Sua baru selesai mengeringkan rambut dengan hairdryer ketika Mom menelepon. Menceritakan seluruh hal yang terjadi selama di Washington, dan betapa beberapa masalah di bar membuatnya nyaris gila. Sua mendengar seluruh cerita Mom dengan sabar. Ia tak perlu memberi banyak tanggapan karena Mom memang tak membutuhkannya.
Lima belas menit. Dua puluh menit. Tiga puluh lima menit berlalu lambat. Bukannya Sua tidak suka mengobrol lama dengan Mom, hanya saja ada satu hal penting yang perlu ia lakukan. Dan setiap kali teringat akan hal itu membuat Sua merasa histeris dan ingin menghambur keluar dari kamar tidurnya. Ia akan menonton film dengan Han. Mungkin bahkan Han sudah menunggu di bawah.
Sua menggigit jari. Lantas berjalan mondar mandir sambil terus memerhatikan jam dinding. Ia berusaha berpikir keras mencari alasan untuk mengakhiri hubungan. Oh, ya, mengatakan bahwa ia belum sarapan dan sudah merasa lapar alasan yang cukup bagus juga. Sua baru akan membuka mulut ketika tiba-tiba nada suara Mom berubah. Menyiratkan kesedihan. Seketika Sua juga berhenti berjalan.
"Mom berharap semua masalah beres sebelum ulang tahun Han. Dad juga berharap demikian. Tahun lalu Dad tidak sempat merayakan ulang tahun Han."
Sua bergeming. Ulang tahun Han? Dan lagi-lagi sebelum Sua sempat mengatakan apa pun Mom sudah kembali bicara.
"Dua minggu lagi," Mom mendesah keras. "Mom dan Dad akan pulang sehari sebelum ulang tahun Han, semoga rencana ini berhasil. Mom sedih sekali setiap kali melihat Dad teringat hal itu."
Hening.
Sua menimbang-nimbang apakah ini saat yang tepat untuk bicara? Tetapi kali ini ia tidak tahu harus mengatakan apa. "Mom," suaranya terdengar serak.
"Segalanya akan baik-baik saja," ia berharap terdengar meyakinkan meski ia sendiri ragu.
"Mom juga berharap begitu."
Sua meringis. Ia bermaksud menanyakan kapan tepatnya ulang tahun Han ketika tiba-tiba Mom bicara dengan suara keras, membuat Sua sontak menjauhkan ponsel dari telinga.
"Oh, astaga, Dad baru saja memasak untuk Mom," lalu suara Mom terdengar menjauh, mengucapkan terima kasih pada Dad disusul suara kecupan.
Sua mengerang jijik.
"Halo, Dear?"
Sua terkesiap mendengar suara Dad. "Halo, Dad," ia tersenyum meski tahu Dad tidak dapat melihatnya.
"Bagaimana kabarmu hari ini?"
"Aku baik, Dad. Bagaimana denganmu?" Sua menggigit bibir. Kembali teringat pada Han dan berharap Dad tidak mengobrol dengannya terlalu lama.
"Dad juga baik," Sua tahu Dad tidak sepenuhnya jujur.
"Mmm, Dad," kata Sua cepat, sebelum salah satu di antara mereka menginterupsi lagi. "Aku belum sarapan dan kurasa aku lapar," ia menggigit bibir lebih keras dari sebelumnya, benar-benar merasa tak enak harus memutus hubungan.
"Kau belum sarapan," ada sedikit kecemasan yang Sua tangkap dalam suara itu.
Sua hanya meringis.
"Baiklah, Dear, kau harus menjaga kesehatan."
Yeah, tentu. Ia juga tak akan melewatkan waktu sarapan jika Mom tidak menelepon. "Aku akan menghubungimu nanti, Dad... Yah, sampai nanti."
Hubungan terputus. Sua melempar ponselnya ke ranjang dan menghambur keluar.
Ketika tinggal selangkah ia mencapai tangga, barulah ia teringat belum menanyakan kapan pastinya ulang tahun Han. Dua minggu lagi? Tapi kapan? Mom memiliki tenggat waktu satu minggu versinya sendiri. Seminggu bagi Mom bisa berarti delapan atau bahkan enam hari. Tak selalu tujuh hari.
"Oh, Mom," Sua mengerang. Kalau saja ia tidak teringat alasan kenapa ia berlari-lari seperti orang kesetanan, tentu Sua akan menghabiskan banyak waktu untuk merutuki kebodohannya.
Sua memperlambat langkah memasuki dapur. Dengan napas terengah ia memandang sekeliling dan tidak mendapati Han di sudut mana pun. Setelah benar-benar yakin barulah Sua memutuskan untuk mengatur napas sejenak.
Ada sebuah sandwich di meja. Sua memeriksanya dan mendapati sebuah memo kecil bertuliskan "sarapan untukmu".
Sudut-sudut bibir Sua membentuk lengkungan senyum. Ia menarik kursi dan duduk. Ia tahu saat ini pasti Han sudah di ruang keluarga. Ia bertanya-tanya apakah Han membuat popcorn juga? Dan apakah Han benar-benar tak akan membiarkan Sua menggunakan dapur? Sua tertawa kecil karena pemikiran konyolnya sendiri. Ia makan dengan cepat, terlalu cepat bahkan. Lalu kembali berjalan terburu-buru menuju kulkas. Meminum air mineral langsung dari botol dan bergegas menuju ruang keluarga.
Dari sofa panjang yang muat untuk empat orang di depan televisi, Sua dapat melihat sebagian tubuh Han yang menjulang. Duduk diam menghadap layar televisi yang kosong. Di meja di hadapannya terdapat sebuah mangkuk besar berisi popcorn dan beberapa kaleng soda dingin.
Sua mengatur napas sekali lagi sebelum memutuskan muncul di sisi Han. Setelah lumayan tenang ia melanjutkan langkah dan terhenti di sisi sofa. Meski hanya sebagian wajah Han yang terlihat tetapi Sua paham raut wajah Han saat itu. Keningnya berkerut, seolah memikirkan sesuatu yang begitu berat dan menyakitkan.
Ketika menyadari dirinya belum menarik napas, Sua juga menyadari napas Han tidak teratur. Apa yang membuat Han terlihat begitu.. Kacau. Sua tidak tahu apakah kacau kata yang tepat.
Sua merasa sudah lama sekali ia berdiri di sana dan Han tidak menyadari keberadaannya sama sekali.
"Hai, Han," kata Sua akhirnya, memaksakan seulas senyum.
Han tidak langsung tersadar. Ia menoleh lambat-lambat. Dan ketika wajahnya sepenuhnya memandang Sua, Sua dapat melihat seluruh beban di wajah itu. Sesuatu yang membuat Han kesakitan.
"Oh, Sua," Han terkesiap.
"Aku membuatmu menunggu, ya?" Tanya Sua hati-hati.
Han tersenyum, wajahnya berubah kosong. Bahkan senyum itu tak lagi terasa hangat. Melainkan pedih sekali pun Han tidak menunjukkan raut kesakitan lagi.
"Tidak, hanya terasa seperti berabad-abad."
Sua berharap dapat tertawa dengan candaan itu. Tetapi sesuatu seolah melompat-lompat dalam perutnya membuat ia ingin muntah.
"Jadi kita akan menonton film apa?" Han mengalihkan pandangan pada beberapa DVD koleksi Dad yang baru Sua sadari berada di sisi Han. Beberapa berserakan di lantai. Membuat d**a Sua serasa tercabik lagi.
"Well, mari kita lihat seperti apa selera Mom dan Dad," Sua melangkah maju dan dengan canggung mendudukan diri di sisi Han.
"Ini bukan milik Mom," kata Han datar, setengah melamun. "Semua ini milik Dad."
Sua tidak tahu harus menjawab apa. Ia berharap saat itu bisa hilang di telan bumi saja.
"Kau suka film apa?" Tiba-tiba Han bertanya. Suaranya terdengar seolah dari tempat yang jauh sekali.
"Ah, aku.. Kau ingin menonton apa?" Sua tahu dirinya memang bodoh sekali. Ia hanya pernah melihat koleksi DVD Dad tanpa pernah memeriksa detailnya dan langsung mengajak menonton film bersama tanpa pikir panjang lagi. Bodoh sekali...
"Bagaimana kalau ini?" Han menunjuk sebuah DVD berjudul Roman Holiday. Lagi-lagi dengan wajah kosong.
Sua mengangguk, lalu sadar bahwa Han tidak menatapnya sama sekali. "Okay," ujarnya nyaris berbisik.
Han tidak mengatakan apa pun perihal popcorn. Yang sebelumnya Sua kira akan menjadi bahan bercandaan yang menyenangkan. Han juga tidak mengomentari apa pun tentang filmnya. Dan sebenarnya Han bahkan tidak bicara sama sekali. Ia duduk sedikit membungkuk, memandang layar televisi lurus-lurus. Ia tidak menyentuh popcorn atau soda. Ia diam seperti patung.
Sua gelisah. Tidak bisa mengabaikan sikap Han yang ganjil. Beberapa kali ia mendapati tubuh Han mengejang, seperti menahan sesuatu, lalu berusaha untuk tenang kembali. Tak sepenuhnya berhasil. Karena jelas sorot matanya menunjukkan laki-laki itu tak berada di sini. Ia pergi jauh ke tempat yang tidak Sua tahu. Meninggalkan Sua sendirian seperti orang i***t.
Menit berlalu dalam hening mencekam. Sua mendesah dan tersadar suara napasnya terlalu keras. Tetapi Han tak bergeming. Ia benar-benar seperti patung. Patung yang terlalu sempurna.
Apa Han sudah melupakan kenyataan bahwa ia ada di sini di sisinya? Sua tidak bisa memerhatikan film. Ia sama sekali tidak tahu jalan ceritanya karena terlalu gelisah. Sua memerhatikan Han tanpa berpaling sedikit pun. Ia berharap, nyaris memohon, Han akan mengatakan sesuatu. Apa pun yang mengganggu pikirannya saat ini sekali pun.
Sua tidak pernah merasa setersiksa ini. Berulang kali ia membungkam mulutnya sendiri untuk tidak menanyakan semua pertanyaan dalam otaknya. Ia takut tak membuat Han menjadi lebih baik. Demi Tuhan, ia begitu tersiksa di sini, kenapa Han tidak bergerak juga?! Setidaknya katakan sesuatu, Sua meratap dalam hati. Berharap Han bisa mendengarnya dan berhenti bersikap seperti batu.
Mendadak Han menoleh. "Filmnya bagus juga, bagaimana menurutmu?"
Sua membeku. Apa ia tidak salah dengar? Tidak! Han memang bertanya, ia juga memandangnya saat ini, dengan senyum samar yang membuatnya kentara sekali tengah menahan sakit. Tetapi apa? Kenapa?
"Kau tak suka film lama, ya?"
Sua mengerjap. Menyeret kesadarannya kembali dan menarik napas setelah menahannya beberapa saat lalu. Ia membuka mulut lalu menutupnya lagi. Tak benar-benar tahu apa yang harus dikatakan. Jelas-jelas bahkan Han tidak memerhatikan. Bagaimana bisa ia tahu?
Kepala Sua berputar ke layar televisi dan pada Han bergantian. Filmnya sudah usai. Sudah berapa lama mereka seperti ini? Diam seperti orang bisu. Lalu tiba-tiba Han bertanya seolah tidak ada yang terjadi.
"Aku tidak mengerti jalan cerita filmnya," Sua mengakui, berharap Han akan mengatakan sesuatu dan membayar lunas semua kegelisahan yang ia rasakan beberapa jam terakhir.
"Film ini menceritakan seorang putri yang kabur dari istana."
Sua masih belum menemukan suaranya kembali. Ia membeku dan memandang Han tanpa berpaling. Sosok yang mendadak mengasingkan diri darinya.
Han mengangkat wajah, memandang melewati Sua ke arah jam dinding. "Ben akan datang, kami ada urusan di luar. Apa kau bisa memasak makan malammu sendiri?"
Sua ingin tertawa keras-keras. Tetapi bahkan sepatah kata pun tak mampu ia keluarkan. Apa-apaan ini? Memangnya sejak kapan Han berkewajiban mengurus Sua?
Sua mendengus tertawa, terdengar sinis tanpa ia maksudkan begitu. "Kau bukan ibuku, Han. Kau tidak berkewajiban untuk mengurusku."
Sorot mata Han berubah. Kepedihan yang dalam. "Kau adikku," jelas Han tak tersenyum, alis tebalnya bertaut serupa kau saat kesakitan.
Sua mengernyit. Jelas-jelas terganggu dengan raut wajah itu.
Setelah keheningan panjang yang menyiksa. Bel pintu berbunyi dan Han pergi tanpa mengatakan apa pun lagi. Berbalik juga tidak. Detik itu. Untuk kali kedua di rumah ini. Sua merasa ia benar-benar sendirian.
***
Sua paling tidak bisa berpura-pura baik-baik saja ketika hatinya merasa sebaliknya. Dan meski Yoon terus menanyai ia kenapa. Sua tidak tahu harus menjawab apa. Katakanlah memberi tahu Yoon bahwa semua ini disebabkan Han, apa yang akan Yoon pikirkan selanjutnya.
Sua mendesah keras. Menunduk dengan sebelah tangan memegang pelipis. Kali ini Yoon tidak lagi bertanya. "Kenapa kau menghela napas? Ada apa?" Dan hal itu membuat Sua sedikit lega. Kelegaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalahnya sekarang. Tapi Sua juga tidak tahu apa hal ini pantas disebut masalah? Apakah sikap Han yang tiba-tiba berubah dingin pantas disebut masalah? Memangnya apa urusan Sua? Han hanya kakak tirinya. Sebatas status t***l yang menjengkelkan. Siapa yang butuh kakak tiri? Jelas Sua tidak membutuhkannya.
Hening dalam pikiran Sua sendiri. Ia sadar benar hatinya berkata lain. Ini bukan tentang status. Tapi apa? Sua mengerang, menyerah berdebat dengan dirinya sendiri.
Ia melayangkan pandangan ke arah pintu masuk kafetaria. Tak bisa membohongi diri sendiri ia berharap tiga sosok bak malaikat hadir dan menyedot seluruh perhatian di tempat itu. Tapi tak ada apa pun. Tak ada kekuatan gravitasi pribadi yang muncul. Hanya ada ruang kosong.
Sua memijit pelipisnya lagi dan memejamkan mata. Pagi tadi di rumah ia tidak melihat Han di dapur. Jelas tak mungkin ia akan datang ke kamar Han hanya untuk menanyakan apa ia akan mengantar Sua ke kampus atau tidak. Sua praktis berangkat sendirian tanpa sarapan. Dan saat ini di sini, ia juga tidak melihat Han di mana-mana. Bahkan kehadiran Ben dan Yuta begitu Sua harapkan, berharap dengan hadirnya mereka memberi Sua petunjuk keberadaan Han.
"Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan tapi kau harus makan sesuatu."
Sua berpaling memandang Yoon. Seketika sadar Yoon tidak menyentuh makan siangnya sedikit pun. "Mau ke kafe bersamaku?"
Yoon tidak perlu berpikir dua kali untuk menyetujui ajakan Sua. Ia bangkit dan mengapit lengan Sua erat, seolah ia akan pingsan jika dibiarkan berjalan sendiri.
Sua tak memprotes. Ia tak ingin berdebat. Ia juga tak tahu apa ia bisa makan sesuatu di kafe favorit mereka sekali pun. Untuk saat ini Sua memutuskan untuk mencoba sedikit suasana baru. Meski tidak benar-benar baru. Tapi setidaknya tak melulu melihat dinding kafetaria yang mendadak terlihat memuakkan, mungkin bisa membuat Sua sedikit merasa lebih baik.
Ketika mereka keluar dari kafetaria, Sua benar-benar berharap bisa makan sesuatu tanpa memuntahkannya kembali. Ia mendapati dirinya begitu lemah. Ia juga menyadari keputusan Yoon untuk menggandengnya tak buruk karena ia sendiri mulai yakin bisa jatuh kapan saja jika berjalan sendirian. Jarak dan waktu yang mereka tempuh untuk sampai di kafe pun terasa seratus kali lebih jauh dibanding seharusnya.
***
Sua menghela napas lelah. Ia berjalan lunglai melintasi halaman rumah. Pintu garasi masih tertutup seperti saat terakhir kali Sua melihatnya pagi tadi. Jadi ia tidak tahu apakah mobil Dad ada di dalam atau tidak. Pintu utama besar berlapis cat cokelat mendadak terlihat dingin. Tak seramah biasanya. Hal itu membuat d**a Sua tercabik. Ia tak bisa menunjukan ekspresi apa pun untuk itu. Wajahnya kosong. Hanya matanya yang benar-benar bicara. Menunjukkan sakit, pedih, kecewa dan bingung menjadi satu.
Sua tak berjalan menuju pintu. Ia memutar ke jalan setapak kecil menuju halaman belakang. Permukaan air di kolam renang memantulkan langit sore yang mendung. Kelabu dan sendu. Sua menjatuhkan ranselnya sembarangan, melepas sepatu dan mendekat ke tepi kolam renang. Mendudukkan diri dan memasukkan kedua kakinya ke dalam air. Ia nyaris tak merasakan dinginnya air yang menusuk.
Untuk beberapa alasan Sua ingin tetap berada di sini. Tak peduli pada kakinya yang membeku, atau pada udara yang kian menusuk tulang. Ia juga tak peduli matahari sudah tak terlihat di ufuk barat dan keadaan sekitar mulai gelap. Tidak, Sua harus peduli pada yang satu itu. Ia harus bangkit dan menyalakan lampu di seantero rumah. Hal remeh yang baru ia sadari saat ini. Hal remeh yang belum pernah ia lakukan sebelum ini. Sua mendengus lantas bangkit dengan kasar.
"Sial," ia mendesis kesal. Terlalu lama berada dalam air membuat kakinya beku dan ia kesulitan berjalan. Sungguh sial sekali.
Sambil tak berhenti memaki-maki diri sendiri Sua berjalan susah payah memasuki rumah. Pintu kaca geser itu tak terkunci. Syukurlah.
Setelah selesai menyalakan semua lampu. Sua memutuskan untuk ke dapur dan mengambil beberapa kaleng soda dingin dari kulkas. Mungkin malam ini ia akan menenggelamkan diri di kamar tidur dengan buku-buku yang belum sempat ia baca.
Mendadak langkah Sua terhenti. Dalam keremangan ruangan dapur yang luas ia menangkap bayangan sosok besar di meja makan. Duduk dengan kedua tangan bertaut di meja. Menunduk dengan wajah tertekan dan pucat sekali. Sua beringsut dan menyalakan lampu. Wajah Han terlihat jelas seketika. Sua tak salah lihat. Han memang pucat seperti mayat. Juga tertekan, Sua tak bisa mengabaikan hal itu. Terlebih kenyataan bahwa Han sedang melamun lagi. Ia sama sekali tidak menyadari Sua hadir dan menyalakan lampu.
Sua melanjutkan langkah melintasi ruangan. Membuka dan menutup pintu kulkas keras-keras. Ia dapat merasakan tatapan Han dari balik punggungnya. Ia tak tahan lagi. Ia berbalik dan bertanya dengan volume suara kelewat keras. "Apa?"
Han hanya memandangnya. Tak bergerak sedikit pun. Hal itu membuat Sua makin frustasi... Dan cemas.
"Kau sangat pucat tahu," Sua mengakui dirinya kalah.
Han menunjukkan senyum miringnya samar.
Sua menghela napas panjang. Mengambil langkah lebar-lebar dan berhenti dekat sekali dengan Han. "Mom akan melakukan ini setiap kali aku terlihat pucat, jadi jangan terkejut." Kalau boleh jujur Sua lebih meyakinkan diri sendiri. Berharap apa yang akan dilakukannya tak membuat dirinya terkena serangan jantung.
Sebelah tangan Sua terangkat. Berharap Han tak melihat tangannya gemetar. Perlahan menyentuh kening Han dan langsung mengibas-ngibaskannya menjauh. Ia melotot. Sadar jadi mirip benar dengan Mom. "Astaga, Han! Kau demam!"
"Aku baik-baik saja," sahut Han lemah.
"Jangan sok kuat padaku, itu tak berguna." Sua meletakkan dua buah kaleng soda yang tadi ia ambil di meja. Mencari-cari keberadaan ponsel dan seketika sadar sudah meninggalkan ransel dan sepatunya di halaman belakang.
"Ah, sial!" Sua menggerutu sambil lalu. Tak membiarkan Han sempat bertanya.
Ponsel Sua ada dalam ransel. Ia butuh benda sialan itu untuk mencari tahu cara membuat bubur dan obat apa yang cocok untuk demam. Sua tak membiarkan kakinya bersantai sedikit. Ia terus berlari-lari. Ketika wajah pucat Han sudah terlihat lagi Sua menimbang-nimbang apakah ia perlu memberi tahu Mom dan Dad. Sepertinya tidak, Mom akan menyita banyak waktu hanya untuk panik.
Sua meletakkan ransel dan sepatunya di meja sekaligus. Terlalu panik untuk berpikir jernih sepenuhnya. Ya, ia memang panik tapi tak separah Mom tentu saja.
Sebelah tangan Sua mengacak-ngacak isi ransel. Melirik Han yang kini memandangnya dengan sorot bingung. Sua berhenti mencari dan balik memandang Han.
"Istirahatlah, Han."
"Aku baik-baik saja Sua, sungguh," sekilas kepedihan muncul di balik wajah pucat Han.
"Well, aku memaksamu," Sua bangkit dan menyeret lengannya. "Bangun Han, kau berat. Bekerja samalah denganku. Ingat, kita akan menjadi tim paling hebat di dunia," Sua menirukan cara Mom bicara di akhir kalimat.
Hal itu berhasil membuat Han tertawa lemah. "Memangnya apa yang akan kau lakukan padaku?"
"Percaya saja padaku," Sua sepenuhnya mengatakan itu sebagai candaan. Tetapi reaksi Han serius sekali. Ia menunduk memandang mata Sua langsung.
"Aku percaya padamu."
Sua cepat menyeret pandangannya menjauh dari mata gelap Han. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk tenggelam. Ia berusaha keras menarik-narik tubuh besar Han agar mengikuti langkah yang Sua tuju. Jelas tak berhasil. Tubuh Han terlalu besar untuk Sua kendalikan. Dan di tengah jalan Sua juga merasa minder karena puncak kepalanya hanya sebatas bahu Han. Sua meringis. Benar-benar tak ada waktu untuk semua hal konyol itu.
Sua merasa sudah menghabiskan sembilan puluh persen tenaganya ketika pintu kamar Han sudah di depan mata. "Istirahatlah Han, aku akan segera kembali," janji Sua.
Han berbalik memandang Sua. "Apa yang akan kau lakukan?"
Sua memutar bola mata. "Aku tak akan meracunimu, kok," ia mengibaskan sebelah tangan. Dan sebelum Han sempat mengatakan apa-apa lagi ia sudah berbalik pergi.
Sua kembali ke dapur untuk mengambil ponsel. Mencari tutorial membuat bubur dan informasi mengenai obat demam. Yah, ia membutuhkan mobil Dad untuk ke apotik. Diam-diam Sua kembali ke kamar tidur Han. Menyusup masuk ke dalam ruangan dengan pintu tak terkunci. Han meringkuk di ranjang. Tubuhnya yang besar terlihat rapuh.
Pandangan Sua teralih pada kunci mobil di meja kecil di samping ranjang. Dalam hati ia meminta maaf karena masuk diam-diam. Tetapi ia tak punya pilihan lain. Sua meraihnya dan segera pergi. Pertama, ia akan ke apotik untuk membeli obat. Setelah itu baru memasak bubur. Sua menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Meyakinkan diri ia pasti bisa memasak. Ini hanya bubur!
Langkah Sua berubah menjadi lari-lari kecil ketika sampai di halaman depan. Menyetir urusan gampang bagi Sua. Sejujurnya ia sudah bisa menyetir sejak kelas dua SMA. Saat itu seorang teman Yoon yang keturunan Jepang dan Korea yang mengajari Sua. Dan hal itu sepenuhnya dilakukan karena iseng saja. Ngomong-ngomong, Sua juga sudah melupakan nama teman Yoon itu.
Butuh waktu lima belas menit untuk sampai kembali di rumah. Sua suka ngebut. Dan lagi-lagi itu bukan masalah selama Mom tidak tahu. Akan jadi masalah jika Mom tahu ia bisa menyetir. Sua nyengir. Tidak bisa membayangkan bagaimana terkejutnya Mom jika tahu.
Masih dengan langkah cepat Sua melintasi ruangan menuju dapur. Ia gugup sekali. Bolak balik memelototi ponsel, menyiagakan diri agar tidak membuat kesalahan sedikit pun.
Rasanya berjam-jam lamanya Sua habiskan hanya untuk memasak bubur. Ia memandang hasil karyanya yang kini tersaji di mangkuk di atas nampan. Ia juga membawa sebotol air mineral dan meletakkan obat yang ia beli di sisinya.
Sua mengatur napas sekali lagi. Merentangkan tangan ke samping dan ke depan seperti sedang pemanasan, lalu mencengkeram ujung-ujung nampan dengan hati-hati. Ia bersyukur karena melewati semua ini dengan cukup baik. Ia tidak sepanik Mom saat Sua demam.
Susah payah Sua berusaha membuka pintu. Ketika akhirnya berhasil ia sadar benar menahan napas. Han masih meringkuk di ranjang. Membuat Sua lega sekaligus kecewa. Ia berjinjit melintasi ruangan dan meletakkan nampan di meja. Memandang tubuh Han yang memunggunginya sesaat. Sua melipat sebelah tangannya di samping tubuh dan sebelah tangannya yang lain mengetuk-ngetuk dagu. Kemudian ia memandang sekeliling dan menemukan beberapa memo di meja di ujung ruangan. Lagi-lagi ia berjinjit. Mengambil sebuah pulpen dalam gelas di mana segala sesuatu seperti pensil dan gunting berada. Cukup lama memikirkan pesan apa yang tepat untuk di sampaikan. Namun pada akhirnya memutuskan untuk menulis. "Minum obatmu, Han" saja.
Hati-hati Sua meletakkan memo itu di nampan. Bertekad untuk tak memandang Han lagi dan menghambur pergi. Setidaknya ia tahu Han tak cukup bodoh untuk minum obat tanpa makan terlebih dahulu.