"Tidak, tidak," tolak Sua mentah-mentah. Ia duduk di ujung kursinya dengan tatapan ngeri.
Yoon mengerang. "Ayolah, tidak akan seburuk-"
"Yang kukira, benar. Tapi tidak Yoon, aku dengan Han atau tidak sama sekali."
Yoon menepuk pipinya dengan kedua tangan. Nyaris frustasi. "Ini bukan kencan buta dan aku sengaja menjodohkanmu dengan Yuta. Bukan seperti itu."
"Well," Sua memutar bola mata. Berharap dapat membenarkan posisi duduk agar tidak terjatuh. "Jika bukan seperti itu lantas kenapa Han tidak boleh bergabung?"
Berhasil. Yoon langsung terbungkam. Tetapi Sua tahu ia belum menyerah.
Hal tergila yang Sua dengar pagi ini. Di mana Yoon mengajaknya double date. Dengan ia berpasangan dengan Yuta. Sua yakin Yoon sudah gila. Apa pun alasannya ia tidak bisa menerima itu.
"Kita hanya akan ke taman hiburan di dekat pantai. Bukan tempat yang terkenal, jadi aku yakin tidak terlalu ramai. Kau lihat, bahkan aku mempertimbangkan hal itu demi kenyamananmu," entah dari mana datangnya semangat Yoon kembali berapi-api.
"Kedengarannya bagus," tapi Sua tidak tertarik pada tempat yang tidak ada Han di sana.
"Tentu saja," Yoon meragukan pendapat Sua. "Ini lebih ke rencana Ben. Ben bilang, Han memiliki rencana lain kurasa," nada suaranya merendah di khir kalimat.
Yang benar saja. Tentu Han akan memberitahunya lebih dulu.
"Kau, kan, suka kembang api," Yoon mengeluarkan jurus terakhirnya. Mungkin ia akan menyerah kali ini.
Sua mengangkat bahu. Tak terlalu menyukainya lagi jika tanpa Han.
"Mungkin seharusnya kau lihat sendiri bagaimana reaksi Yuta saat itu. Kau tidak akan tega menghancurkan harapannya, tahu."
Sua mendesah lelah. "Aku tidak pernah memberinya harapan apa pun."
"Bukan itu," suara Yoon makin lirih.
Sua tahu penyebabnya dan ia lega. Dosen mereka sudah datang. Dan kini Sua dapat membenarkan posisi duduknya tanpa khawatir Yoon akan menerkamnya.
"Maksudku Yuta senang sekali bisa pergi bersama kau," suaranya tenggelam dalam keheningan panjang.
Detik berikutnya tak seorang pun dalam ruangan berani menimbulkan suara sekecil apa pun.
***
Waktu berjalan cepat saat Han ada di sisinya. Sebentar saja ia sudah sampai di rumah. Sua mendesah. Ia sudah memutuskan untuk tidak memikirkan lagi rencana gila Yoon dan Ben. Malam ini. Ia ingin bersama Han saja. Terserah mau melakukan apa. Semua hal terasa sempurna selama bersama Han.
Seperti biasa Han membukakan pintu mobil untuk Sua dan membawakan ranselnya. Sua menautkan jari-jarinya ke dalam jari Han. Dengan begitu perasaannya jadi ringan.
"Kau yakin tidak akan ikut ke pantai?" Entah sudah berapa kali Han menanyakan pertanyaan itu.
Sua selalu menjawab dengan jawaban yang sama dan reaksi yang sama persis juga. "Yakin," datar dan tidak tertarik.
"Jika ke sana bersamaku bagaimana?" Nada suara Han menggoda.
Sua sontak mendongak. Memandangi Han yang kini sedang membuka pintu rumah dengan sebelah tangan. Sudah terbiasa dan tidak nampak kesulitan. "Itu lain lagi."
Han menahan tawa. "Kenapa lain?" Ia berlagak tidak tahu.
Sua berpikir sejenak. Membayangkan ia dan Han ke pantai lalu menyalakan kembang api. Tanpa Yuta, tanpa Yoon, tanpa Ben. Astaga, betapa sempurnanya hal itu.
"Aku akan mandi dan mengganti pakaian, tunggu aku di sini," kata Sua ketika mereka sampai di ruang tengah. Sua berjinjit, mengecup singkat pipi Han dan berlari-lari kecil meninggalkannya.
Butuh waktu hampir tiga puluh menit untuk Sua kembali ke ruang keluarga. Ia melangkah riang dan bertanya-tanya apa sudah membuat Han menunggu terlalu lama meski biasanya juga begitu.
Han sedang duduk melamun di sofa. Sua tertegun. Merasakan De Javu mengerikan. Teringat ketika pertama kali Han bersikap aneh dan menjauh. Apakah Han akan bersikap begitu lagi?
Tidak. Sua yakin itu. Ia mempercepat langkah. Han langsung menyadari kehadiran Sua.
"Sedang memikirkan apa?" Ia berharap nada suaranya terdengar biasa-biasa saja.
Han memandangi Sua sejenak. Menilai. "Kau cantik."
Sua mendengus. Lantas mendudukkan diri di sisi Han dan bersandar pada bahunya. "Jangan mencoba mengalihkan perhatianku."
Sebelah tangan Han meraih tangan Sua. "Tidak. Hanya saja ada hal yang belum kukatakan padamu. Aku takut itu akan mengganggumu."
Sua menegakkan punggung. Mengernyit waswas sekaligus ngeri.
"Sebenarnya aku tahu rencana Ben ini. Dia sengaja menjodohkanmu dengan Yuta."
Sua lega sekaligus jengkel.
"Ben juga mengerti betapa Yuta menyukaimu."
Sua menatap Han dengan tatapan jangan-katakan-itu-lagi. Han meringis.
"Jika aku jadi, Ben. Akan sulit untuk mengabaikan perasaan Yuta padamu. Ia membicarakanmu setiap waktu."
Sua memutar bola mata. Bergerak menjauh. Han segera meraihnya.
Tiba-tiba terdengar bel pintu berbunyi. Awalnya sekali. Kemudian dua tiga kali, nyaris tidak sabar. Sua dan Han saling pandang. Sama-sama ngeri. Mungkinkah Mom dan Dad pulang lebih awal?
"Biar aku saja," kata Sua. Ia juga tidak tahu kenapa.
"Mari lakukan bersama," Han menggenggam tangan Sua lebih erat. Seperti akan menghadapi perang saja.
Jika tidak teringat betapa tegangnya suasana saat itu Sua mungkin sudah tertawa terbahak-bahak.
Han menyeimbangkan langkahnya dengan langkah Sua yang pendek-pendek. Dan secara otomatis melepas genggaman tangan masing-masing ketika sampai di depan pintu. Han maju selangkah. Jantung Sua melonjak-lonjak keras.
Pintu terbuka. Sua menahan napas. Sosok jangkung Yuta muncul. Kebahagiaan di wajahnya berganti menjadi canggung dan perasaan bersalah.
"Hai," ia menyapa, terlihat bingung dengan ucapannya sendiri.
"Ada apa, Yuta?" Sua menyempatkan melirik Han sekilas. "Kau tidak memberitahuku akan datang, dan sepertinya Han juga tidak tahu," ia mendongak, mencari pembelaan.
Tapi Han diam saja. Membuat Sua mulai berfirasat buruk bahwa Han tahu kedatangan Yuta untuk mencarinya.
"Aku ingin mengajakmu ikut bersamaku," ia mengoreksi cepat. "Bersama kami, Ben memintaku untuk menjemputmu."
Mata Sua membulat. Ia baru saja ingin menyembur Yuta ketika mata Han menangkapnya. Memohon agar tidak menyakiti Yuta dengan kata-katanya. "Tapi," Sua berusaha keras mengendalikan suaranya. "Aku sudah mengatakan pada Yoon aku tidak ikut."
"Aku sungguh-sungguh minta maaf," Sua menambahkan karena dua laki-laki di sana tidak ada yang kunjung bicara.
Yuta tersenyum sedih. Ia tidak benar-benar memandang Sua. "Kau tidak perlu meminta maaf."
Sua merasa sesuatu meremas hatinya. Untuk pertama kali iba pada Yuta. Ia mendongak lagi. Han tersenyum. Seolah baik-baik saja jika Sua pergi.
Sua menghela napas. "Tunggu aku lima belas menit," ia berbalik tanpa menunggu jawaban.
Otaknya sibuk berpikir. Kenapa Han tidak berusaha mencegahnya pergi? Apakah ia sungguh baik-baik saja jika Sua pergi? Kenapa?
Sua membuka pintu kamarnya dengan kekuatan yang tak diperlukan. Akibatnya pintu menabrak dinding dengan keras menimbulkan suara debuman yang cukup menyakitkan telinga. Sua sadar benar pikirannya menyakiti dirinya sendiri. Ia mengambil sebuah sweater cokelat dan tas tangan hitam dari lemari. Memasukkan ponsel dan dompet ke dalam tas dan menutup pintu dengan kekuatan yang sama. Ia terus bertanya-tanya kenapa Han begitu...
Oh, sial. Sua melupakan sepatunya. Ia berbalik lagi. Tanpa menurunkan kekuatannya sedikit untuk membuka pintu. Mengganti sandal rumah yang ia pakai dengan sepatu putih dan membanting pintu lagi.
Han dan Yuta mengobrol santai di ambang pintu. Rahang Sua mengeras. Ia menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Sebisa mungkin memasang raut wajah santai dan untuk pertama kalinya. Memaksakan seulas senyum.
***
Hati-hati Sua membuka pintu rumah yang tak terkunci. Setengah dirinya berharap Han belum tidur. Ia ingin melihat untuk terakhir kalinya malam itu. Dan sebagian dirinya berharap Han sudah tidur dan tidak menunggunya. Saat ini sudah mendekati larut malam. Perjalanan ke pantai sialan itu memakan waktu lama sekali. Sua juga tidak bisa menikmati apa pun. Tidak ada satu hal pun yang mampu membuatnya tersenyum. Kecuali rasa bersalah pada Yuta. Seakan Sua lah yang bertanggung jawab karena telah membuat senyuman Yuta yang semanis malaikat menghilang.
Sua berjalan menghentak-hentak. Kemudian samar mendengar suara televisi. Ia langsung merubah arah. Berjalan mengendap-ngendap dan mencodongkan tubuh dari balik sofa. Han tertidur di sana.
Sua berjalan memutar. Perasaan bersalah menguasai dirinya lebih daripada perasaan bersalahnya pada Yuta. Ia berjongkok. Melipat tangan di sisi wajah Han dan bertopang dagu.
"Maaf sudah membuatmu menunggu," Sua memerhatikan wajah itu lama sekali. Terbuai pada kesempurnaan wajah Han.
"Permintaan maaf diterima."
Sua tersentak. Mata Han masih tertutup rapat tapi bibirnya melengkung membentuk senyuman. Lalu tiba-tiba ia bangkit. Mudah saja meraih tubuh mungil Sua ke dalam pelukannya. Han terkekeh. Senang sekali bisa mengerjai Sua.
Sua lega bercampur senang. "Kukira kau tidur sungguhan."
"Aku mendengar suara mobil Yuta."
Sua bergeming. "Oh."
"Bagaimana acaranya? Menyenangkan?" ia menjauhkan tubuh Sua untuk dapat menatap wajahnya.
Sua menggeleng. "Buruk."
Sebelah alis Han terangkat heran. "Seburuk itu, kah?"
Sua mengangkat bahu. Tak ingin menceritakannya.
"Mau memperbaiki suasana hati tidak?"
"Eh?" Sua terperangah. Apa barusan ia salah dengar.
"Jalan-jalan di dekat sini?" Han menawarkan. Namun kali ini dirinya sungguh-sungguh berharap Sua menerimanya. Bukan lagi penawaran yang membuat Han tersiksa.
Malam itu lumayan dingin. Sua tak masalah karena memiliki penghangat berjalan pribadi. Ia melirik Han, terkikik geli atas pemikirannya sendiri.
Jalanan di sekitar rumah mereka tidak terlalu ramai. Namun tidak cukup untuk dikatakan menyeramkan. Bahkan bayangan pepohonan di balik pagar besi tak terasa mengusik. Sebentar lagi puncak musim semi. Sua mengingatkan diri sendiri. Sayang pohon-pohon di sini bukan pohon bunga sakura yang akan mekar dengan indahnya. Sekalipun begitu, Sua tetap bahagia karena Han di sisinya.
Kalau diingat-ingat aneh juga. Sua tidak bisa merasa setenang ini ketika berada di sisi Yoon, Ben dan Yuta. Meski Yoon banyak berceloteh riang, Sua merasa ada yang hilang dari bagian dirinya. Dan saat ini. Tepat saat Han menggenggam tangannya, bagian yang hilang itu utuh kembali.
"Apa yang kau pikirkan?" Tiba-tiba Han bertanya, memecah keheningan.
"Yoon," setidaknya Sua tidak sepenuhnya berbohong.
Han memasang raut wajah mengerti. "Yoon sangat peduli padamu. Itu sebabnya dia berusaha mengeluarkanmu dari..." Han berusaha mencari istilah lain. "Dari hal itu."
Sua sudah banyak bercerita pada Han tentang bagaimana obsesi Yoon agar Sua berkencan. Dan Sua paham betul istilah yang Han sebut sebagai 'hal itu', yaitu dirinya yang bertentangan dengan keinginan Yoon. Sebelumnya Sua juga bertekad untuk melajang seumur hidup. Yah. Walau sepertinya hal itu masih akan berlaku karena hubungannya dengan Han jelas terlarang dan mustahil.
"Aku tahu," sahut Sua akhirnya. "Aku tahu Yoon sangat peduli padaku. Kami bersahabat sejak masih SMP."
"Apa aku boleh tahu kenapa kau berpikir demikian?" Han menatap Sua lurus-lurus. Ia serius sekarang.
Sua meringis. Membuat dirinya teringat pada saat Han menahan sakit itu. "Intinya saja," Sua tidak mau mengungkit-ungkit hal itu untuk saat ini. "Aku juga sudah pernah mengatakannya padamu. Aku benci ayahku."
Hening sejenak. Kemudian Sua menceritakan apa yang ia dengar dari keluarganya. Han mendengarkan dengan raut wajah yang tak dapat Sua baca. Sua tak terganggu dengan itu. Ia mengira Han hanya berusaha memberi reaksi yang lebih hati-hati. Bukannya pandangan iba seperti dulu.
"Jika kau ingin mengatakan tidak semua laki-laki itu sama kau sudah terlambat dari Yoon," gurau Sua. Berlagak bisa membaca pikiran Han.
Han tersenyum. "Belum tentu apa yang kau dengar benar."
Sua terkesiap tak percaya.
Han mengusap puncak kepala Sua. Menenangkannya. "Jika kau terus tenggelam dalam kebencian itu, kau tidak akan pernah menyadari berapa banyak ketulusan orang lain yang kau lewatkan."
Mulut Sua terkunci.
"Lalu bagaimana dengan aku," itu bukan pertanyaan. "Kau mengatakan aku berbeda. Dan kemungkinan ada orang lain juga yang berbeda sepertiku."
Tidak. Sua tidak suka argumen itu. Tidak ada seorang pun menyerupai Han. Han adalah Han.
"Kuharap juga," sorot mata Han melembut. "Kau tidak mudah menelan bulat-bulat ucapan orang lain. Bukankah kau memberitahuku jika keluargamu membenci kau dan Mom."
Sua mengangguk kaku. Ingin menangis teringat kebencian itu.
Han meletakkan tangannya pada bahu Sua. Seakan memberinya kekuatan tambahan. "Setiap orang memiliki tujuan untuk apa mereka dilahirkan. Itu salah satu kutipan konyol yang aku percayai. Sekarang coba berpikir positif, mungkin ayahmu pergi karena tujuan hidupnya. Tujuannya mungkin berbeda dengan tujuan Mom. Dan beberapa perbedaan memang tidak bisa disatukan."
Sua termenung.
"Dan kemungkinan terbesarnya adalah," suara Han kian lirih. "Kenyataan bahwa Mom dan ayahmu memang tidak cocok. Beberapa hal tidak bisa dipaksakan, Sua."
Sua yakin sekali melihat kilatan pedih di balik mata Han. Beberapa hal yang tidak bisa dipaksakan seperti keadaan mereka. Sua menggeleng samar. Mengalihkan pikirannya dari hal itu. Mencerna kata-kata Han dan menemukan satu fakta baru. Mom belum pernah menceritakan apa pun. Padahal kebenaran terbesar harusnya muncul dari mulut Mom sendiri. Jadi, meski enggan, Sua menerima perkataan keluarganya belum terjamin benar. Sungguh aneh sekali mendapati Han mampu memengaruhinya seperti ini.
"Jadi Han, apa tujuan hidupmu?"
"Untuk menjaga dan melindungimu," sahut Han langsung.
Bibir Sua membeku dalam lengkungan senyum. Ia hanya bercanda. Jelas tak menyangka akan mendapat reaksi seserius itu. "Well, kalau begitu. Kau semacam super hero pribadiku?"
Kening Han berkerut. Berlagak berpikir keras. "Bisa dibilang begitu."
Sua tertawa riang. Lantas meletakkan tangannya kembali dalam genggaman super hero pribadinya dan melanjutkan langkah pulang.