Sua sadar ia harus mulai membiasakan diri dengan keberadaan Mom dan Dad. Ia tidak bisa menatap Han terlalu lama atau sebebas biasanya. Hanya untuk berjaga-jaga jika mendadak ia terlihat aneh. Pun Han juga terlihat sudah mulai terbiasa. Tidak terus memandang Sua. Tapi lebih dari semua itu. Sua merasa tidak nyaman. Perasaannya kalut. Ia tidak bisa tenang.
Semalam Yoon menelepon memberi kabar kakek Lee harus masuk rumah sakit lagi. Sua ingin menjenguknya sekaligus menemani Yoon di sana. Tapi Yoon melarang. Sudah larut. Padahal ia bisa meminta Dad atau bahkan Han untuk mengantar sampai rumah sakit. Dan Mom tak akan keberatan.
"Kau melamun lagi, Sua."
Sua tersentak, seketika sadar dari lamunan. Otomatis ia menoleh ke sumber suara. Pada Han yang duduk di seberang. Sua mengerjap lantas mengalihkan pandangan kembali pada makanannya tanpa menyahut.
"Ada sesuatu yang kau pikirkan, Dear?" Dad memandangnya cemas.
Sua mengembuskan napas lelah. Semua orang tidak perlu secemas ini hanya karena ia melamun sebentar. "Aku memikirkan kakek Lee."
"Oh, benar," Mom teringat. "Sudah ada kabar lagi dari Yoon?"
Sua menggeleng. Mengaduk-aduk sarapannya tanpa minat.
Mom dan Dad saling pandang.
"Mungkin kau bisa menjenguknya sebelum berangkat. Kau tidak keberatan mengantar adikmu, Han?" Dad menoleh pada Han, yang sama seperti Sua, tidak suka pada sebutan adik itu.
"Tidak," sahutnya singkat.
"Atau kau ingin Dad yang mengantarmu?"
"Tidak perlu, Dad," sela Han cepat. "Aku biasa berangkat bersama Sua. Lagipula letak barmu berbeda arah dengan kampus kami."
Sua bergeming. Terserah saja siapa yang mau mengantar. Yang terpenting kali ini ia bisa mendengar kabar dari Yoon bahwa kakek Lee sudah baik-baik saja. Kalau perlu kakek Lee sendiri yang meneleponnya.
Sua mendesah lelah. Sulit sekali menyingkirkan perasaan tidak enak ini. Ia tidak berhenti merasa gelisah. Tiba-tiba ponselnya berdering. Membuat Dad dan Mom berhenti bicara. Semua orang di meja terdiam memandang Sua.
Dari Yoon, Sua membaca sebaris nama yang tertera di layar ponsel. Ia tidak ingin mengakui ini, namun jantungnya berdetak cepat sekali. Di saat yang sama ia merasa sesuatu seolah memukul perutnya.
"Halo, Yoon, bagaimana kea-" Kening Sua berkerut dalam. Ia tidak bisa mendengar jelas apa yang Yoon katakan karna gadis itu histeris.
"Yoon, aku tak bisa mendengarmu," kali ini Sua merasa sesuatu berputar dalam perutnya.
Semua orang di meja ikut tegang. Ikut cemas mengikuti gerak-gerik Sua.
"Kritis?" Tanpa sadar ia mengulangi ucapan Yoon.
Hubungan terputus begitu saja.
"Han, antar aku sekarang. Ke rumah sakit."
Han langsung bangkit tanpa bertanya apa-apa. Kunci mobil hadiah dari Dad sudah ada dalam saku kemejanya. Ia siap saat itu juga. "Aku akan menghubungimu nanti, Mom," ucapnya sebelum pergi. Sekedar membuat Mom tidak terlalu khawatir.
Sua langsung berlari tanpa membawa ransel dan sweaternya. Tidak ada hal lain yang ia pikirkan selain kakek Lee. Udara dingin menyambut tubuh Sua ketika ia sampai di halaman. Tapi ia tidak peduli. Tidak ada hal lain yang lebih ia harapkan ketimbang keselamatan kakek Lee.
Kumohon, kumohon... Sua meratap dalam hati.
Langkah Han jelas jauh lebih cepat dari Sua. Ia sudah mengeluarkan mobil dari garasi dan membukakan pintu untuk Sua. Lalu menyetir secepat yang ia bisa menuju rumah sakit.
Sua terlihat akan menangis setiap kali mereka menemui lampu lalu lintas yang masih merah. Berkali-kali juga ia meminta ia yang menyetir. Karena rasanya lama sekali.
Sua terus berdoa sepanjang jalan. Semoga kakek Lee baik-baik saja.
Begitu sampai di rumah sakit Sua langsung berlari lagi. Meninggalkan Han. Yoon sudah memberi tahu di mana kakek Lee di rawat semalam. Jadi tanpa bertanya pada resepsionis ia langsung menuju ke tempat yang Yoon sebut. Ia sudah cukup hapal daerah rumah sakit ini karna sering menjenguk kakek Lee.
Ia berbelok menyusuri lorong. Napasnya memburu. Ia tidak peduli. Sebisa mungkin menarik napas meski begitu sulit, ia harus menjaga kesadarannya. Itu dia. Belokan terakhir di ujung lorong. Sua berbelok. Dengan semua harapan yang ia satukan haya untuk satu hal.
Pada detik itu juga. Sua bertanya. Apa Tuhan benar-benar ada? Apa Tuhan mendengar doanya?
Ia melihat Yoon pingsan dalam pelukan Ben. Dan dokter yang merawat kakek Lee di sisi mereka. Dengan raut wajah menyesal itu.
Ini tidak benar, kan...
Sua merasa kehilangan seluruh tenaga yang tersisa dalam tubuhnya. Ia merosot ke lantai. Sakit sekali... Sakit sekali... Ia mulai menangis tanpa bisa mengontrol diri.
Meski dirasakannya Han datang, menyelimuti tubuh Sua dengan kemejanya. Sua tidak bisa melakukan apa pun lagi. Ia tidak bisa hanya untuk sekedar bangun. Sekuat apa pun tekad dari sebagian dirinya untuk melihat sendiri keadaan kakek Lee dan memastikan semua ini tak benar. Ia tetap tidak bisa.
Hari itu. Sua kehilangan separuh bagian hidupnya. Kini ia kembali menjadi manusia yang setengah kosong.
Malam cepat berganti siang. Yoon tidak berhenti menangis semalaman. Sua juga. Sampai ia merasa air matanya telah mengering. Ia belum pernah menangis selama itu seumur hidupnya.
Di pagi yang cerah ini. Semua orang terlihat berduka. Sua tak bicara pada siapa pun sejak semalam. Bahkan tidak dengan Han. Ia mungkin terdengar kekanak-kanakan. Tapi ia hanya ingin kakek Lee kembali.
Orang-orang berdatangan silih berganti pagi itu. Mom juga datang. Memaksa Sua untuk makan meski sedikit. Ia tidak bisa meninggalkan Yoon lama-lama. Jadi setelah memakan kue yang Mom bawa, ia kembali masuk. Ketika itu sudah ada Tadashi di sana. Teman Yoon yang mengajari Sua menyetir. Ia masih mengingatnya meski sudah lama sekali. Yoon memeluk laki-laki itu. Menangis lagi.
Sua tidak tahu sejak kapan Han berada di sisinya. Ia menggenggam tangan Sua, berbagi kehangatan tubuhnya.
Posisi Yoon membelakangi mereka. Jadi Sua dapat dengan jelas memandang wajah Tadashi, matanya terpejam. Ia juga menangis. Lalu saat mata itu terbuka, memperlihatkan mata hijau cemerlang yang luar biasa indah, Sua dapat merasakan kesedihan itu dalam matanya. Kabar terakhir yang Sua tahu tentang Tadashi, ia sedang berada di Jepang. Mungkin ia langsung pulang saat Yoon memberinya kabar kakek Lee kembali masuk rumah sakit.
"Maafkan, aku."
Sua menoleh. Yuta berdiri di sisinya yang lain. Matanya basah, ia menunduk, terlihat sangat menyesal. "Aku baru tahu..." Ia tidak sanggup menyelesaikan kata-katanya.
Sua meraih sebelah tangan Yuta dan menggenggamnya. Membuat laki-laki itu tersentak. "Tidak apa-apa, Yuta."
Sua mengalihkan pandangan lagi ke depan. Pada Ben. Ia diam saja di samping Yoon yang menangis sesenggukan.
Sua menghela napas lelah. Untuk saat ini bernapas menjadi hal yang cukup sulit. Ia mendongak memandang menerawang melewati langit-langit. Semua orang bersedih. Tetapi kakek Lee pasti tersenyum dari tempat yang tak dapat Sua jangkau. Kakek Lee yang selalu membawa cinta dan kebahagiaan untuk semua orang, pasti tidak ingin orang-orang menangisinya.
Sua masih sangat ingat pesan kakek Lee di hari ulang tahunnya. Kebahagiaan Sua...
Ia menjatuhkan pandangan lagi. Sakit sekali. Ia memejamkan mata untuk menahan diri. Tapi air matanya tidak bisa ia kendalikan lagi.