Sua gelisah sepanjang pagi itu. Mimpi buruk di mana Han tenggelam dan seseorang yang menariknya menjauh, mencegah Sua untuk menolong Han hadir lagi pagi ini. Ia terbangun pukul dua pagi dan tidak bisa tidur seterusnya. Han cemas. Ia jadi cerewet sekali. Berulang-ulang menanyakan keadaan Sua. Bahkan menawarkan diri untuk tetap tinggal di rumah menemani Sua agar ia tidak perlu ke kampus. Memang menyenangkan tapi Sua tidak bisa bersikap kekanak-kanakan begitu. Ia bisa terkena masalah.
Kini mereka berada di mobil Dad dalam perjalanan yang sebagian besar diselimuti keheningan. Sua tidak mau membuat Han cemas. Namun terlalu sulit bagi Sua untuk terlihat baik-baik saja.
Telepon Sua berdering memecah keheningan. Sua mengeluarkan benda itu dari ransel dan membaca nama yang tertera di layar ponsel.
"Halo, Mom," suaranya terdengar lemah. Sua langsung menyesalinya begitu Mom memekik cemas.
"Aku baik-baik saja," ia memutar otak. "Hanya kurang tidur semalam... Mungkin karena kelelahan, Yoon mengajakku ke pantai kemarin malam."
Sua memutar bola mata. "Aku tidak berkencan, Mom."
Han memandang Sua sekilas begitu mendengar kata berkencan.
"Hanya jalan-jalan biasa."
Sua balik memandang Han. Ia meringis begitu tertangkap basah sedang memerhatikannya diam-diam.
Lama sekali Sua meladeni Mom bertanya macam-macam. Ia hampir mati karena bosan. Sampai akhirnya pembicaraan Mom sampai pada rencana kepulangannya ke Seoul. Rasa bersalah menyelimuti Sua karena rencana itu tidak lagi terdenger menyenangkan di telinganya sendiri. Ia melirik Han dari sudut matanya. Selain memerhatikan jalan ia juga mencoba untuk memahami apa yang Sua bicarakan dengan Mom.
Sua termenung. Sehari sebelum ulang tahun Han.
Hei, ulang tahun Han! Sua tersentak dan bersiap untuk bertanya. Namun nyaris persis seperti saat itu. Mom tahu-tahu sudah berceloteh tentang hal lain. Di sisinya Han berubah waswas. Ia ikut menegang.
"Baiklah, sampai jumpa, Mom," Sua mengembalikan ponsel ke ranselnya.
"Ada apa?" Suara Han yang tenang menyadarkan Sua.
Sua menimbang-nimbang sejenak. "Han, kapan ulang tahunmu? Mom bilang akan pulang sehari sebelum hari ulang tahunmu."
Han meringis. "Apa itu yang membuatmu setegang tadi?"
Sua balik meringis. Han sengaja tak langsung menjawab. Membuat Sua semakin penasaran.
"Kapan?" Tanya Sua tak sabar.
Han tersenyum miring. "Tiga hari lagi."
Ya, Tuhan. Sua nyaris tersedak. Ia tidak sadar waktu begitu cepat berlalu.
"Kenapa terkejut begitu?" Sebelah alis Han terangkat heran.
Sua tak mengacuhkan pertanyaan Han. "Kau ingin hadiah apa?"
"Aku tidak ingin hadiah," Han mengalihkan pandangan bolak-balik dari jalan ke Sua.
"Kenapa tidak?" Bibir Sua megerucut.
"Tidak ada alasan. Karena aku sudah mendapatkan hadiah terbaik dalam hidupku."
Alis Sua bertaut.
"Kau."
Sesaat udara di sekitar Sua menghilang. Han terkekeh melihat reaksi Sua. Sua memberengut lagi.
"Aku serius, kok."
Well, Sua tahu. Han serius mengatakannya. Satu-satunya hal yang membuat ia tertawa hanya reaksi bodoh Sua.
"Pokoknya jangan keluarkan sepeserpun untukku," Han memeringatkan lagi.
"Lalu kuenya bagaimana?"
Han berpikir sejenak. "Jika kau membuatnya sendiri akan kuterima," lalu tersenyum aneh sekali.
Sua menyipitkan mata curiga. "Baiklah, aku tidak boleh memberimu hadiah. Aku tidak boleh mengeluarkan uang sepeser pun. Jadi sekarang, beri tahu aku di mana aku bisa mencuri bahan-bahan untuk membuat kue ulang tahunnya."
Han tertawa. Salah satu hal yang paling Sua sukai di dunia.
"Kalau membuatnya bersama bagaimana?"
Sua mendengus. "Setakut itu kau kehilangan dapur."
Han tertawa lagi. Membuat Sua berpikir bagaimana cara membuat laki-laki itu terus tertawa.
Mobil mereka memasuki wilayah parkir kampus. Sua otomatis menghela napas. Waktu selalu saja berlalu cepat. Seperti biasa. Tidak adil.
Han turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Sua.
"Makan siang di kafetaria?" Tanya Sua memastikan.
"Tentu, aku akan menunggumu di sana."
Han memandang Sua seolah langsung ke dalam jiwanya. Dan Sua juga melakukan hal yang sama. Seolah ia bisa melihat langsung ke dalam jiwa Han dan menyukai apa yang dilihatnya. Lalu seketika sadar. Segala hal dalam diri Han, tidak ada satu pun yang tidak ia sukai. Kecuali satu hal, kenyataan bahwa Han adalah kakak tirinya.
"Sampai bertemu lagi nanti," Han mengusap puncak kepala Sua. Itu juga termasuk hal yang Han lakukan setiap hari sebelum mereka berpisah.
Sua mengangguk. Lalu pergi lebih dulu meninggalkan Han. Sementara Han akan menunggunya sampai menghilang dari pandangan.
***
Han sudah berada di kafetaria lebih dulu dari Sua. Senyum Sua mengembang melihat Han dari kejauhan. Setelah mengambil makan siangnya barulah ia bergabung dengan mereka. Yoon tak lagi bersikap seakan mengalami serangan jantung mendadak. Terlihat begitu nyaman berada di sisi Ben.
Sua akui. Ia iri sekali pada mereka. Kisah mereka sederhana. Bebas. Tanpa perlu dirahasiakan. Bukan sesuatu yang terlarang dan... Tidak ada kekhawatiran mereka harus berpisah suatu saat nanti.
Alih-alih menikmati makan siangnya. Sua justru terpaku pada cara Ben menatap Yoon dan sebaliknya. Seolah apa yang dilihatnya sangat indah. Sua bahkan hampir tidak memerhatikan ocehan Yuta tentang buku-bukunya. Atau Han yang di balik sikap tenangnya memandang ia dengan cemas.
"Sua, kau melamun."
Sua tersentak dan menarik tangannya dari tangan Yuta. "Maaf," ia menunduk menatap meja.
"Akhir-akhir ini kau sering sekali melamun. Apa kau baik-baik saja?"
Sua mengangkat wajah. Memandang ke empat pasang mata yang memandangnya dengan tatapan bertanya-tanya. Sua bergeming. Tidak enak sudah merusak suasana. "Maaf, kan, aku. Hanya ada sesuatu yang sedang aku pikirkan."
Sua bingung bagaimana caranya membuat empat pasang mata itu berhenti menatapnya. "Oh, ya, Yuta," ia sengaja berpaling pada laki-laki itu. "Mau memberiku sedikit spoiler tidak?"
Yuta tersenyum cerah. "Kukira kau akan membunuhku jika melakukannya."
Sua bertanya tentang bagian dari seri ke empat n****+ Harry Potter yang sudah dibacanya. Seumur hidup ia tidak pernah benar-benar menginginkan spoiler. Dan caranya berhasil. Ia tidak lagi menjadi pusat perhatian. Hanya saja sikap Yuta yang menjadikan Sua sebagai pusat dari segalanya membuat Sua cukup risih. Ia berharap Yuta bisa bersikap biasa saja.
"Oh, demi Tuhan," mendadak Yoon memekik. "Padahal aku sudah merencanakan semalaman untuk mengatakan ini pada kalian,” wajahnya berseri-seri.
Sua melipat kedua tangan di meja. Mengabaikan makan siangnya yang hampir utuh.
"Besok ulang tahun kakekku," ia memiringkan kepala ke satu sisi. "Kakek setuju mengundang kalian semua."
Sua tersentak. Ia benar-benar tidak sadar waktu berjalan secepat itu. Dan, ia menoleh sebentar pada Han. Ulang tahun kakek Yoon berdekatan dengan ulang tahun Han. Sua merasa semangat dalam dirinya bangkit seketika. Di tahun-tahun sebelumnya, ulang tahun kakek Yoon dirayakan hanya bertiga saja. Ia bersemangat karena perayaan sederhana ulang tahun kakek Yoon adalah salah satu hal yang paling ia sukai di dunia. Ia juga bersemangat karena tahun ini jelas akan berbeda. Akan ada Han di sana! Dua hal yang paling Sua sukai di dunia menjadi satu. Sua merasa pipinya memanas karena bersemangat.
"Well, sudah menyiapkan lagu apa untuk tahun ini?" Yoon bertopang dagu, memusatkan perhatian pada Sua dengan senyum cerah.
Eh, Sua baru mengingatnya. Ia selalu menyanyikan sebuah lagu untuk kakek Yoon. Ia praktis melupakan hal itu. "Sedang kupikirkan," sahut Sua akhirnya.
Yuta bergumam kagum. "Sungguh? Aku baru tahu Sua bisa bernyanyi."
Sua meringis. Setengah geli setengah kesal. "Semua orang juga bisa bernyanyi."
Yuta meringis, jelas bukan itu yang ia maksud tapi Sua tidak peduli.
Yoon mengangguk-angguk. Mendadak menegakkan tubuh dan menyeringai senang. "Kau tahu, hari ini kita sibuk sekali."
Sua langsung mengerti. Sudah menjadi seperti tradisi bagi ia dan Yoon untuk membeli gaun dan semacamnya. Mengingat kakek Yoon tidak menyukai hal-hal yang berlebihan, tidak ada apa pun yang perlu di persiapkan selain kue ulang tahun, karakter Yoon justru bertolak belakang dengan sang kakek. Meski begitu, kakek Yoon selalu senang melihat Sua dan Yoon dalam balutan gaun sederhana, seolah menyaksikan mereka berdua bertumbuh dewasa. Ah, Sua semakin merindukannya.
"Jadi kita akan berburu di mana?" Tanya Sua memastikan.
"Pertama-tama aku ingin membeli cat kuku baru," ia memerhatikan kuku-kuku jarinya yang di cat berwarna cokelat muda. Keningnya berkerut sedemikian rupa seolah sedang memikirkan hal paling rumit sedunia. "Aku ingin gaun putih dengan aksen ungu sedikit. Lalu cat kuku berwarna ungu muda pasti akan jadi cantik sekali."
Tiga laki-laki di meja itu saling pandang tidak mengerti sementara Yoon terus mengoceh.
"Aku juga ingin memakai wedges saja," mendadak mengalihkan perhatian dari kuku-kukunya dan tersenyum lebar. "Kakek senang melihatku tumbuh tinggi."
Sua mencibir. "Itu, sih, sama saja dengan menipu."
Yoon tidak ambil pusing dengan ucapan Sua. "Seperti kau bisa tumbuh lebih tinggi dari aku, saja," ujarnya santai.
Ya, memang benar sekali. Selain selalu lengket di mana pun berada, ia dan Yoon memiliki tinggi badan yang nyaris sama. Bahkan mereka memiliki berat badan yang hampir sama pula. Bedanya Yoon sedikit lebih berisi ketimbang Sua. Lebih ideal. Dan meski bertubuh kurus pipinya justru lumayan chuby. Hal itu yang biasanya paling membuat Yoon frustasi. Padahal Yoon sendiri yang selalu menasehati Sua untuk tidak memandang rendah diri sendiri. Tapi Yoon sendiri tidak sadar betapa imut dirinya di lihat dari sisi mana pun.
"Kalau begitu apa rencanamu?"
Sua mengangkat bahu. "Masih belum tahu."
Yoon mendengus. "Kau ini selalu saja memutuskan di detik-detik terakhir."
Sua tertawa. Membuat kerutan bingung di ketiga wajah laki-laki di sekitarnya bertambah.
"Aku akan tahu menyukainya atau tidak saat sudah melihatnya langsung."
"Well," Ben membuka suara. Di antara mereka bertiga ia yang terlihat paling tidak sabar. "Aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan," ia nampak menimbang-nimbang kalimat selanjutnya. "Jadi bagaimana jika aku mengantar kalian? Entah membeli cat kuku atau gaun."
Sontak Han dan Yuta mendesah kecewa. Mereka mengira Ben akan mewakili mereka meminta penjelasan dari Sua dan Yoon perihal yang mereka bicarakan. Sungguh twist ending yang menyedihkan.
Sua dan Yoon saling pandang. Sama-sama tahu mental Ben tidak cukup kuat untuk menemani mereka berbelanja.
"Tidak, Ben. Ini murni seribu persen urusan perempuan," kata Yoon menenangkan. Tentu ia lebih menyayangi Ben dalam keadaan waras ketimbang menjadi gila karena frustasi menungguinya belanja.
Sua terkikik geli. Membuat Yuta dan Han mengalihkan pandangan padanya. Sua menangkap wajah Han yang menggemaskan dengan raut wajah bingung. Ia gagal untuk tidak tertawa lagi.
***
Sua tidak pernah sepanik dan sesenang ini sejak setahun terakhir. Ia panik karena belum menemukan lagu yang cocok. Dan senang karena acaranya tinggal besok. Kurang dari 15 jam lagi. Sejak beberapa menit terakhir, atau lebih tepatnya sejak pulang dari berbelanja dengan Yoon. Kegiatan Sua hanya berjalan bolak-balik di ruangan itu. Ia tahu ia tidak akan bisa berpikir jika tetap panik. Tapi sebagian besar dirinya menolak untuk bersikap waras. Ia senang sekali.
Han duduk di sofa memerhatikan Sua. Herannya tidak terlihat bosan atau pusing mengikuti langkahnya.
"Ingin ke tempat bahagiamu tidak?" Celetuk Han tiba-tiba.
Sua tidak bisa tidak tersenyum sementara konsentrasinya buyar. Ia berbalik dan menjatuhkan tubuhnya pada tubuh besar Han.
Han mengaduh, berlagak kesakitan. Padahal Sua tahu benar tubuhnya yang kecil tidak akan mempan untuk menyakiti Han.
"Kau bisa menghancurkanku, tahu," keluh Han dengan suara dipanjang-panjangkan.
Sua tidak peduli. Yang terpenting ia sudah nyaman berada di tempat bahagianya.
Han tersenyum mengerti. "Sudah merasa lebih baik?"
Sua mengangguk pelan.
"Sudah tidak panik lagi, kan?"
Sua mengangguk lagi. Lantas menegakkan punggung dan melingkarkan tangan pada leher Han. Mereka bertatapan dengan jarak dekat sekali.
"Jadi mau membantuku tidak?" Tak bisa dipungkiri betapa senangnya Sua dapat menikmati wajah Han dalam jarak sedekat itu. Ia juga merasakan napas Han menyapu lembut wajahnya. Dan aroma manis yang sulit untuk diabaikan.
Han tersenyum senang karena akhirnya Sua mau mempertimbangkan bantuannya. "Pertama-tama aku ingin tahu dulu seperti apa suaramu."
Sua mengerucutkan bibir. "Tidak mau."
"Kenapa tidak?"
Sua tersenyum kaku. Ia tidak yakin apakah suaranya bisa terdengar seperti biasanya di depan Han. Astaga, memalukan sekali.
Han mengerti apa yang di rasakan Sua. Ia meraih sebelah tangan Sua dan memerhatikan kuku-kuku jari Sua yang di cat merah. "Seharian kau pergi rasanya lama sekali," aku Han.
"Banyak hal yang kami lakukan," Sua senang Han tidak memaksanya untuk bernyanyi. Meskipun untuk sesaat melupakan perihal memilih lagu.
"Kami sangat frustasi," Han merenung.
Sua meringis. Membayangkan bagaimana Han akan lebih frustasi jika ia membiarkannya ikut berbelanja. Selama siang tadi ia dan Yoon terus mentertawakan raut wajah bingung Han, Ben dan Yuta ketika mereka meninggalkannya.
"Kau tahu, aku kesal sekali saat Ben malah menawarkan untuk mengantar kalian bukannya bertanya apa yang sedang kalian bicarakan."
Sua tahu itu. Dan ia justru berada di pihak Ben karena menjelaskannya pada Han sekali pun belum tentu akan dimengerti. Laki-laki mana paham, begitu pikir Sua.
"Lalu apa yang kalian lakukan selama kami tidak ada?" Ia tidak bisa menyembunyikan nada geli dalam suaranya.
"Berdebat," sahut Han enggan. Terlihat jelas tidak ingin membicarakannya.
Mata Sua melebar. Penasaran dan ingin tahu. Han tidak bisa menolak Sua jika sudah begini.
"Kami berdebat tentang apa yang sebenarnya kalian lakukan," Han berusaha tetap tenang walau sebenarnya malu. "Dan bertanya-tanya apakah kami perlu memakai tuksedo. Lalu bagaimana dengan hadiahnya?"
Sua memiringkan kepala ke satu sisi. "Hanya itu?"
Han menghela napas, terlihat lebih enggan daripada sebelumnya. "Yuta ingin mencocokkan pakaiannya denganmu. Ia ribut sekali. Frustasi karena kau tidak memberikan petunjuk. Ben sampai kesal. Ia tidak sabar untuk bertanya pada Yoon dan Yuta terus mengganggu dengan ocehannya. Kacau sekali."
Sua meringis. Tidak menyangka akan sekacau itu. "Kau sendiri terlihat tenang-tenang saja."
"Sedikit. Lagipula aku bisa bertanya padamu setelah kau pulang. Namun kau sibuk sekali memilih lagu."
Sua senyum-senyum sendiri.
"Jadi kau memilih gaun seperti apa?"
Sua menyeringai senang. "Rahasia."
Han mengernyit. "Apa aku perlu memakai tuksedo?"
Tawa Sua meledak. "Tidak, Han. Bukan gaun seperti yang kupakai saat pernikahan Mom. Hanya gaun biasa. Kau bebas memakai apa pun. Karena acaranya juga sederhana sekali," Sua cepat menambahkan. "Juga tidak perlu ada hadiah."
Han memerhatikan betapa senangnya Sua menjelaskan semua itu. Matanya berbinar-binar cerah. Han menyentuh ujung dagu Sua dengan sebelah tangan, mengangkat wajahnya.
Sua menahan napas. Berusaha keras untuk tidak terpaku pada bibir Han. Tapi mengalihkan pandangan pada mata gelap Han yang menghanyutkan juga bukan ide bagus. Jarak mereka begitu dekat. Jantungnya berdegup kacau sekali. Lalu ia menyadari bukan hanya jantungnya yang meronta-ronta.
Mendadak ponsel Sua berdering. Sontak keduanya menjauhkan diri dari satu sama lain. Sua mengerang. Menarik dirinya bangkit dan meraih benda sialan itu. Ia memandang layar ponsel sejenak sambil menenangkan diri. Tenang, Sua. Tenang, Sua. Ia berulang-ulang meyakinkan diri. Memalukan terlihat marah di depan mata Han karena gagal... Sua meringis. Terlalu malu memikirkan kata itu.
"Halo, Yoon?" Katanya bahkan sebelum ponsel itu menempel di telinga.
"Kau? Di depan rumahku?" Ia memutar tubuh pada Han. Terlihat sama bingungnya dengan Sua.
"Baiklah, aku akan segera keluar."
Hubungan terputus.
"Yoon datang, katanya membawa taekboki noodles sebagai ucapan terima kasihnya," ia memutar bola mata. "Aku tahu itu hanya alasan. Pasti ia ingin membicarakan sesuatu padaku."
Han meraih sebelah tangan Sua sebelum ia berlari meninggalkannya. Sua tercekat. Apa Han akan melanjutkan yang tadi?
Kalau saja tidak melihat keraguan dalam wajah itu. Sua tidak akan memutuskan untuk maju selangkah dan mengecup singkat pipi Han.
Han terkesiap. Raut wajahnya lucu sekali. "Tadi itu apa?" Semburat merah muncul di pipinya yang bak pualam.
Sua tertawa. "Aku harus menemui Yoon."
Han memberengut. Begitu Han melepaskannya Sua berlari menuju pintu depan.
Awalnya Yoon tidak sadar saat Sua membuka pintu. Wajahnya lesu. Bingung. Sedikit cemas. Sua tidak melakukan apa pun untuk menyadarkan Yoon dari lamunan. Ia menunggu. Tak terlalu lama. Ketika Yoon menangkap Sua dalam tatapan matanya yang bingung. Butuh beberapa saat untuk tersenyum dan mengangkat bungkusan kertas cokelat di tangannya.
"Spicy taekboki noodles. Aku akan membuatmu menangis malam ini."
Sua hapal sekali dengan kebiasaan Yoon yang satu ini. Ia akan memakan sesuatu yang sangat pedas ketika ia sedang sedih atau mendapat masalah tertentu. Karena dengan begitu, ia bisa menangis tanpa benar-benar terlihat menangis.
"Aku perlu menyuruhmu masuk tidak, ya?" Sua berlagak berpikir.
Yoon tidak mengacuhkannya dan berjalan masuk. "Anggap saja rumah sendiri," ujarnya santai.
Yoon sudah tahu di mana letak dapur. Ia langsung duduk dan mengeluarkan dua kotak sterofoam dari dalam bungkusan. Sua mengambil dua buah gelas dan s**u dingin di kulkas. s**u ampuh untuk mengenyahkan pedas.
Ia duduk di sebelah Yoon.
Yoon menunduk. Nampak berpikir. "Kurasa Ben cemburu padaku."
Sua mengernyit. Tidak mengerti kenapa hal itu begitu mengganggu Yoon.
"Dia bertanya apakah aku bertemu laki-laki lain saat kita berbelanja," ia mendesah penuh beban. "Maksudku, bagaimana bisa? Ben! Mencurigaiku seperti itu."
Oh.. Sua mengangguk mengerti. Rupanya Yoon tidak suka Ben mencurigainya. Jelas. Siapa orang di dunia yang senang dicurigai?
Sesaat Yoon seolah kehilangan kata-katanya. "Kalau aku bisa saja cemburu pada hal-hal kecil semacam itu. Tapi Ben! Aku nyaris tidak memercayainya. Ini kan hanya aku."
"Tunggu," Sua mengangkat sebelah tangan menginterupsi. Jauh tak terduga ternyata ia salah mengerti. Yang benar saja, Yoon. Manusia bodoh yang menaseti Sua untuk tidak memandang rendah diri sendiri.
Yoon menolak untuk diinterupsi. "Kau tidak mengerti Sua. Setiap kali aku berjalan bersamanya bagaimana perhatian semua orang tertuju padanya sedangkan aku bukan siapa-siapa."
"Okey," Sua mengalah. "Mungkin pandangan semua orang tertuju pada Ben. Itu tidak penting. Yang terpenting adalah kenyataan bahwa Ben hanya memandangmu."
Yoon tidak menjawab. Memikirkan ucapan Sua.
Satu hal lagi. Ia berharap Yoon tidak memandang rendah dirinya lagi. "Percayalah Ben beruntung memilikimu."
Yoon terkesiap. "Sungguh?" Lalu ia tertawa. "Tadinya kukira Ben bersikap seperti itu hanya untuk mencari alasan agar kami bertengkar."
"Kenapa harus begitu?"
Yoon menggigit bibirnya keras-keras. "Aku cemas setiap waktu Ben akan meninggalkanku."
Sua terhenyak. "Tidak akan begitu," suaranya lirih. Berharap bisa mengatakan hal yang sama pada dirinya sendiri.
"Ngomong-ngomong, kau sudah menyiapkan lagunya belum?" Kata Yoon jauh lebih ceria.
"Sedang kupikirkan."
***
Sua tersentak bangun dengan napas memburu. Mimpi buruk itu lagi. Belum hilang kecemasannya karena mengalami mimpi yang sama berulang kali. Tiba-tiba pintu kamar Sua menjeblak terbuka. Ia menangkap sosok Han di ambang pintu dengan sebelah tangan masih memegang pegangan pintu. Wajahnya penuh kekhawatiran. Ia mengatakan sesuatu. Tapi Sua tidak benar-benar mampu mendengarnya. Otaknya belum bekerja dengan benar. Sua berusaha keras untuk mencerna semuanya. Begitu tersadar bahwa ini bukan mimpi dan Han yang dilihatnya kini adalah Han yang asli, ia langsung bangkit dan menghambur ke dalam pelukan Han sebelum laki-laki itu mencapai tempat tidur.
Sua memeluk tubuh besar itu erat-erat. Seerat yang mampu tangan gemetarnya lakukan. Perlahan namun pasti, kecemasan dan ketakutan dalam diri Sua mencair. Digantikan perasaan hangat sekaligus pedih. Ia tidak bisa mengenyahkan kenyataan, cepat atau lambat ia harus berpisah dengan Han.
"Aku datang memeriksa karena firasatku buruk. Lalu aku mendengarmu berteriak-teriak," Han melepas pelukan Sua lambat-lambat. Menyentuh pipi Sua dengan kedua tangan dan mengangkat wajahnya. "Aku cemas sekali."
Sua tahu Han cemas. Dan ia merasa bersalah membuat Han merasa begitu.
"Apa kau baik-baik saja? Apa yang terjadi?" Suara lembut Han menyeret perhatian Sua kembali pada wajahnya.
"Mimpi buruk," Sua nyaris tidak mengenali suaranya sendiri.
"Mau menceritakannya padaku?"
Sua menggeleng.
Han menuntun Sua kembali ke tempat tidur. Tidak memaksa Sua untuk bercerita. Tapi Sua menolak di tengah jalan. Menolak untuk kembali tidur.
"Tidak apa-apa, aku akan menemanimu," suara Han begitu menenangkan.
Sua masih tidak yakin. Tubuhnya kaku sekali.
"Aku janji."
"Kau tidak akan meninggalkanku?" Sua mendongak memandang mata gelap itu.
"Tidak akan pernah."
Hening begitu panjang. Akhirnya Sua menurut dan melangkah begitu lambat kembali ke tempat tidur. Han duduk di sisi Sua.
"Kau sendiri bagaimana?" Sua melayangkan pandangan pada jam dinding. Tepat tengah malam lewat lima belas menit.
"Aku sudah berjanji tidak akan meninggalkanmu," Han menarik selimut menutupi tubuh Sua. Sedangkan ia sendiri tetap duduk di luar selimut.
Tidak. Itu tidak benar. Ia tidak mau Han tidak tidur hanya untuk menungguinya. "Kau boleh kembali tidur saat aku sudah tidur, temani aku sebentar saja," meski Sua sendiri tidak yakin berapa lama waktu yang dibutuhkannya untuk kembali tidur. Jika sudah terlalu lama mungkin ia akan berpura-pura tidur saja.
Han hanya tersenyum. Menggenggam tangan Sua dengan kedua tangan. Hangat dan nyaman.
"Han," panggil Sua. Tanpa di duga perasaan nyaman yang ditimbulkan Han membuat ia begitu cepat mengantuk. "Aku bahagia memiliki super hero pribadi."
Han tidak menyahut. Tapi Sua tahu Han tersenyum.
Begitu pelan Sua terbawa ke ketidaksadaran. Ia bergumam, setengah melantur. "Tetaplah bersamaku sampai waktunya benar-benar berpisah tiba."
Lalu bergantian suaranya yang bersahutan dengan Han, janji bahwa ia tidak akan meninggalkan Sua, berputar-putar sampai Sua tidak mendengar apa pun lagi dan jatuh terlelap sepenuhnya.