? Manusia tak bersinar.” “Udah yuk, mending kita ke lapangan, sebelum bu Sri datang bawa pentungan nyuruh kita buat siap-siap upacara,” ajak Dzawan. “Eh, gak mau nunggu Haikal dulu? “ Dzawan nampak menimbang sejenak. “Kita harus jauhin cari perkara sama bu Sri. Jangan sampai bu Sri hafal nama kita. Kalo beliau sampai hafal itu tandanya kita udah jadi biang onar sejati. Lo mau? “ Dzawin bergidik, spontanitas kepalanya mencuplikan penampilan biang onar yang selalu Dzawin gambarkan dengan bibir yang di warnai hitam sembari mengemut tusuk gigi di ujung bibir, celana robek-robek di bagian lutut yang di sengaja, serat baju yang kusut masat bagai lap kaca. “Idih, gak mau lah,” jawab Dzawin secepat kilat. “Makanya burun diri.” “Sabar, elah, Bang. Mau ambil topi dulu.” Dzawin merogoh tasnya, satu menit berlalu, mukanya nampak tegang. “Bang.....” “Gak bawa topi?“ terkah Dzawan. Benar. “Gimana dong, Bang?” “Coba cari lagi, keselip mungkin,” Dzawan berusah positif thinking. “Ih gak ada, Bang. Perasaan topinya udah gue masukin di depan ini, tapi gak ada.” “Perasaan? Makanya apa-apa jangan pake perasaan, tapi dipastin kalo benaran dah di masukan. Gak mungkin tuh topi keluar dari dalam tas Lo, kan?!” “Ck! Lo gimana sih, Bang, lagi genting gini malah ngomel, bukannya bantuin.” “Bantuin apa? Pulang ke rumah lagi? Gitu ?” “Cari solusi, Bang. Misalnya bantuin gue cari topi murid yang bawa dua topi.” “Lo gak liat jam, semua orang dah di lapang kali. Gak lama lagi bu Sri pasti datang.” “Ck! Terus gue harus apa? Pura-pura sakit?” “Lo mau bohong? Terus kalo ketauan gimana? Gimana kalo tiba-tiba bu Sri telepon mama nanyai kabar Lo?” “Terus apa dong, Bang?! “ Dzawan menghela nafas panjang, dia juga bingung. “Bang...” panggil Dzawin lagi. “Ya udah pasrah aja.” “Maksud Lo?” Dzawin memicingkan matanya. “Lo mau biarin gue berdiri di barisan di tengah-tengah bareng anak bandel yang lain, gitu? Tega Lo? “ Dzawan berdecak, sebelum menatap tajam Dzawin. “Gue temenin.” “Ck ! Tetap aja. Ini bukan solusi.” “Dari pada kita bohong. Lo mesti ingat semua yang berlandasakan kebohongan itu gak akan berujung baik. Kita emang selamat, tapi setelahnya malah bencana.” “Ck!” Dzawin berdecak pelan. Belum siap dia mendapat predikat anak yang tidak taat aturan. “Eh, kalian, kenapa belum ke lapangan?!” Suara cempreng menggema di dalam kelas. Hal yang Dzawan dan Dzawin takutkan sejak tadi. Bu Sri, berdiri di ambang pintu membawa pentungan di nan mata melotot, nyaris seperti mau keluar. “Mana topi kamu?” Bu Sri menatao tajam kepala Dzawin yang tidak bertengger topi. “E, itu, anu, Bu.” “Itu, anu, apa? “sentak bu Sri. Dzawin menunduk, hendak berkata jujur. “Di sana, Bu.” Suara dari ambang pintu menyahut. Bu Sri menoleh. “Haikal? “ “Maaf, Bu, saya hampir telat.” Bu Sri diam sesaat. Rumor mengenai Haikal yang sangat terpukul dan memiliki hati yang rapuh, membuat Bu Sri takut-takut untuk asal marah pada Haikal, takut hatinya belum kuat. “Hm, gak pa-pa. Buruan taruh tas kamu, terus langsung ke lapangan.” Suara bu Sri turun dua oktaf, namun masih terkesan tegas. “Kalian berdua juga.” Dzawin dan Dzawan mengangguk, takut-takut. Haikal menghampiri keduanya, meletakan tas dan memberi topi cadangan untuk Dzawin. “Firasat gue benar, Lo pasti lupa bawa topi lagi,” kata Haikal. Dzawin terenyuh, sudah lama rasanya tidak melihat sahabatnya itu. Jika saja Dzawin tidak memiliki prinsip kalo pria itu gak boleh nangis, mungkin sekarang dia sudah mewek, terharu. “Akhirnya Lo sekolah juga, Kal. Kita pikir, kita gak akan bisa lagi ketemu Lo,” kata Dzawan. “Apaan sih kalian, melow banget, udah yuk ke lapangan, entar bu Sri datang lagi, kan bahaya.” Haikal tersenyum lebar. Senyum yang menular pada si duo kembar. Sembari saling menrangkul, mereka berjalan ke lapangan. “Yuk.” ** Fatiah mengelap keringat di pucuk hidungnya, yang bertengger membuat bedak bayinya makin hilang. Matahari sangat terik bertengger di sana, tepat di hadapannya, menyilaukan mata serta membuat Fatiah ingin mencari tepat untuk berteduh, tapi itu tidak bisa terjadi. Di harus berdiri di tempat itu satu jam mendatang karena upacara bendera baru saja di mulai. “Untung tadi kita sarapan ya,” bisik Billa yang berada tepat di belakang Fatiah. Fatiah mengangguk kecil, sedikit menoleh untuk merespon Billa. “Hem, tapi matahari sewot banget.” Billa terkekeh, pelan. “Untung kamu di depan aku, jadinya aku ke tutupan.” “HORMAT GERAK.” Suara komandon upacara memecah sunyi di lapangan. Secara serempak semua mengangkat tangannya, bertengger di ujung alis. Upacara sudah masuk ke sesi pengibar sang merah putih. Itu artinya Fatiah dan teman-teman yang tengah bertugas menjadi paduan suara, harus membuka mulutnya untuk mengiringi sang bendera. “Bill, tukaran posisi yuk,” bisik Fatiah pelan. Tapi tidak ada respond. Suara Fatiah terendam suara alat musik yang sudah berbunyi duluan. “Bill,” Fatiah kembali berbisik, kali ini ia menambahkan dengan seperempat menoleh. Dan hal itu berhasil. Billa menyadari bahwa Fatiah sejak tadi mengajaknya berbicara. “Bil, aku gak enak badan. Bisa tolong tukaran posisi gak? “ “Ha—“ Billa baru hendak menyahut, namun dari arah belakang tiba-tiba bu Sri muncul, memergoki Fatiah dalam posisi menoleh dan berbicara. Fatiah kembali berbalik, tapi sudah terlambat. “Kamu upacara bendera malah ngobrol! “ bisik bu Sri tajam. Sebelum berbalik pergi, Bu Sri menghadiahkan cubitan di atas pinggang Fatiah. Tubuh Fatiah seketika menegang. Matanya membulat sempurna, bukan karena sakit, tapi karena kaget bercampur tegang. Keringat dingin makin membanjiri wajahnya. Fatiah mengucek-ngucek pelan matanya, kenapa pandang matanya mulai memudar digantikan semut-semut hitam yang ada biasa menghiasi televisi yang sedang hilang sinyal. Dua, tiga, empat langkah bu Sri menjauh...dan bruk. Semua sorot mata memperhatikan barisan yang akan sedikit mengembang karena tiba-tiba ada yang jatuh pingsan. Bu Sri yang berada paling dekat di sana, langsung berlari menghampiri Fatiah dan memanggil anak PMR untuk segera membantu. Fatiah dapat merasakan tubuhnya di angkat, tapi entah kenapa dia tidak memiliki daya untuk membuka matanya. “Ayo cepat bawa dia ke UKS,” intruksi bu Sri. “Ada yang pingsan ya? “ “Iya. Barisan anak padus.” Dzawin menegangkan kepalanya agar lebih tinggi, hanya formalitas nyatanya meski melakukan hal itu, dia tetap tidak bisa melihat siapa yang pingsan, karena terhalang punggung anak-anak yang ada di hadapannya. “Kita ke sana juga gak buat bantu? “ “Gak usahlah. Kan kita di suruh bu Sri buat jaga di baris ini. Gimana kalo di sini tiba-tiba ada yang sakit, atau pingsan? Lagian anak PMR yang jaga di sana udah ada kok.” “Hm....” “Ternyata enak ya jadi anak PMR, kalo upacara bisa berdiri neduh di sini. Nyesel gue dulu gak mau ikut PMR aja.” “Oi, kok bengong? “Dzawin menyikut pelan lengan Haikal. “Penasaran aja siapa yang pingsan.” “Anak 11 IPA 2.” “Siapa? “ “Tumben Lo kepo ?” ** Haikal menghirup udara sebanyak-banyak yang ia mau sebelum memejamkan matanya pelan menikmati sensasi angin sepoi-sepoi di atas rooftop sekolah. Huft.... Haikal tersenyum kecil begitu matanya kembali terbuka yang langsung di sajikan pemandangan sekolahnya dari atas, mulai dari pohon-pohon yang hijau yang mengelilingi sekolah, sampai siswa-siswi yang tengah berkumpul di lapangan yang terlihat seperti semut. “Kal, buruan ambil bolanya,” kata Dzawan menepuk pelan bahu Haikal yang sedang terkesima. Haikal menoleh masih dengan senyum yang bertengger. Dia lupa akan alasan kenapa mereka bertiga bisa berada di rooftop sekolah di saat jam pelajaran. “Lo ngapain sih, Kal? Senyum-senyum,” tambah Dzawin. “Senyum itu ibadah,” jawab Haikal diplomatis tanpa menoleh pada Dzawin yang berdiri jauh di belakang mereka. “Iya, sih, tapi jangan mikir aneh-aneh Lo.” “Contohnya? “ “Jangan bilang Lo mau jadiin rooftop ini tempat bolos.” “Lo pikir gue badboy yang bertebaran di komik Lo itu.” Haikal memutar bola matanya sebelum menoleh ke belakang, melihat Dzawin yang nampak kerepotan memeluk tiga bola berwarna orange bergaris hitam. Ya, itulah alasan kenapa mereka bisa berada di rooftop sekolah. Mengambil bola basket yang akan digunakan untuk pengambilan nilai ulangan harian olahraga. “Makanya, buruan ambil dua bola lagi, terus kita turun, panas tahu di sini,” tambah Dzawin. Dzawan yang berada di sebelah Dzawin mengangguk setuju. Keduanya berbalik, berjalan menuju pintu rooftop. Haikal berpikir, seharusnya tadi dia menarik duo kembar yang tidak suka ketinggian itu untuk melihat bagaimana pemandangan sekolah dari atas. Mereka mungkin saja akan terkesima, dan mau berlama-lama di sana. “Kal, buru! “teriak Dzawin lagi yang kali ini sudah di ambang pintu. Haikal mengambil dua bola basket, sebelum berjalan mengekor di belakang keduanya. Haikal mendapat jatah mengunci pintu rooftop. Berkaca dari sekolah lain, sekolah tidak ingin rooftop di jadikan tempat atau sarang nongkrong anak-anak nakal, dan karena itulah selalu di kunci. “Kal, kita langsung turun ya,” pamit Dzawan saat Haikal baru saja meletakan bola basket di depan pintu yang sudah tertutup, tinggal di kunci saja. Haikal mengangguk kecil. Kasihan jika dia menahan duo kembar itu lebih lama lagi. Mereka sudah kesulitan memeluk tiga bola besar di tangannya. Tiba-tiba terbesit sesuatu di kepala Haikal. Bukannya mengklik kunci agar pintu itu terkunci lalu turun ke bawa menyusul Dzawin dan Dziwan. Haikal justru mendorong pintu rooftop, meletakan bola basket dan berjalan ke tempatnya tadi. Haikal memandangi pemandangan sekolah sekali lagi, tangannya meraih sesuatu dari dalam saku celananya. Secarik kertas yang terlipat empat. Cerpen Auksin. Berbekalkan ilmu saat duduk di bangku TK, dua menit berikutnya kertas itu berubah bentuk menjadi pesawat kertas ala kadarnya. Haikal tertegun. Dia ingin melupakan semua luka yang terjadi dan cerpen ini.... “Terbang dan pergilah.” Haikal mengudarkan kertas itu. Dia berbalik dan pergi, tidak mau melihat kertas yang harus bersiap jatuh, entah ke mana.... . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN