| Aku mau

1193 Kata
"Anna Karenina? Mm, sepertinya kamu penggemar n****+ klasik? Atau penggemar Tolstoy?” Senyuman kharismatik dosen muda itu langsung menyirami Val yang mendongakkan kepalanya. Dia sempat melongo beberapa saat entah karena alasan apa. Bisa jadi karena Pak Tito tahu soal n****+ yang sedang dia baca, bisa jadi juga karena dia terpukau oleh wajah semi oriental yang digilai mahasiswi jurusannya. “Se-selamat pagi, Pak,” sapa Val sambil berdiri dan membetulkan letak tas selempangnya. “Kamu belum menjawab pertanyaan saya.” Pak Tito tak membalas sapaan malah menuntut hal lain pada gadis itu. Kakinya selangkah lebih dekat ke hadapan Val. Val risi dengan jarak mereka yang menurutnya nggak aman. Bahkan Val bisa merasai aroma peppermint dari embusan napas Pak Tito. “Pe-pertanyaan yang mana, Pak?” tanya Val gugup. “Kamu suka n****+ klasik? Atau suka Tolstoy? Atau kamu suka n****+ tentang perselingkuhan? Anna Karenina bukan cerita romansa biasa. Gadis seumuran kamu biasanya suka n****+ manis yang mampu membuat pembacanya berfantasi sampai bulan.” Val memaksakan senyumnya dan mundur selangkah. “Saya penggemar Keira Knightley. Saya suka aktingnya sebagai Anna. Membaca novelnya karena saya nggak puas liat filmnya. Permisi, Pak.” Val buru-buru pergi dari hadapan dosen yang menurutnya sedang mengejarnya. Beberapa kali momen seperti ini sering mempertemukan mereka. Bikin Val jadi risi. Apa Pak Tito mengikuti pergerakannya selama di kampus? Karena dia selau muncul di saat Val sendirian. Sepeninggal Val, lelaki itu lagi-lagi mengumpat. Sama seperti usaha-usaha sebelumnya, daya pikat dosen muda ini belum mampu membuat mahasiswi yang satu ini jatuh hati padanya. Bukan hanya Val yang bersikap nggak peduli ketika ada dia di sekitar mereka, tapi hanya Val yang mampu mengusik perasaannya setelah tiga tahun menduda. “Sial! Susah amat deketin dia. Harus pakai cara apa lagi? Jadi penasaran sama pacarnya. Kayak apa, sih sampai Valerie nggak melirik lelaki lain.” Beberapa kali melihat Val diantar sebuah mobil hitam, tapi Pak Tito nggak berhasil melihat lelaki di balik kemudi. Yang dia lihat hanya wajah semringah Val dan juga betapa gadis itu bahagia dan enggan berpisah dengan kekasihnya. Mereka berciuman nggak cukup sekali. Bahkan pernah mereka pergi lagi dari kampus karena nggak berhasil saling melepaskan diri. Membuat Pak Tito iri saja dan membayangkan yang enggak-enggak soal Val. Apa yang mereka lakukan sampai pergi lagi dari kampus? “Pagi, Pak!” Sapaan mahasiswi yang melintas membuat lamunan Pak Tito buyar. Dia tersenyum pada mereka lalu memutuskan pergi untuk mengisi kepalanya dengan kafein dan nikotin. * “Halo!” sapaan lembut lelaki membuat tiga gadis di meja kantin menoleh padanya. “Gio!” pekik Val langsung berdiri dan spontan memeluk lelaki itu. Ulahnya membuat dia menjadi pusat perhatian anak-anak di kantin. “Semua orang melihat kita Val,” bisik Gio di telinga Val dan membalas pelukan istrinya. Tapi Val langsung melepaskan diri dan menarik Gio ke kursi di sebelahnya. Dipandanginya penuh rindu dan cinta suami yang baru ditinggalkannya beberapa jam lalu. “Kamu ngapain di sini?” tanyanya antusias. “Kalau tau reaksi kamu seperti ini, aku bakalan sering-sering nyamperin kamu di kampus. Menyamar jadi mahasiswa kalau perlu dan ikut kuliah. Aku masih pantas, kan?” “Awas kalau berani!” ancam Val sambil melotot galak. “Kenapa emangnya? Kamu takut, ya?” cengiran Gio bikin Val ingin menaiki lelaki itu dan membuatnya nggak berdaya. Gemas sekali. “Ehem!” Val menoleh dan nyengir lebar. Lupa kalau mereka nggak cuma berdua di kantin ini. “Bayar kontrakan sama siapa, ya?” sindir Mai. “Pindah ajalah aku ke Mars, di sana masih gratis. Kalau alien yang jatuh cinta, nggak perlu bayar uang sewa,” lanjut Poppy. Val nyengir malu. Dipandanginya Gio yang juga tersenyum padanya. Mata lelaki itu tak pernah luput dari gerak-gerik istrinya. “Girls, ini cowok gue. Geovan. Tapi kalian boleh manggil dia Gio. Dia … udah kerja,” kata Val sedikit canggung dengan status Gio. “Wow! Pantesan kamu nggak mau sama mahasiswa kampus, suka yang mapan rupanya!” celetuk Mai, bikin Val makin salah tingkah. “Mas Gio, Mas Gio. Ada kenalan nggak di kantornya? Yang kayak Mas Gio gantengnya. Terus kalau bisa duda, Mas! Hihihi. Kalau ada kasih ke Poppy satu, ya, Mas.” “Dua, Mas. Mai mau juga, dong! Nggak duda nggak masalah, deh kalau 11 12 sama Mas Gio.” Kedua gadis itu cekikikan menggoda Gio. Val langsung kasih kode-kode darurat supaya obrolan semacam itu jangan dilanjut. “Ada,” kata Gio nggak disangka. “Banyak kalau duda, sih.” “Wah beneran! Ganteng juga?” tanya Mai antusias. “11 12 lah sama saya!” “Mau, dong, Mas! Mau! Beneran temen Mas Gio?” “Manajer di kantor saya,” kata Gio kalem. Kedua gadis di hadapannya makin berbinar. “Ayo, kapan dikenalin nih Mas?” “Beneran mau?” tanya Gio memastikan. Keduanya mengangguk. “Udah punya cucu nggak masalah? Sebentar lagi juga pensiun.” Langsung Val ngakak melihat perubahan wajah kedua teman baiknya itu. Sementara Mai dan Poppy manyun maksimal begitu sadar kalau baru saja dikerjai Gio. Gio jadi merasa bersalah sudah mengerjai mereka. “Kamu masih ada kuliah lagi habis ini, Val?” tanyanya. Val menggeleng. “Mau jalan-jalan? Aku traktir kamu sama temanmu di mana aja terserah. Kalian belum kenyang, kan? Kayaknya enggak lagi makan berat.” Gio memperhatikan makanan dan minuman yang ada di meja. Juice dan kentang goreng. “Kalian mau?” tanya Val pada kedua temannya. Gio pernah berjanji akan mentraktir mereka kalau ketemuan. Val nggak menyangka akan secepat ini. Kedua temannya mengangguk. Jelas mereka mau, dong. Meski mereka bukan berasal dari keluarga yang pas-pasan, bahkan Poppy, meski dia ngekos di Jakarta ini, tapi orangtuanya membelikan dia mobil. Tapi kalau ditraktir itu urusan lain. * “Sepertinya aku mau,” kata Val di pelukan Gio selepas pertukaran suhu tubuh mereka usai. Val bahagia sekali beberapa hari ini. Setelah proyek yang memakan waktu, Gio lebih santai dan sering menjemput Val. Bahkan waktu kebersamaan mereka lebih banyak. Rasanya Val seperti dimanjakan sekali oleh lelakinya ini. “Mau apa?” tanya Gio, dikecupnya kening Val lama. “Punya anak dari kamu. Hari ini aku nggak minum pil KB.” Gio memundurkan tubuhnya dan memandang mata Val cukup dalam. Meyakinkan diri sendiri kalau apa yang dikatakan istrinya benar dan dia nggak salah dengar. “Jadi yang tadi itu ada kemungkinan …” Val tersenyum dan mengangguk. Gio menepuk keningnya. “Kenapa kamu nggak bilang? Kan aku nggak persiapan jadinya.” “Persiapan apa sih? Kan sama aja yang masuk kayak biasanya.” “Ya, tapi kan bukan kualitas prima, Sayang!” Gio mengecup gemas bibir istrinya. “Dan nggak maksimal juga tadi nyemprotnya.” “Kok, bisa nggak maksimal?” Gio nyengir-nyengir mencurigakan lalu melepaskan tubuhnya dari pelukan Val. “Aku minum suplemen dulu, ya. Abis itu kita gas lagi!” katanya sembari mengedipkan mata dan berlari kecil menuju pintu kamar. “Gio!” teriak Val. Lelaki itu menghentikan langkah dan sedikit khawatir dengan teriakan istrinya. Apa dia bakal menolak karena barusan sudah dibikin KO beberapa kali? Apa dia harus menunggu sampai besok lagi? Tapi … “Kenapa, Sayang?” tanyanya was-was sembari membalikkan tubuh. “Kamu yakin mau keluar kamar nggak pake celana?” tunjuk Val pada adik kecil Gio yang lemas.©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN