Sua medengar suara televisi menyala dan suara tawa ketika melangkah masuk. Lantas berbelok dan memerhatikan sebelum benar-benar masuk ke ruang keluarga. Tubuh besar Han menjulang dari sudut sofa, lalu ada Dad dan Mom di sisinya. Mereka menonton televisi sambil tertawa-tawa. Terlihat senang sekali. Kecuali Han yang meski tersenyum diam-diam menyembunyikan kekhawatiran. Sua tahu itu.
"Aku pulang," kata Sua canggung. Tidak tahu harus berkata apa.
Semua orang menoleh seketika. Han juga tersentak dan menoleh dengan raut wajah yang sangat tidak Sua sukai itu. Sua berusaha untuk tidak memedulikannya. Tidak di hadapan Mom dan Dad.
"Oh, Sua, selamat datang," sambut Dad dengan keramahan yang tak pernah dibuat-buat.
"Kemarilah, Sua, menonton televisi bersama kami," ajak Mom ceria, seperti biasanya.
Sua tersenyum kecil dan mendudukkan diri di sofa lain.
"Kau pernah menonton film ini, Sua? Ini koleksi dari DVD Dad," jelas Mom.
Sua mengalihkan pandangan ke layar televisi. Seketika teringat. Itu film yang ia tonton pertama kali bersama Han. Ketika laki-laki itu mendadak mengasingkan diri. Sua jadi bertanya-tanya jika saat itu ia tidak pernah mengajak Han menonton film, mungkinkah segalanya tak akan menjadi seperti ini sekarang?
"Sepertinya belum," sahut Sua akhirnya. Ia tidak memiliki alasan untuk mengatakan yang sebenarnya juga.
Sementara Dad menjelaskan inti filmnya, Sua berpura-pura mendengarkan sambil mengangguk. Bagi Dad tak akan menarik lagi jika ia menjelaskan keseluruhan cerita filmnya. Karna itu hanya menjelaskan bagian yang sudah Sua lewatkan.
Sua tahu Han sering sekali memandang dirinya. Tapi ia tidak bisa balik memandang Han untuk saat ini. Ia tipe orang yang tidak bisa menyembunyikan perasaan. Ia tidak ingin segala hal bertambah rumit. Ia sudah cukup pusing.
Mom juga menceritakan tentang masalah-masalah yang mereka hadapi di Washington. Ia pusing sekali dan mengeluh bisa menghabiskan waktu berlibur.
"Lalu kenapa Mom tidak berlibur saja?" Usul Sua, ia tidak memiliki alasan khusus. Hanya asal bicara saja.
Mom nampak terkejut sesaat. "Ada benarnya juga, tapi tidak. Mom tidak mau meninggalkan kalian lagi."
Sua mendecak. "Aku bukan anak lima tahun, Mom."
Dad tertawa karena Sua memberengut. Membuat ia makin yakin Mom dan Dad memang menganggap ia sebagai anak kecil berusia lima tahun.
"Kalau masalah liburan kita liburan bersama saja. Mungkin kepulau jeju, kau suka pantai, Sua?"
"Ya, aku suka, Dad. Tapi liburanku masih lama. Kalau ingin Dad bisa ke sana, sekalian honey moon," Sua meraih sebuah corndog di meja. Bertanya-tanya siapa yang memasak ini. Atau mungkin Mom yang membelinya. Ia tidak tahu, asal makan saja. Toh, tidak terlalu penting juga.
Tanpa Sua sadari Mom dan Dad berpikir keras di saat yang sama. Mempertimbangkan usul Sua yang tak berdasar.
"Ide bagus, Dad," Han menambakan. Pertama kalinya bicara setelah Sua datang.
Sua tidak memerhatikan dan mengalihkan pandangan pada layar televisi. Sambil menikmati corndog yang rasanya enak sekali dalam mulut Sua.
"Nanti setelah aku dan Sua liburan, kita bisa membuat rencana baru dan berlibur bersama. Jika saat ini Mom dan Dad sedang merasa stres berlibur cukup efektif kurasa," ucap Han lagi. Sua sama sekali tak menoleh ke arahnya.
"Ya, memang benar," Dad menangguk-angguk. "Pulau jeju pasti menyenangkan, kan?" Ia menoleh pada Mom.
Mom mengangguk setuju. "Kita bisa mengaturnya nanti," lalu berpaling pada Sua yang masih sibuk makan. "Kau suka corndognya, Sua?"
Sua mengangguk tanpa menoleh. Bukan karna menyukai filmnya. Hanya ingin menghindari Han saja.
"Mom baru sadar bahan makanan di dapur ada sedikit sekali. Apa kalian makan teratur selama Mom pergi?"
"Kami belanja bersama beberapa kali," jawab Han sekaligus mewakili Sua.
"Han sering memasak untukku," sebisa mungkin Sua mempertahankan diri agar tidak menoleh ke arah Han. Ia menjatuhkan pandangan ke meja, mengambil corndog lagi dan kembali ke posisi semula.
"Syukurlah, kau hebat sekali, Han," puji Mom. "Kurasa kita harus belanja, meski Sua sangat suka corndog yang kita beli dia tetap harus makan makanan yang sehat," kali ini Mom bicara hanya pada Dad.
Dad mengangguk setuju.
Sua merasakan Han menatapnya. Membuat gugup saja.
Kemudia Mom dan Dad sepakat untuk belanja saat itu juga. Menanyai Sua dan Han ingin apa karena mereka sama-sama menolak untuk ikut. Jelas Sua lelah karena ia baru pulang. Sedangkan Han beralasan tidak mau jadi nyamuk di antara Mom dan Dad. Akhirnya mereka pergi dengan meninggalkan nasihat agar Sua tidak memakan semua corndognya. Ia harus berbagi dengan Han. Sua ingin tertawa karna nasihat bodoh itu. Seperti anak kecil saja, meski ia tahu Mom hanya bercanda.
Sedetik kemudian Sua menyadari, ia kini berdua saja dengan Han. Seketika ia berhenti makan dan memutar kepala memandang Han. Tatapan Han itu, membuat Sua merasa sakit lebih dari yang ia kira. Ia bersyukur bisa menghindari tatapan itu selama Mom dan Dad ada.
"Kau marah padaku?" Tanya Han setelah mendengar suara mobil Dad menjauh.
Sua menggeleng. Lantas bangkit dan duduk di sisi Han.
"Kau tak bicara padaku sejak semalam," ujar Han tanpa menyembunyikan perasaan cemasnya.
"Yang kau katakan padaku dulu itu benar, Han."
"Yang mana?" Kening Han berkerut dalam.
"Tentang ayahku."
Wajah tampan Han berubah lebih tenang saat mendengarnya. Mungkin ia berpikir sesuatu yang lain sebelum ini. Sesuatu yang membuat ia takut.
Tanpa basa-basi lagi Sua menceritakan semua yang Mom katakan padanya. Reaksi Han nyaris tak jauh beda dengan Yoon. Membuat Sua bertanya-tanya, dua orang ini mungkin terlalu banyak menonton film fiksi ilmiah atau semacamnya.
"Memangnya kau percaya hal itu sungguh ada?"
"Entahlah," sahut Han jujur. "Tapi Mom tak akan membohongimu. Tak mungkin ia menyakitimu seperti itu."
Sua memandang ke dalam mata gelap itu. Mata yang selalu mampu membuatnya tenggelam. Bahkan yang Han katakan mirip dengan yang Yoon katakan. Hal itu jadi membuat Sua ingin menanyakan pendapat pada orang lain lagi. Mungkin Yuta. Bodoh sekali...
"Tapi aku bersyukur kau tak marah padaku," Han mengusap puncak kepala Sua dengan sebelah tangan.
Sua tersenyum senang. Seketika sadar ia begitu merindukan sentuhan Han. "Aku tidak punya alasan untuk marah padamu."
"Mau ke tempat bahagiamu tidak?" Katanya dengan nada menggoda.
Sua tidak butuh ditanya dua kali. Ia senang berada dalam pelukan seorang Han Kim. Senang bisa mencium aroma tubuh Han yang menenangkan. Ah, ia jadi teringat Tae-Oh. Rasa marahnya barusan hilang karena Han memeluknya. Kini ia jadi teringat penyebab kemarahannya.
"Tadi, sewaktu aku makan donat bersama Yoon. Tiba-tiba Tae-Oh datang," Sua dapat merasakan tubuh Han menegang.
"Apa kau baik-baik saja?" Ia mendorong tubuh Sua menjauh untuk memastikan.
Sua mengangguk. "Kau jadi terlihat seperti Mom, tahu," celetuknya. Ia tidak mau dipisahkan dengan tempat bahagianya.
"Lalu apa yang terjadi? Tae-Oh sungguh tidak melakukan apa pun padamu, kan?"
Sua menepis tangan Han dari lengannya. "Dia hanya mengancamku akan membocorkan tentang hubungan kita. Tapi itu tidak masalah, aku tidak peduli," Sua sadar ia sepenuhnya berbohong. Kenyataannya ia takut. Ia juga menyesal sudah beberapa kali berbohong hari ini. Pada Yoon, pada Mom. Dan sekarang pada Han.
"Apa kau takut?" Ia memandang mata gelap Han lurus-lurus. Mencari kebenaran.
"Tidak, jika Tae-Oh berani macam-macam padamu aku sendiri yang akan membereskannya."
Sua bergeming. Ia tahu Han jujur. Hal itu membuat ia makin sakit. "Boleh aku kembali ke tempat bahagiaku?" Sua ingin menyembunyikan rasa sakit ini. Jangan sampai Han menyadarinya.
Maafkan aku, Han. Pikir Sua menyakitkan.