| Perasaan Pak tito

1282 Kata
“Pak! Pak Tito!” panggil Val ketika dilihatnya dosennya itu melintas saat dia baru turun dari mobil Gio. Wanita muda itu berlari kecil menghampiri lelaki itu. “Pagi Valerie,” sapa Pak Tito ramah. “Eh, se-selamat pagi, Pak.” Val sedikit terengah ketika mereka akhirnya berhadapan. “Ada yang bisa saya bantu?” Pak Tito menduga kalau Val mencarinya mungkin ada kaitannya dengan tawarannya untuk menjadi asisten dosen. Menunggu jawaban dari Val seperti menunggu jawaban gadis itu akan pernyataan perasaannya saja. Pak Tito mendesah pelan. Val tipikal gadis yang mengingatkannya pada mantan istrinya dulu. “Mengenai tawaran Bapak untuk menjadi asisten Bapak semester nanti … saya bersedia, Pak.” Ingin rasanya Pak Tito bersorak dan mengepalkan tangannya tinggi-tinggi ke udara. Tapi nggak mungkin dilakukannya saat ini. Yang bisa dia lakukan hanya mengetatkan rahangnya dan meneriakkan ‘yess!’ dalam hati saja. “Mmm, baguslah.” Pak Tito berusaha keras menyembunyikan perasaan senangnya. “Ehem! Kamu bisa ambil materinya di ruangan saya kalau mau mempelajarinya.” “Secepat ini? Tapi masih semester ganjil nanti, kan, Pak.” “Eh, iya. Memang. Maksud saya, kalau kamu mau. Tapi kalau tidak, kamu bisa ambil kapan saja asalkan bilang dulu sama saya.” Val tersenyum cerah, senyum yang membuat Pak Tito seperti diselimuti cahaya menyilaukan yang hangat. Bahkan dia bisa merasakan kehangatannya menembus dadaanya dan bersemayam di sana. Membuat Pak Tito seperti melayang saja dan tanpa sadar dia mengembuskan napasnya. Mendesah dan berdoa semoga wanita muda di hadapannya ini bisa dia miliki segera. Sudah lama Pak Tito kesepian. Dan ketika dia menemukan kembali sebentuk keramaian dalam hatinya, itu adalah suara-suara yang berebut ingin keluar untuk menghujani Valerie dengan pernyataan cinta dan sayang. “Baiklah, Pak. Nanti saya akan hubungi Bapak lagi. Dan terima kasih untuk kesempatan yang sudah Bapak berikan.” “Sama-sama Valerie. Perasaan saya juga begitu. Saya berterima kasih kamu mau menerima perasaan saya.” Val bengong, Pak Tito ngomong apa sih? Kok, membahas perasaan segala? “Maaf, Pak. Saya nggak paham sama omongan Bapak barusan.” Segera saja Pak Tito memfokuskan diri dan mengerjapkan matanya berkali-kali.” “Eh, saya bilang apa barusan?” tanyanya. “Bapak bilang terima kasih soal perasaan. Saya pikir saya sedang menerima tawaran Bapak buat jadi asisten dosen. Apa saya salah sangka?” tanya Val sedikit khawatir. Dia takut ini jebakan Pak Tito untuknya. “Oh! Astaga. Maaf, maaf Valerie. Bapak sedikit melamun tadi. Maafkan saya. Tentu saja, saya berterima kasih karena kamu mau membantu saya menjadi asisten saya. Baiklah. Saya permisi,” kata Pak Tito buru-buru. Setelah menjauh dari Valerie, barulah pikiran Pak Tito terasa jernih sekali. “Bego amat ya aku. Kok bisa-bisanya ngomong soal perasaan gitu di depan Valerie. Kalau dia malah menjauh kan aku yang rugi. Dapat enggak di benci iya. Duh, Tito, Tito, udah mau karatan aja perasaan kamu sampai kehilangan kontrol di depan Valerie. Gini amat, ya kalau lagi jatuh cinta.” Pak Tito mengurut dadaanya perlahan. Diam-diam dia menoleh lagi ke arah tadi Val berada. Gadis itu sudah berjalan menjauh darinya. Pak Tito mengembuskan napas sedikit lega. “Melihat punggungnya saja sudah begitu bahagia apalagi kalau bisa memilikinya ya. Semoga saja Valerie nggak anti sama laki-laki yang beda umur jauh sama dia. Aku masih pantas, kan kalau jalan berdua sama dia?” “Jalan sama siapa maksud Bapak?” tanya seseorang yang tahu-tahu sudah berada di sebelahnya. Pak Tito menoleh dengan terkejut pada seorang wanita yang sedang mengamati sosok Valerie yang hampir hilang. “Itu Valerie kan? Jadi beneran Bapak suka sama gadis itu, ya?” tanya Bu Fatma memastikan. “Si-siapa bilang?” “Itu. Tadi Bapak nanya soal pantas enggaknya kalau jalan sama Valerie.” “Ibu dengar?” tanya Pak Tito nggak percaya. Bu Fatma tersenyum. Dia berjalan meninggalkan Pak Tito dan lelaki itu mengikutinya. “Masa sekeras itu saya ngomong.” “Kalau nggak keras saya nggak mungkin denger, Pak.” Di sampingnya, wanita seumuran Pak Tito itu mendengar lelaki yang digilai banyak mahasiswi dan dosen wanita single ini mendesah. “Nggak perlu malu sama saya. Sudah biasa lihat dosen suka sama mahasiswinya. Apalagi mahasiswi yang suka sama dosennya. Itu lebih banyak lagi. Tapi saya ingatkan saja. Perjuangan Bapak berat karena sepertinya pacar Valerie itu tipe lelaki idaman gadis muda seperti dia. Bakal susah mengalihkan perhatian dia ke Bapak. Kecuali memang Bapak punya sesuatu yang nggak dimiliki sama pacarnya.” “Seperti apa misalnya, Bu?” “Ya mana saya tahu. Bapak harus cari tahu sendirilah. Menurut Bapak kalau wanita muda kayak Valerie butuh apa dan kenapa dia mau pacaran sama pacarnya yang sekarang. Dan menurut Bapak, apa yang dibutuhkan perempuan di masa depan?” tanya Bu Fatma penuh misteri. Pak Tito menghentikan langkah dan melihat perempuan itu melambai padanya. Dia berdiri mematung mencoba mencerna ucapan Bu Fatma. Pak Tito menduga, sepertinya wanita itu tahu sesuatu yang penting yang nggak diketahui sama dirinya. “Aku harus baik-baikin Bu Fatma nih kayaknya. Biar dia cerita banyak soal Valerie,” katanya lirih. Kali ini beneran lirih sampai nyamuk di samping telinganya saja nggak akan bisa dengar. “Bu, Bu Fatma, tunggu, Bu!” teriaknya memanggil wanita yang sudah masuk pintu gedung tempat mereka mengajar. * “Kita harus kasih tau Gio, Pa! Harus kasih tahu dia soal Emily. Setidaknya Gio bisa bantu menemukan kakaknya dan waspada kalau sewaktu-waktu Emily muncul di depannya.” “Jangan, Ma. Nggak lihat Gio sekarang sedang fokus sama kerjaannya? Perusahaan kita maju lebih pesat dibanding ketika Papa pimpin dulu. Nggak pernah Papa lihat Gio seserius ini bekerja. Kalau kita ganggu, konsentrasinya bakalan buyar.” “Tapi ini udah kelamaan? Udah berapa lama Emily ada di luar sana? Sendirian dan nggak tahu selamat atau tidak. Anak itu sakit, Pa. Pikirannya sedang nggak sehat. Siapa pun bisa melakukan hal jahat padanya. Mama takut. Mama benar-benar khawatir.” “Mama jangan banyak mikir, nanti mereka berdua bakalan curiga. Lagian Papa sudah minta tolong sama Polisi untuk bantu menemukan Emily.” “Iya, tapi mana? Mana hasilnya, Pa? Orang suruhan Papa kerja apa enggak, sih? Jangan-jangan mereka cuma ngabisin uang Papa saja.” “Mama jangan gitu. Secepatnya kalau ada kabar soal Emily, kita pasti akan tahu, Ma. Jangan khawatir, anak kita itu cerdas, Dia pasti selamat dan mampu bertahan hidup.” Justru Papa yang mengkhawatirkan mereka-mereka yang bertemu dengan Emily. Putri kandungnya itu terlihat sanggup melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya. Termasuk menghilangkan nyawa seseorang. “Pa! Ma! Tolong Val sebentar, Ma, Pa!” teriakan dan ketukan Valerie di pintu membuat Mama menghapus air matanya cepat-cepat. “Buka pintu, Pa. Kayaknya ada yang penting. Mama cuci muka dulu sebentar,” kata Mama sambil berlari kecil ke kamar mandi. Papa berjalan ke pintu kamar mereka dan membukanya. “Kenapa, Val?” tanya Papa cemas karena melihat ekspresi panik menantunya. “Gio, Pa! Gio!” tunjuk Val ke arah kamar mereka. “Kenapa Gio?” Papa buru-buru ke kamar Val dan Gio diikuti Val yang berlari kecil di belakangnya. “Dari bangun tidur Gio muntah-muntah. Sampai habis isi perutnya dikeluarkan. Berkali-kali. Sudah Val buatin air hangat tapi belum reda juga.” Val berusaha menjelaskan sambil berusaha mengejar langkah cepat Papa. Papa membuka pintu kamar Val dan Gio, tapi dia nggak melihat siapa-siapa di dalamnya. Dari arah kamar mandi, Papa mendengar suara Gio sedang berusaha memuntahkan isi perutnya lagi. “Apa Gio makan sesuatu semalam atau tadi pagi?” “Pagi ini dia belum makan apa-apa dan semalam kita makan bersama. Tapi Val nggak kenapa-kenapa. Apa Papa mual-mual juga?” tanya Val memandang Papa di sebelahnya. Papa menggeleng. “Papa siapin mobil. Kamu siapin Gio, ya. Nanti Mama bantu juga,” katanya sambil memandang Mama yang baru datang. “Semoga Gio cuma masuk angin karena kecapean saja.”©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN