XXVII

1330 Kata
Fatiah mendengus pelan, menatap ke luar jendela. Dia ingin kembali ke kelas. Sendirian di UKS bukan opsi yang akan Fatiah pilih jika dia mendapat izin memilih. Dia hanya pingsan, bukan sakit. Dan setelah segelas teh hangat ia habiskan, Fatiah bangkit dari kasur hendak kembali ke kelas. Tiba-tiba ponsel Fatiah bergetar di saku rok. Fatiah langsung mengangkat panggilan dengan pikiran husnuzon bahwa tidak mungkin ada yang melakukan panggilan kecuali teman-temannya. “Assalamualaikum.” Tangan Fatiah hendak meraih gagang pintu tapi langsung terhenti di udara ketika terdengar sahutan suara berat di seberang sana. “Kamu dapat nomor aku dari mana?” cicit Fatiah pelan masih dalam mode kaget. “...” “Iya, maaf.” “...” “Iya, jadi kabar kamu gimana? Baik, kan?“ “...” “Udah tahu kok, kamu kalo kamu balik ke Indonesia.” “....” “Hm, kamu kan udah tahu, aku sekolah plus masuk pesantren juga.” “...” “Iya, maaf, bukan mau sok sibuk, tapi... ya emang sibuk.” Fatiah terkekeh pelan. “...” “Eh, kok? “ “...” “Plis, jangan macam-macam.” “...” “Gak usah. Aku sehat kok. Serius.” “...” “Iya tadi cuman pingsan doang sih, tapi gak sakit.” “...” “Iya itu cuman pingsan.” “Pingsan karena kaget aja.” “Serius, kalo kamu ke sini, aku malah bisa pingsan lagi.” “Plis...jangan ya.” “Plis...” “Eh, itu suara, jangan bilang kamu...”Jatung Fatiah rasanya berdegup kencang saat mendengar deru suara motor dan mobil bersahutan di ujung telepon. “Serius, di mobil?” “Ke sini? “ “Jangan!” “Eh, Plis....” Tut ... Fatiah menatap nanar ponselnya. Panggilan diakhiri sepihak. “Ck! Duh Gimana nih! “Fatiah terus mencoba menghubungi lagi, tapi selalu berakhir di rejeck atau tidak di angkat. “Duh gimana nih? Gimana kalo dia benaran datang ke sini? Duh, bisa heboh semua.” Fatiah menimbang-nimbang ponselnya, tanpa sadar mondar-mandir seperti setrika di ruang UKS, memikirkan apa yang harus dia lakukan jika kemungkinan buruk itu terjadi. “Ck! “ Fatiah berdecak pelan. Tidak ada ide yang keluar dari otaknya dalam keadaan genting seperti ini. “Pikir, Iah. Pikir,” Fatiah terus merapal kata itu agar otaknya tergugah berkerja lebih keras. Ponsel kembali bergetar, memecah fokus Fatiah. Fatiah buru-buru langsung membuka ponselnya. Bukan panggilan masuk. Tapi pesan masuk. ‘Sepuluh menit lagi nyampeni.’ Fatiah spontan melirik jam tangannya. Dia melotot setelahnya. “Bener-bener ya tuh anak! “Fatiah berdecak pelan. “Aku harus duluan temui dia, suruh dia pulang sebelum yang lain liat,” putus Fatiah. Itu ide terbaik untuk sekarang. Andai saja Billa tidak menampakan dirinya di ambang pintu dengan senyum lebar, saat Fatiah membuka pintu hendak keluar. “Dah sehat? “tanyanya. “Kamu kenapa ke sini? Seharusnya kamu kan di kelas.” “Eh.” Raut wajah Billa mengerut bingung. “Bukannya tadi kamu pengin ada temannya di sini.” Astagfirullah. Fatiah spontan menepuk pelan dahinya, dia lupa mengirim pesan itu pada Billa. “I-iya sih, tapi sekarang aku mau ke kelas.” “Kamu gak sakit lagi.” “Gak,” jawab Fatiah cepat, mata Fatiah bergerak cepat memandangi jarum panjang yang mulai bergerak, lima menit lagi. Nafas Fatiah tertahan. “Makanya kamu ke kelas aja duluan.” “Bagus. Kalo kamu udah gak sakit. Yuk, temani aku ke kantor TU.” “Ngapain?” Fatiha nyaris melotot saat melihat jam tangannya, dua menit lagi. “Ambil tinta spidol, di suruh bu Imelda.” Astagfirullah. Dua menit lagi. “Ayo, Iah.” Billa menarik tangan Fatiah. Fatiah kaget dan tidak bisa menolak. “Kamu kenapa, kok kayak gelisah gitu?” tanya Billa tiba-tiba. “I-itu, hm....” Ponsel Fatiha kembali bergetar. Fatiah langsung mengeceknya. ‘Kamu kelas berapa? ‘ “ASTAGFIRULLAH! “ Fatiah tersentak, kaget. “Kenapa? “tanya Billa bingung. “Hm, itu, aku, hm...” “Kamu pusing ? Biar aku ambilin minyak kayu putih di UKS.” Billa berbalik setengeh berlari. Fatiah menggunakan kesempatan itu untuk berlari ke pagar depan, mengambaikan tatapan bingung siswa-siswi yang tengah olahraga di lapangan. Pluk. Sesuatu mendarat di kening Fatiah. Fatiah membungkuk, mengambil kertas berbentuk pesawat ala-ala yang membuat langkahnya terhenti. Satu menit lagi! Ya ampun. Fatiah buru-buru melanjutkan lari, memasukkan kertas itu, sembarangan ke dalam kantong roknya. Fatiah berhenti setelah rentina matanya menemukan objek yang kini menjadi fokusnya, sedang bersender di luar pagar sekolah, dengan jaket hitam yang makin mengkilap diterpa sinar redup matahari, sepatu sport putih dan celana denim di bawa lutut. Dan jangan lupakan kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya, menambah kesan santai tapi mewah. Dua jengkal dari tempatnya berdiri, terparkir mobil berwarna kuning terang dengan model terbaru yang Fatiah yakini berasal dari perusahaan otomotif ternama di dunia. “Keren banget jaketnya, liatnya tu kinclong gitu. Bang Ipul jadi pengen. Boleh coba pake, gak? Buat selfi aja gitu. Biar calon istri abang terkesima melihat calon suaminya nambah ganteng.” “Boleh dong, Bang, coba aja.” “Aduh, ternyata dasarnya bagus bangat ya. Cocok gak sama abang? Gak kalah ganteng sama kamu kan?” “Bang Ipul mau ? Buat abang aja.” “Ha? Serius?” “Iya Bang. Hadiah perkenalan.” “Masyaallah, makasih banyak...” “Er...” tiba-tiba dia menoleh. Menyadari keberadaan Fatiah di sana. Jantung Fatiah nyaris berhenti sesaat. “Oh dia, yang kamu tunggu,” kata bang Ipul, ikut menoleh. Fatiah buru-buru mendekat pagar. “Kamu ngapain ke sini? “Fatiah berbisik penuh penekanan, sesekali matanya mengawasi sekitar, beruntung gerbang depan sepi di jam-jam pelajaran berlangsung. “Ck, tanyain kabar kek. Gak sopan banget sih...” “Iya, iya, kabar kamu baik, kan? Udah pulang sana,” jawab Fatiah cepat. “Aku tuh kangen kamu tahu.” Tiba-tiba tangan bertengger di kepala Fatiah. Fatiah melotot, kaget. Bukannya takut, pria berbaju putih itu malah tertawa dan hendak mencubit pipi Fatiah yang menggelembung, namun tidak jadi karena Fatiah sudah berhasil menangkap pergerakan tangannya, dan menarik tangannya kembali keluar pagar. “Makanya jadi orang jangan sok sibuk.” “Udah sana pulang.” “Eh, si Neng, pacarannya datang malah di usir,” kata bang Ipul, ikut nimbrung. “Pacar? “Fatiah melotot. “Bang, kita itu bukan pacar tapi lebih dari pacar, kita itu—“ “Udah, sana kamu pulang!” potong Fatiah cepat. “Buruan!” Fatiah menghentakan kakinya, berbalik dan berjalan cepat menjauh dari pagar. “Iah....” “Billa?” Tubuh Fatiah seketika menegang. Berdiri tepat di hadapan Billa. “Ngapain ke gerbang?” Billa langsung memiringkan kepalanya, Fatiah kalah cepat menahan mata Billa yang seperti sudah melihat apa yang Fatiah lakukan. Fatiah refleks memejamkan mata, bersiap untuk menjelaskan semuanya, dari awal. Semua rahasianya. “Izin sama bang Ipul? “ kata Billa. “Ha? “ “Tapi buat apa? Kamu mau pulang? “ Fatiah spontan menoleh. Sudah tidak ada lagi siapa pun di luar pagar. Fatiah tersenyum lega. “Ha... Gak. C-cuman. Bil, balik ke kelas yuk.” Fatiah segera menarik tangan Billa agar mengikuti langkahnya. Billa setuju saja. “Astagfirullah.” Billa tiba-tiba menghentikan langkahnya setelah dua langkah lagi mereka sampai di kelas. “Kenapa? Ada yang ketinggalan? “Fatiah memperhatikan dua spidol yang sudah penuh ada di tangan Billa. “Bukan. Tadi bu Sri titip buat bilang ke bang Ipul, suruh pindahin motor beliau ke tempat yang agak teduh.” “Terus gimana? “ “Aku balik ke sana lagi deh. Tolong kasih spidolnya ke bu Imelda ya, Fatiah. Bilangin juga, aku izin ke gerbang bentar.” “Oke.” Fatiah melanjutkan langkahnya dan Billa kembali berjalan cepat ke gerbang. “Bang Ipul.” “Iya, Neng? “ “Tadi ada pesan dari bu Imelda, minta tolong motor beliau di parkir di tempat yang teduh.” “Oh, iya, iya... tapi bang Ipul nitip jaket ini dulu ya. Sayang kalo kena debu.” Bang Ipul melepas jaket mengkilap yang sejak tadi luput dari perhatian Billa. ..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN