Chapter 8

1864 Kata
"Suasana hatimu bagus hari ini," Yoon mengakui. Sua mengangguk. Ia belum memiliki alasan untuk bermuram durja hari ini. Tepat ketika sinar matahari masuk melalui celah tirai jendela di kamarnya, Sua merasa seluruh beban dalam dirinya menguap. Sua menyadari satu hal saat itu. Bahwa hal normal pada manusia pada umumnya juga bisa terjadi pada dirinya. Memang tak sepenuhnya benar. Ia tahu mencintai kakak tirinya bukan hal yang benar. Tapi siapa peduli. Toh, selama ini ia tidak pernah menjalani hidup dengan aturan orang lain. Ia memiliki aturan sendiri dan tak seorang pun bisa mengganggu gugat. Bagaimana pun juga Han tidak sama dengan semua laki-laki dalam masa lalu Sua. Han satu-satunya orang yang Sua percayai tanpa ia perlu melakukan apa pun. Ia cukup menunjukkan bahwa dirinya ada. Sua mengabaikan kenyataan bahwa hubungan mereka, mau tak mau, suatu saat harus berakhir juga. Ia tidak peduli dan tidak mau memikirkan kemungkinannya. Karena bagi Sua saat ini, bisa tetap bersama Han sudah lebih dari cukup. Sua menggeleng keras. Tahu tak bisa mengenyahkan seluruh ketakutan itu. Tetapi sekali lagi ia tak mau peduli. Ia tak mau menghancurkan masa sekarang karena terus memikirkan yang belum datang. "Ngomong-ngomong Ben mengajakku makan siang bersama," Yoon mengarahkan cermin di sebelah tangan pada wajahnya. Memeriksa apakah ada setitik debu yang merusak penampilan wajahnya. Sua meringis. Ia tidak suka makan siang sendirian di kafetaria. "Selamat kalau begitu," berharap suaranya terdengar senang. Yoon mengangkat wajah dari cermin. "Kau tidak mau ikut?" Tanyanya bingung. "Hah?" Sua tak mengerti. Ia pikir Yoon akan pergi berdua saja dengan Ben. Semacam berkencan. Ia meringis lagi, kata-kata itu masih terasa kaku dalam pikiran Sua sendiri. "Ben juga mengajak Yuta dan Han," jelas Yoon riang. "Oh," mendadak ia teringat pagi tadi Han berjanji akan menemuinya saat makan siang. Seketika tersadar betapa bodohnya Sua melewatkan kesempatan ini. Jika saja... Jika saja ia bisa makan siang berdua saja bersama Han. "Ada apa?" "Kupikir kau hanya akan pergi berdua saja dengan Han," Sua memutar bola mata. "Kapan kalian akan mulai berkencan?" Pipi Yoon memerah. "Ah, aku jadi malu," raut wajahnya mengatakan sebaliknya. "Jangan membuatku mual, Yoon," Sua berlagak memperingatkan dengan serius. Yoon tak ambil pusing. Ia melangkah ringan seolah tak memiliki masa. Ia mengembalikan cermin ke dalam tas tangannya dan bersenandung kecil. Sua ikut tersenyum. "Jadi kita akan makan di mana?" "Di salah saru restoran jepang favorit Ben." "Aku baru tahu Ben suka makanan jepang." "Lebih tepatnya udon," Yoon mengoreksi. Jelas senang akan pengetahuannya tentang Ben. "Ngomong-ngomong soal Yuta..." Mendadak Yoon teringat. Matanya membulat menatap Sua tanpa ekspresi. Astaga, Yoon. Ia tak sadar betapa menyeramkannya ekspresi itu. Sua memutar bola mata. "Aku tak ingin membahasnya. Dan, hei," Sua baru teringat juga. "Kau yang menyimpan nomor ponsel Yuta di ponselku, kan!" Yoon tersenyum meminta maaf. "Maaf aku sengaja melakukannya." Sua mendecak. "Jadi bagaimana..." Yoon menyikut lengan Sua. Tersenyum menggoda