“Apa bagusnya seorang duda? Yang perjaka aja banyak malah ributin yang duda. Nggak salah, nih?” tanya Val polos. Kedua temannya langsung memandang cepat ke arahnya.
“Pacar, lu masih bujang ting ting? Maksudnya, belum pernah married?”
Val menggeleng. Gio saat ini adalah pacarnya. Setidaknya di mata mereka berdua. Karena nggak ada yang tahu status hubungan dia dan Gio sesungguhnya.
“Gimana rasanya?”
Val memandang keduanya nggak mengerti.
“Kamu pernah nananina nggak sama pacar kamu?”
“Eh, apa?” Yang dimaksud Mai itu soal anuan, kan? Kalau iya, jelas saja Val sering melakukannya. Terakhir tadi pagi dan rasanya sedahsyat biasanya.
“Val, hari gini nggak zamannya lagi mempertahankan keperawanan!” kata Poppy dengan gaya sok tahu.
“Kenapa? Bukannya itu mahkota kita yang harus kita jaga baik-baik?”
“Jaga buat siapa? Calon suami kamu? Val, Val … polos amat, sih ni bocah. Denger, ya sayangku, cintaku. Kalau kamu masih mempertahankan selaput keong yang satu itu, silakan saja. Tapi rugi tahu, nggak! Kamu pikir lelaki bakal mempertahankan barang mereka supaya nggak celup sana sini seenaknya dewe? Mana ada? Lelaki ganteng dan madece sekarang itu semua sudah bekasan cewek-cewek. Udah kayak pancuran di pemandian umum. Semprot sana sini, ngalahin selang damkar!”
Hampir saja Val tersedak ludah sendiri mendengar analogi-analogi ngaco yang dilontarkan Mai. Ada benarnya juga yang diomongin temannya itu. Dulu sewaktu ketemu Gio aja, suaminya itu lagi dalam keadaan on dan kepengen nananina karena pengaruh alkohol. Val masih merinding membayangkan masa itu. Dan setelah mereka pacaran, Val tahu soal kebiasaan buruk Gio dan juga perbuatannya sama Emily. Membayangkan kelakuan suaminya di masa lampau makin bikin Val merinding.
Ah, kenapa juga obrolannya harus membahas soal itu. Dibandingkan kedua temannya, Val pasti jauh lebih ekspert soal anuan. Segala gaya sudah dia coba sama Gio dan mereka sering browsing untuk mencari gaya baru-baru yang bikin enak, itu kata suaminya.
“Uhuks!” Val batuk, bukan untuk menjernihkan tenggorokan dan kerongkongannya tapi untuk menggoyangkan isi kepalanya agar pikiran-pikiran joroknya rontok. Gio sedang nggak ada di rumah dan kalau dia tiba-tiba kepengen, bisa gawat!
“Jadi … kalau duda kenapa? Lebih pengalaman, maksudnya?” tebak Val asal.
“Iya, dong!” jawab keduanya serempak.
“Kita mau belajar dari suhunya yang lebih ahli. Kalau main sama yang baru pertama buka bungkusan, masih nebak-nebak! Kayak lagunya Armada, mau di bawa ke manaaaa anuan kitaaaa!” Mai nyanyi dengan gaya ngaco. Bikin Val menoleh ke sana kemari.
Mai itu cantik, tapi kepalanya kayaknya pernah kebentur jadi ada rongga kosong di tengah kepalanya yang nggak terisi oksigen.
Val mendesah dan nyengir dipaksa. Astaga, gitu amat cari sensasi anuan! Pake mau belajat ke suhunya, konon. Padahal kalau status Val sudah terbuka, dia ikhlas membagi ilmu cuma-cuma. Bahkan dia bisa bagi tips mencapai kepuasan dengan cepat dan berkali-kali.
Val menggoyangkan kepalanya lagi. Astaga, gini amat isi kepalanya? Pasti ini karena dia sudah menikah jadi membayangkan yang erotiss dikit langsung bikin dia kebat kebit. Val mendesah, sayang Gio nggak ada di rumah dan mereka nggak bisa mempraktekan bantingan seperti biasanya.
“Kamu kenapa jadi kayak orang yang pengen gini, sih, Val?” tanya Mai heran. Poppy langsung memperhatikan teman di sebelahnya.
“Ih, iya, kamu kayak pengen dibelai. Sini aku belai!” tangan Poppy terulur hendak menyentuh VAl. Namun segera saja gadis itu menepisnya.
“Nggak usah macem-macem, ya. Aku cuma nggak habis pikir saja sama kelakuan kalian. Udah cepetan cuci muka gih, terus susul ke kelas. Kalau bener kata kalian ada dosen baru, sebaiknya masuk sekarang atau aku bakalan mati bosan dengerin kuliah hari ini.” Val bangkit dari duduknya lalu meneguk habis sisa minumannya.
“Eh, ini kelas Pak Parmo?” tanya Poppy meminta kepastian.
“Makanya kuliah jangan bolos mulu!” Val menepuk bahu gadis subur itu dan meninggalkan mereka berdua.
“Wahhh, bakalan bisa tepe tepe nih sama dosen ganteng!” seru Poppy senang. Disambut Mai yang buru-buru mengunyah baksonya dan menghabiskannya. Dia ingin segera menyusul Val.
Tapi untuk jatuh cinta itu perlu energi yang berlipat jadi mereka harus makan banyak.
*
Val menelan ludah waktu mengetahui siapa dosen ganteng yang bikin kelas kasak kusuk dari tadi. Sialnya, dia berada di bangku paling depan karena kedua temannya memaksa. Dan Val merasa nggak nyaman. Sewaktu dosen itu memandang ke arahnya dn tersenyum, Val buang muka tanpa membalas senyumannya. Pura-pura nggak kenal itu lebih baik. Toh, mereka emang bukan kenalan lama.
“Uhhh, ganteng banget! Bikin rahim aku anget-anget kuku, Bang!” seru Poppy tertahan dari meja di sebelah kanannya.
“Kira-kira … di balik kemeja tipisnya itu, ada roti sobek yang bisa diusap nggak sih?” tanya Mai pelan dari sebelah kirinya.
Val kesal dengan kelakuan norak dua temannya. Air muka mereka udah kayak kucing betina minta dikawinin.
“Hati-hati, zaman sekarang yang ganteng itu sukanya sama yang ganteng juga. Yaa … realistis aja, sih? Ganteng-ganteng kok duda?” jawab Val cuek. Kedua temannya langsung menoleh ke arahnya dan nggak suka.
“Selamat siang semuanya. Ini kali pertama saya mengajar kelas ini. Ternyata peminatnya cukup banyak, ya? Nggak seperti yang dibilang Pak Andi.”
“Emang Pak Andi bilang, apa, Mas? Eh, maaf maaf, Pak. Hehehe.” Celetukan seorang gadis di bagian belakang Val membuat kelas ribut dengan seruan ‘huuuu’.
Val bersikap nggak peduli dan menundukkan wajahnya.
“Kata Pak Andi, yang ngambil kelas ini mahasiswanya malas-malas. Sering bolos dan nggak pernah ngerjain tugas.”
“Yaa … itu bener, sih, Mas. Eh, salahhh juga, Pak! Maaffff! Abisnya muka Bapak kayak pengen dipanggil Mas gitu sih!” kata gadis lain menggoda dosen muda itu.
Pak Dosen tersenyum dan menggelengkan kepala. Dia nggak terlihat tersinggung, seolah hal seperti itu sudah biasa terjadi.
“Kalian bersemangat sekali. Saya suka. Jangan sampai kendor semangatnya, ya! Sekarang, keluarkan selembar kertas, kita kuis. Saya pengen tahu sejauh mana kalian paham mata kuliah saya.”
Langsung saja kelas menjadi riuh dengan teriakan-teriakan protes yang keberatan dengan kuis tiba-tiba ini.
“Jangan kasih kuis dong Pak Dosen ganteng! Kasih saja hatimu padaku biar sama-sama enak kita!”
Val semakin menekuk wajahnya mendengar celetukan-celetukan nggak sopan yang dilontarkan teman-temannya. Baginya dosen yang berdiri di depannya itu nggak seganteng Gio.
“Nama saya Tito, by the way. Kalian harus memanggil saya Pak Tito selama di lingkungan kampus!”
“Kalau di luar kampus boleh manggil bebas?”
“Enggak. Tetap Pak Tito. Yang manggilnya nggak sopan, nilai keseluruhan dikurangi dua!” ancamnya. Bikin Val terkikik karena mendengar gerutuan nggak suka dari teman-temannya.
“Dan kamu … siapa nama kamu?” tanya Pak Tito pada Val. Membuatnya kaget dan langsung mengangkat wajah.
“Va-Val. Valerie, Pak!”
“Ini, edarkan absennya,” kata Pak Tito sambil meletakkan selembar kertas di meja Val. Sekilas Val bisa melihat senyum Pak Dosen yang ditujukan padanya.©