Yang paling Sua sesali sampai sekarang adalah, kenyataan bahwa ia tidak sempat melihat kakek Lee untuk terakhir kalinya. Sudah beberapa hari berlalu tapi ia belum bisa melupakan kekecewaannya terhadap diri sendiri.
Sua menghela napas lemah dan mengubah posisi duduk menghadap ke arah lain. Ia kini sedang duduk sendirian di perpustakaan sambil bertopang dagu. Tepat ketika itu, lagi-lagi, entah sudah keberapa kalinya hari ini ia melihat Yuta di sana. Laki-laki itu langsung mejatuhkan pandangan pada buku yang terbalik di tangannya. Sua tahu Han pasti sudah memeringatkan Yuta agar tidak dekat-dekat dengannya untuk sementara waktu.
Sua mengeluh lagi dan berbalik ke posisi semula membelakangi Yuta. Benar. Jangankam Yuta. Ia bahkan tidak membiarkan Han mendekatinya. Di saat seperti ini, Sua hanya ingin sendirian. Pada awalnya Yuta selalu berusaha untuk menemani Sua. Ia mengerti Yuta cemas. Tetapi ia tidak membutuhkan perhatian Yuta. Atau siapa pun. Ia tidak suka dikasihani.
Selama beberapa hari terakhir ini juga. Yoon belum muncul. Sua praktis ke mana pun sendirian dan menggeram galak pada siapa pun yang mencoba mendekat.
Sudah berapa hari ya? Sua memandang menerawang melewati jendela. Ia merindukan kakek Lee.
Menit berlalu dalam hening. Sua merasa pegal sekali berada dalam posisi yang sama. Lantas dengan terpaksa ia berbalik ke arah Yuta lagi. Yah, Yuta sudah tidak ada di sana. Sebagai gantinya Han yang berdiri menjulang di antara rak buku itu. Ia benar-benar membaca buku di tangannya. Tak lama, ia menoleh ke arah Sua.
Sua diam saja tanpa mengalihkan pandangan. Membuat Han mengernyitkan kening. Lalu membuat isyarat menunjuk dirinya sendiri. Sua mengangguk pelan. Seketika kelegaan menjalar ke wajah sempurna itu. Han meletakkan kembali buku yang barusan ia baca dan berjalan mendekati Sua.
Sua merasa takjub dalam diamnya. Dilihat dari sisi mana pun Han selalu terlihat sempurna.
"Aku sungguh-sungguh boleh menemanimu di sini?" Tanya Han memastikan, sebelum menarik kursi di sebelah Sua untuk ia duduki.
Sua mengangguk lagi. Tapi setelahnya kembali membelakangi Han.
Han menarik kursi itu pelan dan mendudukan diri tanpa suara.
"Kudengar orang-orang mulai menyebarkan gosip bahwa aku pacaran dengan Yuta," kata Sua setengah melamun.
Han cukup terkejut dengan arah pembicaraan Sua. "Maaf," sahutnya sedih.
Sua tidak langsung bicara lagi. Seolah mengumpulkan tenaga lebih dulu untuk menanggapi Han. "Bukan salahmu."
"Kau tahu, Sua-"
"Tidak, Han," kata Sua cepat mendahului apa pun yang akan Han katakan. "Aku baik-baik saja," saat ini Sua tidak ingin mendengar nasihat apa pun. Meski itu keluar dari bibir Han yang ia sukai.
"Apa kau marah pada Yuta?"
Hening panjang lagi. "Tidak," sahut Sua sambil mendesah lelah. "Tidak membencinya juga," ujar Sua seolah bisa membaca pikiran Han tentang apa yang akan ia tanyakan lagi.
Han pun diam. Ia sudah cukup senang Sua mau bicara dan ditemani lagi.
"Mau kutemani makan tidak? Kau belum sarapan pagi ini, kau juga sering melewatkan makan malam," kata Han hati-hati.
Sua menegakkan tubuh dan berpaling memandang Han.
Jantung Han berdegup. Tidak tahu apa yang akan dikatakan Sua dan berharap ia tidak akan mengusirnya lagi.
"Kita ke kafetaria saja."
Han menghela napas lega dan tersenyum. "Baiklah," ia membereskan barang-barang Sua di meja dan membantu membawanya.
Sua diam saja. Tidak memprotes dan berjalan di sisi Han dengan langkah lambat-lambat.
Ah, mendadak ia teringat pada Yuta. Meski menyebalkan tapi laki-laki itu sungguh-sungguh mencemaskan Sua. Jika ia makan berdua dengan Han apa Yuta akan ikut bergabung dengan mereka? Tapi, Sua tahu Yuta tak akan seperti itu. Buktinya sudah beberapa hari terakhir ia menuruti ucapan Han tidak lagi mendekati Sua. Ia selalu menjaga jarak dan menjaganya dari jauh. Begitulah. Sua tidak habis pikir kenapa ia mau melakukan hal semacam itu.
Tapi, begitu melihat Yuta di depan perpustakaan, sepertinya ia baru saja akan masuk lagi, Sua jadi merasa bersalah. Yuta tersenyum menyapa pada Han. Lalu tersenyum gugup pada Sua. Setengah mengalihkan pandangan.
Dia itu, Sua mendecak. Terlalu menjaga perasaanku, pikir Sua.
Sua mengerti kenapa begitu cepat dan mudahnya gosip jika dirinya dan Yuta pacaran tersebar dengan cepat. Dengan sikap seperti Yuta itu siapa yang tidak bisa melihat perhatiannya? Sayangnya, hal itu tidak berlaku pada Han. Karena semua orang sudah tahu ia berstatus sebagai kakak tirinya.
Jika status itu tidak pernah ada... Sua menerawang, membawa pikirannya jauh pergi.
Tidak boleh lama-lama. Sua mengingatkan. Ia berpaling lagi pada Yuta. Lalu tersenyum kecil. "Mau ikut makan siang di kafetaria?" Tanyanya, membuat ia dan Han sontak melongo.
Yuta salah tingkah lagi. Sebelum akhirnya mengiyakan ajakan Sua dengan gugup.
Kafetaria ramai seperti biasanya. Sua sedang tidak ingin menjadi pusat perhatian. Tetapi dengan kehadiran dua orang paling terkenal sekaligus gosip barunya dengan Yuta, membuat perhatian semua orang langsung tertuju pada mereka. Terang-terangan berbisik-bisik sambil mencuri pandang.
Hah. Apa-apaan itu. Sua mendengus. Senyuman iri? Gerombolan perempuan di sisi kiri nampaknya tidak senang. Menjijikkan. Sua balik melempar pandanga jijik pada mereka.
Han menunjuk sebuah meja kosong dan meminta Sua duduk. Meletakkan barang-barang Sua di kursi. Sua sadar hal itu jadi salah satu topik yang mereka bicarakan. Seorang Han Kim membawakan barang milik orang lain. Hal yang sangat langka, bukan? Irilah semau kalian. Sua tersenyum mengejek.
Oh, ditambah lagi kehadiran Yuta si nomor satu. Yang kini dengan begitu jelasnya menjadikan Sua sebagai pusat perhatian dari dunianya. Sua mendudukan diri dengan kesal sementara di saat yang sama Yuta menanyai ia ingin makan apa.
Yuta dan Han pergi bersamaan. Irilah, pikir Sua. Iri sebanyak yang kalian mau. Aku duduk di sini menunggu dilayani dua orang laki-laki paling tampan yang kalian idam-idamkan. Sua tersenyum licik.
Entah kenapa ia jadi berpikir jahat sekali. Suasana hatinya memang sedang tidak baik. Hingga tanpa sadar meluapkan kekecewaannya terhadap diri sendiri pada mereka.
"Mereka memang sampah, menjijikan," Sua terus menggerutu.
Han dan Yuta kembali, Sua diam lagi. Memakan makanannya dalam diam dengan perhatian semua orang tertuju padanya, termasuk Han dan Yuta juga. Ia jadi merasa tak nyaman.
"Yuta makan makananmu dengan benar," Sua mengingatkan. "Wajahmu belepotan," ia mengambil tisu dari dalam tasnya dan mengusap wajah Yuta.
Tubuh Han menegang di sisinya. Yuta yang duduk di hadapannya juga sama, dengan artian yang berbeda. Wajahnya memerah dan ia menunduk, berpura-pura batuk menyembunyikan senyumnya.
"Maaf, Sua," ujarnya. "Aku akan makan dengan benar, terima kasih."
Han memerhatikan mereka tanpa berkedip. Kemudian memilih untuk ikut fokus pada makanannya.
"Ah, Yuta. Ceritakan sedikit padaku tentang n****+ lain Jk. Rowling," Sua menyuapkan makanan ke dalam mulut, menyembunyikan senyum licik. Ia tahu benar perempuan-perempuan dalam kafetaria merasa ingin menjerit begitu melihat Sua mengusap bibir Yuta.
Yuta tersenyum cemerlang. Wajahnya yang secerah matahari pagi begitu menawan. Tidak perlu meminta dua kali bagi Sua untuk mendapat banyak sekali cerita dari Yuta.
Sua tersenyum senang. Sementara Han ikut berhenti makan dan memerhatikannya. Wajahnya berubah datar tanpa ekspresi.
***
Sua diam sepanjang perjalanan pulang mereka dalam mobil baru Han. Han mengawasinya beberapa kali. Ia juga tidak bicara. Wajahnya masih datar dan sepertinya Sua belum menyadari hal itu.
Han tanpa sadar menghela napas berat. Ia langung menyesalinya dan duduk dengan tegap. Berharap Sua tidak menyadari jika ia sedang merasa kesal.
Sua mengalihkan pandangan memandang Han. "Han bisa kita berhenti sebentar."
Han menoleh heran. Tapi menuruti ucapan Sua. Mereka kini di jalanan sepi menuju rumah. Jadi aman-aman saja.
"Aku memikirkannya sejak tadi," ia tidak mengalihkan pandangan dari wajah sempurna Han.
Tubuh Han menegang. Ia berpaling balik memandang ke dalam mata Sua. Mencari-cari kebenaran apa pun yang bisa ia baca.
Kening Sua berkerut. "Kenapa kau terlihat cemas?"
"Tidak," Han menggeleng.
Sua diam sebentar. "Aku merasa bersalah pada Yuta."
Han tersenyum menyakitkan. Membuat kerutan di kening Sua semakin dalam. Ia tidak suka melihat raut wajah Han yang begitu.
Sua mengangkat sebelah tangan menyentuh pipi Han. Han tersentak.
"Kenapa?" Sua menegakkan punggung dengan raut wajah bingung.
Han langsung merasa bersalah jika reaksinya telah menyakiti Sua. Pada kenyataannya ia hanya takut Sua berubah pikiran dan pada akhirnya lebih memilih Yuta. Tetapi kemudian ia tersadar, ia merasa egois sekali.
Han menyentuh lembut tangan Sua di pipinya. "Maaf."
Sua mengernyit tak menyerti. Tetapi memutuskan untuk melanjutkan. "Kau sadar tidak semua orang memperhatikan aku waktu di kafetaria?"
Kini giliran Han yang mengerutkan kening.
Sua meringis. "Kau pasti sudah terbiasa dengan begitu banyak orang yang memerhatikanmu. Sejujurnya aku merasa kesal dan egois sekali," ia menjatuhkan pandangan merasa bersalah. Lantas menarik tangannya dari genggaman Han.
"Gosipku dan Yuta tersebar begitu cepat. Ditambah dengan apa yang kulakukan tadi. Pasti tidak ada keraguan lagi tentang status kami," Sua memandang melewati Han. Setengah melamun.
Han ingin meraih tangan Sua, mendekapnya. Tetapi mengingat Sua paling tidak suka obrolan mengenai Yuta dan malah membicarakan laki-laki itu sekarang membuat Han mengurungkan niatnya.
"Padahal aku hanya ingin membuat mereka kesal," Sua bersandar. Kali ini mengalihkan pandangan jauh ke depan. "Aku tidak menyadari sudah menjadikan Yuta sebagai alat untuk membalas dendam. Ia pasti salah paham," ia menoleh pada Han, meminta pendapat.
"Hal tadi ya," Han membuang pandangan. Benar-benar kesal pada diri sendiri karna sudah salah paham. "Kuharap kau tidak melakukan itu lagi," ia mengusap wajah dan memejamkan mata.
Sua terhenyak. Hatinya terasa sakit. "Benar, aku jahat sekali."
"Bukan begitu," Han langsung menggenggam tangannya. "Tapi aku cemburu. Aku tahu aku bodoh sekali," ia mendesah penuh beban. "Bukan berarti aku tidak kasihan pada Yuta karna kau begini. Tapi aku..."
Sua menunggu meski tahu Han tidak akan menyelesaikan kalimatnya.
"Maaf," ujar Han lemah, melepas genggaman tangannya dari tangan Sua.
"Sekarang jadi terasa seolah kita yang jahat," Sua merenung. "Aku akan meminta maaf pada Yuta. Dan, Han?"
"Ya?"
"Bolehkan kita tidak langsung pulang ke rumah?"
"Tentu," Han bersiap menyalakan mobil lagi.
"Dan bolehkah aku kembali ke tempat bahagiaku?" Sua tersenyum begitu manisnya.
Han langsung menghentikan kegiatannya dan memandang Sua dengan tatapan tak percaya. Lalu senyum favorit Sua itu muncul di bibirnya.
"Kau bisa kembali kapan pun kau mau."
Sua tertawa kecil, begitu juga dengan Han.
"Ngomong-ngomong kau jadi menyeramkan sekali saat ingin membalas dendam."
Mata Sua membelalak, berlagak terkejut kemudian ia langsung memukul lengan Han dan mereka tertawa lagi.