“Jaket baru, Bang? “tanya Billa.
Bang Ipul tersenyum memperlihatkan deretan giginya. “Dapat rejeki nomplok barusan dari orang baik.”
Billa tersenyum. “Alhamdulillah.”
“Nih, Neng, jaketnya abang titip ya.”
Billa menerima jaket hitam dan langsung mencari tempat berteduh selagi menunggu bang Ipul kembali dari parkir. Billa memilih berteduh di pos satpam. Billa menghentak pelan sepatunya yang sedikit berdebu karena melewati lapangan tadi. Masih belum hilang, Billa merogoh roknya mencari tisu untuk mengelap keringatnya, tanpa sengaja, mata Billa terpaku pada mobil berwarna mentereng di siang terik.
Billa terkesiap, satu mobil itu bisa dibelikan sepuluh rumah atau bisa sampai lima belas rumah. Billa ketahui itu dari artikel life style yang dia baca tempo kemarin dan sangat jarang orang memilikinya kecuali para milyader.
Billa terlalu sibuk dengan pikirannya hingga tidak menyadari sudah ada seseorang yang berdiri di sebelah mobil itu, dia tersenyum pada Billa, menghentikan aktivitas mata Billa. Billa mengerjap sesaat, merasa seperti orang bodohnya sebelum menunduk karena merasa malu.
Billa diam-diam melirik mobil kuning yang mulai bergerak, meninggalkan tempatnya. Tunggu dulu...! Billa langsung mengangkat kepalanya. Dia ingat siapa orang itu! Ya! Orang yang pernah menuduhnya mencuri jaket.
“Bang, tadi mobil kuning itu punya siapa? “
“Yang mana, Neng? “
“Yang di luar pagar itu, Bang. Baru aja pergi.”
Ipul mengernyit sejenak. “Yang punya ganteng gak? “
Billa berdeham pelan sebelum mengangguk.
“Oh, itu, dia juga orang yang kasih abang jaket ini.”
“Ngapain, Bang? “
“Tadi, nemuin teman kamu ya.”
“Ha? Teman saya?” Billa mengerjap bingung. “Maksud abang, Fatiah? “
**
Bel istirahat berbunyi nyaring, menghentikan ke khusyuaan para murid yang sejak tadi berjibaku dengan buku dan pulpennya. Semua serempak mengangkat kepala.
“Tugasnya, jadi PR aja. Pekan depan kita koreksi.”
Kata itu menjadi udara segera bagi mereka semua, senyum langsung terbit meski perut mulai bernyanyi dan serempak dengan semangat menjawab, siap bu, mengiringi kepergian guru dari kelas. Dan setelahnya mereka bergegas, berhamburan keluar kelas. Tujuan paling banyak ke kantin.
“Mau mesen apa Lo? “tanya Dzawin.
“Biasa. Gorengan aja.” Haikal bergumam pelan.
“Gorengan muluk, Lo. Gak ada daftar makanan lain apa? Dari kelas satu itu terus yang lo beli.”
Sebenarnya tidak ada makanan di kantin yang mampu menggugah nafsu makan, tapi sekolah baru pulang pukul satu siang, ya... Haikal tidak boleh egois pada perutnya.
“Emangnya Lo mau beli apa? “ tanya Haikal.
“Bang, Lo mau beli apa? “
“Hem, lontong sayur kayaknya enak,” kata Dzawan.
“Boleh juga sih. Tapi aku mau nasi uduk aja deh, biar kenyang.”
“Ketiganya lalu berpisah ke warung-warung yang menjadi tujuan mereka. Setelah mendapat makanan di tangan, mereka kembali berkumpul, duduk di satu meja.
“Banyak banget Kal, beli gorengnya.” Dzawin berbasa-basi.
“Iya gue sengaja, karena gue tahu, ada teman gue yang celamitan pengen minta tapi sok kasih kode.”
Dzawin terkekeh. “Tempe hangat tuh, Kal.”
“Ambil aja.” Haikal menggeser piring berisi goreng miliknya ke arah Dzawin yang duduk di sebelah Dzawan.
“Thanks, Kal.”
“Yoi.”
“Wan, ambil gih satu. Terserah mau yang mana.” Haikal juga menyodorkan gorengnya pada Dzawan yang nampak lahap menyeruput kuah bersantan dengan warna merah merona.
“Gak deh. Gue lagi fokus sama lontong sayur bi Inam. Enaknya nampol.”
“Serius, Bang? Cobaain dong.”
“Gak boleh!” Secepat kilat Dzawan langsung menjauhkan mangkuknya dari Dzawin. “Gue cuman review bukan buka tester.”
Dzawin memutar bola matanya, “Coba dikit aja sih.”
“Beli sendiri.” Dzawan sedikit mengeser bentuk duduknya setengah membelakangi Dzawin.
“Kakak tiri Lo.” Dzawin manyun, mengigit kuat tempe goreng di tangannya.
Haikal tidak ingin mengurusi berdebat dua kembar itu, dan sibuk dengan gorengnya sendiri, sesekali ia menyeruput es teh yang dia beli jika rasa pedas cabe rawit mulai terasa di mulutnya.
“Kal, seharusnya Lo makan nasi,” kata Dzawan tiba-tiba, dengan mulut menguyah pelan.
Haikal menoleh, menunggu kalimat selanjut yang ingin Dzawan sampaikan setelah mulutnya kosong.
“Gue baru ingat mau tadi pas habis upacara, di manding ada pengumuman, katanya anak yang gak ada ekstrakurikuler harus ngumpul di lab sekolah setelag pulang sekolah.”
“Ck! “Haikal spontan berdecak.
“Nah Lo, Kal. Akhirnya Lo masuk ekstrakurikuler antabranta juga. Siapkan mentalmu kusangka..” Dzawin malah terkekeh.
“Valid gak nih informasi? “tanya Haikal lagi. Hanya memastikan.
“99 persen valid. Tapi buat satu persennya tunggu pengumuman sepulang sekolah.”
“Yang sabar ya,” celetuk Dzawin, pura-pura perhatian.
Haikal mengabaikan suara cekikikan Dzawin, kembali mengunyah gorengan dengan ritme pelan, sekilas Haikal terlihat seperti termenung padahal, dia tidak memikirkan apa pun dan hanya diam saja.
“Udah jangan parno gitu, dong.” Dzawan menepuk pelan bahu Haikal, setelah selesai dengan lontong sayur dan ditutup segelas es teh hangat, menguatkan.
“Udah Kal, terima aja, namanya takdir. Manusia bisa berusaha, tapi hasil akhir tetap Allah yang tentukan,” tambah Dzawin kali ini terdengar layaknya para filsuf yang sebelah tangannya memegang buku tebal dan sebelahnya lagi bergerak mengikuti nada suaranya, naik-turun
“Udah Kal, terima aja, namanya takdir. Manusia bisa berusaha, tapi hasil akhir tetap sang Maha Kuasa yang tentukan,” tambah Dzawin kali ini terdengar layaknya para filsuf abad kuno dengan jenggot panjang, baju kain dililit, yang sebelah tangannya memegang buku tebal dan sebelahnya lagi bergerak naik-turun mengikuti nada suaranya. Dan ya, Haikal membayangkan ada sejenis lampu bulat yang melayang di atas kepala Dzawin, menyala terang.
“Ye, malah senyam-senyum.” Dahi Dzawin berlipat, tidak sadar kalo dialah objek yang membuat Haikal tertawa. “Bang, coba cek dahinya, panas dalam keknya.”
Dan lugunya Dzawan langsung menurut saja. “Gak panas kok.”
“Serius, Bang?” Dzawin spontan berdiri, menyodorkan tangannya dari bokongnya berpindah ke dahi Haikal.
“s**l, Lo, Win!” Haikal menepis tangan Dzawin menjauh dari keningnya.
“Aman. Suhu badan Lo gak panas b****g gue,” kata Dzawin sok lugu.
“Enak aja suhu badan gue, Lo samain sama b****g Lo.”
Mulut Dzawin mengembang, menahan tawa, sedangkan di sebelahnya, Dzawan sudah tertawa lepas. Haikal akhirnya ikut tertawa, sangat bahagia.
Tapi tawa itu langsung kandas, saat suara menyerupai bunyi palang pintu kereta dengan tempo cepat, terdengar dari arah kursi belakang, memunculkan kembali semua kenangan sedih saat ia kehilangan ibunya. Haikal ingat betul, suara itu. Suara itu mengiang di kepala Haikal, semua rasa sedih, berlomba naik, memenuhi kepalanya.
“Suara ponsel siapa sih, deringnya kayak ambulan gitu? “tanya Dzawin kepo, menoleh, mencari sumber suara.
“Oh suara ringtone hp Roni toh. Ada-ada aja dah ketua kelas itu. Bikin kaget aja.”
Dawan dan Dzawin terkekeh, mereka tidak menyadari, Haikal sedang melawan rasa sedih yang ingin kembali menenggelamkannya.
**