Tito memerhatikan gadis muda yang duduk di bangku taman depan gedung. Seperti pertemuan mereka yang pertama, gadis itu sedang membaca buku. Tapi kali ini nggak kebalik. Dan seperti pertemuan sebelumnya, gadis itu terlihat menarik karena ketidakpeduliannya. Berbeda dengan kedua teman yang selalu bersamanya atau rata-rata gadis muda yang ikut kuliahnya, gadis ini seolah nggak menunjukkan minat padanya. Membuat Tito penasaran saja.
“Sepertinya dia sudah punya pasangan atau tunangan,” kata suara yang muncul dari sebelah kanannya.
Tito menolah. Bu Fatma berdir di sampingnya sambil memandang ke bangku tempat Val duduk. Mereka berdiri di tepi jendela besar ruang dosen.
“Oh. Kenapa Ibu bilang begitu?”
“Saya pernah beberapa kali melihat dia diantar lelaki dan yaaa … mereka tampak serasi. Satu cantik satu ganteng.” Bu Fatma menoleh ke arah Pak Tito. “Maaf, Pak tapi ini yang kedua kali saya melihat Bapak berdiri di sini dan memerhatikan ke arah Valerie.”
“Anda bahkan hapal namanya.”
“Dia cukup menjadi perbincangan di antara dosen. Nilai-nilainya cemerlang.” Bu Fatma tersenyum. “Dan saya sering mendengar obrolan mahasiswa saya kalau dia salah satu siswi cantik yang susah didekati.”
Pak Tito membalas senyumannya. “Anda tahu sekali informasi yang beredar di kampus.”
Wanita tiga puluhan itu mengedikkan bahu. “Itu sebabnya dosen-dosen bilang saya directory jurusan. Bukan nggak ada alasan, kan saya memperoleh julukan itu?” katanya sembari meninggalkan Tito yang masih memerhatikan Valerie.
“Hhh, sudah punya pacar. Sudah punya suami pun masih bisa aku dekatin kok.”
Bukan baru kali ini ada mahasiswi yang nggak peduli pada dirinya. Tapi Valerie adalah tipe idealnya. Bukan cuma cantik, tapi dia juga cerdas. Dari penampilannya, sepertinya dia juga berasal dari keluarga berada. Tito pikir, ini saat yang tepat untuk mengakhiri petualangannya sebagai dosen playboy. Targetnya sudah ditetapkan. Dia akan mulai mengejar gadis itu.
*
“Val kamu seriusan nggak tertarik sama Pak Tito?”
Gadis itu menggeleng dan tersenyum samar. “Buat kalian saja.”
“Beuh, ngomongnya kayak Pak Tito itu ciki dua rebu perak aja.”
Val tersenyum. Entah gimana lagi caranya untuk meyakinkan kalau dia emang nggak minat mengejar Pak Tito. Mai bilang, makin banyak persaingan makin seru. Berasa maen squid game dengan Pak Tito hadiah utamanya.
“Kayak gimana, sih pacar kamu? Sampai segininya setia. Nggak papa lagi, Val kalau cuma ngeceng-ngeceng dikit aja,” rayu Poppy, dia memang paling getol memengaruhi Val selingkuh.
Kalau saja Poppy tahu dia dan Gio sudah menikah, mungkin nggak akan gadis yang akhir-akhir ini berpenampilan lebih modis ini meracuninya untuk berbuat curang. Dan kalau dia ketemu Gio, mungkin dia bakal tahu buat apa lelaki lain kalau Gio saja sudah sempurna untuknya.
Hati Val mendadak perih, dia merindukan Gio teramat sangat. Sudah lewat beberapa hari dari terakhir kali suaminya mendadak pulang dan setiap kali, Gio hanya bilang ‘sabar’ kalau Val merengek kangen. Kalau malam-malam di kamar sendirian, dia kadang menangis karena tak bisa menahan rasa rindu yang semakin membesar setiap harinya. Terkadang Val merasa Gio sedang menghukumnya karena dia juga pernah berbuat begini. Di awal kuliahnya dulu, dia memilih kos daripada tinggal bersama Gio padahal mereka sudah menikah.
“Val! Oiiii, Val” Mai menjentikkan jarinya di depan wajah Val. Gadis itu sedang bengong dan terlalu dalam melamun.
“Eh, kenapa, kenapa?” tanya Val berusaha memperbaiki fokusnya.
“Kamu bengong parah! Mikirin apa, sih?”
“Eng, enggak. Nggak mikir apa-apa, kok. Kenapa emang?”