sambil menaik turunkan alis. "Tidak ada dan tidak akan ada apa pun di antara kami," sahut Sua malas. "Well," Yoon menegakkan punggung. Sejenak berpikir dengan bibir mengerucut. "Kau sungguh tidak tertarik sama sekali pada Yuta?" "Begitulah." "Menarik," wajah Yoon berubah semakin serius. "Kalau Han bagaimana?" Sua mendadak berhenti. "Hanya bercanda," Yoon tersenyum lebar. Sua berusaha untuk tetap terlihat tenang meski tubuhnya mengejang. Langkahnya kian terasa kaku dan jantungnya berdegup cepat. Sepanjang sisa perjalanan menuju restoran jepang yang letaknya tidak terlalu jauh dari kafe favorit mereka. Tak satupun dari Yoon dan Sua bersuara. Sua tahu ini aneh karena baik dirinya maupun Yoon tidak pernah diam dalam waktu yang cukup lama. Sua takut Yoon menyadari sesuatu. Lalu mendadak ingatannya melayang pada saat Yoon bersikap aneh atas kedekatannya dengan Han. Dan meski tidak mau menerima kemungkinan yang muncul dalam benaknya. Tapi jawaban Yoon, bahwa bukan apa yang salah dengan Sua, melainkan apa yang salah dengan mereka seakan mengatakan dengan jelas Yoon tahu apa yang terjadi. Kini semua itu jadi masuk akal. Termasuk ketika Yoon bertanya dapatkah Sua melihat orang yang menyukai dirinya. Bukankah itu jelas Yoon dapat melihat Han menyukai Sua sama seperti ia melihat Yuta? *** Sua tidak tahu kenapa kemungkinan Yoon tahu apa yang terjadi di antara ia dan Han begitu mengganggunya. Padahal Sua sepenuhnya sadar cepat atau lambat Yoon pasti akan tahu juga. Mungkin, karena Yoon tahu perasaan Han padanya lebih dulu dibanding Sua sendiri. Sepanjang makan siang di restoran rekomendasi Ben, ia sama sekali tidak mampu membaur dalam obrolan mereka. Saat itu Han duduk di sisinya. Menyentuh tangan Sua tanpa diketahui siapa pun. Ia tahu Han cemas. Dan hanya hal itu satu-satunya hal yang mampu Sua cerna. Selebihnya bahkan ia tidak tahu apa yang ia makan. Tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Akhirnya Han memutuskan untuk pulang lebih awal. Sua tidak ingat apa yang ia katakan pada mereka sebagai alasan. Otaknya hampir kosong. Tak bekerja. Baru ketika mereka sampai di rumah Han menjelaskan betapa Yoon cemas. Dan Yuta... Han tidak mengatakan apa-apa lagi karena Sua tidak memberi tanggapan. Ia membiarkan Sua duduk bersandar pada d**a bidangnya. Sesekali meremas tangan Sua lebih erat untuk menyadarkannya bahwa ia ada di sana. Berapa jam sudah berlalu? Rasanya sudah lama sekali. Sua menegakkan punggung. Membuat sedikit jarak dari tubuh Han. Han bergerak pelan, tak melepas genggamannya pada tangan Sua. "Sudah merasa lebih baik?" Mata gelap Han memandang mata Sua lurus-lurus. Tatapan yang sama seperti saat Han mengatakan ia mencintai Sua. Seolah mencari sesuatu di balik sorot matanya. Sua mengalihkan pandangan dari mata Han ke tangan Han, lalu kembali pada mata gelap itu. "Maaf aku membuatmu cemas." "Jangan bicara begitu," seolah kalimat Sua telah menyakitinya. Sua bergeming bingung. "Apa yang kau pikirkan?" Kentara sekali Han sudah menahan pertanyaan itu beberapa lama. Sua bingung. Takut pikirannya akan meyakiti Han. Ia menjatuhkan pandangan pada d**a bidangnya. Tempat di mana kepalanya bersandar nyaman beberapa waktu lalu. Ia berangsur mendekat. Masuk ke dalam dekapan Han yang hangat. Nyaman dan menenangkan. "Segalanya akan baik-baik saja," Sua tahu ia hanya meyakinkan diri sendiri. Han tak memaksa Sua untuk bercerita. Anehnya hal itu justru membuat Sua semakin merasa bersalah. "Kau baik-baik saja?" Sua bergeming. Tak ingin beranjak dari tempat bahagianya. "Sangat baik berada di sini," candanya. Sua dapat merasakan Han tersenyum. Hening begitu lama dan Sua tak menyadarinya sampai Han kembali bicara. "Yuta sangat mencemaskanmu." Sua mendesah muram. Jangan Han juga... "Kau tahu Yuta sangat menyukaimu." "Aku tak peduli, Han," sahut Sua langsung. Han tertawa. Tapi Sua tahu benar ia hanya sedang menyembunyikan kenyataan bahwa ia terluka atas ucapannya sendiri. "Lantas kenapa kau malah menyukaiku?" Sua tersentak. Namun akhirnya memutuskan untuk tetap di posisi dan tidak bangkit memandang wajah Han. "Padahal aku hanya nomor dua," kata Han lagi sebelum Sua sempat menjawab. Sua mendongakkan kepala. Han langsung menunduk sehingga mata mereka bertemu dalam posisi yang cukup sulit. Well, Sua tidak peduli. "Aku tidak memiliki alasan kenapa aku menyukaimu." Ia memandang mata Han cukup lama sampai tersadar bahwa Han benar-benar terluka. "Aku tidak peduli perkara si nomor satu atau dua. Jangan pikirkan penilaian orang lain terhadapmu, Han! Mereka menjijikkan!" Sudut bibir Han yang terkatup rapat terangkat. Menunjukkan senyum miring menawan kesukaan Sua. "Yuta tidak terbiasa dengan penolakan." Sua memutar bola mata. Menunduk lagi dan menenggelamkan wajahnya pada d**a bidang Han. Menikmati aroma tubuhnya. "Karena hal itu awalnya Yuta begitu penasaran padamu." Sua berharap tidak mendengar apa yang dikatakan Han. "Kenapa kau bahkan tidak memandangnya sama sekali? Kenapa kau mengabaikannya?" Jeda sejenak. "Kenapa kau begitu menarik." Tawa Sua meledak. Ia tidak bisa menyangkal bagian terakhir itu lucu. Han terkejut, menjauhkan tubuh Sua darinya dan memandang Sua takjub. Membuat Sua sontak memberengut. "Kenapa tertawa?" "Karena kau terdengar konyol," sahut Sua jujur. Han berpikir sejenak. Ia menggeleng. "Tidak, tidak. Kau tidak mengerti. Kau tidak sadar bagaimana cara orang-orang memandangmu. Atau berapa banyak orang di angkatanku yang ingin mendekatimu." Sua mencibir. Ingin cepat-cepat kembali ke tempat bahagianya. "Pertama, biarkan aku kembali ke tempat bahagiaku," Sua menjauhkan tangan Han dari lengannya. Lalu mendesak mendekat lagi. "Tempat bahagia?" "Di sini tempat bahagiaku," suara Sua samar karena bibirnya menempel pada d**a Han. Han memeluk Sua lembut. Begitu hati-hati seolah bisa memecahkan tubuh Sua berkeping-keping. "Lalu apa yang kedua?" "Yang kedua," ujar Sua malas dengan suara dipanjang-panjangkan. "Aku tahu dan aku membenci mereka setengah mati. Tunggu, jangan menyela," Sua mengangkat sebelah tangan untuk menghentikan interupsi Han. "Mungkin ini terdengar dramatis atau apalah kau menyebutnya. Tetapi kau tak pernah sama dengan mereka, Han. Kau tidak menatapku dengan cara menjijikkan itu." "Yuta juga tidak-" "Berhenti," lagi-lagi sebelah tangan Sua terangkat. "Jangan ada pembahasan mengenai Yuta lagi, setuju?" Han mengangguk lambat-lambat. "Bagiku, kau tak pernah sama dengan siapa pun." Han memeluk Sua lebih erat. Mencium puncak kepala Sua dan menyandarkan pipinya di sana. Dering ponsel Sua yang menyerupai dengung lebah menghancurkan suasana indah itu. Sua memaki dalam hati. Ia terpaksa menarik dirinya menjauh dan meraih ponsel sialan itu di meja. Ia membaca nama Yuta tertera di layar ponsel. Sua mengembalikan ponsel itu ke tempat semula. "Kenapa tidak kau jawab?" Han bertanya hati-hati. Jelas ia tahu siapa yang menelepon. Dan pembahasan mengenai laki-laki itu tidak di sukai Sua. Ia praktis menurut untuk tidak membahasnya lagi. "Aku sedang tak ingin bicara, jangan memaksaku," Sua memberengut sedih. Han meraih tubuh Sua dan memeluknya kembali. "Aku tidak akan memaksamu melakukan hal yang tidak kau sukai," mendadak ia teringat. "Ingat aku pernah mengatakannya juga?" "Mengatakan apa?" Sebelah tangan Han meraih dagu Sua, mengangkat wajah Sua dan mendekatkan wajahnya. Jantung Sua langsung memprotes. Meronta-ronta liar tak terkendali. "Pada pesta pernikahan Mom dan Dad," ia meringis sejenak, tapi tak mau terlarut dalam kepedihan itu. Sama seperti Sua. "Saat Tae-Oh menggodamu." Sua membelalak. "Tidak! Dia tidak menggodaku." Han terkekeh. "Saat itu aku mengatakan 'jika kau tidak menyukai sesuatu, kau bisa terus terang mengatakannya', ingat?" Sua berpikir keras. Ia tidak mengingat apa pun. Oh, satu hal. Han mengatakan sesuatu sebelum pergi. Sua tidak mendengernya dengan benar saat itu. "Kau pasti mengira aku orang yang tidak bisa membela diri, kan?" Sua mengalihkan perhatian Han dari pertanyaannya sendiri. Han mengedikkan bahu. "Kau terlihat tak sanggup menolak Tae-Oh." Sua mendesis. "Kau tidak tahu seberapa keras usahaku untuk tidak mengusirnya langsung." Han berlagak kaget. "Aku baru tahu kau segalak itu." Sua mendengus tertawa. Hening lagi dan keduanya hanya bertatapan. Kemudian tersadar bersamaan betapa dekat posisi wajah satu sama lain. Apa wajah Sua memerah? Demi Tuhan Sua akan malu sekali jika wajahnya memerah seperti Yoon. Han tersenyum samar. Bergerak maju dan mencium lembut kening Sua. Sua yakin jantungnya berhenti berdetak tadi. "Bernapas, Sua," Han mengingatkan. Tak mampu menyembunyikan kegelian dalam suaranya. Sua bernapas. "Apa? Jangan mentertawakanku," bibirnya mengerucut kesal. Tawa Han berhenti mendadak. Matanya tertuju pada bibir Sua yang mengurucut lucu. Jantung Sua meronta-ronta lagi. Sialan. Tetapi akhirnya Han tersenyum dan menatap mata Sua lagi. "Mau kembali ke tempat bahagiamu tidak?" Goda Han sambil merentangkan tangan. Yah, Han tidak perlu bertanya dua kali. Kali ini Sua sengaja menempelkan telinganya pada d**a kiri Han. Mendengar degup jantung Han yang sama gilanya. Diam-diam Sua tersenyum geli. Ingatannya melayang pada Yoon. Detik itu Sua yakin ia berada di tempat di mana ia seharusnya berada. Tempat ternyaman di muka bumi. Dan apa pun yang Yoon pikirkan. Atau jika memang Yoon mengetahui lebih banyak dari yang Sua duga. Hal itu tidak akan menghentikan Sua. Tidak akan pernah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN