| Kesepakatan

1335 Kata
“Aku pernah bilang, kan? Kalau mau pergi ke tempat seperti itu harus sama aku?” kata Gio mengintimidasi Val. Mata Val sudah berat sekali dan dia kelelahan. Ternyata begini merasakan kemarahan suaminya. Tidak dengan kata-kata atau menyakiti fisik tapi dengan memaksakan kehendak seperti ini. “Aku … minta maaf Gio. Sungguh aku minta maaf. Aku …” Val membalikkan tubuhnya dan kini dia dan Gio saling berhadapan dalam posisi miring di kasur. “Itu karena kamu jahat tau tidak? Kamu bikin aku kesepian dan kedinginan setiap malam. Kamu pikir karena siapa aku jadi tergantung sama keberadaanmu? Setiap malam Gio! Setiap malam aku nangis sampai ketiduran. Setiap malam, tau tidak!” Val memukuli dadaa suaminya dan Gio menerimanya tanpa menghindar. Dibiarkannya Val lelah sendiri dan menghentikan pukulannya. Lalu dia memeluk tubuh Val yang terisak kuat-kuat. “Maafkan aku. Untuk kesalahan itu aku minta maaf. Aku sama sepertimu Val, setiap malam juga memikirkan kamu. mau menelepon takut kamu sudah tidur. Dan akhirnya aku tertidur karena lelah membayangkan ingin menemuimu.” “Apa kamu nggak bisa di Jakarta saja? Kamu direktur, kamu punya bawahan. Kenapa harus kamu yang pergi ke sana kemari?” Gio terdiam, dia nggak bisa mengatakan alasannya. Dia nggak tahu apa Val akan paham atau tidak kalau dia bilang alasannya. “Kamu boleh sesekali ikut. Anggap saja bulan madu kita lagi.” Val mencubit dadaa suaminya. “Kamu yang melarangku. Masa nggak ingat.” “Aku … takut nggak bisa konsen kerja kalau ada kamu di sekelilingku.” “Kalau gitu aku nggak usah ikut.” “Tapi aku lebih nggak bisa konsen kerja karena nggak tahu kamu ngapain aja kalau nggak ada aku. Dan feeling aku benar, kan? Kamu ngapa-ngapain selama aku pergi.” “Itu karena teman-teman aku yang ngajak. Dan aku juga belum pernah ke tempat seperti itu,” kata Val manyun. “Terus, sekarang gimana rasanya setelah tahu?” Val mengangkat wajah dan mencium dagu suaminya yang sedikit kasar. Bulu-bulu halus di kulit wajah Gio bermunculan. Sejak kapan Gio lupa bercukur? Biasanya dia rajin cukur tiap pagi. Val baru sadar kalau penampilan suaminya juga sedikit kusam. “Aku maunya pergi sama kamu. Biar bisa turun ke dance floor. Mmm, Gio. Apa kamu mau pergi lagi setelah ini?” Gio melepaskan pelukannya. “Aku cuti hari ini. Proyekku sudah selesai. Jadi aku mau menghabiskan waktu seharian sama kamu.” Gio mendekatkan bibirnya ke bibir Val. Baiklah, sepertinya pagi ini Val memang nggak akan bisa kuliah. * Val tahu kalau Gio masih cemburu. Tapi memaksanya berangkat kuliah di mata kuliah terakhir hari ini sungguh nggak masuk akal. “Aku cape Gio! Memangnya gara-gara siapa aku sampai tepar kayak sekarang?” “Ayolah, Val … kamu nggak selemah itu. Biasanya kita lebih parah dan kamu masih bisa lari, kok. Semalam aku nggak beneran menghabisimu.” “Oh, ya? Nggak menghabisi gimana?” Val menarik turun leher kaosnya. Memperlihatkan bekas-bekas merah di lehernya yang kini sudah menghitam. “Ini di permukaan, belum di dalam. Kamu dah bikin aku kayak macan tutul!” Gio tergelak lalu mendekat pada istrinya yang pagi itu kelihatan seksi sekali dengan kaus putih ketat dan celana pendek. Gio memang meminta Val berpakaian yang terbuka kalau mereka sedang berdua. Keluar dari kamar, Val harus mengganti celananya dengan yang lebih panjang. “Mama macan. Manis cantik. Rasamu memang manis dan kamu cantik. Menyesal aku nggak menghabisimu semalam.” Gio menyasar lagi leher istrinya. “No! Kalau kamu nyuruh aku kuliah, jangan bikin tanda baru. Yang ini saja sudah bakalan sulit aku umpetin.” “Baumu enak,” Gio tetap menyasar leher istrinya. “Giooo!” erang Val. “Oke, oke. Aku keluar saja. Tadi pagi kita nggak sarapan bareng Mama Papa dan sampai siang gini kita juga nggak keluar kamar. Heran saja Mama nggak manggil-manggil, biasanya paling berisik dia.” “Mama pengertian. Tahu kalau anaknya butuh di charge full hari ini.” Gio nyengir. “Pinter jawab kamu sekarang, ya. Aku tunggu di bawah, ya?” Sebelum terjadi lagi hal-hal yang bikin Gio dan Val harus mandi lagi, cepat-cepat Gio keluar kamar dan menuruni anak tangga untuk mencari mamanya. Dia menemukan kedua orangtuanya sedang bersantai di taman samping. “Turun juga akhirnya jagoan! Kamu bikin KO di ronde ke berapa istrimu itu?” goda Papa. “Masih bisa jalan ke kampus, kok, Pa. Nggak saya bikin KO banget. By the way, makasih, ya, Ma udah ngasih tahu saya.” Gio mendekati wanita yang sudah membersamainya selama puluhan tahun dan mencium pipinya. “Val nggak tahu, kan? Mama takut dia marah sama Mama. Tapi Mama nggak tenang kalau tahu dia pergi sama temen-temennya. Dulu sama Emily kan begitu. Awalnya pergi sama temen-temen dan setelahnya kebablasan. Dan sekarang, kita kehilangan dia,” kata Mama sedih. “Ssstt, sudahlah, Ma. Kalau cuma bikin Mama sedih lebih baik nggak mengungkit soal dia. Kita ngobrolin dia kalau itu bikin Mama bahagia saja. Mmm, Mama masih nengokin Kakak, kan?” Gio duduk di samping mamanya. Mama mengangguk. “Setidaknya seminggu sekali Mama tengok. Papa juga. Cuma Papa nggak berani masuk.” “Papa merasa bersalah tiap kali melihat dia. Karena terlalu sibuk bekerja sampai nggak memperhaitkan kebutuhan anak yang nggak melulu soal duit dan duit,” kata Papa lemah. Emily adalah kesalahannya. Dan dia masih menyesali tentang putrinya sampai sekarang. “Kalau Papa kemarin ikut, Papa mungkin bisa melihat Emily yang sekarang sudah banyak berubah. Kemarin dia sudah mulai mengenali Mama. Biasanya dia nggak kenal siapa-siapa dan cuma ingat nama Gio.” Gio mengangguk-angguk. Bisa dibayangkan kalau sampai dia ikut menjenguk Emilly, pasti kakaknya itu bakalan histeris. Kakaknya harus belajar melupakan Gio dan terutama melupakan ketergantungannya pada sentuhan Gio. “Semoga saya juga bisa bertemu Kakak tanpa perasaan was-was. Dan kita bisa berkumpul kembali sebagai keluarga.” Mama mendesah. “Sejujurnya, Mama masih takut sama perbuatan kakakmu. Kalau dia pulang nanti, apa nggak sebaiknya kamu pindah dari rumah ini, Gio? Dia pasti akan melihat betapa dekatnya kamu dan Val dan Mama takut dia mencelakai Val lagi.” “Apa Kakak sudah mau pulang?” Mama mengedikkan bahu. “Mama berharap dia bisa pulang dan kita berkumpul lagi. Mama ingin merawat dia dengan tangan sendiri sebelum Mama meninggal. Sejujurnya Mama paling merasa bersalah dengan keadaan Emily. Mama ingin mengganti hari-hari yang hilang darinya.” Gio merangkul tubuh Mama dan mendesah. Kekhawatirannya bertambah sekarang. Kalau sampai Emily pulang, dia nggak bisa melepaskan pengawasannya dari Val. Takut kalau sampai kakaknya itu kembali melakukan sesuatu yang berbahaya pada istrinya. “Kita pikirin lagi hal ini nanti kalau Kakak beneran mau pulang. Mmm, apa belum waktunya makan siang sekarang? Saya lapar sekali,” tanya Gio mengalihkan perhatian. “Ya gimana nggak lapar kalau tenaga terkuras habis semalaman,” canda papanya. “Ah, Papa kayak nggak pernah muda saja.” “Tapi mau dibuang sampai kapan benih kamu itu Gio? Keburu nggak ada sisa buat jadi cucu Mama nanti.” Gio terdiam lalu memeluk tubuh mamanya lagi. “Sabar, ya, Ma. Mantu Mama itu masih ABG. Pikirannya masih senang-senang. Saya juga nggak mau membebani dia untuk mengurus anak. Seharusnya ini masa dia buat bersenang-senang dan menikmati suasana kampus. Kalau saja dia belum jadi istri saya, mungkin saya juga nggak akan semarah ini waktu tahu dia pergi ke klub bareng temennya. Mungkin saya harus memberi Val sedikit kelonggaran soal itu.” “Kamu serius?” tanya mamanya sambil melepaskan diri dari pelukan Gio. “Yaaa … tentu saja dengan banyak aturan ini dan itu, Ma. Nggak asal memberi izin begitu saja. Namanya anak ABG, pasti butuh kebebassn untuk berekspresi, kan, Ma?” “Siapa yang kamu maksud dengan ABG, Gio?” tanya Val tiba-tiba. Gio menoleh dan melihat tubuh istrinya sudah berdiri di ambang pintu. Val segar sekali. Seperti bunga yang baru mekar pertama kali. Padahal semalam Gio sudah mengisap madunya berkali-kali. Tapi Val seperti punya pabrik madu yang terus mengisi ulang tiap kali Gio merasai. “Tentu kamu sayang, kamu, kan ABG. Ayangnya Bang Gio,” kelakar lelaki itu. Bikin Mama dan Papa mengulum senyum dan Val memanyunkan bibirnya lima senti.©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN