Sehari sebelum ulang tahun Han. Mom dan Dad menelepon dengan sangat menyesal memberitahu Sua mereka tidak bisa pulang tepat waktu. Sua merasa bersalah karena tidak bisa menahan perasaan senangnya yang meluap-luap. Itu berarti ia bisa berdua saja bersama Han. Akan ada lebih banyak pelukan. Akan ada lebih banyak kecupan.
Di lain sisi, Sua khawatir dengan kembalinya Mom dan Dad dari Washington, akan membuat ia dan Han berubah pikiran. Sua termenung sedih. Terlalu menyakitkan memikirkan kemungkinan itu padahal jelas Han tidak akan berubah pikiran, ia tahu itu. Ia justru mencemaskan dirinya sendiri.
"Ada apa?" Han mengangkat ujung dagu Sua dengan sebelah tangan.
Seketika Sua teringat kini ia sedang bersandar dalam pelukan laki-laki itu. Sua menggeleng. "Aku cemas kue buatanku tidak sebaik yang Yoon buat untuk Kakek," ia berbohong.
Han mendengus. Tertawa. Hati Sua pedih mengingat tawa Han adalah hal yang paling ia sukai di dunia selain Han itu sendiri.
"Aku tidak mencemaskannya sama sekali. Karena yang terpenting bagiku kau yang membuatkan kue itu untukku," menunjuk kue putih kecil di meja dengan dagu. "Bukan orang lain.
Han melingkarkan lengannya pada tubuh Sua. Memindahkan tubuh kecil Sua dengan enteng ke hadapannya. "Aku mencintaimu dan kau mencintaiku, itu hal terindah yang aku miliki."
Selalu saja. Sua tidak bisa menemukan kebohongan di balik mata gelap itu. "Tapi, kenapa kau mengatakan sebagai kakak saat ulang tahun kakek?"
"Lantas apa yang harus kukatakan di depan Ben dan Yuta?" Sorot mata Han meredup sedih. "Aku tak suka berbohong Sua, tapi aku tidak memiliki pilihan."
Sua menyesal sudah menanyakan pertanyaan bodoh itu. Kini Han terlihat begitu sedih. Terluka...
"Maafkan aku, Han," Sua menyentuh kedua sisi wajah Han. Mengusapnya perlahan.
Cara itu berhasil untuk membuat Han memandang Sua lagi. Ia tersenyum meski belum sepenuhnya mengenyahkan luka dari balik sorot matanya. "Tidak ada yang perlu meminta maaf, Sua. Kau tidak bersalah."
Sua meringis. Hubungannya dengan Han jelas bukan sesuatu yang bisa dimaafkan. Sekali pun ia tahu bukan itu yang Han maksud, Sua tidak bisa mencegah otaknya berpikir yang tidak-tidak. Setelah beberapa saat, Sua menyadari ia masih menyentuh wajah halus Han. Laki-laki itu masih menatapnya sementara pikirannya berkeliaran menjauh.
Ia mencondongkan tubuh ke depan sehingga jarak di antara mereka kian menipis. Tepat ketika lonceng jam besar di ruang tengah berbunyi, menandakan tepat tengah malam, Sua mengecup lembut bibir Han.
"Selamat ulang tahun, Han."
Sejenak Han membeku. Tidak menyangka apa yang baru diterimanya.
"Apa?" Tanya Sua dengan wajah polos. "Kau tidak membiarkanku membeli hadiah," ia meninju pelan bahu Han. "Menyebalkan, tahu."
Han tersenyum. Mengusap kepala Sua dengan sebelah tangan. "Aku mencintaimu, Sua."
Sua balas tersenyum dan seketika sadar ia tidak pernah mengatakannya. Tidak pernah membalas ungkapan Han. Mungkin belum. Han juga tidak pernah meminta apalagi memaksa Sua untuk membalasnya. Satu-satunya kalimat yang pernah Sua katakan hanya bahwa ia menginginkan laki-laki itu.
"Sudah saatnya memotong kue belum?" Sua meringis. Lagi-lagi mengalihkan perhatian dari apa yang sebenarnya ia pikirkan.
"Jangan cemas bagitu," Han mengecup kening Sua sebelum bangkit dan duduk bersila di meja.
Sua ikut bersila di sampingnya. Han tidak membiarkan Sua menyalakan lilin. Takut Sua akan terluka.
"Buat permohonan dulu sebelum meniup lilinnya," Sua mengingatkan.
Selalu dengan senyum menawan itu ia memandang Sua. "Aku berharap kau selalu bahagia."
Sua terdiam. Ia tahu Han tulus mengatakannya. Ia tidak menyangka saja Han akan menggunakan kesempatan itu justru untuk Sua. Untuk seseorang yang bahkan tidak pernah mengatakan ia mencintainya. Untuk seseorang yang mulai meragukan perasaannya sendiri.
"Aku mengibaratkan hidupku seperti keping puzzle," Han memeluk Sua dengan sebelah tangan. "Dan kau adalah bagian terpenting yang membuatku lengkap. Kau bagian bahagiaku. Melihatmu bahagia adalah kebahagiaan untukku. Melihatmu terluka juga membuatku terluka."
Sua bergeming.
"Siap memotong kuenya?" Tiba-tiba Han nyengir menunjukkan gigi-giginya yang cemerlang.
Sua meringis serupa sedang kesakitan. Ia tidak bisa menerka berapa lama keheningan menyelimuti mereka barusan. Rasanya lama sekali sampai tiba-tiba Han tersenyum jahil.
"Eh, tunggu," tubuh Sua menegang.
"Bernapas, Sua," ujar Han, masih menyeringai jahil.
Sua bernapas lalu memberengut. "Tidak, tidak. Setelah kupikir-pikir ini tidak benar."
Han terkekeh. Mengambil pisau plastik di sisi kue mungil itu dan mulai memotongnya membuat sepotong kecil segitiga panjang.
"Mau menyuapiku tidak?" Tanya Han penuh harap.
"Aku mau, hanya saja aku tidak mau sampai meracunimu," Sua memaki dalam hati. Ia mulai merasa mual sekarang.
Han memindahkan potongan kecil itu ke sebuah piring perak. Mengambil sebuah garpu dengan warna senada, meletakkannya di sisi potongan kue dan memberikannya pada Sua. Lantas memutar posisi duduk, memutar posisi duduk Sua juga dengan entengnya sehingga kini mereka berhadapan.
Ragu-ragu Sua menerima piring perak itu. Tangannya nyaris gemetar. Dilihat dari luar memang cantik. Tapi ia sama sekali tidak tahu bagaimana rasanya. Ia mengangkat pandangan dari potongan kue, tepat pada mata gelap Han yang masih menunggu penuh harap. Sua mengerang. Dengan terpaksa membuat potongan kecil dari ujung kue dan menusuknya dengan garpu.
"Ayo buka pintu," katanya galak.
Tawa Han meledak. "Bukankah seharusnya buka mulut?"
"Tidak, rasanya aku ingin berlari keluar."
Sejenak Han berusaha menguasai diri. Akhirnya ia diam dengan senyum tertahan. Memandang Sua. Menunggu.
Sua mendesah putus asa. Memutar bola mata lalu menjulurkan sebelah tangan yang memegang garpu. Astaga, lebih buruk dari mimpu buruk.
Han mengunyah potongan kue dengan ekspresi tak dapat dibaca. Sua mengerang lagi.
"Tidak, tidak seburuk yang kau kira," Han nyengir. Lalu teringat sesuatu. "Aku memiliki sesuatu untukmu," ia merogoh saku jaket di sofa. Mengeluarkan sebuah kotak kecil persegi putih dengan pita merah di atasnya. Mungil dan cantik sekali.
"Tunggu," Sua mengangkat sebelah tangan. Meletakkan piring dan garpu di meja dan bangkit berdiri. "Kau tidak mengijinkanku memberimu hadiah, tapi kau malah memberiku ini?"
Han ikut berdiri. "Bukalah dulu," pintanya.
Dengan perasaan campur aduk Sua menerima kotak persegi itu. Tidak adil! Kenapa ia tidak bisa memberi Han hadiah tapi Han bisa?! Sua mendesah. Menyerah. Ia tidak bisa menolak Han. Dibukanya penutup kotak persegi itu dan, terperangah. Sua mengerjap lagi. Memerhatikan kalung perak dengan liontin kaca bulat berisi bunga-bunga kecil berwarna putih.
"Kau menyukainya?" Suara Han menyadarkan Sua.
Sua bergeming sejenak. "Ya, ini indah sekali," sahutnya jujur.
Kelegaan menjalar ke seluruh bagian wajah Han. Sebelumnya Sua tak pernah tahu ada hal lain yang bisa menyeimbangi keindahan wajah itu. Dan kalung ini lah benda yang bisa menyeimbanginya. Sua merenung. Apakah pemikirannya tidak berlebihan?
Han mengambil selangkah maju dan menyentuh liontin itu dengan ujung jarinya. "Ini bunga baby's breath," jelasnya menjawab pertanyaan yang belum Sua katakan.
"Bunganya cantik, apa ini diawetkan?" Sua ikut menyentuh liontin, lalu dengan sengaja menunjuk jemari Han sehingga ujung jari keduanya menempel.
Han tersenyum menawan sekali. "Benar, dan kau tahu apa makna bunga ini?"
Sua menggeleng. Sepenuhnya jujur.
"Cinta abadi," Han memandang langsung ke dalam mata Sua.
Sua merasa sesuatu seolah menyayat hatinya. Abadi. Jelas bukan kata yang tepat untuk ia dan Han. Tidak sama sekali. Bagaimana sesuatu bisa dibilang abadi padahal jelas kenyataannya mereka tidak akan bisa bersama.
"Aku bukan makhluk abadi, Sua," Han memulai. Suaranya tenang tapi ia tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa ia terluka. "Tapi percayalah, aku akan selalu mencintaimu."
Sua tidak mampu mengatakan apa pun. Sudut-sudut bibirnya melengkung. Hanya itu.
Han mengambil kalung itu dari dalam kotak. Menyibakkan rambut Sua kebelakang dan melingkarkannya pada leher Sua. Selesai. Kalung itu melingkari leher Sua dengan sempurna. Han bisa mengambil jarak di antara mereka dan Sua bisa bernapas normal lagi.
"Kau cantik sekali."
"Aku tahu, kau selalu mengatakan itu," diperhatikannya liontin yang menggantung di dadanya. Memang cantik. Dan kini ia merasa utuh. "Aku merasa memiliki bagian dari dirimu sekarang," ia mengengkat liontin itu. "Kalung ini sama indahnya denganmu."
Han tidak menyahut. Masih menatap Sua lekat. Sua mengerjap. Jantungnya memulai protesnya lagi.
"Sekarang," Han menangkap wajah Sua dengan kedua tangan.
Spontan Sua menahan napas. Apakah Han akan menciumnya? Sial, wajahnya pasti memerah sekarang.
"Nyanyikan sebuah lagu untukku."
Sua melongo. Apa? Ia tidak salah dengar, bukan? Han hanya meminta Sua untuk bernyanyi. Astaga, bagian dalam dirinya histeris. Memalukan sekali. "Lagu apa?" Sayang sekali kata-kata itu terdengar ketus. Sua langsung menyesalinya.
Han menurunkan tangannya pada bahu Sua. "Lagu yang sesuai dengan apa yang kau rasakan saat ini."
Sua berpikir sejenak. Lagu yang sesuai dengan perasaannya saat ini? Bukankah sudah jelas bahwa ia bahagia bersama Han? Bibir Sua mengerucut. Memerhatikan Han yang setia memandangnya seperti itu... Tatapan itu. Oh, Sua terpikir sebuah lagu. The Way You Look at Me, lagu yang dinyanyikan oleh Christian Bautista. Sua ragu apakah Han akan mengetahui lagu itu.
"No one ever saw me like you do," Sua memulai dengan senyum termanisnya.
Han terperangah. Membuat Sua bertanya-tanya seperti itukah ekspresi dirinya saat membuka kotak mungil dari Han.
"All the things that I could add up too," ia menurunkan tangan Han dari bahunya. Meraih tangan besar itu dalam genggaman tangannya yang kecil.
Sudut bibir Han yang terkatup membentuk lengkungan senyum. Adakah hal yang lebih indah dari senyuman itu?
Waktu berjalan lambat. Seakan bukan ia yang menyeseuaikan waktu. Tapi waktu yang menyesuaikan diri dengan nyanyian Sua. Wajah Han nampak tenang. Bahagia. Dan tentu setiap detik dalam keadaan apa pun, benar-benar sempurna. Bahkan sampai saat ini Sua merasa Han terlalu sempurna untuk menjadi nyata.
"'Cause there's something in the way, you look at me," Sua sampai di bagian akhir lagu. Ia senang memenuhi permintaan Han. Lagu itu sesuai dengan apa yang ia rasakan setiap kali Han memandang ke dalam matanya.
Waktu juga seolah berhenti. Han melepas genggaman tangannya. Menangkap wajah Sua lagi. Kemudian menunduk dan menciumnya.