“Kita mulai prosesnya dengan membaca doa dulu. Semoga anak kita nantinya jadi setampan papanya. Dan semoga dia bakal selucu ibunya. Dan semoga--”
“Gio jangan banyak tingkah. Keburu kering nungguin kamu masuk!” gerutu Val setengah kesal.
Mereka memang lagi program bikin baby, tapi nggak serepot ini juga kalau mau prosesnya. Gio payah sekali. Biasanya main hantam saja dan bikin Val merem melek. Tapi sekarang hati-hati banget bahkan saking hati-hatinya, Val pernah bengong ngeliatin lelaki itu. Gio seperti sedang merapal doa dan menghitung pergerakannya dengan hati-hati. Bikin Val nggak sabaran dan pengen membalikkan posisi. Tapi Gio nggak mau karena katanya posisi misionaris itu paling cepat menghasilkan pembuahan.
“Kamu harus sabar sayang. Karena proses pemasakan benih yang akan aku semai ini butuh waktu. Suhunya juga harus pas. Ini aku sedang menaikkan perlahan suhunya biar hangatnya pas.”
“Teori dari mana sih? Sesat banget. Kalau nggak mau cuzz aku udahan. Kelakuan kamu itu bikin indung telur aku pada menciut. Bukannya memproduksi sel telur malah pada tidur karena kelamaan action!” Val mendorong tubuh suaminya dan berusaha keluar dari kungkungannya.
Susah payah berusaha, akhirnya dia bisa melepaskan diri.
“Eh, kita belum selesai Val. Ayo kembali ke sini!”
“Ogah. Aku mau mandi saja. Kita mulai lagi kalau pikiran kamu sudah nggak oleng,” kata Val ketus. “Banyakin makan toge sana kalau mau dapet benih yang bagus!” Tanpa sehelai benang Val berjalan ke kamar mandi.
Gio mendesah. Usahanya gagal untuk menghamili Val. Padahal tadi sempurna banget. Seperti yang dibilang oleh sahabatnya yang sudah punya anak duluan walau baru menikah, Gio melakukan semua yang disarankan sahabatnya itu. Termasuk ritual aneh harus keluar masuk secara perlahan selama belasan kali sebelum memacu cepat.
“Jangan-jangan gue dikadalin si Argus,” kata Gio lirih.
Dia sendiri juga sebenarnya nggak sabaran pengen bertindak seperti biasa. Tapi Argus bilang, spermaa yang dikeluarkan buru-buru itu nggak bagus. Ibarat ikan ditaro ditoples terus dikocok, pasti bakalan pusing, kan? Terus mereka berenangnya oleng jadinya nggak tepat sasaran karena mabok duluan abis dikocok dan nggak bisa melihat dengan benar menuju sel telur. Makanya harus pelan-pelan supaya kecebong miliknya bisa berenang lebih lincah ketika dilepaskan dan menembus sel telur yang tepat.
Teori sesat.
*
“Ah, payah lu. Masa gue disuruh maen selow. Mana tahan. Val juga gitu. Mana tahan dia,” protes Gio ketika Argus sowan ke kantornya siang itu. Niatnya ngajak makan siang bareng, tapi baru datang Gio sudah memakinya.
“Lho kan kamu pengen dapetin bibit berkualitas. Ya sejak masih berupa benih harus dilatih dan dibina.”
“Emang lagi ikut paskibra pake dilatih dan dibina segala. Dahlah, mending biasa aja. Lagian kalau gennya sudah cerdas pasti outputnya juga bakal cerdas.”
“Kalau Val gue yakin. Nah elu!? Kecerdasan lu, kan sempat bergeser beberapa waktu lalu gara-gara alkohol.”
Gio merenung. Seolah enggan kembali ke masa-masa gelap sewaktu dia dan Val bertemu pertama kali. Masa-masa berat yang membuatnya hampir kehilangan Val lalu keduanya saling menemukan lagi.
“Gue kan kena alkohol nggak lama. Dan nggak separah kalianlah, masa iya bikin sel-sel cerdas di otak gue banyak yang mati. Ah, teori lu sesat! Nggak akan percaya lagi gue!”
Argus tergelak mendengar kegelisahan sahabatnya. Lelaki itu mengikuti jejak Gio dengan pindah ke Jakarta. Dia memimpin cabang perusahaan milik ayahnya dan mengembangkannya. Tidak terlalu besar, tapi keuntungannya cukup untuk hidup menjomlo dengan gaya sultan tanpa bikin kantong bolong. Sayangnya kebiasaan main perempuannya nggak bisa dikendalikan dan Argus harus kena batunya juga. Salah satu perempuan teman kencannya mengaku hamil setelah sebelumnya dia meniduri perempuan itu tanpa pengaman. Argus harus bertanggung jawab atau nama baik perusahaannya bisa gawat. Hari-hari sempurna hidupnya sebagai jomlo kualitas sultan pun harus berakhir.
“Lagian, lu dapet anak juga kan tanpa perencanaan. Kecelakaan membawa nikmat, kan judulnya?” Gio tahu Argus sangat mencintai putri yang baru dia miliki beberapa bulan ini. Gadis kecil itu mirip sekali dengannya setelah dia beberapa kali menuduh istrinya menjebak dia.
“Gue cinta banget sama Callie. Dia bener-bener bikin gue jatuh cinta. Melebihi perasaan gue sama emaknya. Nggak nyangka gue bisa memproduksi makhluk se-emejing itu. Lu harus ketemu baby gue, Gio. Jangan cuma transfer doang. Diundang syukuran malah kirim duit. Ajak istri lu biar hatinya makin tergugah buat punya baby.”
Gio terdiam. “Bukan gue nggak mau. Tapi gue takut Val masih belum bisa melupakan kalian. Gue nggak mau traumanya kambuh. Sudah sejauh ini gue berjuang dan gue nggak ingin berakhir naas.”
Kadang Argus lupa, kalau dia pernah punya masa lalu yang tidak menyenangkan yang melibatkan Valerie. Selama ini dia nggak pernah muncul di hadapan wanita itu demi menjaga perasaannya.
“Maaf Gio. Kadang gue lupa. Tapi Val harus tahu kalau gue sudah berubah dan banyak hal baru yang gue temukan selama ini. Dan gue bukan Argus yang dulu pernah berbuat jahat sama dia. Maaf, tapi bahkan gue udah lupa gimana rasanya dia.” Argus nyengir kikuk. Dia merasa harus menyampaikan ini supaya Gio juga nggak berprasangka kalau dia masih mengingat rasa istrinya.
“Nggak usah nyengir kayak kuda. Jejak lu lu semua, udah gue hapus dengan baik dari badan Val!” kata Gio ketus. Pembicaraan ini bikin dia mual. Sekarang dia mudah cemburu walau cuma ingat Val pernah disentuh siapa. Rasanya sekarang pun dia pengen menumbuk Argus karena tiba-tiba ingat bahwa lelaki itu pernah berada di atas tubuh istrinya.
“Hhh,” Gio melepaskan udara banyak-banyak dari paru-parunya dan menghirup udara baru untuk mengisi kembali rongga dadaa yang kosong. “Ayo kita ngopi. Otak gue oleng kayaknya karena kurang kafein.” Diajaknya Argus keluar ruangan. Setelah izin pada sekretarisnya, Gio mengajak sahabatnya itu makan siang dan ngopi. Gio tahu, kedatangan Argus kemari bukan sekadar temu kangen tapi pasti ada hal serius yang mau diomongin.
*
“Rajutanmu bagus sekali Emily. Rapi dan kelihatan kuat. Apa yang sedang kamu buat?” tanya perawat perempuan yang sedang memerhatikan Emily yang begitu tenang merajut.
“Kaos kaki,” kata Emily pendek. Senyuman tipis tersungging dari bibirnya.
“Tapi ini kelihatan kecil sekali untuk ukuranmu. Kamu harus membuat yang lebih besar.”
Emily terlihat nggak peduli pada perawat yang kini duduk di sampingnya dan terus merajut. Emily tenang sekali. Apa perasaannya juga setenang yang terlihat?
Emily seperti lautan luas. Di permukaan begitu tenang tapi di dalamnya begitu bergejolak.
“Ini kaos kaki untuk kaki yang lebih kecil. Aku tidak tahu apa dia lelaki atau perempuan. Jadi aku memutuskan untuk merajut kedua warnanya. Biru dan pink.”
“Dia? Dia siapa? Apa kamu punya kenalan yang akan melahirkan?”
Emily meletakkan hakpennya dan menatap iba pada perawat di sampingnya. “Kenapa harus punya kenalan? Aku merajut ini untuk anakku,” katanya dengan tatapan protes.
Perawat itu menelan ludah. Beberapa minggu terakhir Emily sudah menunjukkan kemajuan yang pesat. Para dokter dan terapis sepakat untuk memberi masa percobaan pada Emiy jika hasil tesnya bagus. Tapi mendengar perkataannya barusan, sepertinya dia belum menunjukkan kemajuan apa-apa.
“Kalau ada anak, harus ada ayah. Menurutmu, siapa ayah dari bayimu itu?”
Perawat itu sudah tahu cerita tentang Emily dan diam-diam dia merasa iba. Jawaban Emily sekarang sangat menentukan pengobatan yang akan diterima wanita ini.
“Itulah. Aku tidak tahu siapa lelakinya. Apa menurutmu, masih ada lelaki yang mau dengan orang nggak waras seperti aku?” tanyanya sedih. Pandangannya berubah sayu dan menyedihkan.
Perawat mengembus napas lega. Tadinya dia pikir, Emily akan menyebut nama Gio. Karena kalau iya, mereka harus kembali mengobati dari awal lagi.
Syukurlah Emily sudah sadar sepenuhnya.©