“Minggu depan kita kuiz!” kata Pak Tito mengakhiri kuliahnya hari ini.
Jelas saja omongan dosen muda itu membuat suasana kelas menjadi riuh dan ungkapan protes menguar di udara.
“Tadi sudah kuiz, masa minggu depan kuiz lagi, Pak!” Salah seorang mahasiswi memberanikan diri untuk protes.
“Bagus, kan? Karena ujian semester tinggal sebulan lagi dan saya nggak mau ada wajah-wajah sama di mata kuliah ini. Kalian harus lulul dengan nilai bagus semuanya.”
“Yah, kalau mengulang di pelajaran Bapak sih emang sengaja,” celetukan seseorang membuat suasana kelas semakin riuh saja.
Val seakan tidak berada di dalam kelas yang sama. Dia lebih tertarik pada ponselnya dan ajakan-ajakan mesuum Gio padanya. Lelaki itu bilang dia sudah menyewa hotel untuk proses pembuatan bayi. Katanya supaya para benihnya lebih bahagia dengan suasana baru.
‘Mungkin mereka ngambek berenang karena bosan dengan suasana yang itu-itu saja.’
Val terkikik membaca chat suaminya yang mengada-ada. Seakan Gio berbicara dengan makhuk hidup dan mengerti dengan keinginan mereka. Padahal itu cuma sel. Justru sikap Gio yang kelewat khawatir dan nggak relaks bisa menghambat proses mereka. Val sudah bilang kalau mereka santai saja. Tapi entah kenapa, Gio gugup sekali kalau berbicara masalah keturunan. Sepertinya ada yang nggak beres sama pikiran suaminya itu.
Tingkah Val tak luput dari pengamatan Pak Tito. Dan tentu saja dosen muda itu kesal. Pak Tito tahu kalau Val pasti sedang terhubung dengan kekasihnya. Dan pikiran itu bikin Pak Tito cemburu. Tingkat acuh gadis itu dan juga penolakannya bikin dia makin penasaran. Tapi Pak Tito juga nggak bisa main-main dengan nilai Val. Prestasi gadis itu di mata kuliah lain cemerlang. Akan terlihat aneh kalau tiba-tiba dia menjatuhkan nilai Val di mata kuliahnya. Pak Tito harus mencari jalan lain.
Sepertinya dewi keberuntungan sedang berpihak pada lelaki itu. Karena terlalu asyik chating, Val sampai tak memerhatikan keadaan di sekitarnya. Kelas sudah hampir kosong dan tinggal beberapa mahasiswi saja karena mereka menunggu dosen lain masuk. Kebetulan ruang kelasnya sama.
“Kamu nggak ada kuliah lain, Valerie?” Teguran Pak Tito bikin Val terkejut. Dia memerhatikan sekelilingnya.
“Mmm, enggak, sih, Pak.”
“Bisa ikut saya sebentar ke ruangan saya? Saya mau bicara.”
Muka Val datar. Ada apa lagi ini? Dia ada janji dengan Gio makan siang. Tapi membaca pilihan tempat yang sudah dibooking suaminya, sepertinya bukan makan siang biasa.
“Lama nggak ya Pak? Saya ada janji soalnya.”
“Sebentar saja. Saya punya tawaran buat kamu dan mungkin saja kamu tertarik. Lagipula, kalau tujuan kita sama, saya bisa antar kamu setelah ini.”
Rasanya tenggorokan Val gatal dan dia pengen batuk mendengar omongan Pak Tito. Jelas nggak mungkin dia mau diantar sama dosennya. Bisa terkapar di kasur dia besok, kalau sampai ketahuan Gio dia diantar lelaki lain. Bisa saja dia bilang itu sopir taxol tapi resiko ketahuan di kemudian hari pasti ada. Lagian, dia nggak mau meracuni pikiran Pak Tito karena diantar ke hotel bintang lima pada jam makan siang.
Val mengangguk untuk menjawab ajakan dosennya. Toh, di ruangan dosen nggak mungkin terjadi hal yang mencurigakan. Dia pun berjalan di belakang Pak Tito sampai mereka masuk ke kubikel dosen itu.
“Duduklah. Dan ini, minumlah kalau kamu bersedia. Saya nggak akan meminta waktu kamu lama-lama. Hanya saja saya kurang nyaman mengatakan hal ini di kelas. Begini ….” Pak Tito membetulkan letak duduknya. Membuat Val makin berdebar saja menunggu apa yang akan dikatakan lelaki itu.
“Apa kamu mau jadi asisten saya? Maksud saya … membantu saya mengajar. Saya lihat nilai kamu bagus semua dan di mata kuliah saya nilai kamu sempurna. Sepertinya kamu paham dengan apa yang saya jelaskan.”
“Penjelasan Bapak mudah dimengerti,” kata Val tanpa bermaksud menjilat.
Pak Tito manggut-manggut. “Saya bakal banyak kesibukan tahun depan. Jadi untuk semester ganjil mendatang, saya ingin meminta kamu menggantikan saya mengajar sesekali. Materi akan saya sediakan dan kita bisa berdiskusi tentang materi kalau perlu. Saya tahu kamu mampu. Dan ini kesempatan yang langka. Jangan khawatir soal kompensasi. Kamu akan dibayar per jam.”
Val sedikit tertarik. Sejak SMA dia suka kalau diminta menjelaskan pelajaran. Bahkan sejak kecil dia suka main guru-guruan sama adiknya. Tapi dia nggak bisa memutuskan soal ini sendirian. Dia harus meminta izin pada Gio dulu.
*
“Ambil saja. Bagus buat kamu mengembangkan diri. Kalau kamu memang tertarik di bidang akademis, kamu tekuni saja. Kalau perlu nanti aku bangunkan sekolah buat kamu.” Dikecupnya bahu terbuka istrinya yang ada dalam pelukannya.
“Mau aku apakan sekolah itu?”
“Terserah. Mau kamu jadikan arena futsal juga nggak masalah,” jawab suaminya asal. Val gemas sekali. Sebenarnya Gio ini seriusan mendukung atau cuma menggoda saja sih?
“Aku serius Gio. Kalau aku terima tawaran Pak Tito ini, berarti tahun depan udah siap-siap seandainya Pak Tito nggak bisa ngajar terus aku yang akan gantiin.”
“Kubilang ambil saja sayang. Selama itu bikin kamu nyaman dan bahagia, lakukan saja. Tapi jangan lupa sama fokus kita. Produksi keturunan. Apa sampai sekarang belum ada tanda-tanda juga kalau kamu isi?” tanyanya.
“Nggak secepat itu juga Sayang. Kita baru program seminggu. Tunggulah bulan depan. Kalau aku nggak datang bulan berarti usaha kita ada hasil.” Val mendekatkan tubuhnya yang terbuka ke dadaa Gio. “Apa kamu akan kembali ke kantor?” tanyanya lembut.
Sebenarnya Gio malas, tapi ada kerja sama baru yang harus dia pelajari. Ini karena dia setuju dengan usulan Argus untuk memperluas usahanya. Gio berencana membuka perusahaan baru dengan Argus. Selama ini dia nggak bermain di konstruksi tapi sepertinya bidang itu menjanjikan. Tapi tentu saja bukan hal mudah karena selain menyita waktu, akan banyak biaya yang dikeluarkan terutama untuk membeli alat-alat berat.
“Ngg, iya aku harus kembali ke kantor secepatnya. Kamu tunggu di sini saja, ya. Manfaatin saja fasilitas hotel semau kamu. Dan siap-siap buat nanti malam,” bisik Gio di telinga Val. Membuat wanita itu terkekeh dan bergidik geli.
“Kamu pake doping apa sih? Nggak ada capenya,” kata Val sambil mengecupi dadaa terbuka suaminya.
“Olahraga dong Sayang. Emang kamu nggak merhatiin aku rajin treadmill di rumah? Badan aku harus tetap bugar supaya bisa mengimbangi gairah kamu yang lebih muda.”
“Umur kita cuma beda sepuluh tahun, Sayang. Kamu sendiri yang sering bilang kalau kamu nggak tua-tua amat.”
Mereka berdua terkekeh bersamaan dan saling memeluk. Pelukan yang berakhir dengan saling mengecup dan tubuh mereka berpesta pora sekali lagi sebelum akhirnya Gio terpaksa melepaskan diri karena telepon dari kantor.
*
“Ada apa?” tanya Papa ketika melihat raut muka Mama yang nggak enak setelah menerima telepon.
“Dari rumah sakit tempat Emily.”
Wajah Papa mendadak cemas. Nggak biasanya rumah sakit menelepon.
“Apa mereka bilang?” tanya Papa dengan dadaa berdebar. Wajah Mama yang memucat menandakan telah terjadi sesuatu yang cukup serius pada putri kandungnya itu.
“Emily … dia ….”
“Kenapa dengan dia, Ma?” tanya Papa nggak sabaran. Diguncangnya pundak istrinya itu.
“Emily … dia kabur, Pa.” Mama nggak tahan untuk tak terisak.
Lelaki senja itu terpaku sejenak sebelum akhirnya memeluk tubuh istrinya yang bergetar.
“Jangan kasih tahu Gio dulu. Jangan kasih tahu dia kalau semua belum jelas.”©