“Mai tadi ngajak dugem. Malam ladies, nih! Kamu udah pernah ajep-ajep?”
Val menggeleng. Selama bersama Gio, belum pernah dia ke tempat begituan. Pernah Gio menjanjikannya tapi belum pernah menepatinya.
“Ya udah, kita cabs yuk ntar malam. Kasih tau aku di mana rumahmu nanti kujemput,” kata Poppy sambil bersiap berdiri. Mata kuliahnya sudah habis dan dia mau pulang duluan. Berbeda dengan Val dan Mai, masih ada mata kuliah satu lagi baru mereka bebas bisa ke mana saja.
Minta izin mamanya Gio nggak sulit. Wanita itu pengertian sekali. Tapi dia belum pernah izin keluar selama Gio nggak di rumah. Dan ini mau dugem, Val nggak enak hati. Tapi godaan dari temannya bener-bener susah ditolak. Val ingin juga merasakan gimana dunia malam seperti yang sering dibilang teman-teman yang lain.
*
“Gio?” Val terkejut ketika pulang tengah malam dia mendapati Gio ada di kamar mereka. Lelaki itu sedang duduk di tepi ranjang dan langsung menatap tajam istrinya begitu wanita itu muncul.
Sewaktu pulang diantar Mai, Val langsung mengendap lewat belakang dan nggak memperhatikan ada berapa mobil di garasi mereka.
“Ka-kapan kamu pulang? Kok, nggak ngasih tau. Ngg, ini aku … “ Val kesulitan bicara untuk bilang baru ke mana saja dia barusan. Melihat muka Gio, Val merasa bersalah sekali karena nggak ngasih tau suaminya dia mau pergi ke mana.
Sepertinya Gio marah. Val menggigit bibir untuk meredakan cemas. Tapi dia nggak mau minta maaf. Gio sudah bikin dia kesepian dan menangis karena menahan rindu. Val juga berhak bersenang-senang karena ini memang masanya. Kemarahan mendadak menggelegak dalam daadanya dan dia siap untuk menyerang.
Namun dilihatnya lelaki itu bangkit dari duduknya dan menghampiri Val.
“Aku memaafkanmu,” kata Gio sembari memeluk istrinya dan menciumi rambutnya.
Kemarahan yang tadi siap dimuntahkan mendadak luruh dan Val terisak di dadaa suaminya. Ternyata dia benar-benar merindui lelaki ini dan bersentuhan dengannya membuat pertahanannya runtuh.
“Aku … aku kangen banget sama kamu, Gio. Kamu nggak tahu gimana aku sendirian tiap malam.” Val bertukar kehangatan dengan tubuh suaminya. Melesakk semakin dalam ke pelukan Gio dan melingkarkan tangan di pinggang lelaki itu.
“Kamu bau asap rokok. Aku mandikan kamu.”
Gio tak membalas perasaan rindu Val dan malah membopong istrinya ke kamar mandi. Val menyerah pada keinginan suaminya. Dia bersalah, jadi malam ini dia akan menuruti semua keinginan Gio untuk menebusnya.
Di kamar mandi, Gio menurunkan tubuh istrinya dan mengamatinya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Aku nggak suka baju kamu. Terlalu ketat. Dan aku kesal kalau membayangkan mata laki-laki yang ngeliatin kamu.”
“Gio … ini …”
Gio merobek baju milik Val sebelum istrinya selesai bicara. Val mendesah, nggak tahu harus bagaimana mengatakan pada Mai kalau baju pinjamannya disobek suaminya.
Lelaki itu menaikkan Val ke meja counter dan mulai menciumi tubuh istrinya. Tangan bergerilya dan merobek tong merah menyala yang dikenakan oleh Val. Itu juga milik Mai. Katanya, untuk mempercantik penampilan supaya tidak kelihatan garis pakaian dalam ketika mengenakan gaun tipis yang melekat di kulit itu. Yang terakhir, Gio merenggut braa tanpa tali yang satu ukuran lebih kecil sehingga cupnya terlihat kepenuhan. Supaya lebih seksi, kata Mai.
“Untuk siapa kamu mengenakan semua ini, hmm? Kalau untukku, kamu lebih cantik nggak pake apa-apa,” geram Gio. Lagi-lagi Val pasrah. Dia menyerahkan diri sepenuhnya pada lelaki yang lebih berhak.
Dan ketika Gio melebarkan kedua pahanya, Val sudah tak peduli lagi. Malam ini dia menjadi tawanan suaminya dan tak peduli kalau besok dia nggak bisa bangun dan harus bolos kuliah.©