| Ada Apa dengan Mama

1492 Kata
Gio merasa, suasana rumah sedikit kaku akhir-akhir ini. Entah apa yang terjadi sama kedua orangtuanya. Yang Gio rasakan, Mama jadi sering melamun dan Papa jadi sering jalan mondar-mandir. Menandakan kalau lelaki itu dalam keadaan gelisah dan ada yang mengganggu pikirannya. Dan kalau Gio tanya ada apa, mereka berdua tiba-tiba berubah jadi fokus dan buru-buru mengalihkan pembicaraan. “Kamu ngerasa ada yang aneh nggak sama Mama Papa. Seperti ada yang terjadi di rumah ini dan mereka berusaha menyembunyikannya. Coba kapan gitu kamu tanya sama pelayan, siapa tahu ada yang bisa kasih bocoran.” Val tertegun beberapa saat, seperti sedang memikirkan sesuatu. “Iya, sih. Aku juga mau bahas ini sama kamu. Kapan hari gitu, aku pernah mergokin Mama lagi nangis sambil nelepon. Pas aku nanya, katanya cuma lagi kangen sama keluarga di kampung. Emang Mama masih punya kampung? Kupikir keluarga Mama sudah pindah Jakarta semua.” Gio menatap istrinya dalam, lalu duduk di samping istrinya di ranjang mereka. “Berarti memang benar ada sesuatu ya? Apa menurutmu selama ini aku terlalu sibuk sampai nggak sadar Mama sama Papa mengalami sesuatu yang besar?” “Kamu bikin aku merasa bersalah juga Gio.” “Lho, kenapa?” “Selama ini kita sibuk sama urusan kita berdua saja. Aku sama kuliahku, kamu sama kerjaanmu, kita sama rencana produksi anak. Sampai lupa kalau di rumah ini ada keluarga yang harus diperhatikan.” Gio merangkul istrinya dan mendesah. “Kamu benar. Besok pagi kita coba tanya mereka pelan-pelan.” Melintas dalam benak Gio, kalau yang terjadi pada Mama dan Papa ada hubungannya dengan Emily. Keesokan paginya saat sarapan, Gio membuka percakapan dengan menanyakan kabar kakaknya. Val melirik Gio dan merasa keberatan kalau nama itu disebut ketika sedang makan. Bikin napsu makannya hilang saja. Membayangkan kelakuan Gio dan Emily lalu mengingat bagaimana kakak angkat Gio itu berusaha menghabisi nyawanya, membuat Val sedikit mual. Tapi dia meyakinkan diri kalau ini bukan mual hamil. Terlalu dini untuk menyimpulkan soal itu. “Kamu kenapa, Val?” tanya Gio begitu melihat istrinya bangkit dari duduknya. “Tiba-tiba sakit perut. Maaf, aku ke atas dulu,” pamit Val. Dia enggan mendengar mereka membahas soal Emily. Sepeninggal Val, Gio melanjutkan pertanyaannya. “Jadi belum ada kabar lanjutan tentang perkembangan Kakak?” Mama menggeleng. Tangannya memegangi tengkuk seolah ada yang menyentuhnya di sana. “Masih seperti biasanya. Kita nggak bisa berharap banyak sama keadaan kakakmu Gio. Mungkin butuh waktu lebih banyak untuk dia sembuh.” “Saya yakin Kakak berada di tangan yang tepat. Mmm, menurut Mama … apa akan jadi masalah kalau saya menjenguk Kakak?” Gio memberanikan bertanya hal itu. Walau dia sendiri enggan untuk benar-benar menemui atau sekadar melihat kondisi Emily. “Eh, apa?! Jangan! Jangan lakukan itu!” teriak Mama histeris. Sungguh reaksi yang di luar dugaan Gio. Dia mengira Mama memang akan melarangnya tapi nggak histeris seperti ini juga sampai Papa harus menenangkannya. “Saya nggak akan menjenguk Kakak kalau Mama nggak suka.” Mama mengatur napasnya dan meneguk air putih yang disodorkan Papa. “Ya, memang sebaiknya jangan. Jangan pernah lakukan atau pikirkan itu Gio. Maaf … Mama cuma nggak bisa membayangkan bagaimana reaksi Emily. Dokter bilang sudah membaik tapi bagi Mama sama saja. Tapi jangan … jangan sampai dia melihatmu. Jangan lakukan itu. Berjanjilah kamu jangan ke sana Gio!” Mama meminta janji putranya dan memandang dengan tatapan memohon. “Saya janji, Ma. Kalau itu bisa membuat Mama tenang.” Mama mengangguk-angguk. “Ya, sebaiknya begitu. Jangan pernah ke sana.” Mama memijat keningnya perlahan. “Maaf … Mama merasa sedikit pusing. Mama ke kamar dulu. Kalian … selesaikanlah sarapannya.” Mama bangkit dari duduknya dan meninggalkan meja makan. Gio memandangi kepergian Mama dan merasa yakin, kalau memang ada sesuatu pada kakak angkatnya itu. Hanya saja Gio sudah berjanji nggak akan ke rumah sakit tempat dia dirawat. Dia emmang berjanji, tapi Val tidak. Gio ingin memastikan sesuatu. * “Ke rumah sakit tempat Emily berada? Kamu sadar apa permintaanmu itu kan?” tanya Val begitu Gio mengatakan keinginannya di saat dia mengantar Val ke kampus. “Hanya memastikan kondisi dia. Bertanya pada perawat atau dokter di sana. Bukan untuk hadap-hadapan langsung!” “Sama saja. Kalau saat itu Emily lagi berkeliaran di sekitar rumah sakit gimana? Nggak mungkin dia nggak ngenalin aku. Pasti dia ingat dengan baik wajah perempuan yang sudah ngambil adik kesayangannya ini.” Gio terkekeh. “Kamu cemburu?” “Cemburu! Huh! Aku takut,” kata Val lirih. Sosok Emily memang menakutkan baginya. Bagaimana bisa wanita yang terlihat cantik dan lembut seperti dia bisa berubah menjadi monster ketika melihat adik kesayangannya bersama wanita lain. Tapi kalau jiwanya sudah terganggu, apa saja menjadi mungkin. “Ya sudah, kita lupakan saja soal dia. Anggap memang nggak ada apa-apa sama dia. Dan keanehan Mama belum terpecahkan.” “Kalau kamu khawatir, biar nanti aku tanya Mama. Mungkin kalau aku bujukin, Mama mau terbuka sama aku.” Walau Val nggak yakin sama ucapannya, dia akan mencoba. Selama menikah dengan Gio, Val nggak pernah merasa dekat dengan mamanya Gio. Wanita itu seperti punya dinding yang tak kelihatan saat bersama Val. Kadang Val merasa kalau sebenarnya Mama nggak setuju dia menjadi istrinya Gio. “Terima kasih, Sayang.” Gio mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan istrinya. Mungkin nggak akan terjadi apa-apa ketika kedua wanita kesayangannya berbicara, tapi dia sangat menghargai niat istrinya. Gio paham sekali bagaimana mamanya itu. Walau nggak pernah dikatakan, tapi Gio tahu kalau Mama masih merasa sedih setiap kali melihat kemesraan dia dengan Val. Mungkin bagi Mama, seharusnya Emily yang ada di posisi Val. Walaupun Mama pernah sekarat karena perbuatan Emily, tetap saja Emily anak kandung Mama. Darah lebih kental dari pada air. “Jadi … bagaimana tawaran dosen kamu itu? Apa akan kamu jawab hari ini?” tanya Gio mengalihkan pembicaraan dan berusaha membuat suasana yang sempat suram menjadi sedikit bercahaya. “Mungkin aku bakal bilang iya sama dia kalau ketemu. Hari ini nggak ada kuliahnya dia. Tapi kami sering papasan nggak sengaja di sekitaran kampus.” “Semoga saja ini jadi awal yang bagus untuk masa depan Nyonya Gio,” ledeknya. “Mmm, apa aku bisa sedikit khawatir?” “Soal apa?” “Soal kamu kalau jadi asisten dosen. Pasti bakalan banyak mahasiswa yang menggoda kamu nantinya.” Val terkekeh. “Nggak mungkin banget. Kalau di kampus aku dikenal mahasiswi yang dingin dan jutek.” “Wah, aku baru tahu. Kok, bisa? Biasanya mahasiswi teladan suka banyak yang mendekati karena minta diajarin ini dan itu. Apalagi mahasiswi teladannya kayak kamu. Masa iya nggak ada yang tertarik?” Val hanya tersenyum saja menanggapi omongan Gio. Bakalan panjang kalau dia ceritakan nanti. Soal Pak Tito saja dia nggak memberikan deskripsi yang jelas tentang sosok dosennya itu selain kalau dia seorang master lulusan luar negeri. Mungkin Gio pikir kalau yang namanya dosen itu pasti sudah tua dan nggak menarik. Kalau sampai Gio tahu kalau Pak Tito 11 12 sama dirinya, bisa-bisa suaminya itu menarik izinnya. “Semua karena kamu, Gio. Karena kamu.” Val menoleh dan memandang suaminya penuh cinta. “Eh?” “Satu kampus tahu kalau aku ada pawangnya, jadi nggak ada yang berani deketin aku lagi.” Mau nggak mau Gio terbahak. “Baguslah kalau gitu. Aku bakalan sering-sering ke kampus kamu buat nunjukin diri kalau kamu emang udah nggak bisa diganggu gugat.” “Ya, ya, ya. Suka-suka kamu sajalah,” kata Val malas. * “Jadi begini rupanya. Pulang ke Indonesia diam-diam, nggak ngasih kabar sama siapa pun kalau kamu sudah kembali. Kenapa? Sudah lupa kalau punya keluarga di Indonesia?” tanya Argus menyindir lelaki di depannya. Sepupunya yang lama tinggal di luar negeri dan baru diketahui kalau ternyata sudah pulang ke Indonesia. “Aku mana tahu kalau kamu ternyata di Jakarta juga. Kirain betah di Bogor.” “Emang betah, kok. Ini karena pengen mandiri saja, jauh dari bayang-bayang Papa.” “Aku setuju. Laki-laki emang harus gitu.” “By the way, turut berduka soal istrimu. Maaf, aku nggak bisa ke sana.” “It’s oke. Resiko tinggal di negeri orang dan jauh dari keluarga. Kalau kamu datang pun nggak akan sempat buat melihat dia yang terakhir kali. Tapi aku bersyukur, warga Indonesia dan juga kenalan di sana baik-baik. Mereka bantu aku mengurusi segalanya.” “Kenapa nggak dibawa pulang saja jenazah istri dan bayi kalian?” Argus tahu dari mamanya kalau istri sepupunya ini meninggal ketika melahirkan bayi pertama mereka. Nyawa keduanya tak tertolong. “Biasalah. Masalah birokrasi dan juga soal biaya. Lagipula keluarganya sudah ikhlas.” “Syukurlah kalau semuanya terkendali. O, ya, ngomong-ngomong, kamu ngajar di mana?” “Kampus almamater. Tempat aku kuliah dulu!” “Wah, beruntung sekali bisa kembali ke sana. Di sana tempat kalian bertemu pertama kali, kan? Aku inget ceritanya. Kamu jadi asisten dosen dan dia salah satu mahasiswi yang kamu ajar. Luar biasa. Semoga nanti terulang lagi. Kamu dapat jodoh pengganti dari mahasiswi yang kamu ajar juga.” Tito tersenyum simpul. Sosok Valerie berkelebat di kepalanya. Mungkin sudah takdirnya selalu terpikat sama mahasiswinya.©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN