Chapter 11

1600 Kata
Sua mematut pantulan dirinya dalam cermin. Dalam balutan gaun putih di atas lutut tanpa lengan. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai dengan ujung-ujung ikal. Sua tersenyum cerah. Satu lagi hari yang paling ia sukai di dunia. Saat itu, ia sudah benar-benar melupakan kenyataan menyakitkan terbangun di pagi ini dengan Han meringkuk di sudut tempat tidur di dekat kakinya. Ia menepati janjinya untuk tidak meninggalkan Sua. Sua merasa sangat bersalah sementara Han terus-terusan memohon agar Sua tidak menyalahkan dirinya sendiri. Ia mendekatkan wajah ke cermin. Memeriksa tidak ada yang salah dengan wajahnya. Ia memakai lip tint merah hanya di bagian dalam bibir. Bulu matanya lentik alami jadi Sua tidak perlu memakai mascara. Ia hanya memakai eyeliner pensil sedikit. Mempertegas ujung matanya. Sua mengerang senang. Riasannya sempurna. Ia menegakkan punggung. Melipat kedua tangan di depan dalam posisi resmi. Ia sudah memilih lagu apa yang akan ia nyanyikan. Lagu lama yang sudah ia hapal di luar kepala. Lagu yang dinyanyikan oleh Baek Ji Young, berjudul After a Long Time. Salah satu soundtrack di film Rooftop Prince. Tak ada alasan kenapa ia memilih lagu itu. Hanya menyukainya saja dan tahu kakek Yoon pasti juga akan suka. Pintu terbuka. Dan Sua melihat Han berjalan mendekat. Senyum menawan menghiasi wajahnya yang luarbiasa tampan. Membuat Sua merasa seperti melihat mukjizat berjalan. Sua terkikik. Jelas saja. Han adalah mukjizat pribadinya. Han berdiri di belakang tubuh Sua. Menatap satu sama lain lewat cermin. "Kau cantik sekali," puji Han tulus. Lalu meletakkan kedua tangannya di bahu Sua. "Aku memiliki sesuatu untukmu," ia menunduk dan mencium puncak kepala Sua. Kemudian entah dari mana datangnya. Han mengulurkan sebuah hair pin berbentuk bunga berwarna merah. Senada dengan cat kuku dan riasan bibir Sua. Cantik sekali. "Wow, dari mana kau tahu hair pin itu akan cocok untukku?" Tanya Sua takjub. "Aku tidak tahu. Yakin saja." Sua meraih hair pin dari tangan Han dan memakainya di atas telinga. Sekarang segalanya terasa sempurna. Han melingkarkan tangannya pada tubuh Sua. Kalau boleh jujur, Sua ingin tetap begini selamanya. "Sekarang aku sedang memeluk kebahagiaanku." Sua tertawa kecil. "Kenapa tertawa? Aku serius tahu," Han memberengut. Sua mengerling jahil. "Aku tidak pernah meragukanmu, kok," lantas berbalik dan memeluk Han. "Kau tidak takut riasanmu kacau?" Sua memekik. Sontak menarik dirinya menjauh. Han terkikik geli. Sua mengerucutkan bibir sebal. "Jadi mau berangkat sekarang Malaikat Kecil?" Sua memiringkan kepala ke satu sisi. "Malaikat kecil?" "Begitulah kau terlihat saat ini." "Tidak, tidak," Sua menggeleng. "Aku tidak sekecil itu, tahu." Han tertawa saja dan menggenggam tangan Sua dalam perjalanan mereka menuju garasi mobil. *** Ben dan Yuta sudah sampai lebih dulu di rumah Yoon. Yuta terlihat begitu terpukau ketika Sua bergabung di halaman samping rumah Yoon yang kecil itu. Yoon juga menyambut Sua dengan heboh. Ia benar-benar memakai wedges yang kemarin dibelinya. Membuatnya beberapa senti lebih tinggi dari Sua. Lalu kakek Yoon, Lee Sang-Ok, menyambut Sua layaknya cucu sendiri, penuh kasih sayang dan semangat yang bisa ia berikan di usianya yang menginjak tujuh puluh tahun hari ini. Hanya Ben lah yang menyambut Sua dengan cukup normal. Mengucapkan "hai" sambil nyengir. Sama seperti keadaan di hari-hari biasanya. Halaman kecil samping rumah itu terasa nyaman dan tidak menyesakkan sama sekali. Meski ketiga tubuh laki-laki muda mendominasi ruang terbuka itu, tak satupun terlihat terusik. Sebaliknya keenam wajah itu nampak begitu senang. Ada sebuah meja bundar rendah yang berisikan kue ulang tahun putih sederhana. Beberapa lilin kecil panjang mencuat di beberapa bagian. Kakek Lee duduk di belakang meja dengan wajah berseri-seri. Ia menyapu seluruh wajah yang balik menatapnya lembut. Dan yang terpenting. Tak ada hadiah. "Aku senang kalian bergabung denganku hari ini," suara Kakek Lee terdengar lebih lemah dari terakhir kali yang diingat Sua. Sua mendesah lemah tanpa suara. Yoon di sisinya juga melakukan hal yang sama. Ada kesedihan pekat yang Sua tangkap dari sudut mata Yoon yang kini menggenggam sebelah tangan Sua erat. Sua mengerti, ia juga merasakan hal yang sama. Takut pada kenyataan akan memisahkan mereka dan Kakek Yoon. Dan semakin takut menyadari bahwa hal itu tak akan menunggu lama. Sua berpaling, menangkap dan memandang wajah Han di sisi lain tubuhnya. Ia menggerakkan sebelah tangannya yang lain dan menggenggam tangan Han. Ketakutan yang sama yang ia rasakan pada laki-laki itu. Han balas menggenggam tangan Sua. Lalu menoleh dan tersenyum. Senyumnya menenangkan. "Tujuh tahun lalu," Kakek Lee memulai ceritanya seperti biasa. Layaknya tradisi. Menghargai masa lalu, bukan meratapinya. Dengan tujuan menerima masa depan dengan tangan terbuka dan tanpa membawa-bawa luka masa lalu, begitu yang Kakek Lee katakan tujuh tahun silam. Sua masih mengingat ungkapan itu sekuat ia mampu mengingat wajahnya sendiri. "Adalah saat pertama kalinya Sua bergabung merayakan ulang tahunku," ia memandang Sua lembut. Membuat Sua tak bisa tak balas tersenyum meski hatinya pedih. "Aku masih sangat ingat, Sua masih sekecil ini saat itu," ia terkekeh. Mengulurkan sebelah tangan ke samping untuk menggambarkan tinggi badan Sua kala itu. Semua orang tertawa kecil. Bisa Sua rasakan Han meremas tangannya saat itu. "Aku melihatnya seperti malaikat kecil yang jatuh dari langit. Ia terluka. Tapi aku berharap sejak pertama kali melihatnya bersama malaikat kecilku yang cerewet, aku bisa menyembuhkan luka itu," ujar Kakek Lee bersungguh-sungguh. Sua mengangguk. Sama seperti Kakek Lee yang menganggap hadirnya bak seorang malaikat kecil. Sua menganggap Kakek Lee sebagai malaikat penyembuh. Menyembuhkan kepedihan yang Sua dapatkan dari keluarganya. Mengisi kekosongan dalam diri Sua yang kehilangan kasih sayang seorang ayah. Yoon mendenguskan tawa samar bercampur tangis. Sua mati-matian menahan air matanya yang hampir jatuh. "Namun hari ini, pada akhirnya, aku merasa begitu lega," jeda sejenak. Kakek Lee mengatur napas, mengumpulkan tenaganya kembali. Sua berharap Kakek Lee tidak memaksakan diri dan beristirahat saja. Ia tersenyum hangat. "Lega karena kali ini ada orang lain yang mampu mengisi kekosongan itu selain aku. Lega karena ada orang lain yang bisa menggantikanku untuk menjaganya." Tidak, Sua berhenti bernapas. Alisnya bertaut sedih. Ia merasakan semua orang menatap dirinya. "Sua," Kakek Lee memanggilnya dengan suara paling lembut yang pernah Sua dengar. Suara yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidup. "Berjanjilah padaku kau akan selalu bahagia." Tenggorokan Sua tercekat. Sakit sekali. "Aku bahagia selama Kakek bersamaku," ujarnya akhirnya. Tak bisa menahan tangisnya lagi. Sesaat Kakek Lee terdiam. Seolah ingin menghapus air mata di pipi Sua. Kemudian ia berpaling pada Han dan menunjukkan senyuman hangat lagi. Han seolah mengerti apa yang Kakek Lee pikirkan. "Aku berjanji akan menjaga Sua, aku tidak akan membuatnya menangis dan menyakiti hatinya," dan seperti yang Kakek Lee tahu. "Aku akan menjadi kakak yang baik untuknya." Sua yakin barusan jantungnya berhenti berdetak. Baru ketika Han meremas tangannya ia mampu kembali bernapas. Lambat, ia pun berpaling pada Kakek Lee yang kini memandang Ben di sisi lain Yoon. "Aku berharap kau menjaga malaikat kecilku yang paling cerewet di dunia, dan aku juga berharap kau tahan dengan kecerewetannya." Semua orang tertawa. Sua juga. Dalam sesaat sudah melupakan kalimat terakhir Han. Sua tidak mendengar jawaban Ben. Tapi ia yakin laki-laki itu pasti mengangguk. Kali ini Kakek Lee berpaling pada Yuta. "Kau laki-laki paling tampan yang pernah aku lihat, setidaknya sebelum aku menjadi tua dan keriput." Semua orang tertawa lagi. Han juga. Membuat Sua yakin bahwa Han tidak akan meninggalkannya dan tidak akan pernah menerima Sua sebatas adik tiri. Ia jauh lebih tenang sekarang. "Aku yakin kau mampu menjaga teman-temanmu dengan baik." Sua memajukan tubuh sedikit untuk melihat reaksi Yuta yang berdiri di sisi lain tubuh Han. Ia tersenyum cerah, tulus dan menganggukkan kepala penuh keyakinan. "Hari ini terasa begitu lengkap, melihat kalian semua di sini," Kakek Lee kembali menyapu pandangan pada semua orang. Sua berharap hari-hari lengkap ini bisa berlangsung selamanya. Selamanya yang tak memiliki batas. Sua maju selangkah. Melapas genggamannya pada tangan Han dan Yoon. Tersenyum memandang laki-laki kedua yang paling ia cintai setelah Han. Kalau dipikir lucu juga, Han baru datang tapi tahu-tahu sudah merebut seluruh ruang dalam hati Sua. Sua tertawa kecil. Melupakan seluruh kepedihan yang telah lalu. Ia berdiri dengan sikap resmi. Persis seperti pagi tadi di depan cermin. "Sebuah lagu istimewa yang aku persembahkan untuk malaikat yang paling aku cintai kedua di dunia," Sua bersyukur suaranya tidak terdengar bergetar karena sempat menangis. Itu praktis akan menghancurkan segalanya. "Sekarang aku menjadi yang kedua," ujar Kakek Lee berlagak terluka, di balik sorot matanya yang dipenuhi kelegaan. Ia mengerling singkat pada Han. Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun. Ia merasa sedikit gugup. Karena menyadari kenyataan Han ada di sini. Menyaksikannya. Ia menoleh, Han juga memandangnya dengan senyuman favorit Sua. Ia mengangguk memberi semangat. Sua menghela napas yakin dan kembali memandang Kakek Lee. Sama seperti tujuh tahun ini, Sua bernyanyi tanpa iringan musik. Suaranya lembut dan jernih. Suasana begitu hening. Begitu tenang. Semua orang terpukau. Lagu yang sedih itu tak terasa sedih. Justru menenangkan dan menjadi candu. Sua tahu benar ia sendiri tenggelam dalam nyanyiannya. Ia memejamkan mata. Menikmati setiap kata yang keluar dari bibirnya. Akhirnya, saat lagu selesai dan ia kembali membuka mata. Air matanya tumpah. Isaknya tenggelam dalam riuh tepuk tangan. Sua berjalan cepat dan memeluk Kakek Lee lembut. Laki-laki itu balas memeluknya. Menepuk-nepuk pundak Sua berusaha menenangkan. Demi Tuhan, Sua tidak ingin kehilangan laki-laki itu. Kakek Lee sangat berarti untuk hidupnya yang kosong. Hanya berselang beberapa detik untuk merasakan Yoon datang memeluk mereka. Menangis juga. Sua tidak peduli ada tiga mata dewasa yang menyaksikannya menangis seperti bayi. Ia bahkan tidak peduli jika seumur hidup diolok-olok cengeng. Sua bergeser sedikit. Memberi ruang untuk Yoon sehingga mereka berdua sama-sama berada dalam pelukan Kakek Lee. "Eh, kau menangis," samar suara Han terdengar. "Tidak, aku tidak menangis," bantah Yuta dengan suara serak. Sua tersenyum geli. Lalu membenamkan wajahnya lebih dalam ke dalam pelukan hangat Kakek Lee.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN